Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 22) - Kedhung Jati Membara


JEJAKMISTERI - Sejenak kita tinggalkan area Tegal Salahan, dan kita kembali ke pertengahan desa, dimana nampak Pak Bambang dan Mas Yudi yang merasa semakin resah setelah kepergian Bu Guru Ratih. Makhluk makhluk aneh di luar sana semakin banyak berkeliaran, sementara Bu Guru Ratih yang mereka tunggu tunggu belum juga kembali ke rumah itu.

Memang, sampai detik ini makhluk makhluk itu seolah olah acuh pada rumah tempat warga berlindung itu. Mereka hanya hilir mudik di jalanan tanpa sekalipun melirik ke arah rumah itu. Mungkin karena efek dari pagar gaib yang telah dibuat oleh Bu Ratih sore tadi.

Namun ingat pesan Bu Guru Ratih bahwa kemungkinan pagar itu tak akan bisa bertahan lama akibat dari banyaknya makhluk makhluk jahat itu, tak urung membuat Pak Bambang dan Mas Yudi sedikit khawatir.

"Kenapa Bu Ratih belum juga kembali ya? Padahal jarak rumahnya tak begitu jauh dari sini," gumam Pak Bambang pelan, sambil terus memandang ke arah luar jendela.

"Entahlah Pak, mungkin sekalian menjemput keluarga Mas Joko di Tegal Salahan, mangkanya agak lama," Mas Yudi yang berdiri tak jauh dari komandan polisi itu menyahut.

"Heran, kenapa makhluk makhluk itu sepertinya semakin banyak saja ya? Padahal tadi siang Pak Modin juga sudah menanam pagar di keempat sudut desa ini?" ujar Pak Bambang lagi.

"Kalau menurut dugaan saya sih, makhluk makhluk itu sudah bersembunyi di dalam desa sebelum Pak Dul Modin menanam pagar Pak. Tapi tak perlu khawatir, percaya saja, Bu Ratih pasti bisa menjaga diri di luar sana. Dia bukan orang sembarangan lho." kembali Mas Yudi menyahut.

"Bukan itu yang aku khawatirkan Mas," Pak Bambang mendesah, lalu mengalihkan pandangannya pada para warga yang kini duduk berdesak desakan ditengah tengah ruangan. Sebagian dari mereka bahkan sudah tertidur pulas dengan alas seadanya. Sungguh suatu pemandangan yang bikin hati menjadi trenyuh. Orang sebanyak itu, mereka semua menggantungkan keselamatan hidup mereka kepadanya, sedang ia sendiri tak yakin bisa melindungi mereka semua. "Yang aku takutkan, mereka, makhluk makhluk jahat itu, berhasil menerobos masuk, menembus pagar yang telah dibuat oleh Bu Ratih sebelum beliau kembali kesini. Dengan jumlah personel yang kita miliki sekarang ini, aku tak yakin bisa menahan mereka. Ditambah dengan banyaknya warga yang harus kita lindungi ini, itu benar benar membuatku sangat khawatir."

"Yach, mau bagaimana lagi Pak. Kalau memang terjadi seperti itu, maka tak ada pilihan lain bagi kita, selain berperang sampai titik darah penghabisan. Jujur, saya lebih suka mati konyol daripada harus merelakan raga saya dirasuki oleh iblis iblis terkutuk itu."

"Bagus!" Pak Bambang menoleh ke arah Mas Yudi dan tersenyum. "Aku suka dengan semangat sampeyan untuk melindungi warga desa ini Mas. Tidak salah kalau sampeyan ditunjuk sebagai ketua pemuda di desa ini."

"Ah, itu sudah menjadi kewajiban saya kan Pak. Lagipula, ini bukan pertama kalinya saya berhadapan dengan makhluk makhluk jahat seperti mereka. Sebagai warga asli desa ini, bertemu setan bukanlah hal yang baru buat saya."

"Hahaha, bisa saja sampeyan Mas," Pak Bambang tertawa sumbang. Ucapan Mas Yudi barusan. Kedengaran memang sedikit berlebihan. Namun bagi orang yang sudah tau akan desa ini, tentu bisa memakluminya. Ia sendiri memang sudah sering mendengar dari anak buahnya, cerita soal keangkeran desa ini. Namun baru kali ini ia mengalami sendiri kejadian kejadian yang sangat tak masuk akal yang terjadi tepat di depan matanya.

