Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DESA TANGGUL MAYIT (Part 4 END) - Mustika Darmowiloyo

Apa yang kamu pikirkan apabila melihat sekumpulan makhluk tanpa kepala berjalan memenuhi sebuah desa?
Itu yang sedang kulihat saat ini.
Pemandangan ini terdapat di sebuah desa terpencil di tengah hutan dengan gelapnya malam yang hanya diterangi oleh cahaya bulan.


JEJAKMISTERI - Sebuah bangunan besar berdiri dengan sangat mencolok di tengah desa itu. Yang kami tahu, itu adalah sebuah mess yang dibangun sebuah perusahaan sebagai tempat istirahat untuk karyawanya. Sayangnya kenyataanya tidak seindah itu.

Bangunan itu dikelilingi sosok wanita ghaib yang apabila dilihat dengan mata manusia biasa berwujud wanita cantik berbaju kebaya. Namun tidak dengan apa yang kami lihat.

Di mata kami, setiap jendela dan pintu bangunan itu sedang diawasi oleh wanita itu yang sebenarnya berwujud nenek tua dengan borok hampir di seluruh kulitnya dan rambut putih yang tidak mampu menutupi seluruh kepalanya.

***

“Kemarin saya keluar lewat jendela belakang yang tertutup semak, jika mereka lengah mungkin kita bisa masuk lewat tempat itu lagi..” Ucap Gilang.

“Berarti harus ada yang mengalihkan perhatian mereka?” tanyaku

Gilang mengangguk, tak lama setelah itu aku segera menoleh ke arah Cahyo.

“sik, sik... maksute aku sing di kon menarik perhatian demit-demit kuwi?” (Bentar.. bentar, maksudnya aku yang di suruh menarik perhatian demit-demit itu?) ucap Cahyo dengan wajah yang seolah tidak terima.
Aku mengangguk dengan tegas.

“Lha piye? sing iso mlayu kenceng nek dikejar mung kowe” (Lha gimana? Yang bisa lari cepat kalau dikejar Cuma kamu) Ucapku sambil sedikit meringis merayunya.

“Iyooo... yowis, ati-ati juga kalian di dalam juga gak aman” Ucap Cahyo yang segera meninggalkan kami sambil mengalungkan sarung kesayanganya di bahu.

***

Kami memperhatikan Cahyo dari jauh, ia memutar melewati sisi dimana ia tidak dapat melihat sosok demit-demit tanpa kepala itu.
Cahyo memilih sebuah pohon di pinggir desa dan memukul sekuat mungkin hingga suaranya terdengar ke dalam desa.

“Kliwon!! Ning ngendi kowe!” (Kliwon, dimana kamu?) Teriak Cahyo sambil memperhatikan pohon-pohon di hutan itu.

“Ayo ndang mulih... ning kene serem, akeh demit” (Ayo cepet pulang, disini serem banyak setan)

Mendengar suara teriakan itu semua makhluk yang mengelilingi bangunan menoleh mencari arah suara Cahyo.
Aku dan Gilang mengambil kesempatan itu untuk menyelinap melewati belakang rumah-rumah kayu menuju jendela yang tertutup semak di belakang mess.

Perlahan kami memasuki bangunan itu dengan hati-hati tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Sebuah bangunan tua namun sangat terawat. Sekilas aku berfikir apabila semua orang yang memasuki tempat ini menjadi tumbal, lantas siapa yang merawat tempat ini?

Aku mengikuti Gilang yang berjalan perlahan menuju sebuah ruangan. Kami tahu tidak ada orang diluar ruangan selain kami namun sesekali kami melihat bayangan yang melintas dari sudut-sudut ruangan ini.

“Yanto..  ini aku, Gilang” Ucap gilang sambil mengetuk pintu kamar sementara aku mengawasi sekitar.
Tak butuh waktu lama hingga pintu itu terbuka. Wajah seseorang yang kukenal mengintip sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu.

“Danan! Akhirnya!” Ucap Yanto dengan wajah yang cukup pucat. Wajar saja ia sudah dua malam terkurung di bangunan ini bersama berbagai teror yang mengejarnya.
Dengan segera beberapa orang yang terkurung di bangunan itu terbangun dari tempatnya dan berdiri menghampiri kami.

Gilang membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa makanan kecil yang tadi ia beli di terminal.

“Ini di makan dulu seadanya, habis ini kita cari jalan keluar dengan bantuan mas Danan” Ucap Gilang.

“Yanto, sana isi perut dulu... abis ini kita bahas rencana kita” Ucapku..

Namun bukanya mengikuti yang lain, Yanto malah mengajakku menghampiri ke sudut ruangan. Terlihat seseorang sedang terbaring terikat dengan tatapan mata yang aneh.

“Dia Dadang... kemarin dia sempat kerasukan, dia sudah mendapatkan kesadaranya namun sepertinya sesuatu masih menguasai tubuhnya.”
Perlahan aku menghampiri pria itu dan memeriksanya dan melepas ikatanya.

“Kang... Kang Dadang” Ucapku

Pria itu mencoba menolehku namun sepertinya tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak.

“Mas... apa aku masih bisa hidup?” Ucapnya dengan lirih.
Aku menyentuh dahinya dan sedikit memberinya senyuman sekedar untuk menghiburnya.

“Yanto, kamu mundur dulu.   baca doa sebisanya bersama yang lain” Perintahku pada Yanto.

Aku mengambil sebotol air putih yang ada di tasku dan membacakan sebuah doa. Saat itu samar-samar aku melihat bayangan sesosok makhluk berambut panjang tak jauh dari tubuh kang dadang berbaring.

