Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA TANGGUL MAYIT (Part 3) - Penghuni Hutan Keramat

Sebuah bis berlogo perusahaan mengantar kami menembus hutan-hutan yang hanya menyisakan sedikit jalur untuk bis ini melintas.


JEJAKMISTERI - “Pak, wis suwi kerjo ning perusahaan iki?” (Pak, sudah lama kerja di perusahaan ini?)

Tanya cahyo yang terlihat mencoba mengulik informasi dari supir bis yang kami tumpangi.

“Suwi mas.. wis puluhan taun” (Lama mas, Sudah puluhan tahun) Jawabnya singkat.

“Wah betah yo? Gajine mesti guede yo..” (Wah betah ya? Gajinya pasti besar ya?) Lanjut Cahyo.

Terlihat bapak itu menghela nafas dengan wajahnya yang terlihat cemas.

“Lumayan mas, tapi gak beda jauh sama pabrikan lainya.. yang penting keluarga saya bisa tetap hidup“

Bis melaju melalui beberapa persimpangan, terlihat plang beberapa logo perusahaan lain menunjukan arah ke persimpangan lain.

“Tempat ini digarap berapa perusahaan pak?” Lanjut Cahyo.

“Seingat saya ada sekitar tujuh, tapi beda-beda bidang ada penebangan, batu, pasir sungai” Jawab supir itu.

Cahyo melihat sekeliling pemandangan di sekitar bus ini. memang terdapat pemandangan beberapa tempat sudah ‘digarap’.

“Semoga saja, sumber daya ini tidak habis dengan sia-sia ya” Lanjut Cahyo.

Sampai di sebuah persimpangan, Gilang yang sedari tadi merasa tegang memperhatikan jalur seolah merasakan ada yang aneh.

“Mas Danan, kemarin jalurnya nggak lewat sini..” Ucap Gilang berbisik.

Aku mengangguk menerima isyarat, namun kami tidak dapat berbuat apa-apa agar tidak menimbulkan kecurigaan.

***

Kami tiba di sebuah tempat dengan bangunan-bangunan proyek yang yang di bangun di sekitar sungai dengan tanggul yang dibuat untuk mengatur debit sungai.

Kami turun tak jauh dari sebuah pos yang dijaga oleh beberapa petugas.

“Dulu saya sama Yanto tidak diturunkan disini mas...” Ucap Gilang.
Aku mengerti, samar-samar aku juga masih ingat lokasi Yanto saat memastikan kondisinya dengan ilmu rogosukmoku.

Mungkin desa tempat Yanto berada saat ini merupakan desa yang memang ditujukan untuk penumbalan.

“Kira-kira mas Gilang tau arah ke desa kemarin?” Tanyaku.
Gilang mengangguk, kemungkinan setelah ini kami akan berjalan kaki menuju desa itu.

“Pos Jaga ada di sebelah sana, silahkan melapor dulu...” teriak sopir itu mengarahkan kami dan beberapa penumpang lain.
Aku dan cahyo melihat sekeliling, tidak ada yang aneh dengan tempat ini. Bahkan dengan mata batin, kamipun tidak menemukan hal-hal yang berbahaya.

“Mas, ning kene wis aman.. lebih baik urunkan niat masnya sebelum bertindak lebih jauh”
Tiba-tiba supir bus tadi menghampiri kami seolah memang sudah curiga dengan kami. Tetapi, terlihat raut muka cemas di wajah supir bus tadi.

Kami sedikit bingung membalas ucapanya.
Walaupun kami tidak melihat apapun, kami tetap merasa bahwa bapak ini juga diawasi oleh sesuatu yang berbahaya.

“Terima kasih pak, selamat bertugas..” Ucap Cahyo membalas ucapan supir itu.

Supir itu berjalan kembali dengan ragu-ragu ke arah bis, namun sampai di tengah jalan ia kembali ke arah kami dengan wajah yang cemas.

“Jalur ke tempat yang kalian tuju sudah tidak sama, sudah banyak orang sakti yang datang, namun mati sebelum sampai ke desa itu.” Ucapnya sambil melirik ke sekitar berharap tidak ada yang mendengar ucapanya selain kami.

