Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 12) - Kitab Sangang Urip


Tangan Murni ditarik oleh Ni Ayu Sukma Abang, "Kemari Murni, aku ingin menunjukkan sesuatu" 

Kedua gadis cilik itu berlarian melewati lorong-lorong istana yang besar dan menyeramkan. Lantai istana itu hampir-hampir tidak kelihatan karena tertutup kabut tipis berwarna putih. Kabut itu bagi Murni terkadang memuakkan karena bercampur bau anyir dan amis darah. 

Murni bergidik ketika mereka harus melewati makhluk penjaga istana yang berbadan besar bagai raksasa, berwarna hitam gelap dan mata memancarkan cahaya merah, di badannya melingkar gelang dan kalung keemasan bak prajurit kerajaan. Namun makhluk itu tunduk hormat ketika Ni Ayu melintas di depan mereka. 

"Makhluk itu seperti sangat hormat kepadamu Ni Ayu Sukma Abang, apakah kau petinggi di istana ini?" tebak Murni. 

Gadis cilik itu tersenyum jenaka, matanya bulat hitam bersinar terkena cahaya obor sementara mulutnya tersungging memperlihatkan gigi taring yang sedikit lebih panjang dari manusia normal, terlihat tidak wajar.

"Tentu saja Murni, aku adalah dayang tunggal Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit. Tentu semua yang ada di istana ini patuh tunduk kepadaku. Bila ada yang berani macam-macam denganku akan kuhancurkan roh mereka sampai berkeping-keping, nah kau boleh panggil aku Ni Ayu atau Sukma."

Murni mengangguk seakan mengerti, padahal dalam hati ia merasa heran bagaimana mungkin ada anak usia beberapa tahun dibawahnya bisa berkuasa di Istana Jalmo Mati. Apakah anak ini benar-benar anak manusia? 

"Nah sudah sampai. Ini kamarku"

Murni menganga ketika sampai di sebuah ruangan yang luas dan megah. Daun pintu ruangan itu sangat lebar, lebih lebar dari pendopo desa Bakor. Didalamnya terdapat kamar yang mewah dengan permadani dan tirai sutra bernuansa merah darah. Meja dan kursi terbuat dari ukiran berwarna keemasan menghias apik, di tengah ruangan terdapat tempat tidur yang sangat besar. Terlihat sungguh mewah. 

Ni Ayu menggandeng Murni ke pinggir tempat tidur. Terasa empuk bagi Murni, jauh lebih nyaman daripada dipan keras beralas daun pandan miliknya di desa. 

"Nyaman bukan? Selama kau menjadi sahabatku, kau boleh tinggal disini Murni." bujuk Ni Ayu.
"Kau bahkan bisa bermain di ruang peristirahatan Nyi Ratu Gondo Mayit, tempatnya lebih luas dan indah daripada ruangan ini" 

"Te-terimakasih Ni Ayu, pasti banyak anak lain yang senang tinggal di istana semegah ini" ujar Murni dengan sedikit berbohong. 

Murni menoleh kesekeliling, jika saja ini adalah istana manusia tentu dia akan sangat kegirangan. Sayangnya dia ada di kerajaan Demit. Nyawanya bisa melayang kapan saja ditangan para penghuni. 

Wajah Ni Ayu mendadak muram. "Selama ini tidak ada anak lain yang mau bermain bersamaku. Semuanya selalu ketakutan padaku. Yang mereka lakukan hanya menangis dan menangis. Membuatku sebal akhirnya kuumpankan saja kepada dedemit hutan, jadi pengganjal perut." ujar Ni Ayu berterus terang. Mukanya tidak menunjukkan rasa penyesalan dan masa bodoh.
"Hanya kamu satu-satunya teman sepantaran yang berani kuajak bicara, aku sungguh senang"

Wajar jika mereka menangis ketakutan, sebab kau bertindak sungguh kejam terhadap bangsa manusia, kau potong tubuh mereka layaknya daging cacah. Mungkin jika kau sudah bosan bermain denganku maka kau akan menyingkirkanku pula, aku-Murni tak lebih dari boneka mainanmu saja, pikir Murni.

Murni merasa terjebak di sangkar emas, dia tak mau harus menemani gadis cilik ini selamanya. Ni Ayu memang menjamin keselamatannya, tetapi siapa yang menduga kedepannya akan terjadi apa. Mungkin junjungannya Nyi Ratu Gondo Mayit ingin meminum darahnya? Dia harus tetap ingat dan waspada, mencari jalan kabur bila ada kesempatan. 

