Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 11) - Ni Ayu Sukma Abang


Kenapa Manusia begitu lemah? 
Mudah menangis, mudah kesakitan? 
Begitu rapuh, tanpa daya
Derita, perih, kesedihan
Lebih baik semuanya musnah
dari muka bumi

***

Murni hampir muntah menahan bau busuk  tulang-belulang manusia yang menumpuk. Ia belum mau keluar dari tumpukan itu apabila keadaan sekeliling masih belum aman.

Jantungnya berdegup kencang, telinganya yang tajam mendengar suara erangan yang menyayat hati. Ia membuka sedikit belulang yang menutupi netra untuk melihat situasi. 

Gadis itu berada dalam sebuah ruangan yang cukup besar, diterangi dengan obor yang menyala-nyala. Dengan tembok dari batu granit yang besar penuh ukiran. Ruangan itu memiliki atap dari kayu balok yang bersusun-susun menyangga lempengan batu yang lebih besar. Matanya tertumbuk pada lima orang yang tangannya terikat di dinding itu. Semuanya lelaki, hanya memakai cawat kain untuk menutupi kelelakian mereka. Kepala mereka tertunduk layu. 

Hati Murni berdesir, kenapa orang tersebut tergantung disitu dengan kondisi setengah telanjang, apakah mereka adalah tawanan? 

Tiba-tiba terdengar suara gemerisik, tanah seperti bergetar kencang. Dari pintu masuk terlihat dua sosok bayangan besar. Gadis itu hampir menjerit melihat siapa yang datang, untunglah dia segera menutup mulutnya. 

Baru kali ini dia melihat orang yang setengah bagian tubuhnya berbentuk ular. Dari pinggang ke atas berwujud manusia seperti prajurit kerajaan, bergelang logam kuningan, dengan membawa tombak yang berkilat. 

Sementara dari pinggang ke bawah berwujud tubuh ular yang panjang bersisik hitam. Mereka berjalan dengan melata di atas permukaan tanah. 

Didepan tempat Murni bersembunyi mereka berhenti, jantung gadis itu hampir saja meloncat keluar.

"Aku mencium bau manusia asing hssssss" sahut salah seorang prajurit ular dengan berdesis. 

Mata mereka seperti ular dengan lidah bercabang keluar dari mulut, membuat Murni bergidik. Prajurit itu lantas mengobrak-abrik tumpukan tengkorak tidak jauh dari tempat gadis itu bersembunyi. Sebentar lagi bergerak ke arahnya. Detak jantung Murni semakin cepat, keringatnya jatuh berbulir. 

"Jangan ngawur, ratu Nagindi sudah memerintah kita untuk mengambil selir, tak ada waktu untuk bermain-main" bentak prajurit yang satu sambil memegang pundak rekannya. 

Kedua prajurit ular itu lantas berbalik arah, melepas belenggu seorang tahanan dari dinding kemudian menyeretnya keluar. Murni bersyukur kepada Tuhan  dalam hati, hampir saja ia ketahuan jika saja prajurit itu memeriksa ke arahnya. 

Sepeminuman teh kemudian setelah tidak ada tanda kedatangan prajurit, Murni segera keluar dari tempat sembunyi. Ia memeriksa para tahanan, tangan mereka di belenggu terbuat dari logam yang dikunci, ketika ia mengangkat dagu tahanan itu tak disangka dua diantaranya adalah penduduk desa Bakor yang beberapa bulan telah menghilang. Kang Borma anak dari Mbah Darkun sesepuh desa, serta Kang Sura tetangganya yang biasa berternak kambing di tepi hutan. Warga desa menganggap mereka yang hilang sudah kesasar ke dalam hutan dan menjadi santapan penunggu hutan Tumpasan. 