“Sudah, bapak kembali saja.. terima kasih atas infonya, setelah semua ini selesai semoga bapak bisa berkumpul sama keluarga bapak lagi” Balasku.
Bapak itu menghela nafas panjang dan meninggalkan kami tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya.

“Danan jangan biarkan bapak itu mati” Ucap Cahyo dengan wajah yang serius.

Aku mengangguk. Semenjak memasuki hutan raut wajah cahyo berubah drastis, sesuatu yang besar tersembunyi di hutan ini. Sesuatu yang sangat berbahaya.

“Sebentar Mas Danan, maksudnya supir bus tadi membantu kita?” Tannya Gilang.

“Iya, dia menurunkan kita di tempat yang aman.. dan keputusanya itu mempertaruhkan nyawanya” Jawabku.

Gilang terlihat heran, mungkin di perkiraanya bapak supir bis tadi sengaja menjauhkan kami dari desa tadi untuk mencegah kami menyelamatkan Yanto.

“Tapi bagaimana bapak itu bisa tahu soal Mas Danan dan Mas Cahyo punya kemampuan?” Tanya Gilang.

Kali ini Cahyo yang maju mendekat ke mas gilang.

“Bapak itu sudah sering mengantar ke dalam hutan ini, dia sudah bertemu ratusan atau bahkan ribuan orang.

Sekarang ia sudah bisa membedakan mana penumpang yang akan jadi pekerja, penumpang yang akan jadi tumbal, dan mana penumpang bermaksud khusus seperti kita” Jelas Cahyo.

Sepertinya Gilang tetap tidak mengerti, namun ia terlihat berusaha untuk tidak bertanya lebih jauh.

Perlahan kami berhati-hati menjauhi pos jaga dan masuk ke dalam hutan dengan pohon-pohon jati muda yang tertata rapi.
Secepat mungkin kami mejauh dan mencari arah ke jalur kendaraan tadi.

“Desa itu masih jauh, kalau dengan bis bisa sekitar setengah jam lagi.. tapi kalau berjalan kaki bisa dua jam. Dulu saya keluar dari sana dengan menumpang truk pasir” Jelas Gilang.

“Berarti estimasi kita sampai sana menjelang maghrib ya?” Tanyaku.
Gilang mengangguk.

Sebenarnya mungkin sepanjang perjalanan akan ada kendaraan atau truk yang akan melintas. Namun setelah perbincangan dengan supir bis tadi. Kami memutuskan untuk melalui ini dengan berjalan kaki dan bersembunyi setiap ada kendaraan yang melintas.

Hutan di bukit ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan hutan lainya. Apalagi sebenarnya sebagian dari hutan ini sudah digarap jadi seharusnya penunggu-penunggunyapun sudah berpindah atau dipindahkan.

“Danan kita berhenti dulu..” Ucap Cahyo tiba-tiba.

Aku menghentikan langkahku sambil melihat ke sekeliling.

“Kenapa Cahyo?” Tanyaku.
Cahyo mengorek isi tasnya dan mengeluarkan sebungkus plastik.

“Kita Istirahat dulu disini, sayang bekalnya kalau tidak dimakan” Ucap Cahyo tiba-tiba.

Awalnya aku mengira memang Cahyo yang sudah mulai kumat lagi,, namun aku tidak jadi melemparkan sepatuku saat melihat raut wajah Mas Gilang.

Wajah Mas Gilang terlihat pucat, setelah melalui malam yang mencekam sepertinya ia terus memaksakan diri. Dan bodohnya aku tidak menyadari itu.

“Mas, mereka yang di desa dalam bahaya... apa nggak sebaiknya kita cepat-cepat kesana?” Tanya Gilang yang khawatir dengan keadaan Yanto dan lainya.
Bukanya menjawab, Cahyo malah mengeluarkan beberapa lemper dan gorengan dari kantong kreseknya ke hadapan Gilang.

“Mangan sek.. siapin tenaga, jangan sampe usaha kita gagal gara-gara kualat” Ucap Cahyo.

“Kualat kenapa mas cahyo?” Tanya Gilang.

“Kualat gara-gara gak ngehabisin bekal seenak ini...” jawabnya dengan mulut yang masih penuh dengan gorengan.