"Kok bengong Murni, ayo kita harus bersiap. Sebentar lagi acara besar ritual Tumbal Kembar akan berlangsung. Kita harus pergi ke lapangan sesegera mungkin." tukas Ni Ayu sambil mengangsurkan sebuah kain yang terlipat.

Kain itu berbentuk jubah berwarna hitam. Dengan bros terbuat dari merah delima berbentuk tengkorak. Murni segera mengenakan jubah itu. 

"Jangan pernah melepas jubah itu diluar kamar, agar kau tidak diganggu oleh anak buahku dan demit hutan lainnya. Jubah itu menandakan kau adalah salah seorang dayang Nyi Gondo Mayit"

Murni mengangguk. Dalam hati jantungnya berdegup semakin kencang. Semoga saja Ni Ayu tidak mengetahui kalau dia adalah salah satu tumbal kembar. Yang dia harus lakukan adalah menyembunyikan wajahnya dalam tudung jubah yang lebar, agar tidak ada yang mengenali terutama siluman Gagak Rimang dan anak buahnya. Para iblis itu telah mengetahui peran Murni sebagai tumbal dalam pertarungannya dengan Sasrobahu.

"Ritual ini apakah sangat penting bagi Kanjeng Ratu?"

Ni Ayu menatap Murni dalam-dalam, iris matanya berubah menghitam membuat jantung Murni hampir copot. Ia segera bersimpuh dan mengatupkan kedua telapak tangan di dahi. 

"Ampun Ni Ayu, mohon maaf kelancangan saya. Tidak usah menjawab bila Ni Ayu tidak berkenan" sahut Murni sambil bergetar.

Ni Ayu mengangkat pundak Murni, menyuruhnya kembali duduk, "Tidak apa-apa Murni, kamu kan sahabatku. Asal kamu tahu ritual ini sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kesaktian Nyi Gondo Mayit, karena beliau berlatih ilmu kitab Iblis Sangang Urip. Ini adalah ritual tumbal terakhir agar ilmu Beliau masuk ke tahap tertinggi Sangang Urip! (Sembilan Kegelapan!)"

"Bukankah itu merupakan kitab utama dunia persilatan?" tanya Murni. 

Awalnya Ni Ayu mengira Murni tidak mengetahui kitab. Ternyata anak kecil ini tahu sesuatu, matanya menatap tajam sahabat barunya itu. 

"Darimana kau tahu?"

Murni menyadari dia telah kebablasan salah ucap. Tangan anak itu menutup mulut, namun terlambat, Ni Ayu semakin penasaran dan memaksa.

"Dari Kakang Sasrobahu Ni Ayu, kepala desa Bakor sekarang, beliau mengajarkan berbagai hal kepada saya" ungkap Murni berbohong. Sasrobahu memang memberikan sedikit pengetahuan alam ghaib kepada Murni, tetapi informasi tentang kitab Iblis Sangang Urip ia dapat dari bekas jasad ki Argo Lawu.

Murni tidak Mungkin menceritakan pertemuannya dengan jasad Ki Argo Lawu. Karena sesuai petunjuk beliau untuk merahasiakan hal ini, jika dilanggar bisa-bisa semua peninggalan orang sakti itu jatuh ketangan para pemuja iblis. 

Ni Ayu mengangguk, "ha pantas, rupanya dia juga telah memberitahumu perihal Kitab Utama pangkal dari semua kesaktian di seisi jagad ini. Hem supaya kau tahu Murni, aku tertarik dengan dirimu karena keberaniaanmu, karena itu kuberitahu mengenai kitab Utama ini,  mungkin nanti Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit mau mengangkatmu langsung menjadi murid beliau."

Ni Ayu menjelaskan secara cepat dan ringkas, karena otak Murni termasuk encer, anak itu mampu mengikuti baik-baik. Dalam dunia iblis dan manusia terdapat lima kitab kesaktian yang menjadi incaran dan rebutan para pendekar dan dedemit. Kitab itu adalah Kitab Iblis Sangang Urip, Kitab Pusaka langit, Kitab Racun Selaksa Wisa, Kitab Api Surga dan Es Neraka, dan terakhir adalah Kitab Angin dan Hujan Sakalaksa. (Kesemua kitab berhubungan dengan unsur alam) Kerajaan Kalingga secara utuh menguasai kitab Angin dan Hujan karena itu mereka bisa bertahan melawan gempuran kaum Iblis bahkan mengalahkan mereka. 

