Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 8) - Perang Batin


Bagian 8
PERANG BATIN

Keresahan menyelimuti raut wajah Lasno, meski sudah beberapa hari dirinya aman, di Pondok Pesantren yang di Asuh oleh Pak Hambali. Pikiranya masih terus terbayang wajah Anak, Istri dan cucunya.

Apalagi, mengingat kata-kata terakhir dari sosok Ratu Pambayun, sebelum kepergianya saat terjadi pertikaian dengan Pak Hambali, membuat jiwa Lasno langsung tercekam.

Sedangkan Pak Hambali sendiri, yang cidera saat berhadapan dengan Ratu Pambayun, baru saja terlihat pulih, setelah beberapa hari terbaring.

Seperti sore itu, Pak Hambali yang baru menyelesaikan kewajibanya sebagai seorang guru, berjalan perlahan mendatangi Lasno, yang duduk termenung di pendopo kecil, tempat biasa Pak Hambali menerima tamu umum.

"Assalamu'alaikum...." ucap Pak Hambali memberi salam, ketika sampai di pintu bertangga 7 tingkat, jalan masuk kedalam Aula.

"Wa'alaikumsalam...." jawab Lasno, sedikit kaget akan kedatangan Pak Hambali.

"Maaf, Pak. Saya tidak tau kalau Bapak ada di sini." sambung Lasno, tertunduk sungkan.

"Tak apa, Pak Lasno. Saya tau apa yang sedang Pak Lasno pikirkan. Tapi semua itu, tak mudah seperti dalam bayangan kita." sahut Pak Hambali, langsung menebak pikiran Lasno.

"Apalagi, Jin, iblis dan syetan semuanya penuh tipu muslihat dan sangat cerdik. Sehingga kita harus extra hati-hati ketika berhadapan dengan mereka." Sambung Pak Hambali.

Lasno sejenak menatap wajah teduh Pak Hambali, sebelum kalimat pertanyan, meluncur dari bibirnya.

"Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk menyelamatkan keluarga Saya, Pak? Saya rela meski harus Nyawa saya sendiri yang menjadi Badal mereka." ucap Lasno, penuh kesungguhan.

"Tak semudah itu, Pak. Alam mereka jauh lebih luas di banding Alam Kita. Jujur saja, saya sendiri mungkin tak akan sanggup jika berhadapan dengan Sang Ratu Hitam itu, kalau harus masuk dan berada di Alam mereka.

Karena ALLAH juga sudah memberi kuasa dan kebebasan kepada bangsa Lelembut, guna menggoda Bani Adam sampai Kiamat kelak." Terang Pak Hambali.

"Tapi kita juga tak boleh berputus asa, sebab putus asa menjauhkan kita dari Rahmat ALLAH. Kita akan tempuh cara lain untuk bisa membebaskan Keluarga Pak Lasno." Sambung Pak Hambali menjelaskan.

Lasno terpekur dalam diam mendengarkan semua kalimat yang di lontarkan Pak Hambali. Jiwanya yang masih terselimuti kekhawatiran berbaur amarah, sejenak terasa dingin.

Ada secercah harapan yang terkandung dari kalimat Pak Hambali, yang ia simpulkan, meski belum sepenuhnya mengerti.

"Cara apa yang bisa saya lakukan, Pak?" tanya Lasno tak sabar.

Pak Hambali terdiam sejenak, matanya menatap lurus semburat langit sore yang terpajang indah, sembari memikirkan jawaban yang di tunggu Lasno.

"Apakah Pak Lasno tau di mana menantu Bapak, mengubur Batur Anaknya?" ucap Pak Hambali yang balik bertanya.

Lasno tertegun, mendengar pertanyaan Pak Hambali yang tak di sangkanya. Keningnya seketika berkerut, mengingat kembali kejadian demi kejadian saat Win, Anaknya melahirkan.

"Maaf, Pak. Saya tidak tau dimana Sudiro mengubur Batur Pancer Cucu saya. Yang saya tau, dia memang yang membawanya." jawab Lasno, setelah beberapa saat berpikir.

"Apa ada tempat khusus di rumah menantu Bapak?" kembali Pak Hambali.

"Ada, Pak. Di sudut belakang rumah, seperti bangunan kecil. Tapi saya belum pernah lihat secara langsung. Sebab, tempat itu seperti di rahasiakan dan di jaga ketat." jawab Lasno, yang teringat kejadian di pagi hari, saat di belakang rumah Sudiro.

"Itu mungkin yang menjadi pintu masuk, dan pemujaan menantu Bapak. Dan mungkin, di situlah tersimpan Batur cucu Bapak, yang bakal menjadi pengikat Persekutuan dengan Ratu hitam." Ujar Pak Hambali, menerka.

"Maaf, Pak. Kalau memang tempat itu yang menjadi tempat Ratu Hitam itu, akan saya hancurkan! Apapun resikonya." ucap Lasno geram dan dengan sorot mata menyala menahan Amarah.

Pak Hambali mengalihkan pandanganya, ia kini menatap wajah merah Lasno, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri akan keseriusan ucapan yang baru saja di lontarkan Lasno.

"Saya siap, Pak. Meski nyawa saya menjadi taruhanya." ucap Lasno kembali untuk meyakinkan, seperti tau akan keraguan dari sorot mata Pak Hambali.

Waktu semakin bergulir. Keindahan cakrawala senja sedikit demi sedikit mulai sirna dan meredup. Seperti ikut merasakan beban pikiran dari Lasno dan Pak Hambali, yang masih berbincang penuh keseriusan, dan terhenti tepat saat terdengar Adzan Mahgrib berkumandang, dengan satu keputusan.

Malam baru saja beranjak, dengan kegelapan menyelimuti yang sudah menjadi kodrat Alam dari SANG MAHA PENCIPTA.

Hawa dingin yang biasa di rasa, saat kabut-kabut tipis mulai bersliweran, di rasakan lain oleh sesosok perempuan 40an. Keresahan terpancar jelas dari wajah tirusnya, yang tengah duduk sendiri di sebuah sofa panjang di ruangan rapi nan mewah.

Matanya menatap keluar dari kaca jendela yang masih tersingkap tilam putih sebagai penutup, seperti tengah menantikan sesuatu. Hingga tanpa sadar, jika ada langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

"Ibu... Ibu kenapa? Sepertinya ada sesuatu yang Ibu pikirkan." Satu suara lembut menyapanya, sedikit membuatnya kaget dan membuyarkan lamunannya.

"Enggak kok, Nduk. Ibu cuma kepikiran Bapakmu. Sudah seminggu kok gak datang-datang." Sahut wanita, yang tak lain adalah murni, Istri Lasno.

"Mungkin Bapak sedang sibuk banget, Buk. Jadi belum bisa datang kemari." Sahut wanita muda bergaun putih dombor, Winarni.

Murni tak menyahut ucapan Win. Tapi, ia juga seperti tengah mencerna ucapan anaknya, seolah percaya, atau hanya sekedar menjadi penghibur batinya.

Namun jauh dalam lubuk hati Murni, ia merasakan ada hal aneh, lain dan berbeda dari malam-malam sebelumnya, yang ia sendiri belum jelas asal sumbernya.

"Sudahlah, Buk. Jangan terlalu di pikirkan. Win yakin, Bapak baik-baik saja." ucap Win, mencoba kembali, menghibur Ibunya.

Baru saja Win akan ikut merebahkan tubuhnya di kursi samping Ibunya, tiba-tiba suara tangisan dari bayi mungilnya, membuatnya urung dan beranjak kembali ke kamarnya.

Murni yang melihat melangkah meninggalkanya, merasa aneh melihat pakaian yang di kenakan Win, serta bau tubuh Win yang tak seperti biasanya. Ia baru menyadari semuanya, setelah Win masuk kedalam menenangkan sang buah hati.

"Kenapa aku merasa ada yang aneh dalam diri Win, malam ini...." gumam Murni dalam hati, namun segera ia buang cepat-cepat pikiran liarnya.

Murni yang sudah mulai bosan duduk sendiri di ruang depan, sekilas menatap jam dinding yang tergantung di tembok sebelah kananya, sebelum bangkit dan melangkah mendekati jendela berniat menutup kain horden bertilam putih.

Tapi baru saja tanganya meraih tali pengikat, matanya di kejutkan satu bayangan siluet hitam yang melintas di halaman depan.

Sejenak ia mengurungkan niatnya menutupkan kain horden. Matanya mengedar mencari bayangan yang begitu cepat berlalu,-

namun sampai beberapa saat, ia tak lagi melihat bayangan itu kembali, membuatnya meneruskan menutup rapat semua jendela.

Setelah merasa selesai, Murni melangkah berniat menuju ke kamarnya. Namun saat baru tiga langkah beranjak, Murni kembali di kejutkan hembusan angin kencang, yang masuk dari jendela dan menyibak kembali kain penutup.

Sadar dengan hal aneh itu, Murni kembali membalikan tubuhnya dan mendekati jendela. Lagi-Lagi, Murni hanya melihat halaman bertaman dengan pencahayaan remang yang sunyi dan kosong.

Hal aneh baru Murni rasakan saat kembali sapuan angin tak begitu kencang, membawa bau wangi Mawar dan Kamboja, melewati wajahnya.

Sejenak Murni terpaku memikirkan asal wewangian bunga yang khas, sebelum seklebat bayangan melayang dan melewati jendela, tepat di depanya.

Murni yang terkejut, tersurut mundur dengan wajah memucat, saat sekelebat bayangan putih itu berdiri di halaman membelakanginya.

Belum hilang rasa kaget Murni, kembali ia di buat tercekat yang seketika membuat tubuhnya terasa dingin,-

saat lamat-lamat telinganya mendengar suara tangisan lirih dari bayangan bergaun putih dan berambut panjang, yang belum terlihat wajahnya.

Tapi dari bentuk tubuh dan rambutnya, Murni seperti tak asing dengan sosok itu.

"Gak mungkin... Gak mungkin...."gumam Murni lirih, meyakinkan penglihatanya.

Namun keyakinan Murni terpatahkan, saat sosok itu membalikan tubuhnya dan kemudian terlihat jelas wajah pucat sama persis dengan Winarni, tengah menangis lirih penuh kepiluan.

"Nduk Win! Kamu...." Tak kuasa Murni meneruskan kalimatnya.

Ia menutup rapat mulutnya dengan telapak tangan, saat sosok sama persis dengan putrinya, tiba-tiba melayang mundur seperti di tarik satu kekuatan.

Tak hanya itu, tubuh Murni semakin menggigil ketakutan, ketika telinganya kini tak hanya mendengar tangisan lirih dari sosok sama persis putrinya, melainkan satu suara nyayian tembang jawa merdu, di iringi tabuhan Karawitan yang terdengar menyayat.