Aku tertawa mendengar ucapan cahyo, dia selalu bisa menghilangkan suasana tegang di kondisi apapun. Apalagi saat ini Gilang sudah tidak ragu lagi untuk meletakkan perlengkapanya dan makan bersama kami.

“Mas Gilang, jangan terlalu memaksakan diri ya... setiap manusia punya batasnya masing-masing.” Ucapku sebelum melanjutkan perjalanan.
Gilang mengangguk, kini sepertinya ia mulai mengerti maksud Cahyo yang mengajak kami berisitirahat tadi.

Saat matahari mulai terbenam, suasana hutan berubah drastis. Kami menggunakan senter untuk penerangan kami yang memang telah kami persiapkan. Tanpa cahaya senter ini hampir tidak ada yang bisa dilihat di hutan ini. cahaya bulanpun sulit untuk menembusnya.

Di tengah perjalanan, samar-samar kami mendengar suara kerumunan orang yang berjalan melintasi hutan ini.

“Srek... srek...” Seperti suara kaki diseret oleh sekumpulan orang.

Pandangan kami mengikuti arah suara itu hingga melihat bayangan segerobolan orang dari jauh sedang berjalan membawa peralatan kerja.

“Ada orang mas..” Ucap Gilang.

Aku dan Cahyo mendekat ke arah mereka penasaran dengan apa yang akan orang itu lakukan di malam hari seperti ini.
Saat semakin dekat tiba-tiba wajah gilang berubah menjadi pucat pasi, tubuhnya terjatuh seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Aku segera menarik tubuhnya dan menutup mulutnya berusaha agar makhluk itu tidak menyadari keberadaan kami.

Srekk... srekkk.....
Suara itu terdengar di hadapan kami dari sosok makhluk-makhluk itu.

Sosok itu ada adalah sekumpulan makhluk menyerupai manusia dengan bagian tubuh yang tidak lengkap. Seluruh kulitnya hitam legam seperti membusuk dengan rongga kosong di setiap lubang di wajahnya.

Mereka berjalan menyusuri hutan ini tanpa arah dengan menyeret kapak, cangkul, dan benda-benda yang biasa digunaakan untuk menebang pohon.

“Danan, apa tidak sebaiknya kita tenangkan roh-roh itu?” Tanya Cahyo.

Aku menggeleng. Sepertinya menenangkan roh itu bukan perkara mudah.

“Mereka bukan makhluk yang mati dengan wajar, kita harus cari tahu penyebabnya dulu..” Jawabku.

Cahyo berjalan ke arah hutan tempat makhluk itu berasal tadi, aku mengikutinya dan tanpa sadar aku dan Cahyo terjatuh oleh sebuah kekuatan mengerikan yang berada di hadapan kami.

Cahyo menoleh kearahku, aku mengangguk mengerti dengan isyaratnya.

“Mas Gilang, tunggu disini.. jangan tinggalkan tempat ini” Perintahku pada gilang.

Aku dan Cahyo berjalan dengan hati-hati menuju hutan yang terletak di sisi barat. Sebuah papan bertuliskan arah yang sudah karatan terlihat menyambut kami.

Semakin jauh kami berjalan terlihat beberapa garis polisi dan bangunan proyek semi permanen yang sudah hancur terbengkalai termakan usia.

Cukup jauh dari sisi hutan kami melihat sebuah bangunan kayu yang sudah sangat tua dengan berbagai papan kayu dipaku menutupi jendela dan pintu itu.

Sebelum sempat mendekat, tiba-tiba dari sisi pohon di hadapan kami muncul seorang nenek tua menampakan sebagian dirinya yang tertutup pohon.

“Ojo kewanen nyedaki omah kuwi..” (Jangan berani-berani mendekati rumah itu)

Wujud dihadapan kami adalah seorang nenek dengan pakaian kebaya usang yang berantakan dengan rambut putihnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya.

“Opo karepmu? (Apa maumu) Tanya Cahyo.

“Karepku? bocah-bocah kurang ajar! Mustine aku sing takon opo urusanmu ning kene!” (Mauku? Bocah-bocah kurang ajar! Harusnya aku yang bertanya apa urusanmu disini) Balas nenek itu pada Cahyo.

Aku mencoba mendekat dan menyadari bahwa nenek itu adalah manusia. Dengan segera aku menahan cahyo yang sedari tadi terlihat gelisah.