Tak mau melakukan kesalahan, aku merapalkan ajian pelindung batin untuk ruangan ini agar saat sesuatu yang merasuki Kang dadang berhasil keluar ia tidak berpindah ke tubuh mereka yang ada di tempat ini.

“Ini kang diminum pelan-pelan...” Ucapku sambil meminumkan air yang sudah kubacakan doa kepada Kang Dadang dan membaringkanya kembali.
Seketika nafas kang dadang kembali teratur dan ia mulai menguasai tubuhnya.

“Mas... i...itu mas! Itu yang ngikutin Dadang terus!” Ucap kang dadang sambil menunjuk ke salah satu sudut kamar. Wajahnya terlihat sangat ketakutan.

Saat itu juga terdengar suara beberapa orang terjatuh di tengah kumpulan teman-teman yanto tadi saat melihat sesosok makhluk yang melayang berayun di ujung langit-langit kamar.

“Se...setan!! “ Teriak mereka yang ketakutan. Yanto segera membantu orang itu berdiri.

“Terus berdoa, jangan sampai putus..  Itu bisa melindungi kita” Ucap Yanto.

Sesosok makhluk berwujud wanita berbaju kebaya yang sudah usang melayang terbalik di langit-langit kamar dengan rambut yang menjuntai hingga menyentuh lantai.

Wajahnya yang ternoda oleh darah menatapku dengan penuh amarah.

“Kualat kowe..”
Makhkuk itu mengancamku dengan mendekatkan wajahnya yang dipenuhi darah yang mengalir dari matanya.

Aku membacakan ajian muksa pangreksa yang seharusnya cukup untuk melindungi kami dari niat jahat makhluk ini.

“Khihiki, apik men kowe nganter nyowo... kowe ra ngerti,, sing mbok lawan kuwi dudu mung demit alas” (Khikhihi, baik sekali kamu mengantar nyawa... kamu tidak mengerti, yang kamu lawan itu bukan sekedar setan hutan) ucap sosok setan yang masih melayang layang di hadapan kami itu.

“Nyowoku nduwene Gusti sing Maha Kuwoso, aku ora bakal wedi yen sing tak lakoni iki bener” (Nyawaku milik Tuhan RangMaha Kuasa, Aku tidak akan takut jika yang kulakukan ini adalah hal benar) Ucapku sambil membacakan amalan pedang untuk menyerang setan itu.

Belum sempat menyelesaikan seranganku, tiba-tiba terdengar suara jendela dan bangunan rumah digedor oleh sekumpulan orang.
Gilang mengintip keluar kamar, dan terkaget melihat apa yang ia lihat.

“Mas Danan, tubuh tanpa kepala itu... mereka sudah sampai ke sini!” Teriak gilang.

Mendengar ucapan Gilang, seluruh orang di ruangan menjadi panik.

“Tubuh tanpa kepala? Kali ini makhluk apa lagi?!” Ucap Salah seorang di ruangan itu.

“Jatmiko, tenang aja... percaya sama Danan” Balas Yanto pada temanya yang bernama Jatmiko itu.

Aku melihat kecemasan di mata mereka. Seketika aku menarik sebuah keris dari dalam sukmaku membacakan beberapa mantra dan segera melompat menusukanya pada tubuh makhluk yang sedari tadi merasuki kang dadang itu.

Ia mencoba menghindar, namun aku berhasil menusukan kerisku dibahunya.
Suara teriakan melengking ke seluruh bangunan hingga terdengar keluar. Entah apa yang terjadi dengan makhluk itu, namun makhluk itu menghilang kedalam kegelapan.

“Makhluk itu mati?” Tanya Yanto.

Aku menggeleng, namun setidaknya rasa keberanian mulai muncul diantara teman-teman Yanto.

“Terus gimana? Kita keluar?” tanya Gilang.

“Nggak, kita bertahan hingga pagi. Melawan mereka di malam hari tidak akan mudah... setidaknya kita harus menunggu setelah pertiga malam.” Jawabku.

“Lalu.. makhluk-mahkluk itu?” Tanya Gilang.

“Aku dan Cahyo yang akan menghadapi mereka setelah memasang pelindung di ruangan ini..”Jawabku.

“Oh iya Danan, ada jasad mengerikan di atas...“ Ucap Yanto yang berusaha memberitahukan mengenai keberadaan jasad hitam yang menggantung di ruangan atas.

“Aku sudah tahu.. jangan mendekat ke sana hingga masalah diluar selesai”

Saat itu juga aku membacakan doa-doa, menuliskan beberapa ayat suci di sudut kamar dan memastikan kondisi mereka.

“Yanto, Mas Gilang... aku titip mereka sebentar lagi, siap-siap bahaya sebenarnya akan terjadi saat menjelang subuh” Jelasku.
Mereka mengerti dengan jelas maksudku dan mengantarku ke luar kamar.

Dari sanalah pemandangan paling mengerikan terlihat. Dari semua jendela sudah bersiaga demit berwujud nenek tua dan tubuh tanpa kepala yang menggedor-gedor bangunan ini.

“Danan, kamu serius mau menghadapi mereka?” Tanya Yanto.

“Mereka jauh lebih mengerikan dari makhluk yang kita lihat di merapi dulu” Aku sedikit tersenyum dan menempuk pundak Yanto.

“Tenang saja, kali ini aku tidak sendirian..“ Ucapku.

Tak lama setelahnya terdengar suara dentuman tak jauh dari bangunan ini. sontak sosok makhluk yang ada di sekitar bangunan segera berbalik ke arah itu.