Desiran darah dalam tubuh, di rasa Murni, seolah terhenti. Jantungnya yang berdetak kencang, seperti sudah terlepas dari raga. Melihat semua penampakan yang terpampang nyata penuh kengerian.

Tubuh Murni semakin terasa dingin, tak kala iring-iringan layaknya sebuah pesta, lengkap dengan sebuah Gagar Mayang. Di tambah iringan musik Karawitan, dengan senandung tembang macapat, di syairkan begitu nyaring bernuansa penuh mistis, membuat Murni semakin tercekam.

Kedua kaki Murni seolah terpaku dan kaku, manakala satu iringan sebuah keranda yang di pikul oleh empat sosok, melewati halaman depan menuju halaman belakang. Sesaat mata Murni terasa celong, mendapati satu sosok yang duduk di dalam keranda, sama persis dengan Win, Putrinya.

Bibir Murni terkatup rapat. Wajahnya pucat mempias, meski iring-iringan sudah berlalu dari pandanganya.

Tak berapa lama setelah menghilangnya iringan pembawa keranda, tubuh Murni terduduk lemas. Isak tangisnya pecah menahan rasa takut, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Sebentar, suasana terasa hening. Ketika Murni menghentikan isak tangisnya. Tapi tak lama setelahnya, berganti kepanikan saat ia teringat akan keadaan Win.

Di paksanya tubuh dan kakinya untuk berdiri dan melangkah menuju salah satu kamar,-

yang di tempati Win serta bayi mungilnya. Derap langkah Murni yang terdengar buru-buru, terpaksa terhenti di depan pintu kamar. Wajahnya bertambah panik, saat mendapati kamar Win tampak rapi namun kosong.

"Nduk, Win!" jerit Murni tertahan.

Kepanikan dan rasa takut membaur dalam diri Murni. Setelah memeriksa seluruh kamar, ruangan dan tiap sudut rumah, namun tak juga menemukan sosok Win maupun bayinya, membuatnya hanya bisa pasrah dan menangis tersedu.

Tubuh Murni yang terduduk dan menyandar di tembok ruang belakang, seketika terjingkat, mendengar alunan tembang lirih dari teras belakang. Perlahan tubuhnya bangkit,-

langkahnya pelan menapak lantai marmer sambil terus mendengarkan lantunan tembang, yang biasa ia dengar dari orang tua dahulu, saat menidurkan anaknya.

Hembusan-Hembusan angin malam dari pintu belakang, yang entah sejak kapan sudah terbuka, sedikit mengibas rambut Murni.

Seakan ikut menyambut langkah Murni yang hampir sampai di pintu. Numun sejenak Murni menghentikan kakinya melangkah. Ada keraguan yang tiba-tiba menyergap, ketika hidungnya mencium wangi bunga Mawar berpadu Kamboja, begitu menyengat.

Murni yang masih terdiam ragu, di ambang pintu belakang, kembali tersentak. Saat satu suara lirih sangat di kenalnya, memanggilnya berulang-ulang.

"Ibu... Ibu... Ibu...."

Kembali suara lirih memelas, terdengar bergantian dengan suara merdu yang masih terus menyintren.

"Nduk, Win." gumam Murni, sambil menunduk, memastikan.

Setelah berpikir beberapa saat, kaki Murni akhirnya melangkah kembali dan berhenti tepat setelah melewati pintu belakang.

"Deg"

Jantung Murni seolah berhenti berdetak. Tubuhnya gemetar dengan mata melotot tajam, ketika di lihatnya sesosok wanita berkemben tengah menggendong dan menimang Cucunya.

Tapi sepertinya, bukan itu saja yang membuatnya menggigil ketakutan. Melainkan puluhan makhluk mengerikan yang berdiri memenuhi teras dan halaman belakang rumah.

Makhluk-makhluk yang tadinya ia lihat datang beriringan dengan membawa gagar mayang dan memikul keranda, kini tampak berkumpul dan seperti tengah ikut mendengarkan alunan tembang,-

yang tengah di lantunkan sosok perempuan berselip bunga mawar dengan menggendong Bayi laki-laki mungil, cucu pertamanya.

"Ibu... Tolong Win, Buk. Ibu...."

Tubuh Murni yang sudah seperti lumpuh, kembali terhenyak mendengar suara Win, yang memanggil dan meminta tolong dengan begitu memelas. Mata Murni kemudian mengedar pelan, dan mendapati Win, terbaring dalam ikatan rantai kecil di dalam keranda tak bertutup.

"Win...."

Hanya itu suara yang keluar dari Murni, sebelum satu tawa keras mengejutkan dan membuatnya seketika terduduk bersimpuh tanpa daya. Tawa melengking yang terus membahana dari sosok wanita ayu bertapi kain jarik bercorak, seperti melolosi tulang-tulang Murni.

Wajahnya yang menunduk dan terbasahi air mata, menyiratkan satu kepasrahan. Jangankan untuk bangkit, menengadahkan wajahnya saja, Murni seperti sudah tak sanggup. Hanya sesekali bibirnya yang bergetar menyebut sebuah nama berulang-ulang, nama Lasno, Suaminya.

Sayatan dalam hatinya semakin terasa perih, saat tetabuhan karawitan kembali terdengar bersamaan jeritan Win, yang begitu memilukan. Tergagap Murni dan sedikit ia paksakan wajahnya menengadah, demi melihat Win yang masih terus memekik meminta tolong.

Tangis tanpa suara Murni, menjadi saksi kepergian puluhan makhluk-makhluk mengerikan, yang kembali memikul keranda berisikan tubuh Win, dengan iringan tetabuhan karawitan, menuju lebih kebelakang dan menghilang, di telan gelap malam.

Namun, satu sosok perempuan yang masih menggendong bayi mungil, tampak belum beranjak. Ia masih begitu ceria menimang bayi laki-laki yang tertidur, tanpa memperdulikan Murni.

Suaranya masih terdengar nyaring melantunkan lirik-lirik tembang macapat yang begitu khas, seolah ada makna khusus yang terkandung di dalamnya. Sampai beberapa saat kemudian, sosok itu menghentikan liriknya.

Wajah ayunya menengadah ke atas sembari memejamkan matanya. Bibirnya bergerak cepat seperti tengah merapal sesuatu, sebelum kembali tertawa melengking sambil menatapi bayi mungil dalam dekapanya.

Murni yang masih tersimpuh dan sedikit memiliki kesadaran, kembali melihat satu kengerian. Saat sosok perempuan itu mendekatkan mulutnya pada wajah sang bayi, seketika lidah panjang dan hitam menjulur, menjilati seluruh tubuh bayi mungil laki-laki, anak Win dan Diro.

Nafas Murni tersengal, dengan mata menciut dan sayu, saat sosok perempuan yang baru saja selesai menjilati tubuh bayi dengan lidah hitam berlendir, mendekatinya.

Senyum sinis nampak menghiasi sudut bibirnya, seperti seringaian yang di tujukan pada Murni, sebelum satu ucapan menjadi yang terakhir Murni dengar.

"Ini sudah menjadi takdirnya ibu dari anak ini, harus menjadi abdi inangku. Dan besok anak ini yang akan meneruskan tetalen abdi sasongko jati"

Lolongan Anjing malam yang bersahut-sahutan, dengan suara melengking, menyayat, seakan di rasakan ganjil oleh Lasno.

Dirinya yang mengemudikan Mobil tua, bersampingan dengan Pak Hambali serta dua orang santri pilihan, merasakan nyeri tak mengenakan sedari awal ia berangkat.

Apalagi, suara lolongan yang terdengar menyeramkan bagi sebagian besar orang, seakan ikut mengiring tiap putaran roda mobil lawas Lasno.

"Semoga tidak terlambat!"

Lasno sedikit memalingkan wajahnya mendengar gumam lirih Pak Hambali.

Kecemasan semakin menggurat, manakala bayangan Win dan Istrinya, kembali mengusik dan menari-nari di pelupuk matanya.

Hembusan angin malam semakin menderu kencang, saat mobil Lasno berbelok, memasuki jalan kecil beraspal, dan berjarak beberapa ratus meter dari rumah yang menjadi tujuan utamanya membawa Pak Hambali.

Sunyi, kesan awal saat mobil Lasno berhenti di tepi jalan depan rumah Sudiro. Cahaya remang dari lampu-lampu taman dan teras yang hanya beberapa watt,-

menambah kesan angker dengan kabut-kabut tipis bersliweran menutupi, seolah menyambut kedatangan ke empat orang yang baru turun dari Mobil.

"Astaghfirullah!"

Lagi-lagi, wajah Lasno mempias mendengar sebuah kalimat yang di gumamkan Pak Hambali. Apalagi, saat itu Pak Hambali mengucapkanya dengan mata menyorot tajam halaman rumah yang beberapa bulan menjadi naungan anaknya.

"Kang Hanif, Kang Hakim, tolong Tasbih dan Sorban saya!" seru Pak Hambali, meminta tolong pada kedua santrinya.

Dua Santri itu kemudian menyerahkan seuatas tasbih hitam kecoklatan beserta sebuah kain Sorban berwarna putih, menebarkan wangi kasturi putih yang begitu khas.

"Ada apa, Pak?" tanya Lasno lirih, yang melihat wajah Pak Hambali menegang, saat akan melangkah masuk ke dalam halaman remang berhawa lembab.

"Ada kekuatan luar biasa hitamnya, yang mengurung tempat ini. Kita harus hati-hati,

Iblis punya segala cara tipu muslihat untuk mencelakai kita. Jangan putus berdoa dan berdzikir." Sahut Pak Hambali, sembari memberi pesan.

Keringat mulai membasahi tubuh Lasno dan kedua santri yg melangkah di belakang Pak Hambali. Rasa takut juga mulai tersembul dari wajah ketiganya, saat kaki mereka mulai menapak halaman bertaman, dengan nuansa alam berbeda hawa, sangat di rasa jika di bandingkan dengan hawa di luar.

"Monggo, Pak Lasno." ucap Pak Hambali pada Lasno, ketika mereka sampai di teras.

Lasno yang di persilahkan, sejenak terdiam ragu. Namun, satu tepukan pelan dari tangan Pak Hambali, seketika memantapkan dan menguatkan hatinya mendekati pintu bertralis yang tertutup rapat.

Ketukan-ketukan pelan di sertai panggilan, Lasno ulang-ulang beberapa kali, tapi tak ada sahutan apapun dari dalam.

Tak putus asa, Lasno kembali mengetuk dengan suara panggilan yang lebih keras, namun tetap saja, hening dan hanya hembusan angin lembab yang Lasno rasakan.

