Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA TANGGUL MAYIT (Part 2) - 100 Tumbal

“Ini maksudnya apa? Jangan bilang kalau kamu bohong?” Ucap salah satu calon karyawan yang baru saja kukenal bernama Jatmiko.

“Tenang dulu, saya jelasin pelan-pelan” Jawabku yang cukup lega setelah berhasil membawa kembali mereka masuk ke dalam mess.


JEJAKMISTERI - Sayangnya makhluk di luar itu tidak menyerah, masih terdengar beberapa dari mereka mengetuk pintu bangunan ini berusaha memanggil kami keluar.

“Mas... sini, keluar dulu. Sudah dimasakin sama ibu”

Suara itu berasal dari seseorang yang terlihat seperti perempuan muda berpakaian kebaya.

“Iya, sebentar..” Ucap Jatmiko yang bersiap menghampiri perempuan itu.

Tanpa segan-segan aku menahanya dan membawanya ke sisi dinding.

“Kamu mau apa? Ini sudah lewat jam makan malam.. mungkin mereka yang ditugaskan menyiapkan makanan untuk kita” Balas Jatmiko.

Aku tak ingin berkata-kata terlebih dahulu sebelum menunjukkan kenyatanya kepada mereka.

“Ini, pegang ini... lalu liat keluar” Ucapku sembari memberikan lipatan kertas pemberian seorang bapak tua saat perjalananku ke sini kepada Jatmiko.

“Apa ini?”

“Sudah lakukan saja, ngeliatnya dari sini saja.. takut mereka curiga”

Walaupun cukup bingung dengan kelakuanku, Jatmiko masih mau melakukan apa yang kuarahkan.

Secara perlahan ia mengintip melalui balik dinding dan melihat ke arah luar jendela. Disana terlihat ada beberapa orang yang sudah menanti kami untuk keluar.

Perhatian seluruh pekerja yang ada di mess itu seketika berubah ketika melihat wajah pucat Jatmiko yang berubah seketika.

“i...itu apa? Mereka siapa?” Tanyanya dengan wajah yang tidak percaya dengan yang ia lihat.

“Sebelum aku menjawab, kalian yang masih ingin memastikan silahkan lihat sendiri” Ucapku.

Hampir semua dari mereka bergantian memegang kertas itu dan hampir tidak mempercayai apa yang mereka lihat.

“Jelaskan.. jelaskan pada kami!” Ucap Jatmiko.

Setelah mereka semua melihat wujud asli perempuan-perempuan itu, akhirnya aku mulai berani menceritakan apa yang sebelumnya kulihat.

“Sepertinya, kita dijebak..“ ucapku membuka cerita.

Aku menceritakan semua yang terjadi padaku sejak perjalananku ke tempat ini. Mulai dari seorang bapak tua yang curiga dengan uang yang kubawa dan akhirnya memberikan lipatan kertas itu, rencanaku dan Gilang untuk melarikan diri.

Hingga saat melihat nenek tua berwujud gadis itu membawa seseorang ke tengah hutan dan seorang kakek yang menebas kepala orang itu dan membawanya pergi.

“Nggak, nggak mungkin...” Ucap salah satu karyawan lain yang ku kenal bernama Dadang.

“Terus kita semua teh mau dibunuh seperti orang itu?“ Ucapnya dengan suara yang bergetar.
Aku mengangguk.

“Kalau kami tidak melihat langsung, mungkin kami tidak akan percaya ceritamu.” Ucap Jatmiko.

Aku sadar ceritaku tidak masuk di akal, untungnya jimat ini juga bisa digunakan oleh mereka. Namun sepertinya benda ini masih jauh dari cukup untuk menolong kami.

“Lalu kita teh harus apa?” ucap dadang yang terlihat ketakutan.

“Kita tenang dulu, sepertinya mereka tidak bisa masuk ke bangunan ini.. semoga saja besok pagi kita bisa meninggalkan desa ini”

Mereka mengangguk setuju, namun di satu sisi aku merasakan firasat bahwa malam ini tidak akan bisa dilalui semudah itu hingga kami memutuskan untuk bergantian berjaga.

***
“Bu… Loro bu... Sakitttt...”

Menjelang tengah malam, samar-samar aku mendengar suara rintihan yang tidak kuketahui dari mana asalnya. Perlahan aku berjalan keluar, namun suara itu menghilang dan dari luar jendela masih terlihat wanita-wanita itu masih mengelilingi bangunan ini.