"Biar ndak terlalu tegang, nih, kita ngopi ngopi dulu, sekalian buat menahan rasa kantuk," Mas Teguh keluar dari arah dapur sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir kopi.

"Wah, tau saja kamu Guh kalau kita lagi butuh kopi," tanpa menunggu dipersilahkan untuk keduakalinya, Mas Yudi segera meraih salah satu cangkir diatas nampan itu dan langsung menyeruputnya.

"Cuma kopi doang Yud, ndak ada cemilannya," sahut Mas Teguh sambil membagi bagikan cangkir kopi itu kepada para petugas bawahan Pak Bambang yang masih bersiaga. "Bapak bapak sekalian, kalau mau kopi juga silahkan bikin sendiri ya di dapur, kebetulan Wak Karni masih punya stok kopi lumayan banyak. Tapi tolong jangan berisik, takutnya nanti menarik perhatian makhluk makhluk yang di luar sana itu!"

Seperti dikomando, beberapa warga yang masih terjaga segera menuju ke dapur. Rumah Pak Dul Modin memang sangat luas, dengan bangunan dapur yang juga tak kalah luas menempel di bagian sisi kiri bangunan rumah utama. Tak heran kalau tadi sore Bu Ratih memilih tempat ini untuk menjadi benteng pertahanan mereka.

"Yud, sudah ada kabar dari Wulan belum?" Mas Teguh lalu ikut duduk disebelah Mas Yudi.

"Belum Guh! Denger denger sih Pak Modin sedang ke pondok Mas Joko, mau membicarakan soal Wulan," jawab Mas Yudi.

"Semoga saja Wulan sudah tau kejadian yang menimpa desa ini ya Yud, dan bisa cepet pulang. Firasatku mengatakan, cuma Wulan kayaknya yang bisa mengatasi masalah ini, mengingat Pak Modin dan Bu Ratih saja masih dibuat kerepotan begitu," ujar Mas Teguh lagi.

"Ya semoga saja Guh."

"Oh ya, aku beberapa kali mendengar nama Wulan disebut sebut," Pak Bambang ikut nimbrung dalam obrolan tersebut. "Memangnya Wulan itu siapa to?"

"Lho, Pak Komandan belum tau to?"

"Aku kan belum lama dinas disini Mas."

"Wulan itu anaknya Mas Joko Pak, yang kemarin ikut kerja bikin sumur itu."

"Soal itu aku tau Mas, yang aku maksud, kenapa seolah semua orang disini begitu berharap sama Wulan?"

"Ya karena Wulan itu anak istimewa Pak. Dia satu satunya cucu Mbah Kendhil yang mewarisi ilmu dari kakeknya itu."

"Mbah Kendhil? Siapa lagi itu Mbah Kendhil?"

"Mbah Kendhil itu....!"

"Pak komandan! Sepertinya sampeyan harus melihat ini!" seruan dari salah satu anak buah Pak Bambang yang berjaga di dekat jendela menyela obrolan mereka. Pak Bambang dan kedua pemuda desa Kedhung Jati itu segera mendekat ke arah jendela.

"Ada apa?! Astaga!" Pak Bambang berseru panik saat melihat bahwa beberapa makhluk aneh diluar itu mulai menerobos masuk ke pekarangan rumah tempat mereka berlindung.

"Hmm, apa yang saya khawatirkan akhirnya terjadi juga. Pagar yang dibuat oleh Bu Ratih sepertinya telah berhasil ditembus!"

"Lalu, apa yang akan kita lakukan Pak? Kami menunggu perintah!"

"Jika pagar gaib itu sudah tak mampu lagi melindungi kita, apa boleh buat. Siagakan diri kalian! Kita buat pagar betis! Keselamatan warga menjadi priorotas kita. Siapkan senjata kalian, dan mari kita sambut tamu tamu tak diundang itu! Mereka hanya mayat yang sebenarnya sudah mati, jadi, jangan segan segan untuk menghabisi mereka!"

"Siap Komandan! Perintah komandan akan segera kami laksanakan!"

"Bagus! Mari kita berpesta!" Pak Bambang tanpa ragu membuka pintu dan melangkah keluar, diikuti oleh anak buahnya yang jumlahnya tak seberapa itu. Sementara Mas Yudi juga tak mau ketinggalan. Ia memilih pemuda pemuda desa yang masih memiliki keberanian untuk mendukung pasukan Pak Bambang dari belakang.