“Nga.. ngapunten mbah, sepertinya kami tersesat. Kami mencari sebuah desa, teman kami dijebak dan ingin ditumbalkan disana” Jelasku.

Nenek itu memperhatikanku dengan seksama.

“Deso Tanggul mayit... ono neng arah lor” (Desa tanggul mayit, ada di arah utara) Ucap nenek itu yang ingin segera berpaling dari kami.

“Mbah.. mbah tahu desa itu” Tanyaku yang tak puas dengan jawaban nenek itu.

Nenek itu kembali menoleh ke arah kami, dia keluar dari pohon yang menutupinya. Kini kami melihat wujud nenek itu sepenuhnya.
Sebagian tubuh dari nenek itu berwarna hitam seolah sudah membusuk. Bekas luka dengan darah yang dikerubungi lalat terlihat di tangan dan kakinya.

“C...cahyo, tubuh nenek itu... persis seperti makhluk yang tergantung di salah satu ruangan di mess desa itu” Ucapku.

“Nek.. tubuh nenek?! “ Ucap Cahyo yang seketika menjadi khawatir.

“Ini yang akan terjadi pada kalian apabila kalian mendekat ke bangunan itu!” Ucap nenek itu dengan lemah.

Dan tak lama setelahnya nenek itu jatuh pingsan.
Tepat saat nenek itu jatuh perasaan mengerikan muncul dari arah bangunan itu.

“Nggak.. nggak mungkin masih ada makhluk seperti itu di alam ini” Ucap Cahyo yang tidak percaya dengan apa yang ia rasakan dari sosok makhluk yang ada di bangnan itu.

“Apa kutukan dari makhluk itu penyebap kematian semua pekerja tadi?“ aku mencoba menanyakan pertimbangan pada Cahyo.

Belum sempat menjawabku cahyo memilih untuk mendekat ke arah Nenek itu dan mencoba memeriksanya.

“Sebagian tubuhnya sudah membusuk, dia bertahan hidup dengan separuh tubuhnya yang dibantu dengan ilmu batin” Ucap cahyo.

Cahyo membacakan beberapa mantra yang kutahu merupakan mantra pemulih. Aku membantunya untuk memulihkan tenaga nenek tadi berharap ia masih bisa tersadar dan menjelaskan tentang semua ini.

Cukup lama, namun nenek itu berhasil tersadar dan mencoba kembali berdiri. Saat itu juga ia membacakan sebuah mantra, meludahi tanganya dan mengusapkanya ke tanah.
Seketika kekuatan mengerikan dari bangunan tua itu mulai mereda sedikit demi sedikit.

“Mbah, Jelaskan pada kami... ada apa dengan ini semua” tanyaku.

Nenek itu memandang kami berdua seolah menemukan sesuatu.

“Akan kuceritakan, dengan satu syarat...“ ucapnya sambil menatap kami.

“Apa mbah?” tanyaku.

“Tinggalkan tempat ini, dan jangan kembali sampai kalian siap”

“Ceritakan nek, mungkin nenek belum tau kemampuan kami” Ucap cahyo.

“Jangan sombong! Turuti ucapan saya...“
Seketika kami tersadar, memang kami telah mampu menyelesaikan masalah sebesar jagad segoro demit sebelumnya, dan ternyata ini membuat kami memandang permasalahan lain dengan lebih enteng.

“Baik nek.. kami berjanji” Ucapku sambil memandang cahyo dan ia mengangguk setuju.

Aku membawa nenek itu ke tempat Gilang menunggu, sangat terlihat wajah cemas di wajah Gilang, dan lagi dia kaget dengan keberadaan nenek mengerikan ini.

“Mas Gilang... kita dengar cerita nenek itu dulu, mungkin kita bisa menemukan petunjuk” Jelasku.
Mas Gilang mengangguk setuju.

“Cerita ini bermula saat terjadi dua bencana secara bersamaan...”

***

Nenek itu bercerita mengenai keberadaan sesosok makhluk terkutuk yang terkurung di bangunan kayu tua itu. Makhluk penuh dendam yang mengutuk dirinya dan telah disegel selama berpuluh-puluh tahun di bangunan itu.

