Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEGER MUSTIKA (Part 7) - Panggilan Perang

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.

Titisan Raja Siluman Ular


DHUUAR! DHUUAR! DHUUAR!

Bunyi ledakan berkali-kali seiring tinjuku menemukan sasarannya. Para prajurit musuh bertumbangan dengan tubuh hangus menghitam. Tapi itu tak menyurutkan semangat mereka yang makin banyak menyerbu. Aku pun makin menggila! Maju kalian semua!

Diriku merangsek menyerang dengan energi meledak-ledak. Kini aku adalah iblis pencabut nyawa. Nafsu membunuhku begitu terpuaskan. Puluhan mayat bergelimpangan, tapi aku belum mau berhenti.

Ini begitu menyenangkan!

***

Panggilan perang

Dan begitulah, esok harinya Thole mulai puasa, sementara aku dan Mayang berusaha mencari mustika itu di dalam hutan dan area sekitarnya. Tapi sayangnya, usaha kami belum membuahkan hasil.

Selama itu pula mpu Dharmapala mengijinkan aku dan Mayang untuk tetap tinggal di rumahnya. Selamanya pun tak apa, begitu katanya. Betapa baiknya lelaki yang satu ini.

Bisa kulihat, Mayang nampak bahagia menjalani hari-harinya selama berada di tempat ini. Bagaimana tidak? Mpu Dharmapala memperlakukannya layaknya cucu sendiri. Sedangkan Thole yang polos dan lugu menganggap Mayang sebagai seorang kakak.

Mayang seolah punya keluarga baru. Bahkan dia punya keinginan agar kami menikah saja dan membangun kehidupan baru di tempat ini bila mustika itu tak ditemukan hingga kami tak bisa kembali.

Aku pun setuju. Sebenarnya aku masih berharap kalau kami bisa pulang. Tapi kalau memang takdir berkata lain, mau bilang apa? Mungkin ini sudah jadi kehendak Tuhan dan aku harus ikhlas menerimanya.

Selesai puasa 7 hari, aku pun mulai melatih Thole. Selain melatihnya sejumlah jurus, aku membekalinya ilmu olah tenaga dalam melalui tirakat dan semedi seperti yang dulu bapakku ajarkan.

Tadinya aku sempat ragu kalau Thole mampu menjalaninya. Bukan apa-apa, ilmu olah tenaga dalam adalah hal yang tergolong sulit. Tak semua orang mampu melakukannya.

Namun siapa kira, pemuda itu justru mampu melakukannya dengan baik. Tirakat dan semedinya nyaris tanpa cela. Bahkan kini dia sudah mampu kuasai olah tenaga dalam tingkat dasar. Hal itu jadi membuatku yakin kalau Thole ditakdirkan untuk jadi orang istimewa.

Tanpa terasa 30 hari terlewati. Thole mengalami kemajuan yang pesat. Aku benar-benar takjub dibuatnya. Seumpama ada 10 tingkatan, Thole telah mencapai tingkatan yang kedua. Luar biasa!

Mpu Dharmapala ikut senang melihat perkembangan cucunya itu. Meskipun aku tau kalau dia khawatir bila setelah ini Thole malah berangkat ke kota raja demi mengejar impiannya jadi prajurit.

Tapi aku yakin Thole takkan setega itu meninggalkan eyangnya. Lagi pula sekarang dia terlihat bahagia serasa punya keluarga yang lengkap dengan kehadiran diriku dan Mayang di rumahnya. Jadi untuk apa harus pergi?

Namun suatu hari, semua kebahagiaan itu seketika berubah..

Saat pagi menjelang, terdengar bunyi terompet yang menggema seantero lembah. Kami semua terkejut. Terutama mpu Dharmapala. Lelaki itu langsung berlari menuju halaman rumah lalu menatap jauh dengan wajah yang cemas.

"Ada apa eyang?" Aku bertanya sambil memandangi dirinya yang seolah merisaukan sesuatu.

"Perang sudah dimulai. Itu adalah terompet panggilan untuk semua prajurit." Jawab mpu Dharmapala dengan wajah yang tegang.

Aku tertegun mendengarnya. Entah mengapa timbul rasa kecewa. Kenapa semua ini harus terjadi? Di saat aku dan Mayang menemukan kedamaian di tempat ini, kini terancam hancur oleh peperangan yang penyebabnya kami pun tak tau.

Lalu dari kejauhan, nampak serombongan pasukan berkuda bergerak menuju ke arah kami. Mpu Dharmapala pun makin gelisah.

Setelah beberapa saat, pasukan berkuda itu tiba. Rupanya mereka adalah pasukan kerajaan yang bertugas mencari dan merekrut para pemuda untuk ikut berperang.

