Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 10) - Demit Rai Loro


Demit Rai Loro (Iblis Muka Dua)

Kuda berwarna hitam itu berlari seperti kesetanan, entah karena suasana magis hutan Tumpasan, atau hawa kesaktian dari Larantuka. Hewan itu berlari melewati jalan setapak, menembus kerimbunan hutan Tumpasan. Jubah hitam Larantuka tampak berkibar kencang dihembus angin malam, Candika memeluk erat pemuda itu dari belakang agar tak terjatuh.

Mereka berpacu dengan waktu, untuk menyusul rombongan tumbal kembar yang dijaga pasukan Kalingga dan warga desa. 

"Kata penduduk desa diujung jalan ini, akan ada lapangan segoro mayit, tempat penjagalan tumbal kembar" terang Candika.
"Sebentar lagi tepat pukul dua belas malam akan dilakukan, kita harus cepat-cepat sampai disana Larantuka" 

Lelaki itu pandangannya menatap terus kedepan. "Dengan kesaktian gurumu, aku rasa mereka tidak akan mendapati bahaya" 

Gadis itu merenung, angin malam menyibak rambutnya yang tergerai.
"Kali ini berbeda, jika kerajaan iblis itu bisa membuat raksasa Buto Ijo tunduk menjadi anak buahnya, pasti pemimpinnya teramat sakti" Gadis berhidung mancung itu bergidik membayangkan kesaktian Buto Ijo. Kesaktian Buto Ijo sangat jarang tandingannya. Kekuatan pukulannya setara duaratus lembu, kulit raksasa buto Ijo terkenal kebal akan segala senjata tajam, cuma pedang mustika yang bisa melukainya.

"Haiiiiiiitttt"

Tiba-tiba Larantuka berteriak menjejak pelana kuda, membuatnya melenting sejauh tiga tombak ke atas bersama Candika.

Blaarrrr...

Sesuatu menghantam kuda tunggangan mereka, segera saja ringkikan kuda terdengar menyayat ke seisi hutan. Sebuah lengan hitam sebesar pohon dan kuku panjang tampak ganas mencacah kuda tunggangan tadi menjadi beberapa potongan. Membuat tubuh makhluk malang itu tercabik bersimbah darah.

Candika memandang bangkai itu dengan ngeri, serangan tadi begitu tak terduga, bisa saja nasibnya seperti kuda tadi.

"Siapa kau?" bentak perempuan itu.

Suara tawa menyeramkan terdengar. Sesosok bayangan hitam turun dari dahan pohon Cemara. Mukanya tidak terlihat karena gelapnya hutan.

Ternyata sosok itu tak sendiri. Perlahan dari balik pepohonan muncul makhluk penghuni hutan Tumpasan. Berbagai jenis demit dengan wajah mengerikan muncul dari kegelapan hutan Tumpasan. 

Candika terpekik melihat gerombolan demit itu. Jumlah mereka ratusan, teramat banyak untuk dihadapi berdua. Nyawa mereka kini seakan diujung tanduk. 

"Kukira semua sudah bergerak ke lapangan,  ternyata masih menyisakan dua tikus berkeliaran." seru sosok hitam itu.

"Apa maumu?" bentak Candika. 

Sosok itu tersenyum memperlihatkan gigi runcing yang tidak nampak seperti gigi manusia. "Nyawa kalian Cah Ayu. Kanjeng ratu menghendaki agar kami menjaga pinggiran lapangan Segoro Mayit. Agar tidak ada tumbal yang kabur"

"Apa maksudmu tidak ada yang kabur?" seru Candika dengan raut muka pucat pasi. 

"Acara tumbal akan dimulai tidak ada yang boleh keluar kabur, ataupun yang masuk untuk menganggu. Yang berani melanggar akan dihabisi semua" sahut sosok seram itu. 

"Apa maksudmu? bukankah penduduk desa harus kembali pulang setelah mengantar tumbal?"

Sosok itu tak menjawab, hanya tersenyum seram. Raut muka Candika memucat, apakah ini artinya semua orang tidak akan kembali seperti yang sudah sudah? apakah mereka semua akan ditumbalkan? Artinya serangan yang sudah direncanakan penduduk desa Bakor bersama pasukan dari Kalingga sebagai jebakan sudah diketahui musuh. Apakah pasukan Kalingga terperangkap siasat sendiri? semakin dipikir, gadis itu makin tak mengerti. Apabila musuh sudah bersiap dan memperhitungkan kekuatan Kalingga bisa jadi seluruh serangan akan sia sia. Candika goyah, hatinya semakin cemas akan keselamatan Candini dan gurunya.