Lasno kembali mundur dan menghampiri Pak Hambali, yang berdiri memandang lurus rumah mewah yang tampak gelap isi di dalamnya. Tanganya masih terus memutar butiran-butiran Tasbih, seraya bibirnya melafal kalimat-kalimat suci yang di ikuti kedua Santrinya.

Sejenak Pak Hambali terdiam, ketika Lasno mendekat dan menggelengkan kepalanya pelan, sebelum akhirnya beliau memejamkan kedua matanya.

Wajah Lasno semakin menegang. Kegusaran dan kecemasan semakin ia rasakan. Seperti tak sabar menunggu Pak Hambali, yang masih memejamkan mata. Hingga beberapa saat kemudian, tarikan nafas Pak hambali terdengar lirih namun memburu.

"Pak Lasno, kita kebelakang!" Pak Hambali menyeru sambil bergegas beranjak, tanpa menunggu Lasno menjawab.

Lasno dan kedua santri, segera menguntit langkah cepat Pak Hambali, meski mereka sendiri belum tau sepenuhnya apa yang menyebabkan Pak Hambali buru-buru mengajak ke belakang dengan wajah tegang.

Wajah Pak Pak Hambali sejenak tertegun, ketika sampai di batas bangunan rumah yang menghubungkan area halaman lumayan luas, dan hanya bercahayakan sorot lampu teras belakang.

Merasakan keanehan tempat yang sebentar kemudian di penuhi kabut-kabut hitam bergelombang, dengan hawa tiba-tiba sangat dingin menusuk.

Bingung dan heran di rasakan Lasno dan kedua santri yang berdiri di belakang Pak Hambali. Apalagi, bagi Lasno, yang sudah beberapa kali tinggal dan menginap di Rumah itu, belum pernah merasakan hal seaneh yang kini ia rasakan begitu nyata.

"Rupanya, kita di paksa untuk masuk ke alam mereka." Tetiba Pak Hambali berucap, yang semakin membuat Lasno dan dua santri semakin bingung. Sebab, dalam pandangan mereka, hanya kabut hitam berhawa dingin yang mereka lihat dan rasakan saat itu.

"Kang Hanif dan Kang Hakim, siapkan diri kalian!" Perintah Pak Hambali, yang langsung di sambut kesiapan dua Santri, dengan duduk bersila beralaskan tanah dan bersampingan.

"Pak Lasno, silahkan pegang pundak saya dan pejamkan mata."

Lasno yang masih di landa rasa penuh kebingungan, dengan wajah pasrah mengikuti semua perintah Pak Hambali, yang maju tiga langkah dari tempat awal berdiri, di mana kedua Santri sudah duduk bersila sembari membaca lantunan ayat-ayat kalimah Suci.

Desiran panas di rasa Lasno, saat tanganya menyentuh pundak Pak Hambali. Yang kemudian susul klebatan bayangan bersliweran di pelupuk mata, dengan suara geraman-geraman ramai riuh memenuhi gendang telinganya.

Lasno benar-benar tercekat, ketika tepukan pelan di tanganya yang menempel di pundak Pak hambali, membuatnya membuka mata. Wajahnya memucat, mendapati puluhan sosok-sosok hitam berwajah hancur penuh darah,-

berdiri mengelilingi sambil melototkan mata dan menjulurkan lidah panjang berlendir, ke arahnya dan Pak Hambali.

"Tempat apa ini, Pak.?" lirih dan bergetar suara Lasno bertanya pada Pak Hambali.

"Inilah Saung Iblis, sesembahan menantu Bapak, yang tampak seperti rumah mewah." Berdesir cepat seolah-olah darah Lasno, begitu mendengar jawaban Pak Hambali.

Ketakutan dan kengerian semakin membayang dalam benaknya, mengingat kembali wajah Win dan Istrinya, yang ternyata selama ini hidup bersama-sama dalam ruang lingkup, lingkaran Syetan.

"Lancang! Menungso ra keno di warah!" (Lancang! Manusia tidak tau aturan)

Gemetar tubuh Lasno mendengar bentakan keras, dari sesosok wanita berkemben yang sudah ketiga kalinya ia lihat.

"Bakal menjadi pancang jenggoloku! Kalau tetap memaksa memutuskan ikatan tali bocah sasongko"

Kembali suara nyaring nan menakutkan dari sosok Ratu Pambayun menggema, dengan baluran sebuah ancaman.

"Saya tidak ingin menantangmu! Tapi, saya datang untuk mengambil yang bukan menjadi hakmu!" tak kalah sengit suara Pak Hambali, menjawab penuh keberanian.

Gemuruh angin seketika berdebur seakan ingin menggulung tubuh Lasno dan Pak Hambali, saat geraman kuat Ratu Pambayun menjadi jawaban atas ucapan Pak Hambali.

"Punya hak apa kamu, atas manusia-manusia yang memujaku!" kembali sentakan sengit dari sosok Ratu Pambayun, yang kini berjarak beberapa langkah dari Pak Hambali dan Lasno.

"Aku ingin kamu, mengembalikan dua wanita yang kamu ambil untuk menjadi pengikutmu. Ketahuilah! Mereka tidak tau apa-apa atas persekutuanmu."

Tegas dan keras, suara Pak Hambali lantang menggema. Namun, sepertinya tak membuat Sang Ratu Pambayun takut atau gentar.

Satu sunggingan sinis seolah mengejek, terlihat dari sudut bibir Ratu Pambayun, sebelum ia memberi satu isyarat pada puluhan sosok hitam berwajah hancur, untuk menyerang Lasno dan Pak Hambali.

"Blaarrr... Blaarrrr...."

Kesunyian malam yang sudah masuk dini hari, seketika terusik dengan beberapa kali dentuman memercikan api, dari sisi sebelah kanan rumah mewah Sudiro.

Asap-asap tebal mengepul berkejaran memenuhi sekitaran halaman belakang, seperti sedang mengurung empat sosok tubuh yang tengah terduduk dengan mata terpejam.

Wajah ke empat sosok lelaki menegang kencang. Dengan keringat terlihat begitu jelas mengucur deras, membasahi tubuh mereka.

Beberapa saat kemudian, suasana semakin mencekam. Saat kabut-kabut hitam tebal membentuk bayang-bayang,

berbenturan dengan klebatan bayangan putih yang tiba-tiba muncul dan menghadang. Seketika, halaman belakang yang hanya terlihat empat sosok dan kabut hitam serta bayangan putih, terdengar riuh suara geraman di sertai deburan angin bergemuruh.

Hawa panas membara sejenak begitu terasa, tersulut dari pecahnya gumpalan kabut hitam yang memudar membentuk kepulan asap tipis, di barengi dengan jeritan-jeritan mirip suara ringikan Kuda.

Tak berselang lama, suara dentuman keras kembali terjadi, manakala sebuah bola api muncul dari bangunan kecil yang terletak di sudut halaman, melayang dan jatuh tepat di depan dua sosok lelaki muda sedikit gondrong.

Tubuh kedua sosok yang tak lain adalah santri Pak Hambali, terpental jauh kebelakang.
Lenguhan dan rintihan sebentar terdengar, sebelum berganti suara batuk dengan menyemburkan darah, keluar dari mulut Hanif dan Hakim, dua Santri Pak Hambali.

Nafas Hanif dan Hakim tersengal dengan mata mengerjab, ketika mereka sedikit menunduk dan mendapati bagian dada mereka berwarna biru kehitaman membulat, mengepulkan asap tipis.

Di saat bersamaan, tak jauh dari tempat mereka, sebuah siutan merah menyala secepat kilat menyambar-nyambar yang kembali berbenturan dengan liringan cahaya putih, mengakibatkan tempat itu sekejap terang benderang.

Gelegar suara benturan cahaya merah dan putih yang baru saja reda, rupanya bukan menjadi sebuah akhir. Sebab, tak sampai lima tarikan nafas, gemuruh tetabuhan kencang terdengar bersama derap-derap langkah bersuara gemerincing dan ringikan Kuda.

"JANGER!"

Seru Pak Hambali, tersentak. Ketika baru saja membuka mata dan tersadar dengan kehadiran suara gamelan serta tetabuhan berirama kencang memburu tanpa nyayian.

"Pak Lasno! Cepat ambil Istri bapak di dalam!"

Lasno yang masih terbengong dengan keadaan sekitar, tergugup bangkit dari duduknya. Ketakutan yang masih menjalari dalam dirinya sedari mengikuti Pak Hambali masuk ke alam sebelah, terlihat lebih mencuat saat matanya melihat kepanikan pada wajah Pak Hambali.

"Tapi, ingat! Jangan hiraukan apapun, meski itu sosok anak, bahkan cucumu sendiri."

Pesan Pak Hambali sebelum Lasno mengangguk penuh tanda tanya dan melangkah mendekati pintu belakang rumah Diro, yang terlihat sudah terbuka.

Bercampur baur perasan Lasno saat itu. Antara takut, bingung, penuh kecemasan mendengar pesan tegas dari Pak Hambali. Apalagi, hawa dingin lembab langsung menyentuh kulitnya, ketika langkahnya memasuki teras belakang rumah Diro yang berpilar kayu dengan lekukan ukiran jawa kuno.

Lasno terdiam sebentar, dengan raut menegang mendapati angin lembut beraroma wangi melati dan kamboja, berhembus menerpa wajahnya yang baru berada di ambang pintu.

Sedikit ragu Lasno melangkahkan kakinya memijak lantai marmer ruang belakang, sebelum teriakan keras Pak Hambali kembali terdengar.

"Cepat, Pak Lasno! Jangan sampai terlambat."

Lasno kembali menguatkan dirinya. Setapak demi setapak langkahnya dengan cepat melewati lorong dan ruang-ruang bercahaya pendar guna mencari sosok Istrinya.

Sampai beberapa lama dan hampir semua ruangan serta kamar sudah di masuki Lasno. Namun, dirinya tak menemukan sosok Istri atau apapun. Hanya ruang-ruang kosong berbau arus menyengat, yang membuatnya semakin tersusupi rasa takut luar biasa.

Kini, hanya tinggal satu kamar yang menjadi harapan terakhir Lasno. Kamar dengan posisi terletak paling ujung di belakang dan biasa ia tempati bersama Istrinya ketika datang menginap, yang sebenarnya sudah terlewati saat ia masuk awal.

"Jangan kamu buka... Jangan kamu buka...."

Suara-Suara lembut, seketika membisik di telinga Lasno, saat tanganya yang sedikit gemetar menekan gagang pintu berlapis kuningan.

Perlahan, daun pintu yang di dorong tangan gemetar Lasno terkuak. Sekilas terlihat ruang kamar bercahaya redup, nampak biasa saja, sebelum satu hembusan angin kencang berkekuatan, menghantam tubuh Lasno hingga terjengkang.

