Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEROR PENUNGGU POHON KERSEN (Part 2)


"Jadi kamu...?" Aku sudah tau siapa wanita yang ada di hadapanku ini.

"Ya! Saya adalah penunggu pohon kersen itu."

Rambut wanita itu perlahan mengembang dan bertambah panjang. Wajahnya yang semula cantik, kini menjadi semakin pucat. Lingkaran hitam yang cukup besar pun mulai mengelilingi kedua matanya. Bola matanya besar, melotot ke arahku. Pakaiannya berubah menjadi gaun putih. Wanita itu tersenyum lebar, hampir melewati setengah pipinya. 

"Ku-n-til-a-nak!" ucapku terbata-bata sambil berjalan mundur.

"Mau kemana kamu?" tanya Kuntilanak itu setengah melayang.

Aku membalikan badan dan berlari menjauh.

"Hihihihi...," tawanya melengking.

"Mau kemana kamu?"
Aku menoleh, ternyata dia terbang Mengejarku.
 
Bruk!

Kakiku tersandung batu hingga jatuh tersungkur. Kuntilanak itu makin mendekat. Belum juga bangkit, dia sudah memegang kaki.

"Kenapa lari?" tanya masih memegangi kakiku.

"Lepas!" teriakku sambil menggerak-gerakan kaki. Berusaha untuk lepas dari genggamannya.

"Baru segini aja sudah takut. Gimana nanti ketemu yang lain."

"Pergi!" Aku menutup mata. Seketika itu, suasana mendadak sepi. Tak terdengar suara Kuntilanak itu. Kaki pun sudah bisa digerakan kembali.

"Apa Kuntilanak itu sudah pergi?" pikirku masih menutup mata dan bangkit. Berdiri.

Perlahan kubuka mata. Kuntilanak itu benar-benar sudah menghilang. Kutengok ke kanan, tidak ada. Kutengok ke kiri....

"Ba!" Kuntilanak itu mengagetkanku. Wajahnya yang berlumuran darah hanya berjarak beberapa jari saja.

"Aaaa...." Aku menjerit ketakutan. Terbangun dari tidur dengan nafas tak beraturan. Jantungku berdebar sangat cepat. Rasanya seperti baru saja selesai lari maraton. Di sisi lain, aku senang bisa lepas dari mimpi buruk itu. 

Kucoba bangkit, tapi tidak bisa. Badan terasa lemas sekali. Ini pertama kalinya aku bermimpi sampai kelelahan. 

Kuraih ponsel di atas nakas. Masih pukul dua malam. Firasat mengatakan kalau gangguan ini masih akan terus berlangsung.

Hihihihi....

Benar dugaanku, suara tawa itu muncul dari langit-langit kamar. Terpaksa aku harus tidur dengan earphone menempel di telinga.

Keesokan malamnya, Kuntilanak itu kembali datang ke dalam mimpiku. Mengejarku hingga masuk ke dalam hutan. Kini dia membawa teman-temannya. Empat Kuntilanak dengan wajah hancur.

Permintaannya masih saja sama. Aku harus bertanggung jawab karena tempat tinggalnya ditebang. Padahal ikut campur masalah penebangan pohon kersen saja tidak. Kenapa pula mereka meminta tanggung jawabku. Dasar makhluk aneh.

Lima hari sudah mereka bulak-balik ke dalam mimpiku. Bosan rasanya harus terus berlari. Walaupun itu hanya sebuah mimpi, tapi lelahnya akan terasa ketika terbangun. 

Malam ini, sebelum tidur, aku sudah bertekad untuk tidak terus berlari. Pokoknya harus berani menghadapi gerobolan Kuntilanak itu. Toh itu hanya sebuah mimpi, bukan dunia nyata. Aku memejamkan mata. Tidak lupa untuk berdoa sebelum tidur.

Tring!

Aku sudah berdiri di tengah hutan dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Kondisinya agak gelap. Hanya ada sedikit cahaya yang menembus di antara celah-celah dedaunan. 

Suara wanita cekikikan mulai terdengar pelan. Sudah pasti itu dari gerombolan Kuntilanak. Sepertinya mereka mulai mendekat. Suaranya semakin lama semakin nyaring dan bersahut-sahutan.

"Keluar!" teriakku.

"Ih, anak itu sudah mulai berani," balas suara tanpa wujud. Asalnya dari salah satu pohon besar di dekatku.

"Kamu kerjai saja," sahut suara lainnya.

"Ayo, keluar!"

Tak lama, terlihat Kuntilanak bergaun putih turun perlahan dari pohon di depanku. Entah bagaimana, cahaya rembulan jatuh tepat ditubuhnya. Membuatnya terlihat sangat jelas. 

Kepalanya bergoyang ke kiri dan kanan. Diikuti suara tawa yang melengking. Ada noda merah memanjang di sisi kiri gaunnya. Sepertinya itu darah yang mengalir dari keningnya.

"Kamu berani?" tanyanya.