Murni berusaha menepuk pipi untuk membangunkan mereka namun tetap tidak mau sadar, malah berbicara aneh dan meracau yang tak jelas, netra lelaki itu kosong tanpa cahaya, seperti ada sihir yang membelenggu jiwa mereka secara tak kasat mata. Murni berusaha memutar akalnya untuk menyadarkan.

Akhirnya gadis itu menyerah, ia harus mencari bantuan dari luar. Ia beralih memeriksa pintu tempat kedua prajurit tadi masuk untuk mencari pertolongan. Di pintu itu terdapat lorong menuju dua arah, di lorong sebelah kiri ia melihat gerbang penuh ukiran dengan tirai berwarna hijau,  sementara lorong sebelah kanan masih belum kelihatan ujungnya. Murni belum pernah ke tempat dengan banyak lorong seperti ini, dimanakah sebenarnya dia berada? Murni kemudian memutuskan untuk mendekati gerbang itu dengan penuh rasa penasaran. Musik gending gamelan sayup-sayup terdengar mengalun. 

Begitu masuk ia mendapati banyak tirai-tirai sutra berwarna hijau yang berukuran besar. Seumur hidup, sebagai penduduk desa Bakor yang terkucil dari dunia luar Murni belum pernah menjumpai kain seindah dan selembut itu, ia elus-elus dan raba sepuas hati. Kemudian ia ambil satu helai kain untuk dijadikan selendang. 

Indera pendengarannya menyeretnya terus masuk mengikuti suara musik, menembus tirai itu lapis demi lapis. Angin berhembus semilir membuat anak gadis itu merinding, ditambah jumlah obor yang mulai sedikit terpasang di dinding menyebabkan suasana semakin temaram. Suara-suara aneh dan desisan terdengar semakin dekat menggantikan musik gamelan. Akhirnya ia sampai ke sebuah pintu yang hanya ditutupi kain sutra berwarna emas, dengan rasa penasaran yang memuncak ia menyingkap sedikit dan mengintip. 

Sebuah pemandangan yang tak pernah ia bayangkan terhampar di depan Murni. Gadis itu memerah mukanya, perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan muncul dalam dada. 

Seorang lelaki nampak terkulai lemas dengan badan penuh peluh keringat tanpa sehelai benangpun, di atasnya nampak seekor ular piton sebesar manusia tengah bergelung dengan sisik berwarna hijau berkilauan disiram cahaya obor. 

Ular itu menggesekkan tubuhnya diatas pemuda itu dengan ganjil. Kulitnya yang bersisik lantas  mengeluarkan lendir yang lengket berwarna putih kehijauan. Ular itu melotot dengan mata yang lebar, lantas membuka mulut perlahan dan memperlihatkan gigi taringnya yang tajam. Sementara laki-laki yang terbaring itu bergetar hebat juga turut serta membuka mulutnya. 

Seraut uap tipis keluar dari lima lubang di wajah lelaki. Terhisap ke arah mulut si ular Piton. Perlahan tapi pasti tubuh lelaki itu mulai mengering. Setelah puas menghisap asap itu, ular tersebut mulai memangsa manusia malang itu. Makhluk itu mulai mencabik dada dari atas ke bawah, merobek kulit dan menggigit dagingnya bulat-bulat. Bau anyir segera memenuhi isi ruangan saat cairan merah membanjiri ranjang itu. 

Murni menjerit kecil melihat kelakuan menjijikkan ular tadi. Kali ini tak sempat ia menutup mulut. Celakanya, ular tersebut menoleh ke asal suara. Begitu matanya menatap Murni, ular itu lantas berdiri tegak dengan mata merah. Darah segar dan kental masih menetes dari mulut. Suara desisan kemarahan terdengar begitu mengerikan di telinga Murni. 

Kabur..

Hanya itu yang terpikir dalam otak Murni, ia segera berputar mengambil langkah seribu. Melewati tirai-tirai sutra yang berlapis. Dengan napas tersengal ia berlari menuju lorong. 

