Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEGER MUSTIKA (Part 6) - Sang Murid

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.

Titisan Raja Siluman Ular


Sang murid

Dia terkapar mengerang kesakitan. Darah segar meleleh di sudut bibirnya. Tapi dia kembali bangkit meski susah payah. Harus kuakui, dia punya mental sekuat baja. Pantas saja dia jadi panglima.

Tiba-tiba dia menghunus tombak pendek bergagang merah yang sejak tadi terselip di pinggangnya. Sebentar mulutnya komat-kamit merapalkan mantra-mantra, kemudian menghujamkan tombaknya ke tanah. Lalu terjadilah sesuatu..

Dengan ajaibnya tombak itu berubah wujud jadi sesuatu yang amat menakutkan. Mpu Dharmapala sampai bergidik ngeri, apalagi Thole. Tapi Mayang cuma senyam-senyum. Diriku bahkan tertawa.

Kalian tau tombak itu berubah jadi apa?

Ya, jadi ular. Ular besar bersisik merah berkilauan terkena sinar matahari. Ular itu meliuk-liuk sambil mendesis-desiskan lidahnya. Sementara sang panglima kini berdiri dengan angkuhnya.

"Sekarang ajalmu telah tiba! Tak ada yang bisa selamat dari tombak mustika ular merahku ini!"

Aku hanya tersenyum. Sudah terbayangkan bagaimana nanti jadinya. Benar saja, ular itu hanya diam saat sang panglima memberi perintah untuk menyerang, bahkan ular itu malah menghilang setelah sebelumnya menunduk hormat padaku.

Semua orang terkejut. Apalagi sang panglima. Dia jadi serba salah mencari tombak mustikanya yang kini hilang entah kemana. Dia jadi gelap mata, lalu nekat kembali menyerangku dengan membabi buta.

CIAAAAAT!

Sang panglima menyerang dengan kalapnya. Tapi itu justru membuat serangannya jadi ngawur. Mudah saja, dua kali pukul, dia langsung terpental lalu terkapar tak sadarkan diri.

Sang panglima kini diam tak bergerak. Entah pingsan atau meregang nyawa. Sisa prajuritnya nampak ketakutan. Tak ada yang berani bergerak apalagi menyerangku yang kini berdiri gagah menantang.

Kupandangi wajah mereka satu-persatu. Sebenarnya aku masih mau lanjut, tapi mau bagaimana? Tak ada lagi yang berani maju. Akhirnya kuputuskan untuk sudahi saja pertarungan ini.

"Bawa panglima kalian pergi dari sini. Jangan pernah kembali lagi. Kalau kalian masih nekat, kalian akan berhadapan denganku, Yudha, cucunya mpu Dharmapala. Paham?!"

Mereka mengangguk ketakutan lalu pergi dengan membawa sang panglima yang susah-payah dinaikkan ke atas kudanya.

"Edan! Edan tenan! Mas Yudha ini ternyata ksatria hebat! Luar biasa!" Teriak Thole kegirangan. Wajah risaunya sudah hilang entah kemana.

Mayang menghampiriku lalu menepuk-nepuk bajuku yang berdebu. Lagaknya sudah seperti ibu yang sedang membersihkan pakaian anaknya yang jatuh dari sepeda. Tapi tak apa, justru sikapnya yang seperti itu yang membuatku makin jatuh cinta padanya.

Lain halnya dengan mpu Dharmapala. Lelaki itu terus menatapku sambil manggut-manggut. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Benar dugaan saya. Nak Yudha ini bukan orang sembarangan. Saya tak menyangka kalau ternyata rumah saya kedatangan seorang ksatria yang hebat."

"Eyang jangan berlebihan memuji, saya hanya orang biasa." Jawabku coba merendah. Tapi sepertinya mpu Dharmapala tak percaya.

Situasi sudah kembali tenang. Kami pun kembali masuk ke dalam rumah. Thole tak henti-hentinya memandangiku. Rasa kagumnya belum juga hilang. Dia seperti hendak menyampaikan sesuatu, tapi sungkan untuk mengatakannya.

Hingga malam menjelang, suasananya begitu tenang dan damai, jauh berbeda dengan kamar kontrakanku yang sumpek dan berisik oleh hingar-bingar musik dangdut remix dari tetangga sebelah.

Mpu Dharmapala mengajakku berbincang-bincang di teras rumahnya, sementara Mayang sedang sibuk di dapur dibantu Thole siapkan makan malam.

"Sayang sekali, kedamaian ini sebentar lagi akan jadi prahara akibat perang." Ucap sang mpu sambil menerawang.

"Apa tak bisa dihindari?"

"Sulit. Perang ini tak mungkin lagi dicegah. Bahkan Prabu Wirabhumi sudah meminta setiap pemuda untuk ikut bergabung jadi prajurit, termasuk Thole."

"Lalu? Apa Thole mau?"

"Oh jelas! Dia mau sekali! Dia memang ingin sekali jadi seorang ksatria seperti nak Yudha, itu impiannya sejak kecil. Tapi dia sengaja tak berangkat karena tak ingin meninggalkan saya sendirian."