"Kalian dengar sendiri kan apa kata Pak Komandan tadi? Ini desa kita, desa tempat kita dilahirkan dan dibesarkan! Jadi jangan biarkan makhluk makhluk jelek di luar sana itu seenaknya membuat onar di desa kita tercinta ini! Ambil apa saja yang bisa kalian gunakan untuk senjata, dan mari kita sambut musuh yang sudah datang menyerang!" ucapan Mas Yudi yang berapi api itu mampu membangkitkan semangat para pemuda desa. Mereka segera menyambar benda apa saja yang sekiranya bisa mereka jadilan senjata, lalu merangsek keluar menyusul pasukan Pak Bambang yang telah terlebih dahulu berjuang di garis depan.

Suasana malam yang sepi berubah menjadi gaduh. Diiringi dengan teriakan teriakan penuh semangat, para pemuda itu menyerbu keluar dan menghajar apa saja yang muncul di hadapan mereka. Beberapa mayat hiduppun jatuh bergelimpangan dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Hancur dicacah cacah, atau lumat diinjak injak sampai tak berbentuk lagi.

"Cih! Ternyata hanya segini kemampuan kalian hah?! Ayo kawan kawan, habisi mereka! Jangan kasih ampun!" teriakan Mas Yudi menggema, membuat semangat para pemuda itu semakin membara. Teriakan teriakan kemarahan yang diselingi dengan geraman geraman makhluk makhluk aneh dan suara tembakan dari para petugas polisi benar benar merubah suasana malam yang semula mencekam itu menjadi malam yang penuh gejolak.

Pertarungan terus berjalan, hingga pagi hampir menjelang. Entah darimana datangnya, makhluk makhluk aneh itu terus saja berdatangan dari segala penjuru seolah tiada habisnya. Pekarangan Rumah Pak Dul Modin kini telah dipenuhi oleh potongan potongan jasad setengah membusuk yang berserakan.

Satu dibantai, dua sosok datang menggantikan. Begitu terus menerus, dan meski pihak dari kepolisian yang dibantu oleh para pemuda itu berada diatas angin, namun keberadaan makhluk makhluk yang seolah tiada habisnya itu tak urung membuat Pak Bambang sedikit cemas. Jika begini kejadiannya, bisa bisa mereka yang akan kehabisan tenaga dan tumbang.

"Hemat tenaga kalian! Kita kalah jumlah! Kalau diteruskan kita bisa kalah karena kehabisan tenaga! Jadi, tak perlu menyerang! Tak perlu mengejar! Biar mereka yang datang menghampiri kita, baru kita habisi!" Pak Bambang berteriak lantang memberi komando.

Para petugas dan pemuda desa lalu mundur dan membuat pagar betis mengelilingi rumah besar itu. Strategi yang bagus dari Pak Bambang, karena dengan begini mereka bisa sedikit menghemat tenaga. Namun ada satu hal yang luput dari perhatian komandan polisi itu. Ia lupa, kalau sejatinya yang menjadi musuh utama mereka bukanlah mayat mayat hidup itu, melainkan sesuatu yang merasuki mereka. Sesuatu yang tak kasat mata, yang setelah keluar dari jasad yang berhasil dibantai oleh pasukan Pak Bambang, bisa leluasa menerobos masuk kedalam rumah dan merasuki warga yang berlindung di dalamnya.

"Arrggghhh...!!!"

"Tolooonngggg...!!!"

"Hahahaha....!!!"

"Hihihihi....!!!"

"Wedhus! Apa yang...!!!"

"Kesurupaaannn...!!!"

Suara hingar bingar kini berpindah kedalam rumah. Warga yang kerasukan mulai melakukan tindakan tindakan aneh yang bisa saja membahayakan keselamatan mereka sendiri.

"Gawat! Kalau begini caranya....!"

Belum sempat Pak Bambang menyadari apa yang sebenarnya terjadi, para warga yang mulai kesurupan itu berlarian keluar rumah. Macam macam tidakan yang mereka lakukan, dari mulai berusaha menyakiti diri sendiri sampai saling serang dan berusaha melukai lawan yang sejatinya adalah tetangga mereka sendiri.