Tiba-tiba bumi bergetar, bukan karena gempa melainkan ada sesuatu yang besar melewati lorong. Murni menoleh ke belakang, kakinya serasa lemas melihat ada sesosok besar di belakangnya. 

Ular piton hijau tadi, namun kali ini berukuran berkali lipat lebih besar, badannya hampir memenuhi lorong,  mulutnya bisa memakan manusia sekali telan, bagaimana bisa ular itu menjadi raksasa? 

Murni tak habis pikir, ia berlari kesetanan sampai harus jatuh bangun terpeleset lantai batu yang berlumut. Namun ular itu mengejar begitu cepat hingga jarak mereka tinggal setengah tombak, lidah ular yang basah bercabang, dan gigi taringnya setajam pedang siap merobek-robek tubuh kecil Murni. 

Dalam keadaan terjepit gadis itu melihat suatu kesempatan, dia segera meloncat ke sebelah kanan, pintu tempat ruang tahanan ia berasal. Tubuh Murni berguling dan terhempas ke dinding. Sementara ular raksasa yang mengejar, tidak dapat menghentikan laju badannya, makhluk itu terus masuk ke lorong lain. 

Dengan besar tubuhnya akan memakan waktu ular itu untuk berbalik arah, Murni memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri. 

Murni bergegas kembali ke Kang Borma dan Kang Sura, ia mencari batu besar di tanah seukuran batok kelapa. Ia lantas memukulkan batu itu ke gelang besi yang membelenggu para tahanan. Harapannya cuma satu, membebaskan para tahanan dan bersama-sama melarikan diri dari tempat celaka ini, meskipun mereka sendiri tak sepenuhnya sadar. 


Klang klang...

Berhasil, gelang besi itu terbelah jadi dua setelah dihantam batu. Keempat orang itu jatuh terduduk di atas tanah. Napasnya kembang kempis seperti sekarat. 

"Kang, bangun Kang!" teriak Murni seraya menggoyang bahu Kang Borma. Keringatnya mengucur deras. 

Kang Borma menatap kosong wajah Murni, tiba-tiba tangannya mencekik leher gadis itu kuat-kuat. 

Murni terbatuk-batuk kehabisan udara tangannya menjambak, menampar, meronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman Borma. 

"Kanjeng... Ratu... Nagindi" bisik Borma seperti kesurupan. Lalu aneh, tangan sekuat baja itu mengendur, Borma mendadak kejang layaknya terkena penyakit ayan, matanya melotot melihat ke atas, lalu ia lemas terkulai. 

Murni terbatuk kembali, ia segera merangkak mundur dari Borma sejauh mungkin. Lehernya terasa terbakar akibat kehabisan napas. Sejenak ia berusaha untuk bernapas tenang. Ia tidak berani  mendekat ke para tawanan, saat ini mereka seperti bukan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang mengendalikan. 

"Hmmm bukan main, rupanya ada anak manusia masuk ke istana Jalmo Mati, bagaimana bisa kamu melewati penjagaan kami Cah Ayu?" tanya sebuah suara keheranan. 

Murni menengok ke belakang dan terpana. Sesosok wanita cantik bermata hijau dan berbibir merah delima sudah berdiri di belakangnya. Tangannya yang berwarna putih mulus bersedekap didepan dada. Bajunya sungguh indah berwarna merah mengkilat. Matanya, entah bagaimana kesannya sangat mirip dengan ular yang telah mengejar Murni tadi, tatapan matanya sungguh membius menembus pikiran Murni. 

"I-istana Jalmo Mati?" jerit Gadis muda itu. 

Ia terkaget-kaget bisa tersesat jauh sampai ke sarang demit hutan Tumpasan. Rupanya ada lorong rahasia dari goa Pelangi yang menembus langsung ke kediaman Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit. Apakah ini artinya Ki Ageng Lawu memiliki kaitan dengan majikan istana Jalmo Mati? 

