Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 9) - Terjebak Dalam Gua


Suara gemuruh itu perlahan surut. Menyisakan debu-debu beterbangan. Sasrobahu terkejut karena jalan dibelakang buntu sudah. Terdapat batu seukuran kerbau menyumpal jalan belakang. 

Hupp...

Ia memejamkan indra, menyalurkan tenaga dalam ke telapaknya. Seketika telapak itu berpendar kemerahan, ajian petapa sakti ia keluarkan. Sinar kemerahan segera menyambar batu granit yang maha keras itu.

Sontak batu besar itu hancur berkeping, namun hal itu menyebabkan dua lempeng batu disertai pasir dan kerikil jatuh dari atas membuat jalan kembali buntu. Kali ini pasir batu itu lebih banyak lagi menimbun sehingga Sasrobahu harus mundur dua langkah. 

Asap dan debu yang berterbangan membuatnya terbatuk. Cahaya obor menjadi redup.

Jahanam batu sialan, semakin dihancurkan semakin banyak yang jatuh! 

Akhirnya lelaki itu menyerah dan terpaksa mengambil jalan lain. 

"Murni tunggu disana! Aku akan mengambil jalan berputar, jangan kemana-mana dulu!" teriak pria itu dengan tenaga dalam. Berharap sampai ke seberang longsoran batu. 

Entah Murni akan mendengar suaranya atau tidak. 

Sasrobahu segera melesat menuju lorong keluar yang berujung pada lubang gua kecil di sebelah rumahnya. Mulut gua ini hampir tak terlihat karena ditutupi tumpukan batang jagung yang sudah mengering.

Sementara di balik longsoran, Murni berjuang membersihkan segala debu yang menutupi baju dan muka. 

Setelah dirasa bersih Ia berbalik arah dan merayap didalam kegelapan. Mengandalkan indera sentuhan yang menempel di dinding gua. Serta indera pendengarannya yang tajam. 

Sedikit tertatih namun ia mantap melangkahkan kaki perlahan. Tangannya terus meraba hingga terantuk pada sebuah benda padat panjang di dinding gua. Jarinya ia turunkan ke gagang pemegang benda itu, ia menemukan sepasang benda bulat kecil terjepit diantaranya. 

Ini dia..

Kedua benda bulat itu ia gesekkan hingga menimbulkan percikan bunga api ke obor yang tergantung di dinding gua. 

Berhasil, kini ia mendapatkan cahaya dari obor yang ia nyalakan. Cahaya itu berbenturan dengan stalaktit menimbulkan bias cahaya warna-warni seperti pelangi. 

Tujuan Murni kembali ke ruang utama Goa Pelangi. Disana ada rahasia lain yang harus ia dapatkan. Penyebab dari segala malapetaka dan kutukan yang meneror Desa Bakor serta Hutan Tumpasan. 

***

Kuat sekali. 

Tali yang mengikat Larantuka tidak dapat diputus dengan mudah. Rupanya itu adalah tali khusus yang dibuat dari serat kulit Lembu dicampur dengan minyak getah karet. Belati milik Candika maupun pedang milik prajurit yang jatuh pingsan tadi hanya mampu menebas sedikit uratnya. Larantuka masih terikat kuat di batang pohon.

"Tali ini tidak akan putus bila tidak menggunakan Senjata Mustika." sahut Candika.

Dari balik selendang yang ada di pinggang Ia mengeluarkan sebuah benda berwarna merah. 

Pedang Merah Darah milik Larantuka. 

Raut Larantuka berubah sedikit tegang. 

"Sebaiknya kau tidak mencabut pedang itu dari warangkanya."

Alis Candika bertaut, "kenapa?" 

Larantuka berbisik, "pedang itu mengandung kutukan. Selain itu bisa menyedot tenaga dalam orang yang tidak kuat dasar tenaga dalamnya" 


Candika sedikit kesal dibilang tidak memiliki dasar tenaga dalam yang mumpuni. Namun melihat adipati Menggala juga sedikit kewalahan mau tak mau ia tidak berani mengambil resiko. 

"Lantas bagaimana?"

Larantuka menyuruh Candika mundur beberapa langkah. Tangannya yang kekar terikat menjulur ke depan. Sepasang tangan Larantuka tiba tiba menggembung terisi angin. Jalur nadi yang kebiruan menghias punggung tangannya yang putih.

Dan Tessss!

Tali itu putus dengan mudahnya.

Gila, jerit Candika dalam hati. Tenaga dalam orang ini sangat hebat. "Sedari semula kau bisa saja membuka tali itu dengan mudah, kenapa mau-maunya diikat seperti kerbau?"