"Mpu Dharmapala, aku minta cucumu untuk ikut kami. Kerajaan membutuhkan tenaganya." Ucap salah satu dari mereka.

Mpu Dharmapala tak sanggup berkata-kata. Aku tau dia ada dalam dilema.

Dia tak mungkin menolak permintaan itu. Tapi dia juga tak mau kehilangan cucunya. Begitu pula dengan Thole yang hanya bisa tertunduk dan membisu.

"Saya saja." Ucapku tiba-tiba.

Semua orang terkejut. Terutama Mayang yang langsung menarikku sedikit menjauh.

"Heh! Apa-apaan kamu? Sudah gila apa?" Ujar Mayang sambil melotot. Tapi aku tau kalau hatinya risau.

Aku coba tersenyum demi meredam rasa paniknya.
"Mayang, biarkan aku pergi. Apa kamu tega kalau Thole yang pergi meninggalkan eyangnya sendirian?"

"Lalu aku gimana? Kalau kamu sampai kenapa-napa, aku sama siapa?" Sahut Mayang dengan suara bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Mayang, aku akan baik-baik saja. Aku berjanji, sepulangnya nanti, aku akan menikahimu. Kamu tau kan aku tak pernah ingkar?" Rayuku sambil membelai-belai rambutnya.

Mendengar itu, Mayang hanya bisa diam. Aku tau dia masih tak rela. Tapi janjiku padanya adalah sebuah harapan yang layak untuk ditunggu.

Aku kembali menghadap para prajurit itu yang nampak sudah tak sabar. Sementara Mayang masih memegangi tanganku seolah enggan ia lepaskan.

"Eyang, Thole, saya titip Mayang." Pintaku pada mpu Dharnapala dan Thole yang sejak tadi hanya diam memperhatikan kami.

"Iya nak Yudha, Mayang aman bersama kami. Terima kasih sudah mau gantikan Thole. Semoga nak Yudha diberikan perlindungan oleh Sang Maha Kuasa." Jawab mpu Dharmapala dengan suara bergetar menahan haru.

"Maafkan saya mas, saya tak tega tinggalkan eyang." Ucap Thole penuh rasa bersalah.

Tapi aku tak marah. Aku tak bisa menyalahkan niat seorang cucu untuk menjaga dan melindungi eyangnya. "Saya mengerti Le, jaga eyang dan kak Mayang sampai aku kembali. Sanggup?"

Thole mengangguk lalu menjabat tanganku erat-erat. "Hati-hati mas. Saya tunggu mas Yudha kembali."

Lalu kutatap wajah Mayang. Kini dia malah menangis. Sebelum pergi, kukecup keningnya lalu memintanya untuk balas mengecup keningku sebagai bekal, bekal terbaik dari semua bekal yang bisa kudapat.

Dan aku pun pergi..

***

Aku dibawa menuju sebuah tanah lapang dimana telah berkumpul begitu banyak orang yang senasib denganku. Wajah-wajah khawatir mereka menandakan kalau mereka sebenarnya tak ingin ada di sini.

Di tempat itu pula kami mendapat pengarahan dan pelatihan kilat. Tujuannya untuk memilih dan memilah antara yang punya kemampuan bela diri dengan yang tidak.

Bagi yang punya kemampuan, akan langsung ditempatkan bersama pasukan kerajaan yang memang sudah terlatih. Sementara yang tak bisa apa-apa, akan difungsikan sebagai tenaga yang siap melakukan pekerjaan kasar apa saja.

Aku yang memang tak suka berperang, sengaja terlihat bodoh agar tak jadi prajurit. Lagi pula semakin jauh aku dari medan pertempuran, semakin besar pula peluangku untuk pulang dengan selamat.

Tapi sialnya, di situ ada prajurit kadipaten yang mengenaliku. Mereka langsung bercerita pada kepala pasukan tentang betapa hebatnya diriku yang sempat menghajar teman-teman mereka dan juga panglima Wanapati.

Dan hasilnya?

Tak tanggung-tanggung, aku malah didaulat untuk jadi panglima mereka menggantikan Wanapati yang hingga saat ini masih tergeletak tak berdaya.

Waduh!

Setengah mati aku menolak, coba berkilah kalau mereka salah orang. Tapi bantahan satu orang jelas kalah dari kesaksian puluhan orang prajurit. Apalagi kini mereka sedang kekurangan sosok pemimpin. Akhirnya aku pun menyerah.

Kini, suka tak suka, mau tak mau, aku adalah salah satu panglima yang siap maju ke medan perang.

Saudara-saudara sekalian! Perkenalkan!

Panglima Yudha!

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close