Aku melihat dadang yang mendapat giliran jaga masih berjaga di depan bersama seorang lainya. Akhinya memutuskan untuk kembali ke tempat tidurku dan berharap bangunan ini bisa mengamankan kami dari niat jahat mereka yang berada di luar.

***

Malam semakin larut, terdengar suara petir menggelegar membangunkanku yang tertidur tak mampu menahan rasa kantuku. Hujan mengguyur dengan deras hingga angin yang berhembus menggetarkan jendela-jendela kamar.

Aku terbangun dengan kegelapan dari seluruh sisi ruangan.

“Jat... jatmiko, mati lampu!” Ucapku mencoba membangunkanya yang tidur tak jauh dari tempatku.
Jatmiko mengusap matanya dan mengambil telepon genggam dari tasnya untuk menyalakan senter sementara aku mengambil sebuah korek api dari tasku.

Cahaya dari korek apiku memenuhi ruangan dengan remang-remang. Aku melihat sekitar dan terlihat semuanya masih tertidur hingga aku mengarahkan korek apiku ke sudut ruangan.

Sebuah bayangan terbentuk dari seseorang yang berdiri di sana.

Itu Dadang...

Ia berdiri menatapku dan Jatmiko sambil tersenyum dengan aneh.

Jatmiko beranjak dari tempat tidurnya dan mencoba menghampiri Dadang, namun aku tersadar dengan bayangan di balik tubuh dadang.

Itu bukan bayangan Dadang, banyanganya berbentuk wanita berambut panjang dengan tanganya yang panjang hingga menjulur ke lantai.

“Tunggu Jat... ada yang nggak beres” Ucapku sambil menahan Jatmiko.

Jatmiko yang tersadar segera menghentikan langkahnya. Samar-samar terlihat Dadang berkata-kata cukup panjang ke arah kami namun suara petir dan derasnya hujan membuat kami tidak mendengar sepatah katapun darinya.

Khawatir dengan keadaan Dadang, kami memutusan untuk mendekat kearahnya, namun hembusan angin dari celah jendela membuat api yang menyala dari koreku mati dan hanya tersisa cahaya dari telepon genggam Jatmiko yang redup.

Sambil berusaha menyalakan koreku lagi, terdengar suara pintu kamar terbuka. Dan tepat saat koreku menyala Dadang sudah tidak ada lagi di tempatnya dan terlihat daun pintu sudah terbuka.

“Yanto, itu.. Dadang kesurupan” Tanya Jatmiko.

“Nggak tahu, Aku nggak bisa ngasi jawaban apa-apa, aku sama seperti kalian.. orang biasa yang terjebak di situasi ini” Ucapku.

“Terus gimana? Kita ikutin?” Tanya Jatmiko lagi.

Aku mengangguk. Tidak mungkin kami membiarkan dadang celaka seandainya kami bisa mencegahnya.

Tempat yang pertama kali kupikirkan adalah pintu keluar. Mungkin makhluk yang merasuki Dadang bertujuan untuk membawa Dadang keluar dan menemui perempuan-perempuan itu. namun ternyata Dadang tidak ada disana.

“Apa perempuan-perempuan itu masih menunggu kita di luar?” Tanya Jatmiko.

Aku menggeleng menunjukan ketidak tahuanku. Namun tepat saat kami di sisi jendela sebuah kilatan menyambar dan menimbulkan cahaya yang menyinari tempat ini dengan singkat.

Dan yang kami lihat jauh lebih mengerikan dari sebelumnya..
Cahaya kilatan itu memperlihatkan..
Dari seluruh jendela bangunan ini masih berdiri perempuan-perempuan tadi ditengah guyuran hujan menatap kami dengan penuh amarah...

Mereka berdiri mengawasi kami berdua tanpa bergerak sedikitpun.

“Keluar...”
Terdengar salah satu dari mereka memerintahkan kami untuk keluar.
Kali ini bukan dengan bujuk rayu. Melainan dengan ancaman.

Terlihat mata mereka menatap tajam ke arah kami dengan wajahnya yang pucat dibawah guyuran hujan.

“Keluar... atau kalian akan mati dengan lebih mengenaskan..”
Kata-kata itu terdengar dari perempuan di luar jendela yang ada di dekat kami.

Jatmiko terjatuh, kami tersadar sebesar apa bahaya yang sedang kami hadapi. Aku menariknya menjauh dari jendela ke balik dinding.