Kitab Racun Selaksa Wisa dimiliki oleh penghuni Lembah Neraka dengan utuh, hal ini menyebabkan Lembah itu tidak tersentuh oleh kaum iblis dan manusia, beruntungnya penguasa dari Neraka Lembah neraka tidak pernah keluar dari kediaman mereka untuk memperluas wilayah ataupun mengambil kekuasaan. Dia tidak termasuk orang yang gila kekuasaan.

Kita Api Surga dan Es Neraka (seyogyanya) diturunkan kepada kerajaan Basarah dari barat namun kitab itu telah hilang selama beberapa abad. Tidak banyak yang tersisa dari jurus yang ada di kitab tersebut yang bisa dilatih kerajaan itu. Selain itu sama halnya dengan Kitab Pusaka Langit, keberadaaannya sirna tanpa jejak, tidak ada demit maupun manusia yang pernah melihat isi kitab itu.

Yang terkuat, Kitab Iblis Sangang Urip dimiliki oleh kaum Iblis dan para pemujanya, karena kaum iblis begitu tamak memperebutkan kesaktian sampai sekarang Kitab itu terpecah menjadi beberapa bagian, termasuk yang dimiliki Kanjeng Ratu Gondo Mayit. Kitab Sangang Urip mampu mengubah manusia menjadi makhluk sakti separuh iblis, usianya akan bertahan lama dan abadi. Sementara Iblis yang mempelajarinya akan mendapatkan tubuh wujud milik manusia, sehingga dia bisa berjalan di muka bumi dengan bebas.

Konon katanya semua ilmu yang ada di jagad bumi bersumber langsung dari lima kitab tadi, sehingga mereka disebut juga dengan sebutan Kitab Utama.

"Sebenarnya masih banyak lagi keterangan lain yang bisa kuajarkan, tetapi sekarang waktunya sangat sempit lain kali kita sambung, ayo kita berangkat" ajak Ni ayu.

Murni Mengangguk setuju.

Kedua gadis itu bergegas menuruni tangga menuju balkon utama istana Gondo Mayit. Suara lonceng kecil di ujung selendang Ni Ayu terdengar gemerincing ketika menapaki undakan yang berbatu. Hingga akhirnya mereka tiba di tempat yang luas dan terbuka, sungguh luas hampir separuh dari padang rumput desa Bakor. Murni bisa melihat langit malam yang benderang oleh taburan bintang gemintang. Dan Bulan Purnama menggantung besar di angkasa, tampak bulat sempurna dengan semburat merah yang terasa sedikit aneh. 

Kemanapun netra Murni memandang, banyak iblis dan pasukan dedemit tengah berbaris rapi diatas balkon, mereka sepertinya hendak bersiap pergi. Ada dua buah tandu yang tertutupi kain berwarna merah. Satu tandu dihiasi dengan ukiran keemasan di puncaknya, tandu itu lebih besar daripada tandu yang kedua. Ni Ayu Sukma Abang segera menggandeng Murni, mereka berjalan melewati pasukan iblis istana Gondo Mayit. Murni tidak berani menatap ke atas lama-lama karena wajah mereka begitu menyeramkan.

Ada banaspati, genderuwo, kemamang segala rupa, nampak wajah yang hancur berantakan, mata membulat keluar serta mulut penuh gigi tajam bagaikan landak. Kepak bayangan hitam berterbangan diatas kepala Murni, ia tidak tahu apakah itu kelelawar atau hantu yang bisa terbang.

Ni Ayu Sukma Abang memanggil kedua jendral perangnya. Patih Gagak Rimang dan Nagindi. Kedua iblis itu segera bersimpuh di hadapan Dayang utama Nyi Ratu Gondo Mayit. 

"Bagus segera laporkan kondisi di tanah Segoro Mayit" perintah Ni Ayu.

Patih Gagak Rimang yang terkenal sebagi jendral pengintai dan penguasa telik sandi hutan Tumpasan segera mendekati Ni Ayu Sukma Abang. Wajahnya menatap tajam ke arah Murni, membuat anak itu gelagapan, ia menunduk untuk menghindarkan kecurigaan dari patih bermata burung itu.

"Daulat Ni Ayu, tanah Segoro Mayit sudah siap menerima persembahan daging dan darah manusia. Semesta sudah mulai masak dalam waktu dan usia, ritual Tumbal Kembar sudah hampir menitik dalam sebuah niskala kepastian. Semuanya telah berkumpul disana sesuai rencana."