“Danan!!! Uwis durung! Ojo kesuwen!” (Danan! sudah belum? Jangan kelamaan!)

Terdengar suara teriakan Cahyo dari luar bangunan. Aku hanya menepukan jidad dan menggelengkan kepala melihat tingkah Cahyo.

“Ya sudah.. aku tinggal dulu, ada yang sudah tidak sabaran” Pamitku pada Gilang dan Yanto dan segera keluar. Kali ini melalui pintu depan.

Anehnya tepat saat keluar dari bangunan aku terjatuh. Sesuatu menekanku seolah ada perbedaan aliran kekuatan di dalam dan di luar bangunan. Semoga saja ini tidak berarti apa-apa.

“Bocah brengsek, sopo kowe?” (Bocah brengsek, Siapa kamu!) Ucap sesosok kakek tua renta yang menjadi empu dari makhluk-makhluk ini. Ia menggenggam sebuah parang yang sudah penuh dengan karat dan mengacungkan kepada Cahyo.

“Aku akan membalas apa yang kalian Trah Darmowiloyo lakukan pada anggota keluargaku!” Ucap Cahyo yang maksudnya sama sekali tidak aku mengerti.
Saat itu juga aku bingung, aku segera menghampirinya dan menanyakan maksudnya.

“Kowe ngomong opo to Jul?” (kamu ngomong apa to jul?) Tanyaku berbisik.

“Mbuh.. wis rapopo, ben ketok keren” (Gak tau, udah biarin gpp.. biar keliatan keren) Jawabnya dengan wajah yang datar.

Sekali lagi aku tidak bisa menebak tingkah laku Cahyo yang tidak pernah kehabisan akal.

“Cuh...” Kakek itu meludah ke tanah.

“Bocah ingusan koyo kowe arep balas dendam? Ojo ngimpi kowe!” (anak ingusan kayak kamu mau balas dendam? Jangan mimpi kamu!” Ucap Kakek itu.

Saat itu juga ia memerintahkan seluruh demit yang berada dibawah kuasanya untuk menghampiri kami. Mulai dari makhluk berwujud manusia tanpa kepala dan nenek tua yang berwajah mengerikan.

Namun dengan sigap Cahyo mencopot sarungnya, membacakan sebuah mantra dan mengibaskan sarung kebanggaanya itu hingga sebagian dari mereka terhempas menjauh.

“Uwis kek, menyerah saja.. ” ucap Cahyo.

“Kurang ajar... dari trah mana kalian berani menantang keluarga Darmowiloyo?!” Ucap Kakek itu.

Cahyo menoleh ke arahku sambil berbisik.
“Trah opo Danan? Nganggo trahmu piye?” (Trah apa Danan? Pake trahmu gimana?)

“Emoh.. amit-amit, trah sambara ki isine wong ganteng... ra cocok karo kowe” (Jangan, amit-amit, trah sambara itu isinya orang ganteng.. nggak cocok sama kamu) Jawabku iseng.

“Asem.. maksudmu aku ra ngganteng?” (Sial.. maksudmu aku ga ganteng?) Balas Cahyo dengan mukanya yang kecut dan segera menjawab Kakek itu.

“Inget namaku kakek peyot! Saya Panjul dari Trah Rojobedes...” Ucap Cahyo dengan sombongnya.
Kakek itu tertawa kecil.

“Jangan sombong bocah...”
Sang kakek melepaskan baju lusuhnya dan melemparkanya ke tanah. Ia tertawa cekikikan memamerkan giginya yang hitam dan memanggil salah satu wanita berwujud nenek tua yang merupakan pengikutnya.

Dengan sebuah tatapan nenek tua itu berlutut di kakinya. Seketika ia menjambak rambut putih nenek itu dan menebas lehernya hingga terpisah dari tubuhnya.

“Uwong edan...” (Orang gila) ucap Cahyo.

Aku berusaha menahan mual melihat hal itu. Apalagi saat sang kakek mengangkat kepala nenek tua itu dan mengalirkan darah dari lehernya ke mulutnya dan membasahi tubuh rentanya.

Seketika kekuatan hitam mengalir dari dalam tubuh kakek itu. Makhluk-makhluk disekitarnyapun menyingkir ketakutan saat merasakan hawa mengerikan yang muncul dari tubuh kakek itu..

“Ajian getih demit.   Hati-hati Cahyo, dia bukan manusia lagi..  atau mungkin memang sejak awal dia sudah bukan manusia”
Saat itu juga aku dan Cahyo segera melangkah mundur.

Sayangnya kami terlambat, tiba-tiba sebuah sabetan parang sudah menyayat punggung Cahyo tanpa dapat kami lihat.

“Cahyo, Mundur...” Ucapku sambil menarik Cahyo dan mencabut Keris ragasukma bersiap memantau segala arah.

Kami tidak melihat keberadaan kakek itu, namun dari kegelapan kami melihat pergerakan dan setiap kami menoleh sosok itu segera menghilang.

“Sial.. demit-demit ini memang receh, tapi siapa sangka mereka hanya mangsa untuk dukun tua itu...” Ucap Cahyo yang berusaha menahan sakit luka di punggungnya.

“Pulihkan dulu lukamu, biar aku yang menahan dukun itu..” Ucapku.

Cahyo mengambil posisi meditasi dan membacakan mantra penyembuh untuk memulihkan lukanya sementara aku berusaha melindunginya.
Entah, Kakek itu tidak hanya bertambah kuat tapi seolah ia bisa melintasi suatu dimensi dan muncul di titik buta kami.