Mata Lasno spontan melotot, setelah dirinya bangkit dan mendapati pintu yang sudah terbuka lebar, membuatnya bisa melihat dengan jelas isi ruang kamar, di mana sebujur tubuh berbungkus kain putih bersih terbaring di tengah ranjang bertabur bunga.

"Win!" gumam Lasno.

Seketika, rasa sakit yang baru saja menderanya, seolah hilang. Kala Lasno mengenali sosok yang terbaring adalah anaknya, Winarni. Namun, lagi-lagi. Lasno kembali harus tercekat.

Saat akan masuk kedalam kamar dan baru melewati satu langkah dari pintu, matanya di hadapkan satu pemandangan tak kalah mengejutkan, oleh sesosok wanita yang duduk menyandar tembok, menyelonjorkan kedua kakinya.

Berdesir darah Lasno memuncak. Ketakutanya sejenak hilang terkalahkan amarah yang bergejolak, melihat tubuh istrinya membiru dengan mata terbuka, mendongak ke atas.

"Murni!" teriaknya keras seraya menghambur.

"Murni! Sadar, Murni!" seru Lasno yang mulai di barengi isakan.

Nafas Lasno tersengal saat merengkuh tubuh kaku Istrinya. Wajahnya merah padam, menadakan satu letupan emosi berkumpul di kepala.

Namun itu tak berlangsung lama. Sesaat setelah Lasno puas akan tangisan amarah, wajahnya kembali memucat. Rasa takutnya kembali mencuat ketika menyadari jika di sekelilingnya sudah berdiri puluhan mahluk hitam bermata bolong.

Terlebih, kala matanya mengedar lebih luas ke sekeliling kamar, di atas ranjang, di sisi kanan kiri tubuh Win, puluhan pasang mata merah sedang menatapinya.

Lasno benar-benar dalam titik terendah. Tak mampu lagi tubuhnya bangkit. Air matanya mengering, berganti keringat dingin yang membanjiri sekujur tubuh lemahnya.

"Pak Hambali, tolong saya, Pak." Hampir tak terdengar gumaman Lasno, yang baru ingat keberadaan Pak Hambali.

Lasno menundukan kepalanya dengan tangan masih merengkuh tubuh Murni, menandakan satu kepasrahan. Manakala sosok-sosok hitam bermata bolong menjulurkan tangan dan lidah panjang berlendirnya, seperti bersiap ingin melumat tubuhnya.

Di saat-saat Lasno yang sudah pasrah dalam ketidak berdayaan, satu sentakan kuat dari suara lantang menusuk gendang telinganya, seketika bagaikan sebuah sengatan mengaliri tubuhnya.

"Cepat bawa Istrimu keluar!"

Kembali suara yang tiba-tiba sanggup menghentakan jiwanya, untuk kedua kalinya terdengar nyaring dan lantang di telinganya.

Lasno yang tau siapa pemilik suara itu, menengadahkan sebentar wajahnya. Pikiranya kembali mengingat akan pesan tegas Pak Hambali, agar ia tak menghiraukan apapun. Maka, saat itu juga, ia mengangkat dan membopong tubuh kaku Istrinya.

Sekilas matanya melirik ke arah ranjang, ke tubuh terbujur pucat yang di kelilingi puluhan sosok wanita bergaun putih dan berambut panjang, dengan mata merah menyala.

Ada rasa iba dan tak tega dalam hatinya yang tersembul dari tatapanya, terhadap sosok itu. Namun sebuah pesan yang terus ternginang-ngiang, mendorongnya begitu kuat untuk segera meningggalkan tempat itu.

Sehingga, dengan perasaan tak menentu, Lasno memantapkan kakinya cepat-cepat keluar dari kamar yang di penuhi wangi bunga dan busuk membaur bersama puluhan sosok mengerikan.

Tiga langkah Lasno keluar dari kamar dengan membopong tubuh Istrinya, lagi-lagi ia di buat terkejut dengan sesosok lelaki tua berjubah dan berikat kepala hitam, yang berdiri di sebelah kanan pintu sembari menyeringai.

Wajahnya yang garang dengan kerutan, sedikit tertutupi asap dupa dan kemenyan yang mengepul tebal dari tungku tanah liat sebesar cerek, menempel di dadanya dengan kedua tangan menyangganya.

Meski tak begitu jelas, Lasno menangkap kilatan nyalang dari sorot kedua matanya. Lasno yang sadar akan keadaanya, tak ingin membuang-buang waktu. Ia kembali meneruskan langkahnya walaupun Sang lelaki tua terus menatapi dan mengikutinya, namun Lasno seolah tak memperdulikan.

Bahkan, ketika puluhan tangan-tangan kurus hitam ingin menariknya, Lasno tak menghiraukan lagi. Ia masih terus berjalan cepat melewati lorong dan pintu belakang hingga sampai teras yang di penuhi siluet-siluet hitam, seperti sengaja menantinya.

"Jangan hiraukan!"

Lagi, suara yang sedari awal menuntunya, kembali menyentak Lasno yang terlihat sedikit ragu untuk melewati kerumunan bayangan-bayangan hitam di halaman.

Lasno terdiam sejenak, di tariknya nafas dalam-dalam, untuk memantapkan langkahnya.

Auman, ringikan, dan geraman-geraman dari bayangan-bayangan hitam mempiaskan wajah Lasno. Di tambah lambaian tangan-tangan hitam yang menjulur ingin meraih tubuhnya, sedikit menyulitkan langkahnya.

Namun tak berselang lama, bayangan dengan tangan-tangan hitam yang ingin menarik tubuh Lasno, seketika terhenti oleh liringan bercahaya putih memanjang bagaikan sebuah kilat yang menerjang.

Membuat pekikan-pekikan melengking bersahutan, kemudian di akhiri suara bentakan keras meredakan gemuruh riuh dan melenyapkan gumpalan kabut-kabut hitam.

"Alhamdulillah... Pak Lasno berhasil membawa raga Istri Bapak." Sambut syukur Pak Hambali, ketika sosok Lasno yang sudah kepayahan, muncul dengan membopong tubuh Istrinya.

Lasno hanya tertegun tanpa menjawab, melihat Pak Hambali, juga sedang menggandeng dua santrinya yang tertatih lemah.

"Mari, Pak Lasno. Kita cepat tinggalkan tempat ini. Waktu sudah hampir subuh." ajak Pak Hambali, sambil memapah dua santrinya berlalu lebih dulu menuju mobil. Tanpa memperdulikan dua pasang mata yang mengawasi dari balik gelapnya malam di sisi sebelah kiri rumah bertaman tersebut.

"Bagaimana keadaan Istri saya, Pak?"

Suara Lasno terdengar serak parau, saat menanyakan keadaan istrinya pada Pak Hambali.

"Tenang, Pak Lasno. Kita pasrahkan pada ALLAH." jawab Pak Hambali, menghentikan sejenak lantunan Dzikir yang terucap sedari mobil yang di kemudikan Lasno, meninggalkan kediaman Sudiro.

Lasno, yang masih terlihat cemas dan panik menarik nafas dalam-dalam. Matanya kembali fokus menatap jalanan gelap dengan tangan masih gemetar memegang stir kemudi.

Lantunan Dzikir kembali terdengar begantian dengan rintihan Hakim dan Hanif yang duduk bersandar lemah di jok belakang. Sedangkan Murni, terbaring di kursi tengah masih dengan keadaan yang sama, mata melotot serta mulut sedikit terbuka.

Satu malam yang penuh kengerian dirasakan begitu panjang oleh Lasno, Pak Hambali serta dua Santrinya. Meski berhasil lolos dengan membawa Murni, namun harus dibayar dua santri yang terluka.

Tak cukup itu saja, sesaat setelah mobil Lasno sampai di halaman Pondok Pesantren, satu tanda tanya sejenak menyelimuti benak Lasno dan Pak Hambali, melihat kerumunan para Santri ramai di Aula.

Bahkan, suara gemuruh lantunan Surah Yasin dari dalam terdengar hingga di halamam, membuat sedikit terburu Pak Hambali untuk segera keluar dari dalam mobil. Dua orang santri yang tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Sang Kyai, sebentar tertunduk, sebelum menceritakan apa yang terjadi.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...."

Guratan kesedihan seketika menghiasi wajah Pak Hambali, setelah mendengar satu kabar duka dari dua santrinya.

Begitu juga dengan Lasno, yang baru tiba di belakang Pak Hambali. Bahkan, kedua bibirnya terlihat gemetar yang menunjukan kesedihan mendalam, saat salah satu dari santri itu menyebut dengan jelas sebuah nama, Mbah Ilyas.

Sebentar kemudian, suasana pondok yang biasa di ramaikan bacaan Nadhom-Nadhom hafalan Kitab dari para santri setelah menunaikan sholat subuh, pagi itu berganti di ramaikan lantunan Ayat-Ayat Suci Al Quran tiada putus sampai fajar menyingsing.

Kesedihan sangat terasa menyelimuti ruang lingkup Pesantren beserta seluruh penghuninya yang tengah di rundung ujian berat. Bukan saja karena meninggalnya Mbah Ilyas, melainkan empat santri yang ikut terluka parah dan di lengkapi Murni, yang juga belum tersadarkan.

Lasno, yang ikut memandikan jenazah Mbah Ilyas, tak mampu membendung air matanya saat menatapi tubuh sepuh pucat membiru tanpa nafas. Apalagi, ia ingat betul, lagi-lagi suara Mbah Ilyas ikut andil menyelamatkan dirinya saat mengambil tubuh Murni istrinya di rumah terkutuk Diro,-

meski akhirnya harus di bayar dengan selembar nyawanya.

Air matanya yang semakin deras mengalir, membuatnya mundur dari sekat darurat pemandian jenazah. Ingin dirinya menghampiri istrinya,-

tapi hatinya belum mampu melihat keadaan Murni yang menurut Pak Hambali sedang terkena LIRANG SUKMA.

Selagi Lasno berjalan gontai, tiba-tiba dari gerbang matanya melihat sedan hitam melaju lambat ke arah halaman depan aula.

Rasa penasaran akan mobil yang seperti di kenalnya, menuntun kakinya melangkah mendekat. Sampai akhirnya dua orang lelaki tegap turun dari dalam Mobil, sedikit mengejutkanya.

"Rupanya benar dugaanku!" gumam Lasno, terdiam menunggu dua lelaki yang sedang berjalan ke arahnya.

"Pak Lasno, maaf. Kebetulan sekali kami langsung bisa menjumpai Bapak," ucap salah satu dari lelaki tegap berwajah sangar.

"Ada apa, kalian mencari saya?" jawab Lasno, dingin.

"Kami kesini, atas perintah Pak Sudiro. Untuk memberi tahu Bapak, jika Ibu Win meninggal dunia dan akan di kuburkan siang ini. Jadi, di harapkan kehadirannya, Pak Lasno."