"Serang!" 

Pasukan demit begitu mendengar perintah sosok hitam itu segera maju ke medan pertempuran. 

Delapan bayangan hitam melayang deras ke arah Larantuka dan Candika. Kuku mereka yang panjang setajam pisau belati mengincar titik mematikan di sekujur tubuh keduanya. 

Candika berteriak keras, tangannya tak kalah cepat melemparkan tiga titik cahaya keperakan. 

Cahaya itu tepat mengenai dahi kuntilanak yang menyerang. Tak ayal jerit kengerian membahana. Darah hitam muncrat mengenai mata mereka yang merah. Lima kuntilanak sisanya segera meluncur deras, kuku tangan yang tajam merangsek ke kaki dan kepala Candika. 

Gadis itu tidak siap melempar senjata dalam jarak dekat, ia segera mundur tiga langkah ke belakang,  namun tiba tiba dari belakang sesuatu yang dingin menempel di leher dan tangannya. Membuat ia tak bisa bergerak bebas. 

Kiiik-kiiiiik

Tawa menjijikkan terdengar di telinga Candika. Ia menengok dan ternyata ada tiga makhluk kerdil gemuk berkepala gundul dan berkulit hijau tengah mengunci kedua tangan dan leher. 

Mata mereka sehitam arang tanpa warna putih, lidah merah panjang dengan liur kental berwarna hitam. Lidah itu menjilat-jilat pipi Candika yang putih. 

Gadis itu mencoba berkelit tapi kuncian makhluk kerdil itu begitu kuat. Ia tak bisa bergerak maupun meloncat ke atas pepohonan untuk menyelamatkan diri. Kematian membayang ketika kuku lima kuntilanak tadi sejengkal lagi menusuk dada dan lehernya yang terbuka. 

"T-toloong" 

Mendadak mata Candika terhalang benda berwarna hitam. Punggung Larantuka! 

Pemuda itu mengibaskan tangan kiri yang penuh tenaga dalam seperti menepis lalat. Tangannya bergerak melingkar dengan enteng. Menghembuskan udara secara beruntun.

Braakkk.

Sontak kepala lima kuntilanak tadi hancur berkeping dihantam serangan tenaga dalam Larantuka tanpa sempat menghindar.

Mata Larantuka menoleh tajam ke arah makhluk yang mengunci tubuh Candika. Dua jemarinya enteng menyentuh bahu Candika. Gadis itu merasa  silau akan sinar keemasan yang keluar dari jari Larantuka, ia merasakan sensasi janggal, sebuah kekuatan terasa hangat menerjang badan bagian atas. Aneh, tiba-tiba terdengan suara keras dan ketiga makhluk kerdil itu sontak terlempar dengan anggota tubuh tercerai berai. 

Demit lainnya tak tinggal diam, langsung menyerang kedua sejoli itu. Mereka marah karena rekannya telah terbunuh. Namun Larantuka tidak mundur sejengkalpun. 

Sesosok jangkung berwarna hitam bermata merah menyeruak dari kumpulan demit, adalah Demit yang terkenal bisa berubah menjadi tinggi jika mangsanya semakin bertambah takut.

"Begu Ganjang awas!" teriak Candika.

Begu Ganjang itu menyerang Larantuka dengan tangan kirinya yang kurus namun luar biasa panjang. Sekali meraup maka area sepanjang dua tombak hancur disapu. Larantuka berusaha untuk menghindar ke belakang namun tangan kanan makhluk mengerikan itu langsung mencengkram pinggang pemuda itu dari jarak tiga tombak.

Larantuka terkesiap, ia sudah memperhitungkan jarak namun kenapa tangan itu mampu memanjang tiba-tiba? Sekilas dalam genggaman Begu Ganjang Ia melihat raut ketakutan dari Candika, rupanya itulah sumber kekuatan demit sehingga ia bisa memanjangkan tubuhnya sesuka hati.

Begu Ganjang berteriak nyaring, tangan kanannya membanting Larantuka langsung ke tanah, suara benduran terdengar. Debu berterbangan, batu batu hancur menjadi kerikil. Di bawah telapak tangan kanan Begu Ganjang timbul lubang sebesar tampah namun tubuh Larantuka tidak ada disana.