Suatu ketika perusahaan yang menggarap hutan ini menemukan keberadaan bangunan tua itu. Sang nenek ternyata adalah seorang dukun yang menghabiskan hari tuanya untuk mengusir siapapun yang mendekat ke bangunan itu agar tidak ada yang melepaskan makhluk itu.

Sampai suatu ketika, perusahaan itu membutuhkan lahan yang lebih luas sehingga memanggil sekumpulan dukun dan melepaskan makhluk itu tanpa tahu bahayanya.

Saat itu juga seluruh pekerja termasuk ayah dan anak pemilik perusahaan itu mati dengan misterius. Seluruh tubuhnya membusuk tanpa sebab.

Nenek itu mencoba melindungi dirinya dari kutukan itu namun sebagian tubuhnya tetap menghitam dan membusuk. Ia bertahan hidup menunggu amarah makhluk itu mereda dan mengurungnya kembali di bangunan itu. Namun itu hanya sementara sehingga nenek itu harus terus menjaga hutan ini.

Sayangnya kejadian itu menjadi awal permasalahan baru.
Saat itu istri dari pemilik perusahaan memeriksa jasad suami dan anaknya yang mati dan menemukan anaknya masih bernafas dengan tubuh yang sudah membusuk dan penuh luka.

Ilmu medis tidak dapat menjelaskan mengenai kejadian itu. Sehingga ibu kehilangan akal sehatnya dan mengambil keputusan yang fatal.
Bersama seorang dukun ia menghampiri sebuah desa, desa yang saat ini sedang kami tuju.

Desa yang diisi oleh makhluk yang tidak bisa disebut manusia ataupun demit. Sebuah desa yang bila dilihat dengan mata batin adalah desa yang dikelilingi oleh Tanggul ghaib sehingga tidak terlihat dan tidak terdeteksi oleh mata manusia biasa.

Dukun itu menjelaskan bahwa anak itu masih bisa diselamatkan. Dukun itu membuktikan dengan menumbalkan salah seorang anak buah ibu pemilik perusahaan itu dan menumpahkan darah ke tubuh anaknya.
Seketika tubuh yang sudah membusuk itu bergerak dan mulai bisa berbicara.

“loro bu... Aku ra kuat” (Sakit bu... aku tidak kuat)
Dukun itu menjelaskan, anaknya bisa kembali pulih setelah tumbal ke seratus. Setiap darah yang mengalir di tubuhnya akan mengangkat rasa sakit anaknya hingga pulih sepenuhnya.

Melihat kejadian itu, ibu itu menutup akal sehatnya dan mulai mengirimkan tumbal ke desa itu setiap waktu yang ditentukan. Kekayaan yang ia miliki dan pengaruhnya sebagai keluarga bangsawan dengan trah keramat membuatnya bisa melakukan hal itu dengan mudah.

***

Cerita yang sangat sulit kami percaya, seandainya kami berhasil menyelamatkan Yanto, ternyata masih ada hal besar yang sulit kami selesaikan.

“Mbah... apa mungkin sebenarnya anak ibu itu sudah mati?” Tanyaku.

“Bagus, kalau kamu bisa sadar hanya dengan ceritaku” Jawab nenek itu.

Sebenarnya bukan hanya dari cerita nenek itu. Aku sedikit tahu karena sudah melihat sosok makhluk itu saat dalam wujud rogosukmo.

“Maksudmu apa Danan?” Tanya Cahyo.

“Anak dari ibu itu sudah mati duluan sebelum terkena kutukan dari makhluk dalam bangunan tua itu, sejak awal tubuh anaknya sudah diisi oleh makhluk lain” Jelasku.

“Maksudmu anak itu sudah di santet ?” Tanya Gilang.
Aku mengangguk.

“Namun sepertinya ibu itu tidak mengetahui atau tidak mau menerima tentang kenyataan ini sehingga dimanfaatkan oleh makhluk di desa itu” Jelasku.

“Maaf nek, dari mana nenek tau bahwa Ibu pemilik perusahaan itu berasal dari Trah keramat?” Tanya Cahyo.

“Trah Darmowiloyo.. kami berasal dari keturunan yang sama” Jawab nenek itu.
Kami menarik nafas panjang, semakin banyak pertanyaan yang ingin kami tanyakan namun akhirnya kami memutuskan untuk menahanya.