***

“To... apa kita bisa selamat?” Ucap Jatmiko yang perlahan mulai menitikan air mata tak mampu menahan emosinya.

“Aku punya istri dan anak yang baru lahir... aku kira dengan bekerja disini aku bisa memberi mereka nafkah yang cukup dan gak hidup kekurangan lagi. Tapi kenapa malah jadi begini”
Jatmiko menutup matanya, namun aku masih bisa melihat air matanya masih menetes dengan deras.

“Sabar Jatmiko, kita kesini dengan tujuan baik.. Pasrahkan perlindungan kita kepada Yang Maha Kuasa. Tidak ada entitas apapun yang bisa mengalahkan kehendaknya.” Ucapku berusaha menghibur Jatmiko, walaupun aku sendiri masih tidak yakin dengan keselamatanku.

Kami mengatur nafas sambil meratapi nasib kami, entah apa salah yang telah kami perbuat hingga kami sampai bisa terjebak di situasi ini.

***

Ditengah kebingungan kami, perlahan terdengar suara seseorang melangkah di lantai atas.

“Dadang..” Ucapku.

Aku segera berjalan menuju ke atas mengikuti arah suara itu. namun lagi-lagi kami tidak menemukan keberadaan Dadang.
Kami tidak menyerah, satu persatu kami menelusuri setiap ruangan di lantai atas hingga terhenti ke sebuah kamar yang sebelumnya terkunci.

Berbeda dengan ruangan sebelumnya, sesuatu seperti firasat mencoba menahanku untuk membuka ruangan itu. seperti ada sesuatu yang sangat mengerikan berada di ruangan itu.

“Yanto.. kamu yakin? Perasaanku nggak enak..” Ucap Jatmiko yang sepertinya mendapat firasat yang sama.

“Aku khawatir sama Dadang...” Jawabku yang memang merasa tidak tenang apabila kami tidak memastikan Dadang tidak ada di ruangan itu.

Perlahan aku mencoba membuka pintu itu, suara pintu reyot yang bercampur dengan suara hujan menyambut kami ke dalam ruangan.

“Bukanya sebelumnya pintu ini terkunci?” Tanya Jatmiko.
Aku menangguk, namun aku tidak dapat menjawab lebih jauh apalagi setelah aku mencium bau bangkai yang sangat menyengat di ruangan ini.

Ini ruangan yang besar, seukuran dengan kamar yang berisi kasur-kasur tempat kami tidur, namun bedanya tidak ada kasur di ruangan ini. hanya perabotan-perabotan usang.

Tepat ketika kilatan menyambar terlihat sesuatu berayun di ujung ruangan ini. seketika kami tersadar dengan suara gesekan benda yang menjadi tempat tergantungnya benda yang berada disana.

Rasa penasaran membuat kami mendekat ke arah sesuatu yang berayun itu.

Ketika kilat menyambar sekali lagi, kami mulai menyadari bentuk sosok yang tergantung itu.

Manusia? Entahlah...

Bentuknya seperti manusia namun dengan kulit-kulit yang sudah membusuk.

Kedua tanganya tergantung di langit-langit rumah dengan ikatan tali yang sepertinya terbuat dari akar pohon.
Aku bergidik ngeri melihat sosok itu.

“I...itu mayat?” Tanya Jatmiko yang seharusnya ia juga tahu bahwa akupun tidak mengerti.

***

“Loro pak... sakit...”

Dari tubuh yang tergantung itu terdengar suara lirih persis seperti yang samar-samar kudengar tadi.

Tu...tunggu makhluk itu masih hidup??

Aku tidak tega melihatnya, dan mulai mencoba melangkah mendekat. Entah orang atau makhluk seperti apa yang tega berbuat sekeji ini terhadap orang ini.

Mungkin aku harus menurunkanya, setidaknya ia bisa terbaring dan mengurangi rasa sakitnya.

“Jauhi makhluk itu...”
Samar-samar terdengar suara yang melarangku untuk mendekat. Aku tidak melihat siapapun di sekitar, namun sepertinya aku mengenal suara itu.

“Temanmu ada di dekat tangga, dia dalam bahaya”

Aku semakin yakin dengan suara itu, dan segera berlari meninggalkan ruangan itu.

“Jat.. kita pergi!” Perintahku.
Tanpa bertanya, Jatmiko segera menyusulku dan berlari ke arah tangga tempat kami naik tadi.