Terhenyak Lasno mendengar penuturan lelaki suruhan Diro. Meskipun dirinya sudah mengetahui jika Win, putrinya telah meninggal, namun jiwanya tetap saja tergunjang ketika kembali mendengar kabar itu.

Raut sedih sebentar menghiasi wajah Lasno, sebelum berubah merah mengendap amarah ketika teringat kembali asbab musabab kematian Win. Matanya menatap tajam dua lelaki yang masih berdiri di depanya, yang sepertinya sengaja menunggu jawaban darinya.

"Pak Lasno, bagaimana? Apakah Bapak akan ikut bersama kami?" tanya salah satu dari lelaki, yang merasa aneh dan heran melihat Lasno, menatap penuh kemarahan.

"Tidak! Pak Lasno tidak akan ikut kalian."

Lasno dan kedua lelaki utusan Diro, sama-sama terkejut mendengar suara berat dari belakang Lasno. Serentak ketiganya mengalihkan pandangan mereka ke arah sesosok lelaki berjubah putih, yang berjalan pelan dari sisi sebelah kiri pendopo, mendekati tempat ketiganya berdiri.

"Pulanglah kalian, sampaikan bela sungkawa kami semua yang di sini, termasuk dari Pak Lasno pribadi," sambung lelaki berjubah, yang tak lain Pak Hambali, membuat kedua utusan Diro tertunduk.

"Lagian, di sini kami dan Pak Lasno, juga tengah berduka. Jadi mohon maaf, sekali lagi Pak Lasno tak bisa datang. Tolong sampaikan itu."

Penuh keheranan dua lelaki utusan Diro, mendengar semua ucapan Pak Hambali. Keduanya tampak saling pandang sebelum memilih pamit dan kembali ke mobil penuh tanda tanya.

Sedang Lasno hanya tertunduk dengan perasaan bercampur baur. Ingin rasanya melihat jasad terakhir kali putri semata wayangnya, tapi tak mungkin ia membantah ucapan Pak Hambali, yang sebenarnya belum dirinya mengerti.

"Mari, Pak. Kita sholatkan jenazah Kang Ilyas." ajak Pak Hambali, setelah sedan hitam yang di bawa dua utusan Diro, meninggalkan halaman aula.

Lasno hanya mengangguk pelan, dan segera mengikuti langkah Pak Hambali, menuju Masjid Pondok. Nampak puluhan santri laki-laki yang sudah menunggu kedatangan Pak Hambali guna melaksanakan Fardu Kifayyah.

Setelah melaksanakan serangkaian kewajiban untuk jenazah Mbah Ilyas, para santri yg di bantu puluhan masyarakat sekitar yang mengenal dan berdekatan dgn Pondok, menguburkan Jenazah Mbah Ilyas di belakang, sekitar 500 meter dari pondok yg masih dlm lingkup tanah milik Pak Hambali.

Lasno yang masih tampak terbebani dengan kedatangan dua utusan Diro, berjalan lunglai setelah proses pemakaman Jenazah Mbah Ilyas selesai. Jiwanya meronta dengan berita kematian putrinya.

Apalagi, saat-saat terakhirpun dirinya sebagai seorang bapak, tak sempat ikut mengurus dan mendoakan.

Air matanya kembali mengalir menahan nyeri yang menelusup dalam dadanya. Sampai satu sentuhan tangan menepuk pelan pundaknya, membuatnya tergugup.

"Pak," lirih suara Lasno, saat mendapati Pak Hambali yang menepuk dan sudah berada di sampingnya.

"Pak Lasno, maaf jika saya melarang Bapak, untuk datang kerumah Sudiro. Sebab yang sekarang di kuburkan mereka, bukanlah jenazah putri Bapak."

Sedikit terperanjat Lasno mendengar penuturan Pak Hambali.

"Maksud, Pak Hambali?" tanya Lasno dengan wajah bingung.

"Ya, putri Pak Lasno memang telah tiada. Namun, bukan hanya Sukmanya, melainkan bersama Raganya." jelas Pak Hambali, yang semakin membuat Lasno bingung.

"Siapapun yang di tunjuk dan di tandai menjadi tali persekutuan dengan Iblis, maka akan di ambil jiwa raganya. Sebab di alam sana mereka di jadikan budak. Dan akan terbebas saat persekutuan yang menjadi tanda serta mengikat mereka terputus."

Kembali Pak Hambali meneruskan penjelasanya, yang sedikit demi sedikit tercerna oleh pikiran Lasno.

Sebelum Lasno berucap menanggapi penjelasan Pak Hambali, seorang santri muda terlihat setengah berlari dengan wajah panik, mendekati keduanya.

Dengan terbata dan nafas sedikit tersengal, santri muda menceritakan maksud kedatanganya yang seketika membuat Pak Hambali dan Lasno menegang.

"Astaghfirullah...."

Bergetar bibir Pak Hambali saat mengucap Istighfar, sebelum kakinya melangkah cepat di ikuti Lasno dan santri muda, menuju sebuah bangunan di sisi kanan Masjid.

Mata Lasno dan Pak Hambali terbelalak mendapati lantai ruangan 4x5 tanpa satir yg sejatinya sebagai salah satu asrama santri putra, penuh bercak darah.

Nampak wajah-wajah pucat dari beberapa orang santri yang di tugasi menunggu empat santri teman mereka tengah terbaring tanpa daya.

"Kalian, pergilah dan cari 12 pupus Janur Kuning, secepatnya!" perintah Pak Hambali kepada para santri yang berada di dalam tempat itu.

Tanpa menunggu perintah kedua kali, seluruh santri di ruangan itu segera keluar dan mencari apa yang di minta Pak Hambali.

Sedang Lasno, masih berdiri terpaku di ambang pintu, menatap penuh keprihatinan dan kengerian pada empat santri yang terbaring berlumur darah.

Satu hal yang membuat Lasno merinding. Darah yang tersembur dari bibir ke empat santri itu,

berwarna merah kehitaman dan terdapat gumpalan-gumpalan kecil. Di tambah rintihan dan erangan dari ke empatnya, semakin membuat Lasno merasakan nyeri. Apalagi, Lasno tau jika ke empat santri itu menderita sakit mengerikan, akibat mereka ikut dalam penyelamatan istrinya.

Lasno masih ingat betul, bagaimana dua di antara ke empat santri itu, Hakim dan Hanif mengalami luka saat di rumah Diro. Sedangkan dua santri lainya, Lasno tau, mereka terluka saat membantu Mbah Ilyas, ketika mengirim suara bathin, namun ikut menjadi korban.

"Astaghfirullah... Astaghfirullah.... Lahaula walaa quata illa billah."

Berat dan parau suara Pak Hambali. Wajahnya menegang kencang, ketika usai memeriksa bagian dada ke empat santri pilihanya.

"LAYENG TOHPATI"

Kembali Pak Hambali berucap yang kali ini terdengar bergetar.

Belum sempat berbuat apa-apa, kembali Pak Hambali dan Lasno di kejutkan satu suara perempuan yang menjerit keras melengking.

"Murni" terkesiap Lasno saat mengenali suara jeritan yang kembali terdengar untuk ketiga kalinya.

"Kita lihat, Pak Lasno."

Lasno yang mendengar ajakan Pak Hambali, segera menghambur keluar, mengikuti langkah cepat Pak Hambali yang lebih dulu beranjak.

Murni, atas persetujuan dan saran Pak Hambali, akhirnya berangkat ke sebuah Kabupaten yang di kenal dengan para Ulama' dan Habaibnya.

Ia berangkat di temani dua orang santri sebagai penunjuk jalan sekaligus wakil Pak Hambali. Tak ada halangan apapun di perjalanan mereka, hingga setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka tiba dengan selamat.

Sejenak, kedua santri menghaturkan salam dan pesan-pesan amanah dari Pak Hambali, saat mereka bertemu dengan Sang Pengasuh Pondok Pesantren. Seorang lelaki 70an, namun masih terlihat tegap dan kuat, meski sudah banyak keriput menghiasi wajahnya yang teduh.

Kewibawaan dan kharismanya memancar terang dari raut berhidung mancung. Sikapnya tenang, penuh senyum keramahan. Tatapanya bening, tapi akan membuat sesiapapun yang beradu pandang, seketika menunduk.

Namun berbeda jika tatapanya beradu dengan orang-orang yang bersinggungan dengan mahluk alam sebelah.

Hal itu juga yang terjadi pada sosok Murni, saat ia membuka matanya, seketika berteriak-teriak histeris melihat wajah salah satu keturunan BAGINDA NABI MUHAMMAD SAW,

yang saat itu tepat di depanya. Sampai guratan-guratan hitam menonjol dari urat-urat di lehernya berubah merah, menunjukan ketakutan teramat sangat. Apalagi, ketika tangan Sang Ahlul Bait menyentuh keningnya, jerit melolong terdengar menyayat keluar dari tenggorokan Murni.

Setelah jeritan Murni yang sempat membuat Lasno dan beberapa santri tertunduk ngeri mereda suasana berganti hening. Hanya kalimat-kalimat Suci terdengar lirih dari Sang Ahlul Bait, yang kemudian di akhiri kalimat syukur bersamaan usapan pelan di wajah teduhnya.

Lasno yang menyaksikan penuh ketegangan, seketika mengendurkan urat wajahnya yang mempias, kala melihat seulas senyum tersungging dari sudut bibir Sang Ahlul Bait. Menandakan satu harapan akan kesembuhan Istrinya, bergolak penuh dalam benaknya.

Akan tetapi, setelah mendengar penjelasan dari sang Ahlul Bait, yang memberi satu tugas lagi untuk Lasno demi keselamatan Istrinya, wajah Lasno berubah murung, membayangkan satu tugas yang di embankan padanya lumayan berat.

"Berserah dirilah hanya kepada ALLAH. Akan tetapi, Kita juga wajib berusaha. Sebab ALLAH tak akan menyia-nyiakan Hambanya, yang berusaha."

Lasno tertunduk mendengar ucapan sang Ahlul Bait. Ia menyadari dan mengerti semua makna dari ucapan itu, tapi sekali lagi, ia tak bisa sepenuhnya meyakinkan keberhasilanya untuk menunaikan tugas yang mewajibkan dirinya sendiri sebagai syaratnya.

"Yakinkan dan kuatkan dirimu, Pak Lasno. Yakin, jika ALLAH akan menjadi pelindung dan penolong. Kuat, menghadapi segala cobaan dan rintangan apapun, demi kesembuhan Istri Bapak." Lembut namun tegas, suara Sang Ahlul bait, menguatkan hati Lasno.