Jangan sampai pertanyaan kami menyinggung perasaan seorang nenek yang sudah sangat menderita ini.

Nenek itu memandangku dan cahyo sesaat sebelum kembali berdiri.

“Sesuai janji kalian, segera tinggalkan tempat ini...“ ucapnya yang segera berjalan kembali ke dalam hutan mengerikan itu.

***

“Mbah!”
Tiba-tiba Cahyo berlari menghampiri nenek itu.

“Opo meneh?!” (apa lagi?) Ucap Nenek itu.

“Iki mbah, Gedang goreng karo lemper buatane bulek pancen uenak... dicobain ya mbah” (Ini mbah, pisang goreng sama lemper buatan bulek bener-bener enak, dicobain ya mbah) Nenek itu membuka kantong kresek yang diberikan oleh cahyo dengan sebelah tanganya.

Entah hanya perasaanku saja atau memang aku benar-benar melihat senyuman kecil dari wajah mengerikan nenek itu.
Tinggal di hutan sendirian bukan perkara yang mudah.

Entah kapan nenek itu terakhir kali memakan makanan sewajarnya selain biji-bijian dan umbi-umbian yang ada di sekitar tempat ini.

“Ndang lungo o... inget, ojo mati!” (Cepet pergi sana! Ingat, Jangan mati!) Ucapnya.

Setelah nenek itu pergi, kami berjalan ke arah yang ditunjukan.. arah sebuah desa yang disebut dengan nama Desa Tanggul mayit.

Namun sebelum jauh meninggalkan sisi hutan tempat nenek itu berada samar-samar aku merasakan keberadaan sesosok makhluk yang memperhatikan kami.

Kami yang merasakan hal itu segera menoleh ke belakang dan dari jauh terlihat sesosok bayangan menyerupai sebuah boneka kayu yang melayang diantara pepohonan. Namun saat kami melihatnya dengan lebih jelas, sosok itu menghilang tanpa petunjuk apapun.

“Sudah Danan.. kita fokus menolong Yanto dulu” Ucap Cahyo.

Aku setuju dan segera meninggalkan tempat itu. Mungkin keberadaan makhluk ini yang membuat tidak ada demit alas lain di sekitar tempat ini. dan mungkin makhluk itu juga yang menyebabkan kematian orang-orang sakti yang datang ke tempat ini seperti ucapan supir bis tadi.

***

Tidak butuh waktu lama hingga kami sampai di tempat yang kami tuju dan mengetahui kengerian dari tempat ini.

Saat ini dari jauh sudah terlihat sebuah bangunan besar di tengah desa tertutup rapat dengan sekumpulan wanita aneh berpakaian kebaya mengelilingi tempat itu.

“Jadi Yanto ada di bangunan itu?” Tanya Cahyo.

Gilang mengangguk, ia sudah bersiap melihat pemandangan ini lagi tapi tetap saja ia tidak akan terbiasa.
Aku melihat sekeliling mencari apa yang diceritakan nenek tadi. Sebuah tanggul, yang konon menyembunyikan desa ini dari mata manusia biasa.

“Danan.. kamu lihat itu!” Ucap Cahyo yang menunjuk ke salah satu jalan masuk desa dari sisi lain.
Dari sana terlihat seorang kakek tua yang berjalan terseok-seok dengan parang di lenganya. Di sebelahnya ada seorang wanita muda yang berjalan tanpa ekspresi.

“I...itu, itu kakek yang memenggal salah satu teman kami di hutan kemarin” Ucap Gilang.

Sayangnya bukan itu yang kami khawatirkan.

Melainkan sekumpulan makhluk yang mengikuti kakek itu dari belakang.

Sekumpulan makhluk yang berjalan tanpa kepala dengan jumlah yang tidak dapat kami pastikan.

“Kalau dari cerita Mas Gilang, bisa jadi mereka adalah roh orang-orang yang dijadikan tumbal oleh kakek itu...” ucapku.

“Sudah matipun masih diperlakukan seperti itu, benar-benar dukun biadab” Ucap Cahyo dengan geram.
Entah apa yang kakek itu rencanakan dengan demit sebanyak itu.

Satu yang pasti, mereka berjalan ke arah bangunan tempat Yanto dan teman-teman lainya berada.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close