Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MEMUTUS JERAT PESUGIHAN (Part 1)


Apakah aku pernah merasa takut, ketika berhadapan dengan 'mereka'? 

Itulah pertanyaan yang sering kudengar dari kebanyakan orang. Manusia pasti punya rasa takut. Tentu aku juga pernah merasakan takut. 

Salah satunya, ketika pertama kali berhadapan dengan hantu. Si Nenek muka rata penghuni pohon kersen dekat rumah. Itu saja sudah membuat susah tidur.

Lambat laun, aku memang sudah terbiasa. Terutama setelah si Kingkong dan si Hitam (Macan Kumbang) datang. Kedua penjagaku itu selalu mengajak 'jalan-jalan' untuk melihat atau berkenalan dengan makhluk-makhluk gaib, baik yang positif maupun negatif. Dari yang berbentuk manusia normal sampai yang tidak jelas bentuknya.

Namun... kejadian malam itu membuatku benar-benar ketakutan. Tidak hanya aku saja, bahkan kedua penjagaku ikutan panik menghadapinya.

***

Oktober 2019.

Pagi itu aku sedang ada di rumah, selonjoran sambil menonton tv. 

Ting!

Sebuah pesan masuk dari temanku Deni.

[Mir, lu lagi ngapain?]

[Lagi nonton tv, napa emang Den?]

[Kalau ada waktu, datang kemari, Mir. Ada yang mau aku omongin]

[Omongin sekarang aja]

[Gak bisa, lu musti kesini dulu]

[Ya udah, ntar jam 10 aku kesana]

Deni ini bukan orang biasa. Jika aku baru dua tahun bisa melihat 'mereka'. Dia sudah bisa melihat 'mereka' sejak lima tahun lalu. Setidaknya dalam dunia gaib, dia sudah lebih senior. 

Namun kata-katanya tadi membuatku sedikit curiga. Jarang-jarang dia memintaku datang, tanpa menceritakan masalahnya. Aku jadi berpikir, masalah segenting apa yang hanya boleh dibicarakan di rumahnya saja. 

Setelah mandi, aku pun bergegas ke rumahnya, mengendari sepeda motor. Jarak rumah kami tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu 15 menit sudah sampai.

Baru masuk gang depan rumahnya. Aku sudah melihatnya berdiri di halaman depan, seperti tau kedatanganku. 

"Tau aja aku datang," sapaku sembari memarkirkan sepeda motor di halaman rumahnya.

"Ya dong, udah ada yang datang duluan soalnya," balasnya.

"Siapa?"

"Tuh." Deni menunjuk sosok yang ada di depan pintu rumahnya.

"Oh... Si Hitam dah nyampe duluan. Ngomong-ngomong ada apaan sih, Den. Tumben banget lu nyuruh aku ke sini siang-siang. Dah gitu gak ngasih tau pula ada apaan," ucapku.

"Kita obrolin di dalem aja yuk! Sambil ngopi," ajak Deni seraya berjalan masuk ke rumahnya.

"Jadi apa apa, Den?" tanyaku sambil menyandarkan punggung di sofa ruang tamunya.

"Sabar dong, aku musti manggil orangnya dulu," balasnya.

"Orang-orangan atau orang beneran nih?"

"Orang beneran lah, bentar ya," balasnya lalu berjalan ke luar rumah.

Baru tiga kali menyeruput kopi, Deni sudah datang membawa seorang anak. 

"Nih, Mir. Kenalin namanya Ilham," ucap Deni sambil meminta Ilham untuk menghampiriku. 

Ilham tampak malu-malu. Dia terus menundukan kepala, tidak mau melihat wajahku. Apa aku semenakutkan itu?

"Ada apa sih, Den?" tanyaku kebingungan.

"Ham, kamu duduk di deket kakak itu," pinta Deni pada Ilham yang daritadi hanya berdiri di samping sofa. Ilham pun menuruti perintah Deni, duduk di dekatku.

"Lu belum jawab ada apa, Den?"

"Coba lu perhatiin dia."

Aku menatap Ilham yang masih menundukan kepalanya.

"Gak ada apa-apa ah, Den."

"Ah, Si Hitam aja udah tau ada apaan," ucap Deni sambil melirik ke arah Si Hitam yang ada di belakangku.

Aku menoleh, Si Hitam sedang dalam posisi siaga. Tatapan tajamnya terus mengarah pada Ilham.

"Apa apa sih?" tanyaku pada si Hitam.

"Liat di pundaknya, Amir. Fokus!" Aku kembali melihat Ilham, berfokus pada bagian pundak.

"Keris?" Deni menganggukan kepala.

Aku terus menatap keris kecil yang tertanam di pundaknya. Gambaran demi gambaran mulai bermunculan, untuk mengetahui asal-usul keris itu.

"Asli dah! Jahat amat ada yang tanam begituan," ucapku kesal, diikuti anggukan kecil Deni.

"Lu dah tau, Den?" sambungku.

"Udah, mangkanya aku panggil lu kemari," balasnya.

"Lah? Napa gak lu lepas itu, kasian tau."

"Udah aku coba, tapi gak bisa, Mir."

"Kok gitu?"

"Energinya gede banget, gak sanggup aku."

"Jadi maunya gimana ini, dilepas?"

"Coba lu tanya anaknya!"

"Ham... kamu tau ada yang tanam keris kecil di pundak?" Dia hanya membalas dengan gelengan kepala.

"Ham, pengen tau gak itu apa?" tanyaku. 

Ilham mengangkat kepalanya, menoleh ke arahku. 

"Pengen, Kak," ucapnya pelan.

"Jadi... ada orang yang mau numbalin kamu."