Beberapa kali aku membaca posisinya dan mencoba menahan seranganya namun tetap gagal sehingga beberapa luka sayatan kembali menghiasi tubuhku dan Cahyo.
Aku melihat Cahyo sedang membacakan doa-doa sambil menahan lukanya.

Aku merasa sepertinya ia sedang menjalankan sebuah siasat.

“Kamu punya keris pusaka yang hebat, tapi itu hanya jadi sampah di tangan bocah sepertimu” Ucap Kakek itu menggema di sekitar kami.

Kata-kata kakek itu berhasil membuatku kesal, sebenarnya aku ingin menggunakan kekuatan keris ini saat terdesak saja.
Aku memperhatikan dengan baik arah kemunculan kakek itu, dan sesuai dugaan ia akan muncul dari sisi kanan Cahyo dengan menyabetkan parangnya.

Namun tepat sebelum menahan seranganya dengan kerisku, kakek itu menghilang dan tiba-tiba sudah muncul di hadapan Cahyo dengan parang yang siap memenggal lehernya.
Saat itu Cahyo masih dengan tenang membacakan doa-doa yang ia lafalkan tanpa bergeming sedikitpun.

Sepertinya ia sudah sadar dengan siasatku.
Saat itu juga.. 
Tepat sebelum parangnya melukai Cahyo.
Keris ragasukmaku sudah menusuk tepat di punggung kakek itu dengan wujud sukmaku yang menggenggamnya.

Kakek itu terjatuh dan segera menjauh melepaskan tubuhnya dari keris ragasukma.

“Bocah brengsek, bagaimana mungkin benda itu bisa mengenaiku?” Ucap kakek itu tidak percaya.

“Makanya jangan sombong kek, keris ragasukma memiliki dua wujud.. wujud sukma dan raga, saat ragaku tertipu dengan seranganmu, aku melepas sukmaku dengan membawa wujud sukma keris ini untuk menghentikan seranganmu berikutnya” Jawabku.

Kakek itu memuntahkan darah hitam tak mampu menahan lukanya. Sepertinya Ajian getih demit yang ia miliki belum sempurna. Seandainya ia menguasai sepenuhnya, mungkin kami akan kewalahan.

Ia memanggil sekali lagi demit nenek tua yang menjadi pengikutnya. Namun kali ini tidak ada yang mendekat.

Kakek itu menoleh ke sekeliling. Semua tubuh nenek tua itu sudah terbaring tak berdaya di tanah seolah tak bernyawa. Ia mencari keberadaan roh tubuh tanpa kepala namun semua sudah menghilang.

“Apa yang sudah kalian lakukan?” Ucap Kakek itu dengan kesal.

Saat itu juga Cahyo berdiri dengan lukanya yang sudah hampir pulih.

“Roh itu sudah tenang, tidak akan menjadi tumbal kalian lagi..  dan demit yang merasuki tubuh nenek tua itu juga sudah pergi ketakutan ke tempat yang jauh” Ucap Cahyo sambil membersihkan sarungnya.

Rupanya sedari tadi Cahyo membacakan doa-doa penenang untuk menenangkan roh pengikut dukun tadi sekaligus mengusir demit yang mengisi tubuh nenek-nenek yang bergelimpangan di sekitar kami ini.

“Kalian benar-benar sudah memulai masalah besar... Kanjeng Nyai tidak akan tinggal diam!” Ucap Kakek itu yang segera berjalan menjauh dan masuk ke dalam hutan.

“Bilang sama dia, Kami tidak akan kemana-mana... kami tunggu sampai dia datang!” Ucap Cahyo menantang.

Ini memang rencana kami. Dukun itu bukanlah masalah utamanya, walaupun kami bisa mengalahkan dukun itu, Wanita yang dipanggil Kanjeng Nyai itu pasti akan mencari dukun lain untuk mencari tumbal.

***

Aku dan Cahyo kembali memasuki bangunan tempat Yanto dan yang lain berada. Sekali lagi aku merasakan distorsi kekuatan saat memasuki bangunan ini seolah sesuatu yang mengerikan tersembunyi di bangunan ini.

“Gimana Danan, kita sudah bisa keluar?” Tanya Yanto.

“Sebenarnya sudah aman, tapi kita tunggu sebentar lagi biar masalah ini benar-benar selesai..” Jawabku.

Kini suasana di bangunan ini tidak semengerikan sebelumnya. Yanto dan teman-temanya menunggu di ruang tengah sementara beberapa dari mereka menyempatkan ke kamar mandi setelah cukup lama menahanya selama kejadian tadi.

Walaupun begitu, kami tetap harus waspada dengan keberadaan makhluk berwujud jasad busuk yang tergantung di sebuah ruangan di lantai atas.

“Mas Danan... Hatur nuhun ya mas, Dadang sudah sehat lagi” Ucap Kang dadang yang tiba-tiba menghampiriku.

“Eh, iya kang... santai saja, tapi Kang Dadang hebat.. bisa bertahan dari makhluk itu” Balasku.

“Kang Dadang teh hanya teringat keluarga di kampung, jangan sampai kang dadang pulang Cuma jasad saja” Ucap Kang dadang.

Aku tersenyum mendengar ucapanya. Kadang memang keberadaan keluarga yang menanti di rumah mampu memberikan kekuatan dan menjadi semangat untuk seseorang.

“Kang Dadang boleh bercerita sedikit?” Ucapnya.

“Boleh kang, cerita aja.. kita masih banyak waktu kok”

Saat itu Kang Dadang mulai bercerita tentang perasaanya saat dirasuki makhluk itu, bahkan ia sadar saat aku mengikutinya dalam wujud sukma. Setidaknya perbincangan ini bisa membuatku menahan kantuku hingga subuh nanti.