Larantuka segera memasang pedang itu di pinggangnya. "Jika aku melawan pasti bisa terjadi pertumpahan darah. Aku tidak mau hal itu terjadi"

"Kalau begitu kau bisa lari secepat kilat"

"Gurumu pasti tak akan tinggal diam dan menyusulku. Rencana penyerangan ini bisa gagal total. itulah sebabnya aku memilih waktu yang tepat untuk bertindak." sahut Larantuka sambil memakai capingnya yang lebar. Ia kemudian bergegas sambil menyeret kaki kirinya yang pincang.

Candika segera mengejar Larantuka. Ditangannya memegang kendali seekor kuda.

"Sebaiknya pakai kuda agar cepat sampai, tapi ijinkan aku ikut" pinta Candika.

"Tidak, kau akan menghambat pergerakanku. Sebaiknya kau diam saja disini untuk keselamatanmu."

"Aku mohon, aku ingin memastikan keselamatan adikku. Lagipula kakiku sudah sembuh oleh obat mujarab dari istana" sahutnya sambil memperlihatkan luka di betisnya yang telah mengering. Sebelumnya gurunya sudah mewanti agar tidak turut serta. Tatapi karena cemas akan nasib adiknya Candini ia memaksa ikut.

"Naiklah, tapi tetaplah dua langkah di belakangku sesampainya disana. Demi keamananmu"

Candika mengangguk setuju, walau dalam hati ia tidak berharap akan kembali dalam keadaan utuh. Ia sudah siap mempertaruhkan nyawa untuk menumpas musuh dan menyelamatkan adiknya Candini.

Kedua pasang pendekar itu duduk berboncengan dengan kuda yang diambil Candika, Kuda itu mengangkat kedua kaki depannya saat Larantuka menarik tali kekang. Ringkikan kuda terdengar seram seakan tahu bahwa orang yang menunggangi bukanlah orang sembarangan.

Dengan secepat kilat bayangan mereka segera lenyap ditelan gelapnya hutan Tumpasan.

***

Rombongan manusia itu berjalan perlahan diantara semak belukar dan pepohonan pinus. Mereka tidak saling berbicara, namun naluri mereka tetap mengatakan bahaya semakin mendekat. Oleh karena itu lebih baik semua tindak-tanduk dilakukan dengan bahasa isyarat. Di depan, para tetua dan panglima Jagadnata yang telah menyamar menjadi rakyat jelata berjalan memimpin membuka jalan. Rupa mereka tampak tegang.

Termasuk para prajurit yang berganti pakaian. Namun perisai tetap mereka selipkan dibalik punggung. Sedangkan pedang disembunyikan di dada.

"Masih lamakah?" bisik Jagadnata.

"Kira kira sepeminuman teh lagi kita sampai..." balas Darkun.

Tiba-tiba terdengar beberapa orang yang membuka jalan belukar di depan berteriak. Obor mereka berpendar dan meliuk tertiup angin.

"Ada apa?" tanya Menggala.

"A-ada suara orang di depan tuan"

Mereka segera bersiap. Barangkali itu adalah serangan musuh. Jagadnata mengangkat tangannya. Rombongan semakin melambat dalam melangkah, itu karena mereka memperkuat kuda-kuda dalam setiap langkah.


Semakin lama langkah orang berlari itu semakin dekat. Saat rumput ilalang yang tinggi itu disibak terdengar suara familiar di telinga mereka.

"Ini aku Kang Darkun!" seru Sasrobahu dengan muka penuh keringat.

"Aduh Gusti, ini kepala desa kita, orang sendiri!" jerit Darkun.

Sontak jagadnata mengamati baik-baik apakah orang di depannya adalah makhluk yang bisa menyaru, setelah dirasa aman mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju tanah lapang Segoro mayit.

"Kakang dari mana saja? kami setengah mati mencari jenengan" protes Darkun.

"Aku dari menjaga perbatasan bagian timur, untuk melihat pergerakan musuh. Tak disangka salah satu jenderal sudah mengendus pergerakan kita" lapor Sasrobahu. "Yaitu Gagak Rimang, iblis burung yang menjaga kawasan bagian Timur hutan Tumpasan."

"Dari awal memasuki hutan ini aku sudah tahu ada yang mengawasi kita" seru Jagadnata.