Demit itu terkejut karena musuhnya tidak hancur berkeping, karena ternyata sepersekian detik saat tangan itu terbuka, pemuda itu bisa melarikan diri secepat kilat, dan meluncur kebawah pahanya. Larantuka menjejak tanah dan melayangkan pukulan mematikan ke arah pangkal leher Begu Ganjang.

Makhluk itu segera memanjangkan leher, begitu tinggi hingga kepalanya melewati pucuk pohon cemara, namun kaki Larantuka menutul badan Begu Ganjang seperti kilat mengeluarkan jurus 'Saipi Angin' membuat tubuhnya secepat burung walet membelah langit. Perpanjangan tubuh makhluk itu masih kalah cepat dengan jurus meringankan tubuh Larantuka.

Cresss...

Pukulan Larantuka membabat ganas, kepala makhluk itu buntung dan menggelinding ke tanah, dibawah seluruh makhluk berteriak nyalang mereka menyambut kedatangan Larantuka yang jatuh menukik tajam.

Tangan Larantuka berkelebat seperti elang yang menyambar, menyambut terkaman para iblis hutan tumpasan, telapaknya berkembang dari dua menjadi empat, empat menjadi delapan, delapan menjadi enam belas. Dimana telapak itu berhenti disana ada kepala makhluk iblis yang hancur.

Gerakan Larantuka sangat cepat seperti angin, semua cakaran maupun gigitan para demit tidak bisa mengenai sasaran. Malah tanpa ampun badan mereka yang berlubang dihantam pukulan pemuda itu. 

Gelanggang pertempuran segera berubah menjadi arena pembantaian, darah hitam berceceran, pepohonan tumbang penuh dengan sisa sisa bagian tubuh siluman dan dedemit hutan Tumpasan. Aroma amis dan memuakkan menguar dari segala penjuru.

Meski pertarungan berlangsung tidak imbang karena jumlah demit lebih banyak, namun siapa menyangka tidak sedikitpun badan Larantuka terluka, kesaktiannya ternyata jauh diatas begundal hutan Tumpasan itu. Sampai Candika tidak mempercayai penglihatannya. 

Menyadari korban semakin banyak yang berjatuhan dipihaknya, Sosok hitam itu berteriak menyeru para demit berhenti menyerang. Karena percuma, diluar dugaan kesaktian musuh jauh diatas para prajurit demit bawahannya. Hampir separuh demit yang ia bawa serta merta tumbang dihajar Larantuka. Hal ini sangat berbahaya karena atas perintah Kanjeng Ratu ia membawa misi lain yaitu menyerang pasukan Kalingga dari belakang. Tanpa pasukan maka ia akan kekurangan tenaga yang dibutuhkan untuk menghabisi para prajurit.

Terpaksa kali ini dia sendiri yang akan menantang Larantuka satu lawan satu.

"Bocah tengik, kali ini aku sendiri yang akan mengambil nyawamu!" geram Panglima Siluman itu.

"Majulah" tantang Larantuka.

Sosok siluman hitam mengatur langkahnya, prana tenaga dalam ia salurkan untuk melindungi sekujur tubuh dari gempuran musuh. Angin kencang segera berhembus ditengah gelanggang hutan Tumpasan. Dari sepengamatannya Larantuka memilili ilmu aliran lurus yang bersumber dari cahaya. Ia melihat saat prana itu ditembakkan kedalam tubuh wanita itu maka sinar keemasan akan muncul dan menghancurkan kuasa kegelapan, termasuk anak buahnya. 

Ia tak boleh gegabah karena kelemahan dari ilmu kegelapan yang ia kuasai adalah ilmu yang bersumber dari cahaya, ilmu itu bisa berbahaya  dibandingkan dengan sumber lainnya. Ia lantas menggertak keras dan menerjang lurus ke arah Larantuka, kali ini ia mengeluarkan jurus "Merogoh Mayit" mendadak cakarnya sekeras besi dan bersinar hitam mengerikan.