***

“Ini kita menunggu apa Danan?” tanya Yanto.

“Kamu ingat wanita yang kemarin datang? Aku masih harus menghadapinya” Jawabku.

Mendengar ucapanku, Sontak Yanto merasa khawatir.

“Yang benar kamu Danan? Dia berbahaya.. orang yang kmaren mencoba melawan saja langsung bertekuk lutut” Ucap Yanto panik.
Aku menghela nafas, sepertinya Yanto lupa saat itu aku juga ada disana dalam wujud sukma.

“Tenang Yanto, kalau kita tidak menyelesaikan masalah dengan orang itu kalian juga belum tentu bisa pergi dengan selamat” Jelasku.

Sepertinya ia mengerti, sementara Gilang membantu Cahyo merawat lukanya aku dan Yanto sedikit bernostalgia dengan masa lalu kami saat masih satu kampus di Jogja.

Ia juga bercerita soal Rama yang sudah mendapat pekerjaan tetap namun masih sering mengajaknya melaksanakan hobi mereka untuk mendaki gunung.

***

Beberapa menit menjelang subuh terdengar suara sebuah mobil yang terparkir di depan mess tak jauh dari jasad nenek tua itu bergelimpangan.

Saat ini aku dan Cahyo sudah bersiap di dalam bangunan menyambut kemunculan seorang wanita berumur yang sangat menawan yang kami tahu dengan jelas betapa berbahayanya dia.
Seorang pria keluar dari pintu supir, berlari ke arah samping dan membukakan pintu dengan hati-hati.

Cantik.. kami tau umur wanita itu pasti sudah hampir dua kali umur kami. Namun tidak ada yang bisa membantah kecantikan dan keanggunan dari wanita itu. Rambutnya disanggul dengan menawan, kebaya yang ia gunakanpun terlihat mewah walau tanpa perhiasan yang mengelilinginya.

“Danan... Jaga kesadaranmu” Ucap Cahyo.

Aku mengangguk, aku bukan hanya sedang mengagumi kecantikan wanita itu. Saat ini aku sedang mencari keberadaan sesuatu yang membuat wanita itu begitu berbahaya.

“Panggil dukun tidak berguna itu!” Ucap Wanita itu pada supir yang tadi mengantarnya.
Tanpa bertanya sedikitpun pria itu segera merunduk dan masuk ke dalam hutan.
Wanita berjalan dengan anggun ke hadapan kami namun masih tidak mau masuk ke dalam mess ini.

Ia menatap kami satu per satu dengan berusaha menahan amarahnya.

“Jadi kalian pembuat onarnya?” Tanyanya kepada kami.
Aku tidak menjawabnya, begitu juga dengan Cahyo. Kami masih ingin mencoba membaca situasi ini.

Sayangnya amarah wanita itu sudah memuncak, ia mundur dan mengambil sebuah benda menyerupai tungku kemenyan yang sudah menyala. Mengasapi beberapa kelopak bunga dan menatapku sambil memakan salah satu kelopak bunga itu.

Saat itu juga rasa sakit muncul dari dalam tubuhku, aku tidak mampu menahanya hingga cairan merah keluar dari mulutku.

“Danan.. kamu kenapa?” Tanya Cahyo.
Aku mengayunkan tangan untuk menahan Cahyo sambil mengambil posisi meditasi.

“I..ini ilmu santet, tapi tidak mungkin bisa semudah ini...” Ucapku yang memulai membacakan mantra untuk melindungi diri.

“Brengsek!” Ucap Cahyo yang segera menerjang keluar.

Sayangnya saat semakin dekat dengan wanita itu Cahyo terhenti, sesuatu seperti menahanya untuk menyerang wanita itu.

“Cahyo! Kembali!” perintahku sambil mencoba menahan rasa sakit yang muncul setiap wanita itu mengunyah kelopak bunga itu.

Bukanya kembali, Cahyo seperti terkesima dengan keanggunan wanita itu dan berjalan ke arahnya.

“Jangan bodoh!” Teriakku.
Wanita itu tersenyum melihat Cahyo yang mulai terpengaruh.

“Cah Bagus, kesini... ra usah takut” Ucap Wanita itu.

Aku ingin menyusul Cahyo namun sepertinya kemampuan wanita itu akan membuatku bertingkah sama seperti Cahyo.

“Wanasura! Bawa Cahyo kembali”
Kali ini aku memisahkan sebagian sukmaku dan berteriak berharap wanasura yang berada di dalam tubuh Cahyo mendengarkanku.

Beruntung, sebelum sempat menyentuh wanita itu sauara auman terdengar ke seluruh desa. Cahyo terhenti dan tubuhnya seperti terpental ke arah bangunan mess.
Dengan segera aku menarik Cahyo dan membawanya kembali ke bangunan ini.

“Cahyo sadar!” Ucapku sambil menepuk pipi Cahyo.

Cahyo yang sudah tersadar menepis tanganku dan berusaha membangunkan tubuhnya.

“Iyo.. uwis, aku ra nyongko ono kekuatan koyo ngono” (iya.. sudah, aku tidak menyangka ada kekuatan seperti itu) Ucap Cahyo.

Kami kembali bersiaga, entah bagaimana cara kami bisa selamat dari wanita ini. Namun sepertinya aku menyadari keanehan pada mustika yang ia kenakan di lehernya.

Dari jauh kami melihat wanita itu masih berusaha tersenyum dan menatap kami. Kali ini ia mengambil sebuah kelopak bunga lagi dan memakanya.

Saat itu sekali lagi aku merasakan seperti ada sesuatu yang membakar bagian dalam tubuhku hingga sekali lagi aku memuntahkan darah dari mulutku.