Suasana semakin kacau. Pihak Pak Bambang dan pemuda desa tak bisa asal serang sekarang, karena iblis iblis itu kini merasuki warga desa yang notabene masih hidup, bukan mayat mayat setengah membusuk seperti yang mereka hadapi beberapa saat yang lalu.

"Sial! Kalau begini caranya....!"

Syuuuuttt....!!!"

"Whuuuuusssss...!!!"

Pak Bambang dan pasukannya, juga para pemuda desa itu terlompat kaget saat tiba tiba selarik sinar kuning keemasan melesat cepat dari arah selatan dan jatuh menghantam tepat ditengah kerumunan orang orang yang tengah kerasukan itu, disertai deru angin kencang berhawa panas yang langsung menyapu makhluk makhluk menyeramkan dan orang orang yang kesurupan itu hingga mereka terpental ke segala arah.

"Eh, apa yang...?!"

"Bu Guru Ratih...?!"

Sesosok tubuh perempuan dengan pakaian dan rambut panjang yang sedikit acak acakan kini telah berdiri dengan angkuhnya ditengah tengah halaman rumah besar itu. Matanya yang berkilat tajam menyapu kesegala penjuru, memancarkan sinar dendam penuh kebencian, menebar ancaman kepada siapapun yang berada di hadapannya.

"MUNDUR!" geram perempuan itu sambil memberi isyarat kepada Pak Bambang dan Mas Yudi untuk mundur.

"Tapi Bu...."

"Kubilang Mundur!!!" sentak Bu Ratih tegas, menukas ucapan Pak Bambang. "Tarik mundur semua anak buahmu Pak Bambang, dan juga teman temanmu Yud! Ajak mereka semua masuo kembali kedalam rumah! Makhluk makhluk ini, biar aku yang mengurusnya!"

"Tapi Bu..."

"Ssstttt...! Sudah Pak! Ikuti saja apa kata Bu Ratih," kini Mas Yudi yang menyela protes Pak Bambang. "Bu Ratih lebih tau apa yang akan ia lakukan. Kehadiran kita disini justru hanya akan merepotkannya."

Meski ragu, toh akhirnya Pak Bambang mengikuti juga saran dan perintah dari Mas Yudi dan Bu Ratih. Ia segera memerintahkan semua anak buahnya untuk mundur dan kembali masuk kedalam rumah. Demikian juga dengan Mas Yudi yang segera memanggil teman temannya untuk mundur. Sementara, makhluk makhluk menyeramkan dan orang orang kesurupan yang semula telah berhasil disapu menjauh oleh Bu Ratih kini nampak kembali merangsek ke depan, mendekat ke arah Bu Ratih yang menatap tajam ke arah mereka.

Bu Ratih lalu duduk bersila di tengah tengah halaman itu dengan mata terpejam dan kedua tangan diletakkan diatas lutut. Cahaya samar kuning keemasan yang menyelimuti tubuhnya terlihat sedikit lebih jelas kini. Hingga sesaat kemudian, dengan sedikit menahan nafas Bu Ratih menyentakkan kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka. Dari kedua telapak tangan itu lalu keluar cahaya yang sama dengan yang menyelimuti tubuhnya, menyebar kedepan diiringi dengan deru angin berhawa panas yang kembali menyapu makhluk makhluk menyeramkan dan orang orang kesurupan itu.

"Claraaaappp...!!!"

"Whuuuussss...!!!"

Makhluk makhluk menyeramkan dan orang orang kesurupan itu kembali terhempas mundur, disertai suara jerit kesakitan dan kematian yang menggema di pagi buta itu. Dan itu barulah awal dari amukan si guru perempuan. Karena disaat matahari telah menampakkan sinarnya di ufuk timur sana, dan rombongan kecil Ramadhan muncul dari arah selatan dengan membawa jasad Pak Dul Modin, sosok Bu Guru Ratih semakin kehilangan kendali. Menyadari bahwa sang Uwak telah tewas, amarah guru perempuan itu semakin memuncak. Ia menggeram keras, dengan suara yang menggelegar hingga mampu menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Menggema ke segala penjuru, hingga merambat dan menggetarkan hati seorang gadis yang berada berpuluh puluh kilometer jauhnya dari desa itu. Gadis yang memiliki ikatan khusus dengan sang guru perempuan itu. Wulan!

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close