Candika menelan ludah, ia mendengar kekuatan dan kesaktian dari panglima Kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit diatas rata-rata para pendekar tingkat atas, mungkin menyamai tingkat pertapa. Dan dari informasi para penduduk desa Nyi Gondo Mayit memiliki empat panglima iblis siluman. Gurunya pernah berkata, jika para demit dan jejadian bukanlah merupakan ancaman nyata. Namun mereka kaum demit yang telah mengikat perjanjian dengan manusia dan manunggal menjadi satu maka kekuatan dan kesaktiannya akan meningkat berkali-kali lipat. Ancaman lain adalah kemampuan para pemuja iblis itu untuk berjalan di bawah sinar Matahari. Apabila demit dan jejadian biasa keluar di malam hari karena di siang tubuh mereka akan terbakar bila terkena matahari, maka para pemuja iblis masih bisa bergentayangan dengan bebas walaupun di siang hari. Karena wadag mereka telah berubah menjadi manusia yang utuh. Jiwa kegelapan itu bisa bersembunyi dibalik daging yang dialiri darah manusia. Dan manusia yang menyatu dengan iblis akan berumur lebih panjang, bahkan dapat mengingkari kematian selama ada korban yang ditumbalkan. Hati Candika menjadi begidik ngeri, jika para pemuja iblis ini sampai berjumlah empat orang maka sampai dimana kesaktian dari Sang ratu junjungan mereka sendiri?

Berkali kali cakar Siluman Muka Dua berbenturan dengan kedua tangan Larantuka, menimbulkan bunyi dentuman dan bunga-bunga api di udara. Iblis Siluman berusaha sekuat tenaga untuk menyarangkan cakarnya tapi entah bagaimana Larantuka cuma menggunakan kedua telunjuk yang bersinar keemasan untuk menyongsong cakar andalannya.

Candika meleletkan lidah, melihat pertempuran yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Gerakan keduanya sangat cepat hingga matanya sulit untuk mengikuti. Terpaan angin pertempuran terasa menyayat sekujur tubuh.

Kedua jari Larantuka sungguh kuat dan tidak kalah alot, telapak Iblis Rai Loro serasa kebas dihajar ke dua jari itu, ia menjerit dan berjungkir balik mundur. Sebenarnya ilmu apa yang dimiliki pemuda ini? Kenapa begitu tinggi dan ia tidak pernah tahu sebelumnya? Segera saja ia menggeram keras dan mengangkat cakar sejajar dengan pipinya, kakinya mebuat kuda-kuda semakin rendah untuk memompa tenaga dalam, sedetik kemudian setelah penuh dengan prana "Merogoh Mayit' ia segera dorongkan ke depan cakar penuh tenaga itu.

Sepuluh larik sinar hitam menerobos keluar dari cakar itu menerjang keras ke arah Larantuka, pemuda itu tak kalah sigap ia mengarahkan kedua jemari yang memancarkan cahaya keemasan ke arah sinar itu. Ilmu hitam atau kegelapan bersifat dingin, memiliki saripati unsur kematian, ketakutan, kutukan dan kejahatan. Kebalikannya ilmu cahaya atau yang sering disebut ilmu putih oleh kalangan pendekar memiliki sumber kehidupan dan semangat, bersifat panas dan membakar.

Kedua inti ilmu yang bertolak belakang  ini saling bentrok, menimbulkan kekuatan luar biasa dahsyat untuk menihilkan antara satu dengan yang lain. Sejenak timbul ruang hampa di titik pusat pertemuan sinar itu diikuti pusaran angin kencang yang hampir menyedot Larantuka dan Siluman iblis itu ke tengah, lalu...

Blaarrr...

Suara ledakan terdengar seperti petir yang menggelegar, debu tebal berterbangan, Siluman itu terhuyung dua langkah kebelakang. Kedua tangannya terasa linu, namun Larantuka tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi pandangan mata kedua pihak terhalang debu yang menggumpal bak awan. Ia melayang, mengambil serangan dari atas, karena posisi atas selalu menguntungkan penyerang, kelima jemarinya membentuk telapak yang mengirimkan tenaga dalam untuk memecahkan batok kepala Siluman iblis itu. 

Larantuka sendiri tidak menyangka saat tapak tangannya menghantam musuh, ia merasa memukul udara kosong, dan benar saja tangannya menembus tubuh Siluman iblis begitu saja. Tiba-tiba saja belasan bayangan hitam keluar dari tubuh Siluman iblis, bayangan itu berubah menjadi sosok Siluman Iblis yang lain. Secepat kilat puluhan sosok Siluman Iblis membelah diri, semakin banyak dan mengepung rapat Larantuka.