“Wanita tengik! Hentikan!” Teriak Cahyo. Namun mendengar ucapan itu, ia merasa semakin kesal dan mengunyah kelopak bunga itu hingga membuatku tak mampu menahan rasa sakit ini.

“Awas kowe!” Teriak Cahyo sambil menunjuk wanita itu dan berlari ke dalam bangunan.

Aku sekuat tenaga menahan serangan santet yang dikirimkan ke tubuhku melalui perantara kelopak bunga itu. Seandainya ia memiliki sehelai saja bagian tubuhku, mungkin wanita itu bisa membunuhku dengan mudah.

“Menyerah saja, cepat atau lambat kamu juga akan mati...” Ucapnya.

Sekali lagi wanita itu mencoba memasukan kelopak bungan ke dalam mulutnya. Namun tiba-tiba ia terhenti saat terdengar suara dar dalam bangunan itu.

“Sakiiit!!! Bu... Loro bu!!!!”

Terdengar suara seseorang yang menangis lirih dari dalam bangunan. Saat itu juga wanita itu terlihat panik.

“Hentikan! Jangan macam-macam kalian!” Ucapnya yang melihat kedatangan Cahyo dengan menggendong jasad busuk yang sudah menghitam namun masih bernafas dan berbicara.

Saat itu juga supir yang diperintahkan oleh wanita itu datang bersama dukun kakek tua tadi yang masih terlihat kewalahan dengan lukanya. Kali ini ia datang bersama seorang wanita muda dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali.

“Mereka! Mereka bocah yang menggagalkan ritual ini! Jangan salahkan aku Kanjeng Nyai!” Ucap Dukun itu yang segera merunduk sesopan mungkin.

“Kalau bukan gara-gara kebodohanmu mereka tidak akan berani-berani melukai anaku!” Ucapnya yang mulai lepas kendali.

Cahyo yang terlihat kesal segera maju ke depanku dengan membawa jasad yang wanita itu akui sebagai anaknya.

“Lihat sendiri! Apa ini anakmu!” Ucap Cahyo.
Wanita itu bertambah panik dan mengengabaikan sekitarnya.

“Jangan! Jangan sampai tubuhnya menyentuh tanah!” Ucapnya.

“Hentikan! Kalian kubiarkan hidup, kembalikan ia ke tempatnya”

Sayangnya tujuan kami tidak sependek itu. saat itu juga Cahyo keluar membawa jasad itu dan mendekatkanya kepada keempat orang yang ada di depan mess bangunan ini.

“Kamu? Bagaimana kamu bisa tidak terpengaruh lagi dengan kekuatanku?” wanita itu bertambah panik.
Melihat rencanaku berhasil, aku menyusul keluar sambil menunjukan sebuah benda yang sebelumnya berada di leher wanita itu.

“Mustika ini kan sumber kekuatanmu?” Ucapku yang berhasil menyelinap dengan wujud sukmaku dan mengambil benda berbentuk liontin batu yang dihiasi ornamen kuningan dengan ukiran jawa.

“Kanjeng Nyai! Mereka sudah keterlaluan... pinjamkan aku pusaka warisanmu biar kuhabisi mereka semua” Ucap Kakek tua itu.

Tanpa banyak bicara, Kanjeng Nyai melepaskan sebuah cincin dengan batu berwarna hitam dan memberikanya ke kakek tua itu tanpa melepaskan padanganya dari Cahyo.

“Khekhekeh... habis kau bocah!”
Kakek itu mengenakan cincin itu pada salah satu jarinya.

“Bu.. tolong bu... sakit bu..”
Wanita anggun yang dipanggil Kanjeng Nyai itu segera menghampiri makhluk itu dan berusaha memeluknya.

“Biadab kalian! Apa salah keluarga kami dengan kalian” Ucapnya yang mulai terlihat lemah dengan air mata menetes tak sama dengan yang sebelumnya terlihat begitu anggun.

“Buka matamu dan perhatikan ini...“ Aku berjalan ke arah jasad itu sambil memberi isyarat pada Cahyo untuk memperhatikan dukun itu.
Dengan menggenggam Keris Ragasukma aku membacakan sebuah doa dan menorehkan ujungnya ke bagian leher makhluk itu.

Dari jauh aku melihat raut muka panik di wajah dukun itu.

“Tidak mungkin kau tidak tahu tentang benda ini...” ucapku yang mengeluarkan sebuah patahan kayu hitam yang terukirkan seton dan nama seseorang yang diakhiri dengan marga Darmowiloyo.

Tepat saat benda itu keluar, jasad itu tak lagi bersuara dan tidak bernafas sama sekali.

“Apa yang kalian lakukan!” Ucap wanita itu yang mulai menangis dengan histeris sambil memeluk jasad yang sudah membusuk itu.

Yang kutakutkan terjadi, kemungkinan wanita ini sudah tahu mengenai kenyataan ini namun ia masih belum mau menerimanya dan lebih mempercayai perkataan dukun itu.

“Harusnya anakmu sudah tenang, ia sudah mati terlebih dulu dengan santet kiriman seseorang ini” ucapku sambil melemparkan kepingan kayu itu.

“Tak hanya itu... anakmu sudah jauh menderita sebelumnya” Sekali lagi aku membacakan mantra dan menarik beberapa benda dari jasad itu.

Paku, pecahan kaca, hingga bilah besi tertanam di tubuh itu.
Tangisan wanita itu semakin histeris saat menghadapi kenyataan ini.