"Ya!" balasku mendongakan kepala.

"Lebih seram lagi!" perintah suara tanpa wujud dari atas pohon.

"Baiklah." Kuntilanak itu memperbesar tubuhnya. Rambutnya yang panjang mengembang seperti ekor bunga merak. Matanya melotot. Dia tersenyum lebar, memperlihatkan robekan panjang di pipinya.

Nyaliku mulai menciut. Aku mundur perlahan, ketika dia melayang mendekat. 

Duk!

Langkahku terhenti, membentur pohon yang ada di belakang. Aku mulai terpojok. Sementara, Kuntilanak itu sudah semakin mendekat, sambil memainkan lidahnya yang menjulur panjang.

"Mau ke mana?" tanyanya disertai tawa cekikikan.

Aku hanya bisa berdiri mematung dan bersandar ke batang pohon besar. Terus menatap Kuntilanak yang kini berdiri di hadapanku. 

"Takut?" ledeknya.

Aku memejamkan mata. Lalu mulai merasakan sentuhan dingin di pipi. Bau busuk menyeruak, menusuk hidungku. Bercampur bau amis darah.

"Masih berani?" bisiknya. Hembusan nafas dingin terasa di telingaku.

Tak lama ada hentakan keras di tubuhku. Aku pun terbangun. Membuka mata, lalu menatap langit-langit kamar. Berusaha menenangkan diri dan mengatur nafas. Agar jantung yang berdetak cepat bisa kembali normal.

Aku beranjak dari tempat tidur, pergi menuju dapur. Mengambil segelas air, untuk membasahi tenggorokan yang kering. Ketika sedang meneguk air, hidungku mencium bau yang aneh. 

Bau busuk bercampur dengan amis darah. Baunya seperti menempel di hidungku. Bahkan sampai kembali ke kamar pun, masih tercium. Aku celingak-celinguk, melihat situasi kamar. Apa Kuntilanak itu ada di dalam kamar?

Kuliat jam di ponsel, masih pukul 11 malam. Berarti tadi baru tidur setengah jam. Aku berbaring di atas tempat tidur, sambil mendengar lagu-lagu rock kesukaanku. Setidaknya itu bisa meningkatkan keberanianku.

"Anggap aja itu badut, Amir!" Aku memberi sugesti pada diriku sendiri.

"Ingat, itu hanya mimpi!" lanjutku.

"Itu mimpiku, harusnya aku bisa melakukan apapun di sana!"

Aku terus memberi sugesti-sugesti positif, sambil berusaha tidur kembali.

Tring!

Aku kembali bermimpi di tempat yang sama, di tengah hutan. Mungkinkah ini yang namanya mimpi bersambung. Baru pertama kali aku mengalami hal seperti ini.

Kuedarkan pandangan, mengamati setiap pohon di sekelilingku. Tidak ada tanda-tanda kehadiran gerombolan Kuntilanak itu. Lalu, aku berjalan selangkah demi selangkah, mendekati pohon besar. Pohon yang menjadi tempat Kuntilanak di mimpi sebelumnya.

Aku menengadah, memperhatian batang-batang pohon itu. Namun, masih tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka. Ketika akan berjalan ke bagian belakang pohon.

"Ha!" Salah satu Kuntilanak muncul tiba-tiba, mengagetkanku. Reflek, tangan kananku mendarat ke pipinya. Sebuah tamparan yang cukup keras. 

"Aduh," teriaknya kesakitan.

"Rasain, mangkanya jangan suka ngagetin." Entah bagaimana saat itu aku menjadi sangat berani padanya.

"Awas ya." Kuntilanak itu melayang. Memanjangkan kedua tangannya ke depan. Lalu terbang seperti ingin mencekikku.

"Inget Amir ini hanya mimpi," batinku.

Kutepis tangannya yang pucat dengan kuku kehitaman itu. Hal itu membuatnya semakin marah. Terlihat dari bola matanya yang memerah. 

Dia kembali berusaha mencekikku. Kali ini kutarik rambutnya yang panjang. Hingga dia menjerit kesakitan dan menghilang. 

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita. Selanjutnya aku tidak ingat apapun. Yang jelas ketika bangun, cukup dikagetkan dengan gumpalan rambut panjang di atas tempat tidur. Entah itu milik siapa.

***

Hampir sebulan, mimpiku selalu sama. Namun kali ini lebih berwarna. Yap, yang tadinya aku dikejar-kejar gerombolan Kuntilanak. Kini berbalik aku yang mengejar mereka. 

Terkadang aku tarik gaunnya hingga jatuh tersungkur. Ada yang kupukul badannya, lalu menangis kesakitan. Intinya rasa takutku terhadap mereka benar-benar sudah menghilang.

Sampai....

Aku kembali bermimpi. Berdiri di tempat yang sama dengan mimpi pertamaku dulu. Ya, di pinggir sungai. Wanita itu pun hadir kembali. Tentunya itu salah satu dari Kuntilanak yang menerorku akhir-akhir ini.