Deg...

Murni merinding mendengar laporan Gagak Rimang, pikirannya kembali membuka dugaannya di awal, bahwa akan terjadi pembantaian besar-besaran dalam ritual tumbal kali ini. Bukan hanya mengorbankan dua jiwa manusia saja. Tetapi mengapa?

Ni Ayu mengangguk puas. "Bagus, kali ini Kanjeng Ratu ingin agar pasukan ditinggal disini semua. Yang bergerak ke lapangan adalah kedua jendral, pembawa tandu saja, karena pasukan pengawal istana sudah maju menggempur dari belakang maka pasukan pengintai dan pasukan ular harus menjaga Istana Jalmo Mati."

Nagindi dan Gagak Rimang terkejut kemudian saling  berpandangan, mereka seperti tidak setuju dengan titah Ni Ayu Sukma Abang, mereka sebaiknya menggempur musuh dengan kekuatan penuh. Sebab telah terbukti satu patih serta seluruh pasukannya sudah kehilangan kabar begitu prajurit Kalingga datang, ini artinya kekuatan musuh perlu diperhitungkan.

"Jika kita tidak mengerahkan seluruh kekuatan maka kami takut akan terjadi bencana Ni Ayu. Kami takut ritual akan terganggu dan Kanjeng Ratu tidak akan mendapatkan hasil yang sempurna sesuai niatan." sanggah Nagindi.

Ni Ayu mendelik menatap kedua bawahannya satu persatu, "Dengan berkata begitu maka kamu meragukan akan kesaktian Nyi Gondo Mayit! beliau sudah menubuatkan bahwa tumbal ini akan terjadi dan tidak akan terganggu oleh suatu marabahayapun. Kamu terang-benderang mau melawan kehendak Ratu?"

Akan tetapi bagaimanapun gadis cilik Dayang utama itu adalah perwakilan dari Gusti Ratu nyi Gondo Mayit, mau tak mau mereka harus tunduk dan patuh. Keyakinan mereka atas kesaktian Nyi Gondo Mayit tidak terbatas maka mereka memenuhi permintaan Ni Ayu.

Kedua gadis itu segera menaiki tandu yang lebih kecil, kedua patih mengiringi di samping kanan. Setibanya didalam tandu Murni bertanya kepada Ni Ayu dimanakah Kanjeng Ratu karena dia belum pernah melihatnya semenjak tiba di Istana ini.

"Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit sudah bersemayam di tandu utama, jangan khawatir" ujar Ni Ayu. 

Kedua Tandu itupun segera terbang melesat di tengah langit malam hutan Tumpasan. Angin malam berhembus melewati tirai sutra merah tandu, ketika Ni Ayu tengah konsentrasi duduk bersila sambil memejamkan mata, Murni memberanikan mengintip sedikit dari jendela tandu. Tampak dibawah tandu ia melihat puluhan wewe gombel dan palasik terbang memanggul kedua tandu tersebut. Dalam sinar purnama wajah mereka terlihat penyok dan menyeramkan, bahkan organ dalam mereka terburai keluar. Murni berusaha menutup mulut agar isi perutnya tak keluar.

Di bagian kiri tandu dia melihat sesosok bayangan hitam terbang mengiringi, nampak Gagak Riman membentangkan sayapnya bagai burung gagak raksasa. Puluhan makhluk kecil seperti kelelawar berterbangan di sekelilingnya.

Murni beralih ke jendela sebelah kanan, ia begitu penasaran melihat apa yang mengiringi tandu di sebelah sana. Pemandangan di luar tidak kalah mengejutkan, seekor ular raksasa nampak terbang dengan tubuhnya yang panjang meliuk-liuk. Mata makhluk itu melirik tajam ke arah jendela terbuka tempat Murni mengintip, membuat Murni segera menutup tirai itu. Mata ular itu begitu besar, berbentuk garis lurus seakan menembus jantung hatinya.

Lolongan serigala nampak terdengar di kejauhan, mengiringi rombongan ratu iblis dan punggawanya. Murni berdoa dalam hati agar ia bisa selamat beserta seluruh penduduk desa Bakor yang berperang.

***

Darah merah kehitaman membentuk jalur di kulit Larantuka yang putih. Terlihat sungguh kontras dibawah siraman cahaya purnama. Candika menahan napas melihat pendekar itu terluka. Tidak disangka musuh bisa mengeluarkan jurus seribu bayangan yang membingungkan panca indra. Bahkan dirinya sendiripun tak mampu membedakan mana yang asli.