Benar ucapa suara tanpa wujud tadi, Dadang berada di balkon dekat tangga. Dia memanjat dan berdiri menaiki balkon.

“Dadang... kamu mau ngapain?” Teriakku.

Dadang menoleh ke arahku dengan air mata yang bercucuran.

“Tubuh saya bergerak sendiri, tolong mas.. ” Ucapnya.

“Lawan Dang! Lawan!” Ucapku yang berusaha mendekat. Namun setiap aku mendekat Dadang melangkah sedikit untuk menjatuhkan tubuhnya dari tempat itu.

“Dang baca Doa! Baca semua doa yang kamu bisa! Jangan kalah dari makhluk itu!” Ucap Jatmiko.

Samar-samar hujan mulai reda. Aku tahu aku tidak akan bisa mencapai tempat dadang saat ini. Bila aku mendekat makhluk itu pasti akan menjatuhkan dirinya.

“Dang! Lawan.. doa apapun pasti bisa menolongmu!” Ucapku berteriak sekeras kerasnya.

Aku dan Jatmiko tidak bisa berbuat apa-apa, namun ada sesuatu yang ku harapkan dengan setiap teriakan kami.

“Mas... tolong sampaikan maaf dadang buat keluarga dadang” Ucap dadang yang terlihat tidak mampu bertahan hingga akhirnya menjatuhkan dirinya dari tempat itu.

“Dadang!” Teriak Jatmiko.

“Tenang Jat..” Ucapku yang terus berusaha berdoa berharap yang terbaik.

Dan benar, saat kami menengok ke bawah dadang sudah berada di bawah di pelukan salah satu teman kami yang lain.

Beruntung tidak ada luka yang berarti di tubuh Dadang.

Rupanya teriakan kami berhasil membangunkan mereka yang masih tidur di kamar hingga mereka bisa menangkap Tubuh Dadang tepat waktu.

Tepat setelah kejadian itu terdengar suara ayam berkokok, dan kegelapan malam perlahan mulai meninggalkan tempat ini.

Kami kembali berkumpul di kamar dan menceritakan semua kejadian semalam. Saat ini tidak ada lagi wanita yang menanti kami di setiap jendela namun kami harus tetap berhati-hati sebelum mencoba meninggalkan tempat ini.

Tak lama setelah matahari terbit samar-samar terdengar suara mobil mendekat ke tempat ini.
Kami yang mengharap pertolongan segera keluar dan mencoba mencari tahu.

Seorang ibu berpakaian jawa dengan kharisma yang sangat memancar turun dari mobil menghampiri seorang kakek.

Aku menahan mereka semua saat melihat sosok kakek tua itu.
“i..itu Jat, itu kakek yang memenggal kepala orang yang kulihat” Ucapku.

“Mundur Yanto.. kalau begitu kita jangan mendekat!” Jatmiko memperingatkanku.
Kami memutuskan untuk menguping dari balik dinding.

***

“Bagaimana ini mbah, anak saya kesakitan... semalam ia terus merintih di mimpi saya, saya nggak kuat ngeliatnya” ucap wanita itu.

“Sudah! Sabar! Ada salah satu dari tumbal yang kalian kirim ke sini yang memiliki ilmu... tapi malam ini mereka tidak akan bisa selamat” Ucap Kakek tua itu.

“Pokoknya saya tidak mau tahu! Sesuai permintaanmu.. setelah tumbal ke seratus anakku bisa sembuh dari kutukan orang biadab itu! akan kukirim berapapun yang kau mau!”
Rupanya suara perbincangan mereka berdua terdengar jauh sampai ke dalam.

Salah satu dari calon pekerja yang merasa emosi mendobrak lari keluar dan mengepalkan tanganya bersiap menyerang wanita itu.

“Jangan gegabah!!” Ucapku berteriak mencoba menahanya, namun amarahnya sudah membakar akal sehatnya.

“Enak saja menjadikan kami tumbal! Lebih baik kamu yang mati. Rupanya orang itu juga menggenggam sebilah pisau lipat dan bersiap untuk menusuknya.

Aneh... sungguh aneh, entah apa yang wanita itu lakukan sehingga pria itu tiba-tiba berhenti. Lututnya terlihat bergetar dan matanya terus memandang dengan takjub ke perempuan itu.

Entah apa yang membuatnya seperti itu hingga ia berlutut dan mencium kaki wanita itu.

Saat itu juga kakek tua itu menarik rambut pria itu dan menebaskan parang yang ada di lenganya hingga kepala pria itu terpisah dari badanya.