"Mudah-mudahan barang terkutuk itu masih tersimpan di tempat menantu Bapak, sehingga bisa mengembalikan sukma Istri Bapak yang tertawan oleh Iblis, yang mereka puja." Sambung sang Ahlul Bait, yang di amini Lasno dan beberapa Santri.

Setelah mendapat penjelasan dan beberapa petunjuk dari sang Ahlul Bait. Sore itu juga, sehabis mengikuti Sholat 'Asyar berjamaah, Lasno dengan tekad kuat membulat, kembali melakukan perjalanan sendiri, menuju rumah Sudiro.

Di mana, sesuai petunjuk sang Ahlul Bait, agar ia sendiri yang harus mengambil sesuatu dari kediaman menantunya, yang menjadi pengikat sukma Istrinya.

Tanpa mengabaikan semua pesan dari sang Ahlul Bait, di mana ia selalu berhenti untuk menunaikan kewajiban sholat saat masuk waktu, Lasno menempuh perjalanan beberapa jam dengan berdebar.

Jantungnya semakin berdegup kencang, saat tinggal beberapa ratus meter lagi ia sampai di kediaman mewah Sudiro. Tampak suasana lengang dan sunyi, meski malam belum masuk waktu pertengahan.

Tak ada satu orang pun Lasno jumpai ketika perlahan mobil yang di kemudikanya memasuki jalan Desa dan langsung mengarah masuk di halaman rumah Sudiro.

Gelap, yang terlihat di mata Lasno. Menimbulkan sedikit rasa curiga, akan keadaan yang tak seperti biasanya. Namun, Lasno menghentikan pemikiranya itu. Terlebih dirinya memang sudah mengetahui ikhwal kematian Win, putrinya.

Yang bukan kematian wajar di rumah itu, meyakinkan hatinya tentang suasana sunyi, sepi tanpa adanya sebuah acara apapun seperti pada umumnya.

Bahkan Lasno sedikit bersyukur dengan suasana saat itu. Sebab, mengingat tujuanya datang kembali ke rumah yang sudah teramat di bencinya itu, bukan untuk main-main atau untuk bertemu siapapun, melainkan satu usaha guna penyelamatan Istrinya,

yang ikut terseret dalam persekutuan Sudiro, akibat keserakahanya sendiri.

Perlahan Lasno mulai melangkah pelan, menapak halaman rumah melalui samping sebelah kiri. Dalam benaknya hanya satu tempat yang menjadi tujuan utamanya,-

tanpa harus masuk ke dalam rumah. Mata Lasno hanya melihat dua lampu redup yang tergantung dan menyala di teras depan dan teras belakang. Sehingga hanya bisa membantu penglihatanya sampai batas dua meteran saja dari menyebarnya cahaya lampu.

Kaki Lasno menapak penuh hati-hati, saat masuk halaman samping kiri yang memanjang. Nafasnya mulai memburu dengan keringat mulai membasahi pelipis dan keningnya.

Bukan hanya karena gelap, tapi hawa yang ia rasakan saat mendekati sebuah bangunan kecil di ujung belakang sisi kiri, terasa berbeda.

Lasno terus berjalan dengan setengah menunduk. Tanpa berani menoleh sedikitpun ke samping kanan kiri,-

sebab ia merasakan jika saat itu dirinya tidak berjalan sendirian. Bahkan puluhan pasang mata, benar-benar di rasa olehnya tengah menatapi dan mengikuti tiap-tiap jengkal langkahnya.

Lasno baru berhenti, ketika melihat samar bangunan kecil tak lebih 2x3, tinggal beberapa jangkah lagi. Sebentar ia merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah korek api bersumbu kapas, yang memang di persiapkanya untuk menerangi saat ia masuk dalam bangunan itu.

Lasno kembali meneruskan langkahnya mendekati pintu bangunan dan melihat pintu tertutup rapat tanpa kunci. Cahaya kecil dari nyala api korek yang di hidupkanya, sedikit membantu Lasno perlahan membuka pintu kayu berukir yang tak begitu lebar.

"Kriiieett... Deerrr!"

Terjingkat Lasno, saat pintu yang baru terbuka separuh, tiba-tiba saja terdorong hembusan angin kencang menutup kembali dengan keras.

Lasno beringsut mundur beberapa langkah sambil berusaha menghidupkan kembali nyala korek api yang ikut padam terhembus angin tanpa ia tau arah datangnya.

Lasno menyadari jika kejadian baru saja, bukan satu kebetulan, ia terus menguatkan hatinya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sembari berusaha menyalakan korek di tanganya.

Tepat di saat api kecil dari koreknya menyala kembali, wajah Lasno juga seketika menegang. Ia spontan memalingkan wajahnya saat satu suara lembut dan lirih seperti memanggil dirinya.

"Bapak...."

Lagi, suara itu seperti terdengar dekat sekali di telinga Lasno, namun sekali lagi Lasno memalingkan wajahnya, ia tak melihat apapun kecuali bau wangi bunga kamboja berpadu melati yang memenuhi rongga hidungnya.

Meski sudah merasakan ketakutan, Lasno tetap berusaha menekan dan kembali maju menghampiri pintu yang tertutup rapat kembali.

Seakan tak mau lagi kejadian pertama terulang, Lasno dengan kuat dan keras mendorong kembali pintu bangunan itu.

Ia berangsur masuk setelah pintu terbuka lebar dan mengabaikan suara-suara lirih yang masih terus terdengar memanggilnya dengan sebutan

"Bapak", seolah ingin melarangnya masuk kedalam.

Lasno tercekat, terdiam sesaat. Mendapati isi ruangan di penuhi gumpalan asap dupa dan kemenyan yang masih terlihat kerlipan nyala apinya. Menandakan jika dupa dan kemenyan itu sengaja di bakar sekitar satu atau dua jam sebelum kedatangan dirinya.

Berpikir sampai di situ, Lasno segera menyadari akan tujuan utamanya. Matanya mengelilingi tiap jengkal sudut ruangan yang ternyata bukan hanya di penuhi asap dupa dan kemenyan, melainkan taburan bunga menebar bau harum.

Beberapa saat lamanya Lasno mengitari seluruh ruangan dengan hanya bantuan cahaya dari korek, guna mencari sesuatu yang menjadi tujuan kenekatanya. Tak ada yang terlewatkan oleh Lasno, semua benda yang ada di ruangan pemujaan itu tak luput dari pemeriksaannya.

Namun, kekecewaan harus di telan Lasno, ketika ia tak menemukan yang di carinya. Lasno panik, tubuhnya yang sudah basah oleh keringat, lemas menyandar di tembok, matanya mengerjap pelan membayangkan sekilas wajah Murni di ambang kematian.

Ketika Lasno terisak dalam keputus asaan, tiba-tiba tiupan angin lembut beraroma bunga kamboja, kembali menyapu wajahnya. Lasno terkejut, menyadari jika itu bukanlah angin biasa. Tapi, yang aneh baginya, sesaat wangi bunga kamboja berubah bau amis kental.

Lasno mulai menyadari akan bau amis itu, sebentar tambah menyengat, kala dirinya mengendus dan menajamkan hidungnya, ke balik pintu.

Wajah Lasno kembali mempias, saat matanya yang di bantu cahaya kecil dari korek api, menangkap sesuatu di sudut pintu. Sesuatu terbungkus kain hitam dan tertanam separuh kedalam lantai. Tanpa ragu, Lasno mengangkat benda bulat yang ternyata sebuah kendi.

Lasno sedikit memalingkan wajahnya, terkejut dengan bau amis bercampur busuk bersumber dari dalam kendi, saat kain penutupnya ia buka.

Berpikir sejenak, Lasno kemudian melangkah keluar sembari membawa kendi yang ia yakini sebagai sesuatu yang di carinya.

Namun, dua langkah lasno keluar dari dalam, satu sosok menghentikan langkahnya. Sosok wanita bergaun putih panjang berwajah pucat pasi. Dari kedua pipinya nampak bergaris seperti bekas darah mengering.

Lasno terkesiap, antara takut dan iba. Sebab sosok yang berdiri memandang dengan tatapan kosong dan hanya berjarak 5 langkah adalah sosok Win, Putrinya.

Beberapa puluh detik lamanya Lasno dan sosok Win, berdiam diri saling menatap tanpa bersuara. Sampai akhirnya sosok Win terlihat mundur dan menghilang, meninggalkan bau wangi yang merebak.

"Nduk, Win."

Lasno bergumam, ketika sosok itu sudah tak terlihat. Saat itu, Lasno ingin menangis, menjerit. Tapi ia tekan kuat-kuat. Terlebih ada hal penting yang segera harus ia lakukan.

Lasno mengusap wajahnya, menengadahkan wajahnya sebentar, sebelum kembali melangkah menembus gelapnya kabut hitam yang mulai memenuhi halaman belakang rumah Sudiro.

Lasno tak perduli lagi dengan puluhan pasang mata merah yang mengawasinya. Tak perduli suara riuh tanpa wujud. Ia terus berjalan cepat, sambil memegang erat sebuah kendi yang terbungkus kain hitam.

Sampai akhirnya Lasno tiba di halaman depan, tepat di samping taman. Lagi-Lagi ia harus menghentikan langkahnya. Di depannya, berjarak beberapa meter dari tempatnya, satu sosok sudah menghadanganya. Sesosok lelaki tua berbaju dan berikat kepala hitam.

"Berikan Pancer itu!"

Sejenak Lasno tercekat, mendengar ucapan tegas lelaki tua yang menghadangnya. Tapi di sisi lain, Lasno merasa usahanya tak sia-sia. Sebab apa yang di carinya, sudah di tanganya.

Lasno mendekap kuat Kendi dalam rengkuhanya. Matanya tak kalah sengit, menatap tajam pada sosok lelaki yang di kenalnya sebagai pengawal pribadi Sudiro.

"Sampai mati pun, tak akan aku serahkan!" jawab Lasno tegas.

Raut merah penuh amarah, seketika menggurat di wajah Sang lelaki tua. Perlahan ia melangkah, mendekati Lasno. Tanganya mengepal kuat, selaras dengan wajah angkernya.

Lasno tersurut mundur, melihat kesiapan lelaki di depanya. Aura hitam pekat langsung ia rasakan, saat berjarak beberapa langkah.

Lasno yang mempunyai kemampuan secara batin, hanya melihat keangkeran dan seringaian dari sosok lelaki tua yang tak lain, adalah Mbah Lenggono.

Tanpa ia sadari jika dari kesengitan wajah Mbah Lenggono, memunculkan hawa panas yang seketika membuat nafasnya sesak. Rasa nyeri luar bias mendadak di rasa Lasno, membuatnya sedikit membungkuk.

Kepalanya bergedek sebentar merasakan antara sakit dan berat, sebelum sadar, darah kental keluar dari hidungnya.