"Siapa, Kak?"

"Bapak kamu. Dia bikin perjanjian sama dukun di tempat kamu tinggal dulu. Nanti, setelah umur 17 tahun, nyawa kamu bakal dituker sama harta kekayaan. Sekarang umur kamu berapa?" 

Ilham nampak syok dengar ucapanku, "Sepuluh tahun, Kak," balasnya dengan wajah ketakutan.

"Sekarang mau kamu gimana? Kakak cabut atau biarin aja?"

"Cabut ajalah, Mir," sela Deni.

"Iya kak, cabut aja," balas Ilham.

"Kamu tau gimana cara nyabut itu?" tanyaku pada si Hitam melalui ucapan batin.

"Apa kamu yakin mau mencabut keris itu?" tanyanya balik.

"Yap, kasian anak itu."

"Apakah kamu yakin?" tanyanya lagi.

"Iya."

"Kenapa kamu tidak membiarkannya saja," ucap Si Hitam.

"Kenapa bilang begitu?"

"Karena itu sudah jalan hidupnya."

"Tapi kan... masih bisa ditolong."

"Iya, hanya saja resikonya sangat besar."

"Resiko besar?"

"Efeknya tidak hanya pada anak itu. Siapapun yang melepas jerat pesugihan, dia akan diincar terlebih dahulu. Tidak hanya kamu saja, tapi semua anggota keluargamu juga. Jadi saya tidak menyarankan untuk membantunya."

"Hmm... tapi apa kamu bisa membantu melepas keris itu?" tanyaku.

"Bisa, tapi...."

"Tapi apa?"

"Saya takut jika si Kingkong akan memarahiku."

"Tenang, nanti aku akan bicara padanya. Sekarang bisakah kamu mengajariku cara mencabut keris itu."

"Tidak sulit, hanya tinggal tempelkan tangan kirimu ke pundaknya. Setelah itu bacakan surat al-fatihah dan an-naas 3x, sambil kuatkan niat untuk mencabutnya."

"Baiklah."

Aku pun mengikuti arahan si Hitam, menempelkan tangan kiri ke pundak Ilham. Rasanya panas, setiap kali aku membacakan surat an-naas. Lama kelamaan, tanganku mulai terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk jarum.

"Jangan ragu," ucap Si Hitam.

Aku menutup mata, mencoba untuk tetap fokus. Pada bacaan terakhir, keris itu sudah ada di genggamanku. Namun, keris itu tiba-tiba menghilang dalam hitungan detik.

"Udah, Mir?" tanya Deni.

"Udah," balasku.

"Alhamdullilah."

Benar ucapan Deni, keris itu memiliki energi yang besar. Rasanya lemas sekali, sepertinya energiku sudah terkuras habis.

"Makasih, Kak," ucap Ilham tersenyum. Ini baru pertama kali dia berani menatapku langsung.

Selanjutnya kami mengobrol cukup lama. Sikap Ilham pun sudah berubah, tidak malu-malu lagi. Dia menceritakan tentang kehidupannya di kampung, sebelum pindah ke sini.

Adzan dzuhur berkumandang, Ilham pamit untuk pulang ke rumah.

"Aku balik juga ya, Den." Aku pun ikut pamit.

"Oke, Mir. Hati-hati dijalan."

Dengan badan masih lemas, aku pulang mengendarai sepeda motor. Entah kenapa sepanjang perjalanan perasaanku tak enak. Aku terus berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa.

Tiba di rumah, aku langsung menuju kamar. Baru saja membuka pintu kamar, langsung dikagetkan dengan kehadiran si Kingkong yang duduk di atas tempat tidur.

"Bodoh kamu, Mir!" ucapnya kesal.

"Ada apa, Kong?"

"Kenapa kamu melakukan itu."

"Mencabut keris itu?"

"Iya!"

"Tidak apa-apa, sudah selasai kok."

"Selesai katamu? Mulai saja belum."

"Hah?"

"Apa kamu tidak memberitahunya?" Si Kingkong bertanya pada Si Hitam yang bersembunyi di belakangku.

"Sudah," balas Si Hitam.

"Lantas, kenapa kamu masih mau melakukan itu, Mir," ucap Si Kingkong.

"Aku kasian, dia masih kecil dan tidak tau apa-apa."

"Argh... sudahlah. Semua sudah terjadi," keluhnya seraya membalikan badan ke tembok.

Aku menghampirinya, duduk di ujung kasur.

"Kenapa sih daritadi marah-marah mulu," ucapku sambil mengelus bulu halus di kepalanya.

"Tumben kamu takut," sambungku.

"Bukan begitu."

"Terus?"

"Aku takut diomeli 'Kakek' jika terjadi sesuatu padamu."

"Tenang, aku baik-baik saja kok."

"Sekarang baik-baik saja, tapi nanti? Siapa yang tau."

"Ya sudah itu urusan nanti, sekarang aku mau sholat terus istirahat dulu. Badanku lemas banget."

Sehabis maghrib, aku sedang mengobrol bersama kakak dan ibu di ruang tamu. Dari dalam kamar, terdengar ponselku terus berdering. 

"Siapa sih, gak tau apa maghrib," ucapku dalam hati sambil berjalan menuju kamar.

"Deni? Ngapain dia nelpon maghrib-maghrib," gumamku. Lalu mengangkat teleponnya.

"Mir, bisa kesini gak?" tanyanya dari balik telepon. Suaranya terdengar panik.

"Ada apa, Den?"

"Dah buruan kesini! gawat pokoknya."

"Gawat?" tanyaku, tapi Deni sudah keburu menutup teleponnya.

BERSAMBUNG
close