Mengerikan... mereka menghabisi satu nyawa tanpa ragu. Mereka lebih dari sekedar pembunuh yang sering kubaca di koran.

Wanita itu menoleh ke arah kami yang terpaku pada kejadian itu dari dalam rumah.
Tatapanya penuh dengan amarah seolah melampiaskan semua kegagalan rencananya kepada kami.
Entah mengapa sepertinya mereka menahan diri untuk tidak memasuki bangunan ini.

“Ningsih!”
Kakek tua itu memanggil seseorang, dan seorang perempuan muda segera berlari menghampiri kakek itu.

“Iki.. urusono” (ini, sana urusin) Perintah kakek itu.

Terlihat perempuan itu mengeluarkan sebuah mangkok yang terbuat dari batok kelapa dan menampung darah dari kepala orang itu.

Darah itu adalah darah dari seseorang yang semalam masih bertahan bersama kami, dan seharusnya ia masih bisa hidup apabila bisa menahan emosinya.

Dengan mangkok yang penuh darah perempuan itu menghampiri kami ke dalam rumah.

Aku mundur menjauh dan berkumpul bersama yang lainya. Sementara perempuan itu naik ke lantai atas tepat ke kamar yang berisi makhluk mengerikan itu.

Sialnya aku tidak bisa menahan rasa penasaranku dan pergi mengikutinya.

Terlihat wanita itu mengambil kursi kayu, menaikinya meminumkan darah di mangkok itu ke makhluk yang tergantung itu.

“A..apa yang kamu lakukan?” tanyaku penasaran.

“Dengan meminum darah ini, dia bisa menahan rasa sakitnya” Ucapnya.

“Ka..kamu siapa?” Tanyaku.

“Aku sama seperti kalian... hanya saja aku akan menjadi tumbal yang ke seratus” ucapnya dengan tenang.

Bagaimana mungkin seseorang yang akan ditumbalkan bisa setenang ini.

“Tenang saja, tidak akan ada yang memasuki bangunan ini.. siapapun yang pernah memijakan kaki di tempat ini akan terpilih menjadi tumbal mereka” Jelasnya.

Akhirnya satu jawaban terpecahkan. Ternyata itu alasan tidak ada dari mereka yang mau memasuki bangunan ini.

“Berarti kamu juga akan mati?” Tanyaku.
Wanita itu tidak menjawab. Ia kembali menutup pintu ruangan itu. berjalan menuruni tangga dan melangkah keluar.

Aku mengikutinya dan terhenti tepat di belakang pintu.

Wanita berkebaya dan kakek tua itu menatapku dengan penuh amarah.

“Metu kowe! Kowe sing nggagalke rencanaku” (Keluar kamu! Kamu yang menggagalkan rencanaku) Ucap kakek itu.

Tidak.. aku tidak akan terpancing. Tetapi sepertinya kakek tua itu tidak menyerah, ia menatapku dan membaca sebuah mantra.

Tiba-tiba sesuatu merasuki tubuhku membuat kakiku bergerak perlahan melangkah keluar.

“Jatmiko! Tolong!” Teriakku.

Dengan segera mereka yang didalam berlarian menahan tubuhku untuk keluar. Namun tenaga sesuatu yang merasukikku terlalu besar hingga mereka kesulitan menahanku.

Saat sebagian tubuhku meninggalkan bangunan ini, terlihat mata wanita berkebaya itu semakin indah, kharismanya membuatku ingin mengabdi kepadanya.

Aku tidak mampu bertahan lagi. Apa mungkin aku juga akan berakhir seperti temanku tadi.

Ditengah kepanikanku samar-samar terdengar mantra di kepalaku seperti ada yang membacakanya dari jarak dekat.

Seketika aku mampu menguasai tubuhku kembali dan segera berlari ke dalam bangunan.

Aku kenal suara seseorang yang membacakan mantra itu.

“Ingat! Bocah itu tidak selamanya dapat melindungi kalian!” Ucap kakek tua itu.

Tunggu siapa orang yang kakek itu maksud. Apa mungkin...

“Jatmiko! Lipatan kertas itu! serahkan padaku!” perintahku.

Jatmiko mengambil benda itu dari salah satu teman kami yang terakhir menggunakanya. Aku menggenggamnya dan samar-samar melihat sesuatu seperti kabut yang berbentuk manusia. Sosok manusia yang kukenal.