Lasno terdiam, sebentar wajahnya mendongak, menatap nanar wajah angker Mbah Lenggono. Sepintas pandangan Lasno kembali pada kendi yang di dekapnya. Ia seperti tengah berpikir dan menimbang sesuatu.

Sampai akhirnya, satu suara "Krumpiyang" terdengar, membuat Mbah Lenggono melototkan mata penuh kemarahan.

"Menungso ra keno di eman! Mati koe!" (Manusia gak bisa di untung! mati Kamu!)

Lasno kali ini benar-benar merasakan kemarahan Mbah Lenggono. Tubuhnya terpental, terplanting kuat ke tanah, saat sesuatu yang hanya di rasakan panas, menghantam dadanya.

Lasno berusaha bangkit, tak menghiraukan kucuran darah dari mulut dan hidung demi berusaha meraih untaian kain putih berbentuk pipih, isi dari dalam kendi yang telah di pecahnya.

"Buukkkk!"

Lagi, tubuh Lasno harus terhuyung kebelakang, saat menerima tendangan dari kaki Mbah Lenggono, ketika saling memperebutkan isi kendi, yang ternyata tak hanya satu kain, melainkan beberapa dengan terikat satu sama lain.

Meski kembali harus merasakan sakit, kali ini wajah Lasno berubah. Senyum sinisnya sebentar tersungging, melihat bungkusan kain-kain putih beruntai, berada di tanganya.

Berbeda dengan Mbah Lenggono, wajahnya semakin merah, matanya menyalang, menunjukan kemarahan memuncak. Tanpa ampun lagi, Mbah Lenggono segera menghambur ke arah Lasno.

Bertubi-tubi pukuluan dan tendangan ia sarangkan, membuat tubuh Lasno yang tak melawan terhuyung, terjengkang dan akhirnya roboh bersimbah darah.

Lasno mengerjab, mengerang, menahan rasa sakit sambil meringkuk. Ia masih terus mempertahankan untaian kain putih dalam dekapanya.

Membuat Mbah Lenggono semakin kalap, saat kesulitan untuk merebutnya.

Pasrah, terpancar dari sorot mata Lasno. Menyadari ajal sudah di depan mata, melihat kilatan hitam dari sebilah keris tercabut dari sarungnya oleh tangan Mbah Lenggono.

Lasno memejamkan mata, menunggu detik hunusan keris menyentuh kulitnya. Namun, bukan rasa sakit tusukan yang akan menghantarnya pada kematian Lasno rasakan. Melainkan, rasa terkejut dari sebuah suara bergedebuk dan erangan tertahan tepat di sebelahnya.

Kejadian yang begitu cepat tak sempat Lasno rekam dalam otaknya. Ia hanya selintas melihat bayangan Mbah Lenggono yang terjungkal sampai dua kali terguling, Lalu bangkit dan menghilang.

Selebihnya, Lasno melihat sesosok lelaki berbaju putih berkalung sorban, berdiri beberapa langkah darinya.

Belum lagi Lasno berpikir tentang siapa lelaki bersorban yang sudah menolongnya, ia sudah kembali di kagetkan suara riuh derap langkah begitu ramai.

Kemudian langkah-langkah yang di barengi teriakan di sertai umpatan-umpatan kasar penuh amarah, seketika mengelilingi dirinya. Lasno tak mengerti akan tujuan puluhan atau mungkin ratusan orang, tiba-tiba sudah memenuhi halaman rumah Sudiro.

Ia hanya melihat dan mendengar orang-orang yang hampir merata bersenjata kayu dan beberapa senjata tradisional, mengumpat marah, bersahut-sahutan, sembari mengangkat obor-obor di tangan kiri mereka.

"Tenang-Tenang... Saya harap sedulur semua, tenang!"

Sesaat suasana hening, setelah suara tegas sesosok lelaki bersorban yang baru saja menolong Lasno, berhasil membuat orang-orang yang marah terdiam.

Namun, beberapa saat kemudian, tampak dua lelaki berkalung sarung berjalan mendekat dari kerumunan.

Wajah keduanya terlihat berkilap memancarkan satu amarah, dengan tentengan sebilah golok di tangan kanan masing-masing.

"Pak Ansori, biarkan kami menghancurkan tempat Iblis ini! Sudah lama kami terganggu dengan semua ulah pemujaan di rumah ini!" Keras dan penuh emosi, suara salah satu lelaki yang maju dan berdiri di depan lelaki bersorban, Pak Ansori.

"Saya mohon, Bapak-bapak jangan main hakim sendiri. Alangkah baiknya kita selamatkan dulu Bapak ini, dan memusyawarahkan masalah ini dengan kepala dingin," sahut Pak Ansori, seraya menunjuk Lasno dan terus berusaha menenangkan seluruh orang yang berada di tempat itu.

Lasno yang masih terbaring meringkuk, ikut merasakan sedikit ketegangan di tempat itu. Walaupun dalam hati ia bersyukur, mendapati kedatangan mereka dengan tujuan menyelamatkan dirinya dan meluapkan amarah pada Sudiro.

Entah dari mana dan siapa yang membuat mereka bisa berkumpul di rumah Sudiro, Lasno tak bisa menebaknya. Akan tetapi, ketika beberapa orang yang di suruh Pak Ansori mendekat dan mengangkat tubuhnya, mata Lasno melihat sesosok bayangan putih,

berklebat dari kerumunan orang menuju teras belakang. Sejenak Lasno terpaku dalam ringisan kesakitan, mendapati bayangan putih itu berdiri dan memandangnya dengan tatapan kosong. Darah Lasno berdesir, jantungnya berdegup lebih kencang,-

saat dengan jelas melihat wajah sosok yang sangat di kenalnya. "Nduk, Win," gumam Lasno lirih, sebelum tubuhnya di papah menerobos kerumunan.

Meskipun dalam kepayahan, menahan rasa sakit mendera sekujur tubuh, dan berjalan dengan tertatih, tapi Lasno tak melupakan bungkusan beruntai kain-kain putih pembungkus Pancer. Ia masih terus mendekap kuat hingga sampai di pintu gerbang.

Sebelum Lasno menuruti langkah beberapa orang yang memapah dan mendampinginya semakin menjauh dan meninggalkan halaman rumah Sudiro,-

ia masih sempat mendengar teriakan-teriakan keras, "Bakar" di susul gemuruh derap langkah menuju halaman belakang rumah Sudiro.

***

"Kurang ajar! Bangsat!"

Rasa kesal menahan amarah, sementara menghinggapi wajah angker Mbah Lenggono. Umpatan dengan kata-kata kasar, seolah menjadi luapan kemarahan tanpa bisa berbuat apa-apa.

Meski baru saja ia lolos dari amukan warga, namun kekhawatiran masih menyirat jelas di wajahnya. Mengingat, keberhasilan Lasno membawa beberapa Pancer yang sudah terikat. Pancer-Pancer yang seharusnya tak boleh di ketahui orang lain, kini bahkan malah jatuh ke tangan Lasno.

Mbah Lenggono sendiri yakin, jika ada seseorang di belakang Lasno, di balik kenekatannya, guna mendapatkan dan menemukan Pancer LIRANG SUKMO.

Satu hal yang membuat Mbah Lenggono seketika mempias penuh kecemasan, yaitu, bila sampai Lasno berhasil mengembalikan dan memudar Lirang Sukmo yang sudah terikat, maka sukmanya sendiri yang menjadi Badalnya.

Sadar akan hal itu, Mbah Lenggono sebentar menengadahkan wajahnya ke atas, menatap kegelapan, sebelum berlalu dengan cepat menembus malam pekat.

Mbah Lenggono terus berjalan, menyusuri jalanan setapak. Membiarkan tetes-tetes air gerimis, membasahi wajah angkernya yang penuh kecemasan. Tiba di satu titik jalan bersimpang, Mbah Lenggono membelokan langkahnya ke sebelah kiri. Di mana,-

berjarak beberapa puluh meter di depanya, terlihat sebuah cahaya lampu obor dari sebuah gubuk berdinding papan, berteras tak lebih dua meter dengan kondisi pintu terbuka.

Mbah Lenggono yang sudah lusuh dan kuyub, berangsur masuk, membuat tiga lelaki yang tengah duduk di kursi bambu, seketika berdiri. Mereka serentak memandang Mbah Lenggono sedikit aneh.

Apalagi, saat itu, wajah Mbah Lenggono terlihat sangat pucat, mengundang tanda tanya dan kepanikan tersendiri.

"Apa yang terjadi, Mbah?"

Satu suara, akhirnya terucap dari seorang lelaki muda, yang terlihat paling panik.

"Pancer-Pancer itu...."

Belum sempat Mbah Lenggono menyelesaiakan ucapanya, tiba-tiba ia terduduk. Matanya membeliak seperti tengah menahan sesuatu. Sesuatu yang sebentar kemudian, menjadi satu erangan berat, sebelum darah hitam kental, menyembur dari mulutnya.

"Mbah! kenapa?"

Seru salah satu lelaki yang paling dekat jaraknya dengan Mbah Lenggono. Lalu, perlahan ia mendekat, dan seketika terperangah, melihat darah hitam bergumpal-gumpal yang keluar dari mulut Mbah Lenggono.

Kengerian memancar dari bola matanya, membuat ia mengurungkan niat untuk merengkuh tubuh terjungkai Mbah Lenggono.

Sebentar ia mendekati seorang lelaki muda yang berdiri di ujung, namun baru saja ia berada di sampingnya, tangan lelaki muda itu sudah merentang, mengisyaratkan untuk dirinya diam.

Kini, berganti lelaki muda yang berjalan maju, mendekati Mbah Lenggono. Di tatapnya wajah tua pucat yang meringis menahan sakit.

"Apa ini pertanda...."

Mbah Lenggono seketika mengangguk pelan, menghentikan ucapan lelaki muda yang tak lain adalah, Sudiro. Wajah Sudiro seketika mempias penuh kekhawatiran. Ia sudah bisa membayangkan apa yang terjadi, walau hanya dari sebuah anggukan kepala dari Mbah Lenggono.

"Kang Suyuti, Wito, bawa Mbah Lenggono dan baringkan di kamar." Perintah Diro, pada dua lelaki di belakangnya.

Sebentar saja, tubuh lemah dan pucat Mbah Lenggono di papah masuk kedalam sebuah kamar sempit, yang hanya terdapat sebuah dipan beralaskan tikar dengan sebuah bantal terbungkus kain serta sebuah selimut kusam.

Berkali-kali lenguhan terdengar dari mulut Mbah Lenggono. Meskipun darah sudah berhenti keluar dari mulutnya, namun keadaannya malah semakin memprihatinkan. Membuat Suyuti dan Wito, yang baru saja membaringkannya sekilas menatap sedikit ngeri dan iba.