Sasrobahu menjura hormat. Ia mengatakan untuk terus bertindak sesuai rencana awal. Anak buah Nyi Gondo Mayit tidak akan berani menyentuh rombongan selama mereka tetap mematuhi perintah untuk menyiapkan Tumbal Kembar.

"Ceritakan lagi tentang pengawal dari Ratu Gondo Mayit ini" perintah Menggala.

"Semuanya ada empat orang jenderal. Yang pertama adalah Rimang (siluman Gagak), ia terkenal dengan pukulan dan cakarnya yang tak bisa diikuti mata. Yang kedua adalah pasukan penjaga pintu yang dipimpin oleh patih Garangan. Ilmu tiwikramanya sudah tahap sempurna Yang Mulia, ia bisa berubah menjadi raksasa besar dalam sekejap. Yang ketiga adalah pasukan demit penunggu hutan ini, dipimpin oleh seekor siluman ular perempuan berjuluk Nagindi. Ilmu ularnya sudah sedikit dicari tandingannya."

"Yang terakhir?"

"Adalah siluman Malih rupo (Muka Dua), cuma aku tidak tahu kesaktian yang dimiliki yang Mulia, karena ialah penjaga Istana Jalma Mati dan jarang tampil dipermukaan." 

"Rupanya banyak juga anak buah yang dimiliki siluman ini. Baiklah kami akan babat habis semua sampai ke akarnya. Jangan sampai mereka beranak pinak dan mengancam kerajaan Kalingga nantinya" geram Menggala.

Setelah berjalan cukup lama akhirnya mereka telah sampai ke sebuah padang luas berbentuk lingkaran di dalam hutan Tumpasan. Dari padang yang lapang ini, bulan Purnama berwarna kuning terlihat jelas memancarkan cahaya lembut. Angin kesiur terasa menggidikkan dengan dingin menembus tulang. Beberapa kali Menggala harus menggaruk hidungnya yang sensitif. Karena padang ini anehnya berbau anyir darah. Begitupula rerumputan yang berwarna merah darah. Sungguh menjijikkan untuk dilihat.

Para pasukan yang berjumlah seribuan segera berkerumun di salah satu tepian tanah lapang sambil menunggu aba-aba selanjutnya dari pemimpin mereka.

Tandu yang berisi pasangan anak perempuan dan laki laki segera diantar ke depan. begitu tirai dibuka terlihat Candini tengah memeluk seorang anak laki-laki kecil yang menggigil ketakutan. Sasrobahu bernapas lega, sebelumnya ia takut upacara ini gagal karena Murni masih terjebak di lorong gua. Ternyata sudah ada pengganti, itupun pendekar murid langsung dari Panglima Jagadnata. Acara malam ini tidak mungkin gagal.

Ketika sang Ratu menampakkan diri maka seluruh pasukan akan datang menyerbu. Pertumpahan darah ini memang tak dapat dielakkan lagi, tapi inilah pengorbanan yang harus dilakukan. Tanpa adanya pengorbanan, maka hasil yang didapat tidak akan sepadan.

Tidak akan pernah cukup.

***

Kembali dalam lorong yang gelap dan dingin, Murni telah merayap sampai dengan ruang utama gua Pelangi, terdapat patung yang disebut oleh Sasrobahu tadi. Merupakan patung dari pendiri desa Bakor Ki Argo lawu. Sosok berjanggut itu begitu berkharisma walaupun dalam wujud patung. Entah sampai dimana kesaktian yang dimilikinya.

Gadis itu mengambil tongkat dari genggaman patung itu. Sasrobahu mengatakan bila tujuh lubang di kaki dimasukkan ujung tongkat maka akan menghubungkannya ke lorong yang lain. Murni kemudian memasukan tongkat itu ke tiap lubang dan memutarnya perlahan. Sontak suara bergemuruh terdengar kembali dan tujuh pintu goa kembali terbuka lebar.

Namun Murni tidak berhenti di situ, dari petunjuk yang ia terima, ia harus duduk bersimpuh didepan patung kemudian bersujud hingga dahinya menyentuh tanah. Ketika bersujud ia meraba tempat keningnya menyentuh tanah. Setelah berhasil menemukan sebuah gundukan kecil ia benturkan ujung tongkat ki Argo Lawu ke tanah tersebut hingga rompal. Sebentuk rongga tercipta akibat kerasnya benturan. 

Ah ini dia, ujar Murni dengan jantung berdegup.