Lelaki itu mencoba berputar mencari tubuh yang asli, tetapi semua bayangan itu sangat mirip satu dengan yang lain. Saat ia mendongak keatas, puluhan bayangan Siluman Iblis juga melayang-layang diudara, menutup jalan keluar, sehingga  tidak ada tempat untuk menghindar lagi. Puluhan sosok itu bersamaan meleparkan pukuran. Sebuah bayangan Cakar berwarna hitam menghujam ke seluruh tempat Larantuka berpijak. 

Pendekar itu tidak mampu menghindari serangan sebanyak itu, kemanapun ia meloncat, cakar hitam itu bagai hujan menembus tubuhnya. Untungnya cuma bayangan, namun tiba-tiba

Breettt...

Pundak Larantuka tersambar Cakar hitam yang asli, tiga goresan dipundaknya segera mengeluarkan darah segar.

Tawa Iblis itu berkumandang kencang, hampir melubangi gendang telinga Candika.

"Bagaimana bocah tengik? ini adalah ilmu 'Selaksa Rogoh Mayit' Kamu tidak bisa lari dan menghindar, Ha ha ha ha!"

***

Jalan itu begitu sempit, Murni harus merunduk agar kepalanya tidak menyundul atap terowongan yang terbuat dari tanah lempung. Beberapa kali ia harus membersihkan mukanya dari sarang laba-laba yang berlapis atau butiran tanah lembab yang menyelip di rambut. Hatinya sedikit bertanya tanya apakah ini benar jalan keluar dari Gua Pelangi tempat Ki Argo Lawu bersemayam? Ia sudah sangat lelah dan hampir putus asa karena berjalan entah sudah berapa lama. Namun ujung dari jalan itu masih belum kelihatan. Dan obor yang ia bawa telah habis minyaknya sehingga ia berjalan meraba dalam kegelapan. Tanah yang lembap  terasa menjijikkan ditelapak tangan serta udara yang sangat pengap begitu menyiksa paru-paru, apakah begini rasanya orang yang meninggal dikubur di dalam tanah?

Bluk...

Kakinya tersandung sebuah akar tanaman, hampir saja terjatuh, untungnya tangannya segera menjangkau sesuatu, terasa sangat dingin tapi bukan tanah melainkan gerendel pintu yang terbuat dari logam. Ia hampir memekik karena gembira. Ternyata ia sudah sampai di ujung terowongan. Tenaganya pulih kembali bersama semangat Murni, Ia meraba sekali lagi untuk memastikan, gerendel itu melekat pada sebuah pintu kalau tidak disebut jendela karena ukurannya yang kecil. Terbuat dari kayu yang hampir lapuk dan hanya setinggi pinggangnya.

Ia putar gerendel besi itu, agak susah karena sudah berkarat. Tetapi masih bisa diputar setelah semua tenaga ia kerahkan. Ia mendorong dengan kedua tangan, pintu itu bergeming. Brak ia menjejak pintu itu dengan kaki tapi tidak mau terbuka. Murni hampir pingsan kelelahan dan bermandikan keringat. 

Jangan panik bila terdesak, itu yang ayahnya ajarkan semasa ia kecil. Murni memejamkan mata walaupun ia sendiri dalam kegelapan. Ia berusaha mengatur napas. Setelah jantungnya berdetak normal ia menghisap udara sebanyak banyaknya dan menyalurkan semua kekuatan yang ia punya ke kaki, daripada menjejak berkali-kali, satu tendangan kaki yang kuat itu yang ia perlukan.

Hupp...

Terdengar suara kayu bergemeretak dan pintu itu terbuka sejengkal. Murni gembira bukan kepalang usahanya berhasil, ia beristirahat sejenak memulihkan tenaga, ia tidak mau terburu, dan melakukan sama seperti tadi. Akhirnya pintu itu terbuka cukup lebar untuk badannya bisa lewat, dalam kegelapan ia merasakan suatu penghalang dibalik pintu kecil tadi. Benda-benda bulat, berbau busuk banyak menumpuk di pintu bagian luar. Benda berbentuk bundar inilah yang menyebabkan pintu itu macet. Ia berusaha keluar dari pintu dengan menerobos benda tadi dan...

Huekk...

Murni hampir muntah, setelah matanya bertemu cahaya. Ternyata ia ada dalam tumpukan tengkorak manusia.

BERSAMBUNG
close