Murni lantas menunduk dalam menghindari pandangan wanita misterius tadi. Para tawanan tadi pasti sudah tersihir oleh wanita jelmaan yang ada didepannya. 

"Ampun kanjeng ratu, hamba dari hutan tersesat sampai ke tempat ini. Beribu ampun jika lancang mengganggu Gusti Ayu, a-apakah Gusti Ayu adalah Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit?" tanya Murni dengan menunduk ketakutan. 

Gadis berbaju merah itu tertawa seram. "Aku Nagindi, salah satu panglima kanjeng ratu. Karena kamu berani mengganggu ritualku maka kamu sekalian jadi tumbalku sekarang juga hihihi!" 

"Ampuni hamba kanjeng ratu" pinta Murni mengiba. 

Kali ini nasibnya begitu apes. lepas dari tangan satu panglima malah jatuh ke panglima iblis yang lain. Kali ini pesuruh Nyi Gondo mayit itu berkali lipat lebih menakutkan dari Gagak Rimang. Selain memakan daging manusia, juga bisa membuat orang jadi gila. 

Tangan wanita itu tiba-tiba saja memanjang  seperti ular dan mencekik leher gadis itu, mengangkatnya sejajar dengan wajah Nagindi. 

"Sayang kamu bukan lelaki, jika kamu lelaki, kita bisa bersenang-senang dahulu" ujarnya menyeringai genit. Lidah wanita itu berwarna ungu dan bercabang, menjilati pipi Murni.

Gadis itu berusaha melepas genggaman Nagindi,  namun jemari putih mulus itu ternyata sekeras baja. 

"Uuhhhkk"

Tiba-tiba terdengar suara rintihan dari Borma, sepertinya lelaki itu sudah di ambang maut. Perhatian Nagindi beralih, ia menghempas Murni ke tanah dan melangkah ke para tahanan yang tengah tergeletak. Matanya menatap Borma dengan rasa kasihan yang dibuat-buat.


"Sayang sekali kekasihku Borma, tampaknya kamu tidak kuat lagi melayani nafsuku. Baiknya kuhabisi saja orang tak berguna seperti kamu hihihihi!" jemari lentik wanita itu mengangkat kepala Borma yang terkulai lemah ke pangkuannya seperti seorang ibu yang meninabobokan bayinya. 

Sekali lagi wanita jadi-jadian itu menggunakan ilmu Sedot Arwah. Seluruh asap tipis yang keluar dari indera Borma menuju mulut Nagindi,  ditengah ajalnya lelaki itu bergetar meronta, namun apa daya, energinya telah terkuras banyak saaat menjadi budak pemuas nafsu Nagindi. Tubuh Borma berubah mengerikan, menjadi sosok tulang tengkorak yang dibalut kulit saja.

Saripati kehidupannya telah direnggut paksa oleh ilmu hitam milik Nagindi. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan kondisi Nagindi, wajah wanita itu semakin bercahaya, tanda tenaga kesaktiannya ikut meningkat.

Dengan kejam, Nagindi melempar tulang berbalut kulit itu ke tumpukan jasad yang ada di ruangan. Murni histeris, rupanya tumpukan tulang tempat ia bersembunyi adalah bekas korban dari siluman wanita ular. Sudah tak terhitung nyawa yang melayang dimangsa iblis wanita ini.

Setelah puas, Nagindi mendekati Murni dengan langkah yang berlenggok-lenggok, "Nah, Cah Ayu,  kemarikan jiwamu, biarkan aku bebaskan dirimu dari penderitaan duniawi hahahahaha"

Gadis kecil itu mundur seraya menggeleng kepada Nagindi agar tidak memangsanya. Namun posisi gadis itu yang terpojok semakin membuat Nagindi penasaran untuk mencicip daging Murni. Ia sudah ketagihan kelezatan daging manusia. Berbeda dengan kaum lelaki yang berhawa panas, Nagindi memerlukan saripati jasadnya untuk menambah kesaktian ilmu ular siluman, maka ia akan membunuhnya pelan-pelan.