Tangan mungil itu merogoh kedalam rongga, ada batu kecil berbentuk lingkaran yang bisa diputar. Perlahan ia memutar dengan hati-hati. Hingga patung itu bergeser ke samping membuat sebuah lubang kecil seukuran manusia di belakangnya. Murni menelan ludah, awalnya ia sedikit ragu tetapi karena semua perintah sudah terlanjur ia kerjakan dan ternyata benar adanya Murni beranikan masuk ke dalam lubang di dinding gua yang lebih sempit.

Rupanya lubang itu begitu jauh masuk ke dalam, tapi gadis itu tak patah arang, dengan menerjang sulur-sulur akar tanaman dan sarang laba-laba akhirnya ia berhasil masuk ke dalam sebuah ruangan yang lebih besar berbentuk kubah. Disana berbagai buku dan kitab tersimpan dalam rak buku yang mengelilingi ruangan tersebut.

Murni menjerit kecil melihat sesuatu tengah duduk bersila ditengah ruangan. Dibalur oleh sarang laba-laba yang tebal. Sesosok tengkorak tengah tertunduk. Tulangnya berwarna putih kekuningan nampak lapuk dimakan usia. Tengkorak ini mengenakan jubah werwarna kuning. Dipangkuannya terdapat dua buah kitab, satu berwarna merah, satunya lagi bersampul hitam.

Murni meraih kedua kitab tersebut, saat ia mengambilnya maka tengkorak itu langsung runtuh. menjadi tumpukan tulang belulang.

"Maafkan Murni Eyang ArgoLawu" bisik gadis itu.

Diterangi dengan nyala obor, Murni mulai membaca kitab tersebut.

Kitab pertama berwarna merah adalah catatan dari Ki ArgoLawu. Yang kedua adalah kitab Sangang Urip (Sembilan Kematian). Murni tidak mengerti apapun mengenai ilmu tenaga dalam/kanuragan, maka ia memilih membaca catatan dari Ki Argo Lawu.

Tahun ke sembilan dari masa CakraKala

Aku datang ke hutan pinus ini bersama cucuku bernama Melati untuk membuka lahan dan perkebunan.

Selain untuk meningkatkan ilmu dan bertapa.

Melatih ilmu dari Kitab leluhur ajian Sangang Urip. Maha guru mengatakan diantara ajian kitab itu ada yang merupakan ilmu sejati dalam kitab utama  Pusaka Langit, hanya tiga ajian yang diturunkan kepadaku yaitu.

Ajian Pancasona

Ajian Brajamusti

Ajian ((#$U#$_#(#((#4

Ajian ketiga terkelupas oleh halaman yang lapuk sehingga Murni tak bisa membacanya.

Kedahsyatan jurus kitab utama apabila benar-benar diamalkan akan menggoncang jagat. Merubah alam dan menimbulkan kekuatan dari langit yang teramat dahsyat sehingga sanggup menaklukan apapun yang dihadapi.

Selain itu, mahaguru juga menitipkan kitab Sembilan Kematian yang merupakan kitab utama pembawa kegelapan. Kitab ini dari awal sudah tidak lengkap dan hanya terdiri dari beberapa bagian saja. Berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan kitab Pusaka Langit.  Kitab ini terlarang untuk di amalkan. Oleh karena itu Mahaguru berpesan agar tidak ada seorang pun yang boleh membuka Kitab ini. Secara turun temurun kitab ini diwariskan hanya sebagai pegangan tanpa boleh dipelajari sejuruspun. 

Orang dulu berkata, mempelajari kitab Sangang Urip hanya akan menyatukan ruh dan raga kasar dengan iblis yang bersemayam dalam kitab tersebut.

)#*Q))))___+#+

yang terakhir kembali tampak kabur karena kertas yang lapuk. Murni melanjukan membaca lembar berikutnya.

Tahun ke 12 dari masa Cakrakala

Aku menyelamatkan seorang pengelana yang membawa seorang anak lelaki dari terkaman siluman ular, sayangnya pengelana itu tidak dapat bertahan lama akibat racun ular yang sudah tertanam di daging.

Untuk anak kecil itu untungnya masih bisa bertahan dan selamat. Lalu ku beri nama Lindu Pangaji.

Melati dan Lindu Pangaji, Murni berusaha mengaitkan dengan cerita para sesepuh di desa Bakor, dan mereka memang dikenal sebagai pendiri dari desa tersebut. Ternyata aslinya Ki Argo Lawu lah yang menjadi cikal bakal adanya Desa Bakor.

Melati dan Lindu menjadi murid yang berbakat, karena itu di umur menginjak ketujuh belas semua ilmu silat dan kedigjayaan sudah aku turunkan semua kepada mereka. Di penghujung penghabisan ilmu aku nikahkan mereka berdua, sehingga mereka menjadi pasangan pendekar yang mumpuni.