Hatiku terenyuh. Ada ikatan batin yang kuat dan tulus antara Thole dan mpu Dharmapala. Membuatku teringat akan mendiang bapak.

"Eyang, makan malamnya sudah siap." Ucap Thole yang muncul dari dalam rumah.

Malam itu, kami makan malam bersama layaknya sebuah keluarga. Kalau sudah begitu, segala masalah sejenak terlupakan, berganti dengan hangatnya canda dan tawa.

Usai makan, mpu Dharmapala pamit untuk beristirahat, sementara diriku kembali duduk-duduk di teras ditemani Mayang.

"Kemana batu mustika itu?" Tanyaku sembari menghela napas dalam-dalam. Diriku benar-benar dibuat bingung.

"Apa mungkin mustika itu hancur? Atau mungkin tertinggal di kawah dan tak ikut terbawa kemari bersama kita?" Ujar Mayang.

"Bisa jadi. Tapi kalau tanpa mustika itu, bagaimana kita bisa kembali?" Jawabku cemas.

Mayang cuma menggeleng. Sama sepertiku, dia pun tak tau. Namun dia tersenyum lalu menggenggam tanganku erat-erat.

"Kalau memang kita tak bisa kembali, aku tak keberatan. Aku tak perduli kita ada dimana. Di neraka pun aku mau asalkan bersama kamu." Ucapnya lalu tersenyum.

Ah, hatiku bahagia mendengarnya. Cinta Mayang memang luar biasa. Tapi entah kenapa saat ini otakku tak lepas terus memikirkan mustika itu.

Bagaimana kalau mustika itu masih utuh dan ikut terbawa ke sini? Bagaimana kalau sampau jatuh ke tangan orang jahat seperti Joyokusumo? Tentu akan jadi satu kengerian tersendiri.

Bayangkan saja, kekuatan magisnya mampu membawaku dan Mayang sampai ke tempat ini, bahkan membuat kami bisa berkomunikasi dengan fasih dalam bahasa mereka.

Aku juga yakin kalau kekuatan batu itu yang membuat Mayang punya wujud manusia. Sesuatu yang justru membuatku ngeri.

Bagaimana tidak? Apa jadinya kalau sosok-sosok gaib yang punya bentuk menyeramkan jadi berwujud nyata? Sudah pasti akan menimbulkan kekacauan. Semoga saja itu tidak terjadi.

Lalu datang Thole ikut begabung hingga pembicaraan kami terpaksa berhenti. Pemuda itu duduk malu-malu di sampingku lalu terus memandangiku. Aku tau ada yang ingin dia sampaikan tapi dia ragu.

"Ada apa? Sepertinya ada yang mau kamu sampaikan?" Tanyaku memancingnya untuk bicara.

Thole mengangguk. Sejenak dia nampak menimbang-nimbang, lalu mulai bicara. "Apa mas Yudha mau ajari saya ilmu bela diri? Saya ingin jadi ksatria hebat seperti mas Yudha."

Aku terkejut mendengar permintaannya. Apa aku tak salah dengar? Thole mau jadi muridku? Tapi nampaknya dia serius. Lalu kucoba untuk menakar kesungguhannya dengan memberinya wejangan agar dia tau apa yang diinginkannya itu tergolong sulit.

"Kamu serius? Asal kamu tau, belajar ilmu bela diri itu tak semudah yang kamu bayangkan. Butuh kerja keras dan waktu yang cukup lama agar kamu bisa sempurna menguasainya."

Tapi Thole tak menyerah. Dia kembali meminta dengan wajah sungguh-sungguh. "Sedikit saja mas. Yang paling mudah pun tak apa. Yang penting saya bisa melindungi eyang kalau terjadi apa-apa." Pinta Thole setengah memaksa.

Hatiku luluh mendengar jawaban itu. Bila yang lainnya belajar ilmu bela diri untuk petentengan, tapi Thole punya niat tulus untuk melindungi eyangnya. Dia memang pemuda yang baik.

"Baiklah. Tapi sebelumnya ada tirakat yang harus kamu lakukan." Diriku akhirnya mengalah.

Thole nampak gembira dan antusias. "Apa itu mas? Tirakat apa pun akan saya lakukan!" Ucapnya berapi-api.

"Terlebih dahulu kamu harus puasa mutih 7 hari. Sanggup?" Tanyaku padanya.

"Sanggup mas! Saya pasti sanggup! Mulai kapan?" Tanya Thole lagi tak sabaran.

"Mulai besok saja."

"Baik mas! Terima kasih mas! Terima kasih!" Thole langsung berlutut hendak mencium kakiku namun segera kucegah. Mayang hanya bisa tersenyum geli. Thole pun pergi sambil membuat gerakan-gerakan memukul seolah sedang pemanasan.

"Kamu yakin mau mengajarinya ilmu bela diri? Kamu? Jadi guru? Aku nggak kebayang." Ujar Mayang setengah meledek.

Aku cuma bisa nyengir. Sama seperti Mayang, jadi guru memang tak pernah terlintas dalam benakku. Tapi melihat Thole yang antusias, aku tak tega mengecewakannya. Entah mengapa aku punya firasat kalau Thole bakal jadi orang besar.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close