“Ia sudah mati, dan tubuhnya diisi dengan sosok yang dikirim oleh seseorang untuk memperdaya kalian”

“J..jangan dengarkan perkataan mereka! Mereka hanya ingin membalas dendam!” Ucap Dukun itu namun ia tidak berani macam-macam dengan keberadaan Cahyo dan bayangan wanasura di hadapanya.

Tangisan wanita itu terdengar tanpa henti hingga gelapnya malam berganti saat matahari mulai mengintip menerangi desa yang sudah dipenuhi dengan jasad yang bergelimpangan.

Ingon yang dipanggil dengan pusaka itupun menghilang bersamaan dengan putusnya jari dukun itu yang sudah menghitam.

“Sudah... pergi, pergi kalian!” Ucap wanita itu.

Aku tidak mempedulikan ucapanya.

“Seharusnya bukan jasad busuk itu yang kamu perjuangkan, dia yang rela mengorbankan nyawanya untukmu sebagai tumbal yang seharusnya kamu jaga” Ucapku sambil menatap seorang wanita yang selama ini terus mengikuti dukun itu.

“Apa maksudmu?” tanya wanita itu.

“Roh yang mengikuti wanita itu, yang merasuki tubuh seseorang diantara kami memberi petunjuk pada kami” jawabku.

Saat itu tiba-tiba Yanto, Danang, Gilang keluar dari dalam bangunan itu. Sepertinya ia sudah mendengar semua perbincangan kami.

“Wanita itu teh, anaknya ibu kan?” ucap Kang dadang.

“Kang dadang tahu dari makhluk yang merasuki kang dadang”
Aku tahu cerita ini saat mengobrol dengan kang dadang tadi. Namun aku masih harus memastikan.

“Jangan sembarangan kalian! Mana mungkin perempuan kotor itu anakku!” Ucapnya.

Aku menoleh ke arah anak wanita itu khawatir akan ucapan dari wanita itu melukai perasaanya namun ia tidak bersedih sedikitpun seolah perasaan anak perempuan itu sudah mati.

Tak lama dengan cepat supir itu segera menghampiri anak wanita itu.

“Sudah hentikan... semua ini sudah selesai, pergi kalian” Ucapnya.

Kami tidak bergeming mendengar ucapanya, sebaliknya kang dadang melanjutkan ceritanya.

Kang dadang menceritakan sesuatu yang tidak bisa dipercaya. Rupanya anak wanita itu adalah hasil hubungan gelap antara Ibu itu dengan supir itu yang terjadi saat ia gelap mata.
Hal itu terjadi saat suaminya tidak pulang berbulan-bulan saat mengerjakan proyek perusahaanya.

Kanjeng Nyai yang sedang dipengaruhi kekuatan dari mustikanya merasakan nafsu birahinya yang memuncak. Saat itu yang selalu ada di sisinya hanyalah pegawai yang bekerja sebagai supir kepercayaan keluarga yang selalu menemaninya bepergian.

Sang pegawai yang selama ini hanya mampu mengagumi kecantikan Kanjeng Nyai tidak mampu menahan permintaan Kanjeng Nyai dan mengiyakan permintaanya untuk memenuhi kebutuhan nafsunya setiap saat ia membutuhkan.

Hingga suatu ketika Kanjeng Nyai hamil tanpa sepengetahuan suami dan anaknya yang bekerja di penebangan hutan.

Awalnya ia berniat menggugurkan kandunganya, namun pegawainya itu melarangnya dan berjanji akan merawat anak itu sebagai anaknya tanpa harus mengakui Kanjeng Nyai sebagai ibu. Anak itu diberi nama Tika.

Ia berhasil menyembunyikan kehamilanya karena suami dan anaknya jarang sekali pulang. Dan penyesalan terbesarnya terjadi saat sebuah radio menceritakan mengenai tragedi yang menimpa seluruh karyawan perusahaan termasuk Istri dan anaknya.

Mereka mati dengan misterius dengan tubuh yang menghitam dan membusuk.
Saat itu ia menangis tanpa henti dan mulai kehilangan akal sehatnya untuk menghidupkan kembali anaknya dan menutupi penyesalanya.

Awalnya ia tidak peduli dengan anak yang ia lahirkan dan menyerahkan sepenuhnya pada supirnya itu. Namun saat dukun itu memberi tahu bahwa anak itu berguna sebagai tumbal ke seratus. Kanjeng Nyai mengambil anak itu dan menyerahkanya pada dukun itu.

Mendengar Kanjeng Nyai mau mengakuinya sebagai anak dan menyayanginya apabila ia mau menuruti perintah dukun itu. Anak wanita itu menyetujuinya bahkan walau harus mati sebagai tumbal.

Supir itu tidak mampu berbuat apa-apa karna menyadari akan kedudukanya dan bahaya yang ia dapat.

“Kamu tahu apa yang direncanakan dukun itu?” Lanjutku berbicara pada Kanjeng Nyai.

“Saat tumbal ke seratus Ia akan mengisi jasad anakmu itu dengan roh wanita ini... itu sama saja kamu sudah membunuh kedua anakmu”

Mendengar ucapanku seketika wanita itu tertegun dan menghentikan tangisnya. Ia menoleh ke arah dukun itu.

“Apa benar perkataan bocah ini?” Ucapnya pada dukun itu.

Dukun itu tidak menjawab, sebaliknya ia mundur dan mencoba berlari meninggalkan kami.

Cahyo yang sedari tadi mengawasi dukun itu memanggil kekuatan wanasura di kakinya, melompat mengejar dukun kakek tua itu dan menendangnya hingga terpental.

“Danan belum selesai ngomong!” teriak Cahyo pada kakek tua yang hampir kehilangan kesadaranya itu.