Kesaktian Lindu dan Melati menarik kedatangan para pengelana. Sehingga Padepokanku berkembang menjadi sebuah desa. Dengan Lindu dan Melati sebagai guru silat. Sedangkan aku melanjutkan pertapaanku.

Tahun ($(##$$9$) dari masa Cakrakala

Melati dimabuk kepayang oleh Lindu, sementara Lindu seperti sumur yang tak pernah puas meminum air hujan. Kehausannya akan ilmu kanuragan semakin menjadi. Padahal aku sudah mengajarkan semua kepandaian yang aku miliki. Sehingga aku pernah memergokinya mencuri lihat kitab Sangang Urip. Lindu aku hukum bertapa selama sembilan bulan di gunung.

Melati mengandung seorang anak dari Lindu, ketika dilahirkan mereka memberinya nama Lembayung.

Petaka itu datang setelah berusaha kutangkal. Ternyata secara diam-diam Lindu mempraktekan ilmu Sangang Urip. Dengan ilmu itu ternyata kemajuan ilmunya pesat bahkan melebihi apa yang telah aku latih selama berpuluh tahun. Aku tak bisa berbuat banyak karena Lindu ternyata secara diam-diam mengajarkan ilmu terlarang itu kepada Melati dan anaknya yang masih bocah ingusan.

Sungguh biadab, ilmu ini di tahap kedua meminta tumbal darah. Aku tak bisa membiarkan kejahatan merajalela akhirnya aku putuskan untuk memusnahkan segala ilmu yang dimiliki oleh muridku sebelum semua terlambat.

Sayangnya malam sebelum hari penumpasan ilmu itu, disaat aku bertapa, Lembayung mengantarkan makanan yang telah diberi racun. Aku tahu bocah itu masih begitu polos dan hanya disuruh oleh anaknya. Aku menyuruh Lembayung lari sejauh-jauhnya dengan membawa Kitab Sangang Urip. Disaat aku mengeluarkan racun itu Lindu menyerang dari belakang secara tiba-tiba.

Kami berkelahi sepanjang malam, akhirnya aku terdesak dan bersembunyi dalam ruangan goa ini. Menjelang kematian aku buat kembali salinan kitab Sangang Urip yang aku hapal sebagai bentuk penghormatanku terhadap perintah Mahaguru untuk menjaganya sampai ajal tiba.

Kutitipkan salinan Kitab Sangang Urip kepada siapapun yang berhati putih dan berjiwa welas. Kau bisa menghancurkan salinan yang ada karena bukan dari perguruan ArgoLawu, Tetapi apabila kau pernah mempelajari jurus dari padepokan ArgoLawu maka kau terhitung keturunan kami, pewaris ArgoLawu. Hendaknya kau menyimpan kitab ini dan jangan menyampaikan kepada siapapun, apalagi berlatih jurus yang ada.

Murni menghela napas panjang. Tak disangka Ki Argolawu harus meninggal dalam keadaan mengenaskan. Dikhianati oleh Muridnya dari belakang. Semoga Arwah beliau tidak penasaran dan bisa memasuki Alam berikutnya dengan tenang. 

Murni kemudian mencari tempat yang layak untuk mengebumikan sisa tulang belulang Ki ArgoLawu. Setelah mencari di sekitar tempat itu, sialnya seluruh lantai terbuat dari batu alam yang keras, tiba-tiba matanya menemukan sebidang tanah di sudut ruangan. Dengan bergegas ia menggali lubang.

Ketika menggali itulah ia menemukan sebilah papan terbuat dari batu dengan ukiran diatasnya.

"Yang menggali kuburku adalah pendekar yang budiman, karena bersedia memuliakan jasadku yang sudah tak berguna, untuk itu aku berikan sepasang benda mustika niwiru yang terbuat dari liur naga Tanah. Serta peta rahasia untuk keluar dari goa ini. Adapun kitab Sangang Urip di pangkuanku adalah kitab palsu, sedangkan yang asli tertulis di balik jubah yang aku kenakan. Mempelajari ilmu dalam kitab hanya akan membunuh diri sendiri"

Bukan main terkejutnya Murni, membaca masih ada rahasia lain yang disembunyikan ki ArgoLawu. Ia segera menyelesaikan urusannya dalam gua itu. Setelah mengambil jubah ki Argolawu dan menjadikan selendang ia segera pergi mencari jalan keluar.


BERSAMBUNG
close