Dia sepertinya sedang murung. Duduk di atas batu besar di pinggir sungai, dengan kedua kaki menyentuh permukaan air. Kepalanya menunduk. Dia pun tidak bereaksi ketika aku berjalan mendekat.

"Aku capek," keluhnya. Ternyata dia tau kalau aku sudah sangat dekat dengannya.

"Capek kenapa?" balasku sambil menghentikan langkah.

Wanita itu membalikan badan. Kami pun saling berhadapan.

"Capek mengikuti perintahnya. Sudah cukup sampai di sini saja."

"Perintah siapa?"

"Itu, Macan Besar di depan rumahmu."

Ya, aku ingat kalau ada Macan Besar di garasi rumah. Bukannya dia itu baik? Tapi kok....

"Memang dia nyuruh apa?"

"Dia memintaku menakut-nakutimu. Katanya itu demi kebaikanmu di masa yang akan datang."

"Kebaikanku?"

"Iya, sosok sepertiku ini banyak di sekitarmu. Jika kamu masih takut melihatku, bagaimana melihat sosok lain yang lebih menyeramkan," jelasnya.

"Sekarang aku sudah tidak takut lagi," balasku.

"Aku sudah tau. Entah berapa kali kamu menampar dan menjambak rambutku. Sakit tau!"

"Itu salahmu sendiri."

"Mau bagimana lagi, daripada Macan itu memakanku."

"Jadi kamu sebenernya bukan penghuni pohon kersen itu?"

"Aku penghuni pohon kersen itu. Tapi yang meneror warga itu Kuntilanak lain. Tepatnya kerjaan teman-temanku."

"Oh begitu. Terus sekarang kamu tinggal di mana?" 

"Di rumah kosong sebelah rumahmu."

Tak disangka percakapan kami mengalir begitu saja. Dia menceritakan banyak hal. Termasuk kejadian-kejadian di akhir hidupnya. 

"Siapa namamu?" Daritadi mengobrol aku sampai lupa menanyakan namanya.

"Canih."

"Hahahaha." Aku tertawa mendengar namanya itu.

"Ih... kenapa ketawa?"

"Namamu lucu."

"Jahat!" Dia memalingkan wajahnya, menatap aliran sungai.

"Ternyata Kuntilanak bisa juga ngambek. Aneh banget."

"Aku juga punya perasaan seperti kalian!" Dia memutar kepala 180 derajat. Terlihat horor tapi, aku sudah terbiasa.

"Ya udah, maaf."

"Oh ya, bagaimana bisa kamu ada di pohon kersen itu?" tanyaku.

"Aku mengikuti seseorang."

"Siapa?"

"Seseorang yang dekat denganmu?"

"Tetanggaku?"

"Bukan!"

"Lantas siapa?"

"Itu ... laki-laki yang tinggal denganmu."

"Kakakku?"

"Oh dia kakakmu."

"Sejak kapan kamu mengikutinya?"

"Sudah lama, tapi dia tidak sadar juga. Padahal aku sering membalas senyumannya ketika dia memetik satu persatu buah kersen."

"Memang dia bisa melihatmu?"

"Sepertinya tidak. Setiap kali aku ingin masuk ke mimpinya. Burung Besar itu melarangku. Begitu pula, ketika aku berusaha mewujudkan diri di depannya. Selalu gagal, ada sesuatu yang menghalangiku."

"Oh ya, aku baru ingat tentang Burung Besar berwarna emas itu."

"Apa kamu bisa memintanya untuk memperbolehkanku bertemu dengan kakakmu. Bertemu seperti ini saja sudah cukup. Di dalam mimpi."

"Aku tidak bisa berbicara dengannya."

"Nanti juga kamu bisa. Sekarang belum waktunya."

"Ya sudah aku pulang dulu," ucapku.

Aku sudah mulai bisa mengendalikan mimpi-mimpi aneh ini. Kata temenku sih itu bukan mimpi biasa. Memang bukan mimpi biasa, efeknya saja bisa membuat badan capek dan pegal-pegal.

***

Waktu sarapan, entah kenapa aku selalu tersenyum melihat kakakku, Dani. 

"Ada apa sih?" tanya Dani kebingungan.

"Kagak!" balasku.

"Lah itu senyum-senyum gak jelas."

"Enggak, Kak. Cuman tadi mimpi lucu aja."

"Mimpi apaan?"

"Mimpi kakak kecebur ke sungai terus hanyut."

"Mati dong!"

"Ih belum selesai, terus ditolongin cewe cantik. Cie...."

"Apaan ah, kagak jelas."

Semenjak malam itu, Canih jadi sering mengikutiku. Kadang ketika aku sedang bermain di lapangan kuliner bersama Dudi. Dia asik menonton kami bermain dari atas sutet. Ya... aku sudah mulai bisa melihatnya, walaupun belum begitu jelas.
close