Ribuan bayangan hitam itu menyerang Larantuka dengan menggila, pendekar itu sibuk melayani setiap pukulan atau tendangan yang masuk, hanya saja setiap Larantuka melancarkan sabetan maupun pukulan, angin serangan akan menembus bayangan-bayangan hitam menghancurkan bebatuan maupun pepohonan dibelakangnya. Sementara bayangan itu tetap utuh tanpa cacat sedikitpun.

Bughhh...

Kali ini punggung Larantuka terbuka, menjadi sasaran sodokan telapak Siluman Iblis. Darah segar serta merta menghias di sudut bibir pendekar itu. Belum lengkap napas Larantuka, Siluman itu bersuit panjang, dan kilatan senjata andalannya terlihat berkelebat dengan cahaya keperakan. Itulah senjata mustika Cakar iblis andalan Siluman Rai Loro, ketajaman senjata berbentuk cakar itu dipadukan dengan ajian Selaksa Rogoh Sukmo maka serangannya berkali lipat lebih mematikan.

Candika berteriak keras hendak membantu Larantuka, namun pendekar itu membentak gadis itu, menyuruhnya agar tetap bersiaga di pinggir lapangan. Keadaan terlalu berbahaya, ada kesalahan ataupun gangguan sedikit maka nyawa taruhannya.

Kuda kuda Larantuka semakin rendah, tangan kanannya menyilang melindungi leher dengan telapak tangan menghadap ke atas, sementara tangan kirinya perlahan mencabut sebuah benda mustika yang melingkar di pinggang.

Ajiku Aji guna
Segara Asat Gunung Luruh
Getih ning Pati Getih ning Raga
Manunggaling pedhang kaliyan ruh

Larantuka berbisik pelan, tangannya bergetar tatkala benda panjang berwarna merah itu tercabut dari warangkanya. Pedang itu mengundang kesiur angin dingin, memasuki medan laga, membuat tubuh Candika menggigil lebih kencang.

Matanya terbelalak melihat pedang sepanjang dua hasta berpendar kemerahan di dalam gelap. Cahaya merahnya jauh lebih terang dan menggidikkan. Mengirimkan sebuah sentuhan dingin dengan nuansa kematian ke sekujur syaraf kulit tubuhnya. Apakah ini kekuatan sejati pedang iblis Merah Darah?

Apa yang dirasakan Candika juga sama dirasakan hati iblis Siluman Rai Loro, selama hidupnya belum pernah ia melihat pedang mustika seperti itu. Sekejap dia terdiam, ajeg-ajeg nya telah goyah, mungkinkah dia akan berakhir di ujung pedang itu? Tidak, Siluman Rai Loro adalah iblis yang telah menjelma selama ratusan tahun bertapa di Gunung Rangkong. Dia tidak kalah dengan pemuda itu, toh tadi dia sudah terluka parah oleh senjata andalan. Kali ini dia tidak boleh terpancing tipuan musuh, pedang itu hanyalah sebuah gertak sambal belaka.

"Hiaaatttt!"

Iblis Siluman Rai Loro berteriak kencang, kali ini senjata Cakar Iblis ia putar dengan kencang, prananya telah dipompa sampai ke puncak sehingga setiap sabetan senjata itu menimbulkan angin kencang maha dahsyat. Candika hampir-hampir melayang akibat hembusan angin itu. Iblis Siluman tersenyum bengis, ia siap memuntahkan jurus terkuatnya Pusaran Cakar Iblis.

Lalu dengan kekuatan sepenuh tenaga, Iblis Siluman Rai Loro beserta ratusan bayangannya melemparkan senjata tajam itu ke arah Larantuka, cahaya perak segera memenuhi angkasa hampir-hampir membutakan mata Candika. Ratusan larik cahaya itu bagaikan bunga matahari yang mengepung seekor lebah. Tak ada celah selebar lubang jarumpun untuk melarikan diri.

Lalu, Candika menyaksikan suatu hal yang luar biasa. Dari titik pusat hantaman ratusan Cakar Iblis muncul selarik cahaya merah, awalnya cuma setitik, kemudian terus berkembang menelan cahaya perak yang mengepung, cahaya merah itu membentuk kubah yang melindungi Larantuka.

Cahaya merah itu membesar tiba-tiba bahkan menelan seluruh bayangan hitam iblis Rai Loro.

Tranggg...

Suara keras memekakkan telinga, bunga-bunga api berkejaran di udara.

BERSAMBUNG
close