"Pak Diro, apa selanjutnya yang kita lakukan, pada Mbah Lenggono?" Suyuti, yang baru keluar dari kamar mendekat dan memberanikan diri bertanya.

"Merawat, sampai tiba waktunya." Dingin, jawaban yang di ucapkan Sudiro.

Suyuti termangu, mencerna kalimat yang baru saja ia dengar. Meski tak sepenuhnya mengerti, tapi membaca dari gelagatnya, Suyuti yakin, jika tak ada harapan untuk Mbah Lenggono selamat.

"Kamu jangan berpikir jika Mbah Lenggono, akan secepat itu mati!"

"Maksud, Pak Diro?" tanya Suyuti, menciutkan wajahnya, mendengar ucapan Diro, seperti tau yang di pikirkanya.

Diro terdiam, melangkah mendekati pintu gubuk. Menatap malam berudara dingin, berhias rintik-rintik gerimis. Di silangkan kedua tanganya kebelakang,

sebelum melirik sebentar pada Suyuti yang masih terpaku di belakangnya.

"Jiwanya masih bisa tertolong dan kembali, dengan darah Laweyan Lenggan sebagai penebusnya," ucap Diro pelan.

"Laweyan Lenggan!" gumam Suyuti, sedikit terkejut.

***

Di sisi lain, Lasno, yang sedang terluka, terkulai lemah di sebuah ranjang. Lasno sedikit bingung, dengan Pancer-Pancer yang telah berhasil ia dapatkan. Seharusnya, ia bisa segera membawa ke tempat Istrinya berada, di tempat seorang Ahlul Bait yang sudah bersedia menolongnya.

Tapi, melihat luka yang di deritanya, tak mungkin dirinya mampu untuk pergi mengemudi sendiri.

Selagi Lasno terdiam dalam kebingungan, lamat telinganya mendengar derap langkah kaki, memasuki rumah yang ia sendiri belum tau milik siapa.

Sebentar kemudian, tampak seorang lelaki berkalung sorban, Pak Ansori, yang ia ingat telah menolongnya dari hujaman keris Mbah Lenggono, mendekatinya dengan dua orang mengekor di belakangnya.

Wajah Pak Ansori terlihat begitu serius, saat mentap Lasno. Tepatnya pada Pancer yang tergeletak di sampingnya.

"Pak Lasno, apa Bapak kuat jika harus melakukan perjalanan malam ini juga? Sebab saya tau benda terkutuk itu sangat berarti untuk Bapak."

Terhenyak Lasno mendengar penuturan Pak Ansori, yang bisa menebak, jika Pancer itu memang sangat di butuhkannya.

Sebentar Lasno berusaha bangkit. Meski masih meringis menahan sakit, namun demi mendengar tawaran Pak Ansori, Lasno mencoba untuk kuat.

"Saya kuat, Pak. Tapi...." jawab Lasno sedikit ragu.

"Kalau Pak Lasno kuat, Insya Allah mereka berdua akan mendampingi Bapak. Mereka sudah biasa mengemudi."

Seketika wajah Lasno terlihat semringah, setelah mendengar ucapan Pak Ansori.

Setelah menyiapkan sesuatunya, dan siap berangkat, sejenak Lasno mendekat dan menatap Pak Ansori. Ada satu ganjalan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya, tentang dari mana Pak Ansori bisa tau semua yang tengah di alaminya.

Namun, ketika baru saja ingin bertanya, Pak Ansori sudah lebih dulu menepuk pelan pundaknya seraya berkata pelan.

"Insya Allah, Pak Lasno akan mengerti dan tau sendiri nantinya. Sekarang yang penting, Pak Lasno bisa segera membawa benda terkutuk itu, secepatnya."

Meski masih merasa penasaran. Lasno, hanya berani mengangguk tanpa bertanya.

Malam itu juga, dengan di dampingi dua orang yang di tunjuk Pak Ansori, Lasno kembali melakukan perjalanan. Berpacu dengan waktu demi satu tujuan.

Ia tak henti-henti berdoa dalam hati, berharap apa yang di perjuangkannya bisa mengembalikan keadaan Istrinya. Tak sebentar pun, mereka berhenti beristirahat. Demi memanfaatkan jalanan sepi, agar tak terdahului sang fajar.

Setelah beberapa jam membisu dalam perjalanan, dan telah masuk waktu dini hari, Mobil Lasno memasuki halaman luas bercahaya terang. Sebentar kemudian, beberapa orang santri yang masih terjaga, menyambut mereka.

Tertatih langkah Lasno memasuki sebuah ruangan, di mana sesosok wanita tengah terbaring membujur, berbalut dan terikat kain putih.

"Kemana, Abah?" tanya Lasno, pada dua santri yang di tugaskan menjaga Murni, Istrinya.

"Abah, tadi berpesan, jika Bapak datang, suruh menunggu di sini," jawab salah satu Santri dengan menunduk.

Lasno terdiam, mengalihkan pandanganya, melihat wajah pucat Istrinya. Sesaat, kilatan masa lalu kembali menari dalam ingatanya.

Di saat-saat kebersamaannya bersama Win, sebelum malapetaka merenggut semua.

Dua bulir bening dari mata lebam Lasno, mengalir. Menandakan kesedihan dan penyesalan. Sebab, ia kini sadar, semua pangkal dari malapetaka, berawal keserakahannya.

Gemerlap kilauan pundi-pundi kemewahan, menggelapkan matanya. Hatinya tertutup, akalnya terkunci oleh sebuah tawaran hidup indah, dalam limangan harta. Tanpa ia tau, tanpa ia sadari, asbab musabab kemewahan itu, hingga akhirnya harus bertukar dgn nyawa putri dan penderitaan istrinya.

Lasno yang menangis dalam diam, perlahan bangkit. Manakala sesosok lelaki tua berbau wangi kasturi cendana, masuk dengan membawa lipatan kain putih. Wajah leleki tua yang teduh sekilas tersenyum, sebelum memberi isyarat pada Lasno, untuk mengikutinya duduk bersila di samping tubuh Murni.

Selembar kain tak begitu lebar, terhampar tepat di sisi kepala kiri Murni. Tak Ada yang aneh dengan kain itu. Bersih, putih tanpa noda. Tapi, ketika ikatan Pancer-Pancer yang di bawa Lasno di letakkan di atasnya. Tetiba saja, kain itu berubah merembes hitam.

Lasno terhenyak, seolah tak percaya, setelah melihat dengan seksama, jika rembesan yang mengotori selembar kain putih, adalah darah hitam berbau busuk, berasal dari telinga Murni. Wajah Lasno semakin menegang.

Di samping menahan rasa mual yang hampir membuncah, juga satu jeritan dari Murni yang terjaga. Lagi, dan lagi. Jeritan menyayat, memekakkan telinga terdengar, seolah menyahuti gumaman bait doa yang tengah di baca lirih Sang Ahlul Bait.

Lasno semakin merinding ngeri, melihat untaian kain putih Pancer di buka, berisi gumpalan-gumpalan berdenyut. Kembali bau busuk bercampur amis, menyeruak memenuhi rongga hidung Lasno. Yang berasal dari gumpalan isi Pancer, lunak, hitam, seperti darah beku.

Tak lama setelahnya, hawa panas tiba-tiba Lasno rasakan. Ketika tali-tali yang mengikat satu sama lain pada untaian kain pembungkus Pancer, satu persatu di putus oleh tangan Sang Ahlul Bait.

Hening, anyep, setelah tali terakhir terputus. Tak ada hal aneh di rasa Lasno saat itu. Namun, lima tarikan nafas kemudian. Tubuh Lasno bergetar hebat. Ia limbung, seakan mengikuti gerakan tubuh Murni yang mengejang kuat dalam ikatan.

Sebelum akhirnya, teriakan keras menggema dari satu suara tanpa wujud, menghentak tubuh Lasno hingga terpental beberapa jengkal ke belakang.

Lama tubuh Lasno terdiam. Ia masih begitu kaget dengan apa yang terjadi. Membuatnya hanya bisa mendenguskan nafasnya yang memburu. Lasno baru tersadar, ketika melihat senyum sang Ahlul Bait mengembang saat menatapnya.

Perlahan ia menggerakan tubuh, memaksa bangkit, demi melihat keadaan Murni.

Sekilas ia tertegun, bingung, tak percaya dgn apa yg di lihatnya. Kain putih yang ternoda darah hitam, kembali putih bersih. Gumpalan lunak Pancer, kini tak lebih dari gumpalan tanah liat, di matanya.

Namun, satu hal yang seketika membuat wajah Lasno semringah, Murni. Perlahan Lasno mendekat, ingin melihat lebih dekat, wajah istrinya yang sudah terjaga. Suara erangan lirih mengawali mata Murni yang mengedar. Menatap sayu, dua wajah di sampingnya.

"Alhamdulillah, Istri Bapak sudah sadar kembali," ucap syukur sang Ahlul Bait.

***

Sementara, di rumah gubuk tua, dengan penerengan lampu obor. Sesuatu mengerikan tengah terjadi. Mbah Lenggono, yang hanya di temani seorang leleki 35an, setelah kepergian Sudiro dan Suyuti, berkali-kali mengerang kesakitan.

Tubuhnya yang sudah tak berdaya, kini semakin memprihatinkan. Terlihat, wajahnya sedikit demi sedikit menghitam. Membuat Wito, yang mendapat tugas dari Diro untuk menjaga Mbah Lenggono, merasa iba bercampur ngeri.

Wito mulai merasakan hawa aneh, setelah mendengar sebuah dentuman di atas atap luar gubuk. Tapi, ketika ia memberanikan diri melihat, ia tak menemukan apapun. Setelah beberapa saat, Wito akhirnya memutuskan untuk kembali masuk.

Namun, baru saja tiga langkah, sejenak wajah Wito terlihat menciut. Ia seolah tak percaya saat hawa di dalam rumah, di rasa tubuhnya begitu panas.

Rasa penasaran Wito yang belum terjawab, sesaat saja berubah keterkejutan. Ketika mendengar jeritan Mbah Lenggono. Buru-buru Wito menghampiri kamar sempit, tempat Mbah Lenggono terbaring. Tapi, belum sampai kaki Wito menginjak lantai dalam kamar, tubuh Wito mendadak terdiam kaku.

Wajahnya pucat pasi, menunjukan satu ketakutan teramat sangat, melihat dua sosok wanita renta berambut putih sedang berada di samping Mbah Lenggono.

Dua sosok yang terlihat mata Wito tengah menjilati gumpalan-gumpalan hitam dari muntahkan Mbah Lenggono, sejenak berhenti. Mereka menyeringai, menatap tajam dengan bola mata putih rata, saat menyadari kehadiran Wito yang terpaku dalam ketakutan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close