Sedangkan untuk para wanita, karena berhawa dingin. Tidak akan berguna untuk ilmu yang ia latih, kebanyakan akan menjadi santapan pengisi perut siluman itu. Seperti nasib Murni yang sudah diujung tanduk. Satu detik lagi maka jemari Nagindi yang berkuku panjang dan tajam sudah bisa merobek wajah Murni, dan mengeluarkan semua isi perut gadis itu.

Naluri Murni membuatnya melawan, kali ini rasa takutnya berubah menjadi rasa ingin terus hidup. Dalam hatinya muncul benih-benih keberanian mengalahkan kungkungan rasa takut. 

Walau wajah Nagindi berubah menjadi sangat menyeramkan, dimana matanya berubah menjadi sebatang garis persis dengan ular. Hidungnya mulai masuk kedalam menyisakan dua lubang besar, serta mulut yang memanjang kedepan memperlihatkan gigi tajam saling silang. Gadis itu tidak takut, berkali-kali tangannya memukul dan melempar kerikil yang mampu ia ambil, mulutnya terus meludahi makhluk itu. 

Siluman itu mendesis marah, bagian kaki Nagindi lantas berubah menjadi ujung ekor ular yang sangat besar membelit tubuh Murni.

Selama hidup Nagindi tidak pernah melihat mangsa yang melawan seperti Murni, berani-beraninya dia yang begitu lemah berani menghina ratu siluman ular. Kali ini Nagindi sudah naik pitam, sedetik lagi maka rahang mulutnya akan menghancurkan tengkorak Murni yang kecil dengan sekali kunyah.

Namun tiba-tiba terdengar suara anak kecil tertawa renyah. Gemanya menusuk ke gendang telinga Murni. Memenuhi seisi ruang bawah tanah. 

Kenapa Manusia begitu lemah? 
Mudah menangis, mudah kesakitan? 
Begitu rapuh, tanpa daya
Derita, perih, kesedihan
Lebih baik semuanya musnah
dari muka bumi

Terdengar kembali suara anak kecil bertanya dalam bentuk puisi, kali ini seperti empunya suara berada ditengah-tengah Nagindi dan Murni.

Anehnya, Nagindi surut melakukan aksinya, belitan siluman itu menjadi kendor. Otak Murni berpikir cepat, ia mengira suara itu adalah sosok yang berpengaruh terhadap panglima perang kaum iblis, mungkinkah Nyi Gondo Mayit asli yang datang?

"Manusia lemah karena tak punya tekad dan kemauan, jika ada tekad, bahkan gunung pun bisa ditembus. Gusti Ratu belum pernah bertemu  manusia dengan tekad setegar baja, maka bisa berkata demikian" jawab Murni dengan napas  menahan sesak atas belitan Nagindi. Ia pernah mendengar cerita dari kakeknya kalau diluar sana ada manusia yang bisa membuat terowongan raksasa menembus gunung untuk mencari air. 

Dalam pikirannya terbayang orang kuat yang pernah ia temui, sosok berbaju hitam bernama Larantuka. 

Siapa nyana jawaban itu disambut dengan tepuk tangan anak kecil. Nyatanya suara itu berasal dari arah atas. Murni melihat keatas di antara balok kayu penyangga atap ruangan telah duduk gadis kecil dengan berpakaian serba merah. Selendang kecil melingkar di leher dan pinggangnya. Ujung selendang itu dipasang lonceng kecil berbentuk bundar berwarna keemasan. Anak perempuan itu berjumpalitan dan turun ke bawah dengan enteng. Kakinya menginjak ekor ular siluman itu. 

Nagindi kaget bukan kepalang dan menghempaskan tubuh Murni ke tanah. 