“Danan!“ Aku merasa ragu, tapi saat ia menoleh aku sangat kenal dengan wajah itu.

“Bagus... kamu bisa melihatku?” Ucap Danan yang entah bagaimana bisa ia berada dalam wujud apa itu.

“Aku masih dalam perjalanan... bertahanlah sampai aku datang”

Seketika aku merasa lega. Danan adalah teman kuliahku dulu, aku tidak tahu apa yang telah terjadi selama kami tidak bertemu hingga ilmunya bisa sehebat ini.

“Bekumpulah di satu tempat di bangunan ini, jangan keluar sampai aku datang. Kamu masih ingat cara bertahan hidup saat masih sering mendaki gunung kan?”
Aku mengangguk, samar-samar aku mengingat saat-saat kami mendaki ke merapi dan beberapa gunung lain bersama Rama.

Ucapan danan benar, aku harus mengatur persediaan logistik kami untuk beberapa hari ini agar bisa bertahan hidup.

“Aku tidak bisa berada dalam wujud sukma ini lebih lama... hafalkan mantra ini, bacakan saat ada kejadian seperti tadi”

Saat itu aku mengingat dengan jelas setiap kata yang diucapkan Danan.

Sebuah mantra yang sebenarnya lebih mirip dengan doa yang memiliki makna bahwa setiap bagian dari jiwa dan raga ini adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa dan semuanya dari milik kami adalah hakNya.

Tak ada satupun entitas yang berhak mengambilnya dariNya.

Setelah mengajarkan mantra itu wujud Danan menghilang, dengan segera aku mengajak semua orang masuk ke dalam kamar dan menjelaskan tentang apa yang terjadi.

Wajah mereka sedikit lebih tenang ketika mengetahui akan ada yang menolong kami dari tragedi ini.
Namun dari Jauh sosok kedua manusia yang lebih pantas disebut setan itu masih memandangku dari jauh seolah tidak akan membiarkan kami untuk hidup lebih dari hari ini.

*****

Di sebuah bis aku tersadar setelah mencoba menggunakan ilmu rogosukmo yang diajaran paklek. Beruntung hanya sedikit kursi yang terisi sehingga aku bisa bermeditasi sementara Cahyo menjaga Tubuhku.

“Gimana? Temanmu masih selamat?” Tanya Cahyo.

Aku mengangguk.

“Masih, tapi nggak tahu apa yang akan terjadi malam ini..” Balasku.

Cahyo menghela nafas, sepertinya ia juga sudah mendapat firasat yang buruk mengenai apa yang akan kami hadapi.

“Tapi kamu sudah tau sosok apa yang akan kita lawan?” Tanya Cahyo lagi.

“Seorang dukun, dan keluarga bangsawan... sepertinya ia berasal dari trah terkutuk. Pokoknya kita harus berjaga agar tidak masuk kedalam pertikaian mereka” ucapku.

Cahyo mengangguk, namun terlihat dari wajahnya sepertinya ia merahasiakan sesuatu.

“Aqua! Tissue! Rokok!” terdengar suara pedagang asongan menghampiri kami.

“Mas tissue mas” Tawar pedagang itu.

Aku menggeleng, namun entah mengapa pedagang itu seolah memaksa. Aku berusaha membuang muka untuk menghindarinya.

Samar-samar dari pantulan kaca jendela aku melihat wajahku yang penuh coretan.

Seketika aku menoleh ke arah Cahyo yang sudah bersiap mengambil tas dan berjalan ke pintu depan.

“Terminal bang! Terminal!” Ucap Cahyo yang segera direspon oleh sopir bis itu.

Aku segera mengambil tasku dan turun menyusulnya.

“Heh! Asem kowe Panjul! Orang lagi ngerogosukmo malah dicoret-coret... penistaan ilmu itu namanya” Ucapku sambil membersihkan wajahku.

"Mau ngelawan demit, mukanya jangan kalah serem sama demit” Ucap Cahyo yang masih tertawa terpingkal-pingkal.

Sebelum aku sempat melempat sandalku ke arah cahyo tiba-tiba aku terhenti saat melihat seseorang yang sedang menunggu.

Aku memperhatikan ciri-cirinya persis dengan yang diceritakan seseorang yang menelpon kami.

Yang pasti wajahya terlihat pucat dengan rasa cemas yang terpancar dari wajahnya. Sepertinya ia juga mengalami malam yang mengerikan.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close