“Sudah.. sudah Kanjeng Nyai, kita hentikan ini semua... biar Tika saya yang jaga” Ucap Supir itu sambil memohon dengan tangisnya.

Tatapan Kanjeng Nyai menjadi kosong dengan sisa riasanya yang luntur sudah membuat wajahnya terlihat menyedihkan.

Melihat emosinya mulai mereda aku mulai mencoba mendekatinya dan berkata dengan lebih sopan.

“Kalau Kanjeng Nyai berkenan, biar kami yang kuburkan jasad anak nyai dengan layak di sini..” Ucapku.

Kanjeng Nyai menatap dengan sedih jasad mengerikan itu. kali ini supirnya memberanikan diri untuk menarik Kanjeng Nyai dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ia mengikutinya tanpa berkata sepatah katapun.

“Ini Kanjeng Nyai.. saya kembalikan benda ini” ucapku sambil menyerahkan mustika miliknya yang kekuatanya sudah kuputihkan kembali dengan doa-doa.

“Dan satu lagi.. seandainya masih ada kesempatan, ada seorang nenek tua di hutan barat yang semasa hidupnya tinggal disana menjaga hutan itu dari kutukan...“ Ucapku mencoba menyampaikan keberadaan nenek tua di hutan barat yang kami temui kemarin.

“Sekarang aku baru teringat, mungkin yang ia jaga adalah anak dan suami Kanjeng Nyai.. karena ia juga mengaku sebagai bagian dari keluarga Darmowiloyo”

Mendengar ucapanku Kanjeng Nyai menoleh ke arahku sekilas sebelum kembali berjalan memasuki mobilnya.

Cahaya matahari pagi mengantarkan kepergian mereka bersama seorang anak wanita bernama Tika yang selama ini hidup bersama dukun tua. Entah penderitaan apa yang telah ia rasakan hingga ia bisa menurut dan tak membantah apapu yang diperintahkan padanya seperti itu.

Setelah kepergian mobil itu aku menoleh ke arah dukun tua renta itu. Ia berjalan dengan tergopoh-gopoh sambil mengancam kami.

“Akan aku ingat! Kalian keturunan keluarga Trah Rojobedes! Akan kucari seluruh keluarga kalian dan akan kuhabisi mereka” Ucapnya.

Aku dan Cahyo tak bisa menahan tawa mendengar ucapan dukun itu.

“Kok iso wong goblok kaya ngono dadi dukun..” (Kok bisa orang bodoh kaya begitu jadi dukun) Ucap Cahyo yang masih tertawa.

Pagi itu kami habiskan dengan menguburkan jasad-jasad yang bergelimpangan di tempat itu. Kami tak berniat melaporkan kejadian ini kecuali memang sudah ada polisi yang mau menginvestigasi ini... maksudnya kejadian yang berhubungan dengan hal ghaib ini.

Untungnya Semua calon karyawan yang dijebak itu sudah siap saat diminta sebagai saksi seandainya hal itu terjadi.
Tepat saat tengah hari, terdengar suara bis yang berhenti di depan desa ini. Itu supir bis yang mengantarkan kami kemarin.

“Loh mas.. kok bisa sampai di sini? Nganter siapa?” Tanya Gilang pada supir bis itu.

“Ngapunten mas... tadi saya melihat Kanjeng Nyai sudah pergi. Entah saat saya melihatnya saya tidak merasakan perasaan intimidasi seperti sebelumnya.

Saat itu saya langsung inget sama mas-masnya dan segera kesini” Jelasnya.

“Wah Matur nuwun lho mas..m kita boleh nebeng kan sampe keluar?” Tanya Cahyo.

“Ya jelas mas, saya memang berniat menjemput mas-masnya..
Justru saya yang berterima kasih, sepertinya kami sudah tidak perlu takut lagi dengan Kanjeng Nyai bila ingin mengundurkan diri” Jawabnya.

Setelah selesai membersihkan diri Aku, Cahyo, dan Yanto segera kembali menaiki bis kembali menuju kota.
Dalam hitungan detik Cahyo sudah tertidur saat mendapatkan posisi nyamanya di bus itu.

“Danan... terima kasih banget ya, aku ngerepotin kamu sampe segininya.. hutang nyawa aku sama kalian” Ucap Yanto.

“Ya ampun Yanto, orang yang nggak kenal aja aku bantuin.. apalagi temen sendiri. Kalau ada masalah beginian gak usah sungkan, Yang Maha Kuasa menitipkan kami kelebihan ini kan memang untuk membantu orang lain” Jelasku.

“Yah yasudah, pokoknya kalau kamu butuh bantuan apapun dari aku bilang aja ya.. jangan sungkan” Ucap Yanto.

“Saya juga, kalau mas Danan butuh bantuan saya bilang aja” Ucap Gilang yang duduk di belakangku.

Aku tersenyum mendengar ucapan mereka. Dan mulai mencari posisi nyaman untuk bisa tidur dengan nyenyak seperti Cahyo.

Saat melewati hutan di sisi barat yang terdapat bangunan tua misterius itu aku melihat sebuah benda berbentuk kalung kuningan tergantung di salah satu ranting pohon.
Itu adalah mustika yang tadi kukembalikan kepada Nyai Kanjeng.

Saat melihatnya aku tersenyum dan berharap semoga saja nenek tua kemarin bisa menemukan benda ini.
Mungkin kami akan memastikanya nanti, saat kami sudah siap berhadapan dengan makhluk yang menghuni bangunan tua di tengah hutan itu.

-TAMAT-

*****
Sebelumnya
close