Murni mengerang kesakitan namun netra tak lepas dari anak perempuan berbaju merah tadi. Muka yang bundar dengan mata lebar dan hidung yang mungil sungguh menarik. Mungkin usia anak itu sekitar sembilan tahunan, mengingatkannya akan adiknya yang menjadi tumbal bernama raden Slamet. 

"Apakah manusia itu cukup berharga untuk tidak dimusnahkan?" tanya anak itu polos. Tangannya berkacak pinggang. 

Murni tergagap akan pertanyaan tadi, ia tahu nasibnya akan tergantung dari jawaban yang ia berikan. 

"Nyawa manusia bagiku tak lebih dari seekor nyamuk. Lihatlah ini, perhiasan emas ini lebih berharga dari manusia." sahut anak itu gembira sambil menunjukkan gelang emasnya yang gemerincing berkilauan.
"Nah, sebutkan alasan agar aku tak membunuhmu" 

Murni bergidik mendengar mudahnya anak itu melenyapkan nyawa manusia. Dengan nada bergetar ia membujuk anak itu untuk mengurungkan niat jahat. 

"Ada hal-hal berharga yang tidak bisa diukur dengan materi. Sebanyak apapun emas berlian yang kau miliki, tetap tidak bisa memilikinya" terang Murni. 

Mata anak itu membulat, "benarkah? Apa yang lebih berharga daripada emas permata?" 

"Cinta kasih dari orang tua, teman dan sahabat. Persahabatan, kebahagiaan, semua itu tidak dapat dibeli dengan uang" jawab Murni.
"Semua kekayaan, kekayaan bisa rusak dimakan waktu. Tetapi persahabatan, kasih sayang, akan semakin kuat seiring bertambahnya waktu."

"Namaku Ni Ayu Sukma Abang, seumur hidup aku belum pernah mendapatkan apa yang kau bilang barusan." seru anak berselendang merah itu. 

Murni melihat secercah harapan untuk bisa bertahan hidup. Istana Jalmo Mati seperti ini jelas bukan tempat yang cocok untuk seorang anak kecil, entah bagaimana ia bisa hidup di tempat ini. Tampaknya ia begitu kesepian dan tidak memiliki teman. 

"Jika kau mau Ni Ayu, aku mau bersahabat denganmu agar kamu bisa merasakan apa itu arti persahabatan" tawar Murni. 

Anak itu terlihat girang. Membuat hati Murni sedikit trenyuh. Entah kehidupan macam apa yang anak itu alami di Istana Jalmo Mati. 

"Ni Ayu, jangan dengar katanya. Manusia ini lebih pantas menjadi santapan kita" bujuk Nagindi. 

"Diam! Baiknya kau segera bersiap ke Lapangan Segoro Mayit, waktunya segera tiba" perintah Ni Ayu Sukma Abang. 

Wanita cantik itu mendengus kesal kehilangan mangsa, ia mengibaskan selendang hijau, asap putih segera berhembus dari badan, dan siluman itupun menghilang dari pandangan kedua anak perempuan itu.

"Kau benar mau menjadi sahabatku?" tanya Ni Ayu memastikan kembali. 

Murni mengangguk. Dalam hati ia akan melakukan apapun agar jiwanya selamat, walaupun hanya sementara sampai ia bisa keluar dari istana maut ini.

"Horeee kita sekarang bersahabat" sahut Ni Ayu gembira sambil berpelukan dengan Murni. 

"Bersahabat selamanya tidak akan berpisah!" tambah Murni. 

Menambah lebar senyuman Ni Ayu Sukma Abang. Ia merasa tidak kesepian lagi. 

"Ayo ikut aku Kak Murni, kita ada acara penting." ajak Ni Ayu. 

"Kemana, acara apa?"

"Ke lapangan Segoro Mayit, acara tumbal kembar!"

Murni tercekat, tempat yang ia berusaha hindari, kini dengan terpaksa harus didatangi. Akankah ia menjadi penonton atau malah di tumbalkan? 

BERSAMBUNG
close