Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MONYET KEMBAR ALAS WETAN (Part 5 END) - Wanasudra

Sekumpulan kera dari seluruh penjuru alas wetan berlarian serentak menuju satu arah.

Entah ada yang memerintahkanya untuk berlari ke arah itu, atau memang insting mereka yang membuat mereka menuju suatu tempat secara bersamaan.


JEJAKMISTERI - “Paklek, gimana? Panjul udah ketemu?” Tanya Linggar yang baru saja berhasil menyusul Paklek ke dalam hutan.

Paklek menggeleng sambil menghela nafas.

“Bocah itu terlalu gegabah, saya berhasil menemukan panjul tadi.. dia pingsan dan saya berhasil menyadarkanya, tapi bocah bedul itu malah nekat pergi lagi ke dalam hutan” Jelas Paklek.

Perlahan dari belakang hutan terlihat Linus bejalan dengan cara yang aneh, sorot matanya mendadak berubah lebih tajam.

“Kekuatan makhluk itu sudah menghilang dari hutan ini, sesuatu sudah terjadi..” Ucap Linus dengan suara yang jauh berbeda dari yang sebelumnya mereka dengar.

Paklek merasa heran dengan gerak-gerik Linus, “Mas Linggar, itu..?” Tanya paklek.

Linggar mengangguk mengiyakan perkiraan paklek.

“Itu adalah kesadaran dari pusaka batu berbentuk pisau milik linus Paklek..“ Jelasnya.

Paklek mengerti dan mencoba menghampirinya,

“Mbah, mbah tahu ke mana makhluk itu menghilang, apa mbah tahu keberadaan panjul?” Tanya paklek.

“Aku sudah menjaga hutan ini bertahun-tahun, jelas aku mengetahui saat kekuatan gelap makhluk penguasa alas wetan itu menghilang. Ikuti saja monyet-monyet itu!” Ucapnya.

“Panjul? Kalau keberadaan panjul?” Tanya paklek, namun sayangnya Linus berhasil mendapatkan kesadaranya kembali sebelum menjawab pertanyaan Paklek.

***

“Maaf Paklek, kekuatan pusakaku ini masih belum pulih sepenuhnya” Jelas Linus.

“Sudah tidak apa-apa, pilihan terbaik adalah kita harus menerobos hutan ini lebih dalam dan mencari tahu ke mana arah monyet-monyet ini pergi.” Ucap paklek.

Linggar dan Linus setuju dan segera berlari mengikuti gerombolan monyet itu.

***

Pengejaran mereka bertiga terhenti di sebuah sendang hitam di tengah hutan yang disinari oleh cahaya bulan.

Namun batu dan akar-akar pohon tua membuat sendang itu terlihat kecil. Apalagi saat seluruh rombongan kera berdiri terpaku di sekitar sendang itu.

Sayangnya tak hanya gerombolan kera itu yang ada disana, tapi keberadaan pasukan pocong berkain kafan hitam sudah menanti kami disana.

Tidak seperti pocong pada umumnya, makhluk itu melayang-layang di atas sendang kecil itu dan mulai mendekat mengelilingi kami.

“Mas linggar, mundur!” Ucap Paklek yang segera membacakan sebuah mantra yang menciptakan api tepat di sekitar tubuh pocong itu.

Linus yang dirasuki pusakanya mendekat, seolah mengetahui ilmu itu.

“Amalan api... itu mirip dengan ilmu yang digunakan dukun budak setan itu” Kembali suara Linus berubah dan segera menerjang pocong hitam yang melayang-layang mengitari kami di atas sendang itu.

Paklek terlihat bingung, api paklek tidak mempan terhadap pocong hitam itu. padahal biasanya api itu bisa menenangkan arwah penasaran.

“Jangan kaget, mereka pocong liar... bukan yang bangkit dari jasad manusia. Mereka bukanlah roh penasaran, melainkan bangsa pocong sakti salah satu dari ras demit” Jelas pusaka yang memasuki tubuh Linus.

Angin semilir pangurip geni...

Terdengar suara berat dari mulut Linus mengucapkan mantra yang membuat api-api Paklek memerah tua dan membakar makhluk-makhluk itu.

Mereka terlihat kesakitan hingga mereka memutuskan untuk menghilang dari pandangan kami.

Merasa sudah aman, Linggar mendekat dan memperhatikan sendang di hadapan mereka.

“I..itu tempat apa paklek?” Tanya Linggar yang melihat kubangan air kecil yang tidak pernah mereka sangka ada disana.

“Heh! Kalian yang pernah ke sini... kenapa malah tanya ke saya?” jawab paklek yang memperhatikan monyet itu satu persatu. Mungkin, ia mencari keberadaan Kliwon disana.

Linggar menggaruk-garuk kepalanya sementara Linus sudah kembali ke kesadaranya.

“Ya.. omongan paklek sih bener Gar. Harusnya kita lebih tahu..” Jelas Linus.

***

“Sendang godong ireng... wis ratusan tahun sendang iki ra tau keentekan banyu”
(Sendang daun hitam.. sudah ratusan tahun sendang ini tidak pernah kehabisan air) Ucap Linus yang segera kembali dalam pengaruh pusakanya.

“Enek kekuatan seko alam liane sing nggawe sendang iki terus urip...”
(Ada kekuatan dari alam lain yang membuat sendang ini tetap hidup) Jelasnya lagi.

“Terus mbah, opo hubungane ilange panjul karo sendang iki?” (Terus mbah, apa hubunganya hilangnya panjul dengan sendang ini?) Tanya Linggar.

Paklek mendekat ke sendang dan melihat sesuatu yang mencurigakan..

“Ada... ada mas linggar, itu sarung Panjul!” Jawab paklek sebelum pusaka itu menjawab lagi.

Dengan segera paklek berlari mengambil sarung yang mengambang di sendang kecil itu dan membawanya ke hadapan linus dan linggar.

“Ini sarung panjul.. apa maksud mbah sendang itu menghubungkan alam ini dengan alam lain?” Tanya Paklek.

Linus mengangguk mengiyakan.

Sepertinya keputusan dengan mudah disepakati oleh mereka. mereka harus mencari tau dasar sendang ini dengan salah satu dari mereka menyelam ke dalam sendang itu.

***

“Bodoh, Bila kalian ikut terbawa ke tempat itu belum tentu kalian bisa kembali” Sekali lagi suara dari sosok pusaka itu terdengar dari tubuh Linus.

“Lalu apa yang harus kami perbuat mbah?” Tanya Linggar.

“Aku bisa menembus alam itu, namun untuk kembali harus ada yang memiliki kemampuan untuk mengukirkan jalurnya”

Paklek berpikir sejenak mencoba mencari kemungkinan yang bisa ia lakukan.

“Apa ilmu ragasukmaku berguna mbah..? Bila aku menempelkan sebagian sukmaku pada ukiran tubuh pusaka mbah.. mungkin itu bisa membawa mbah dan panjul kembali saat aku menarik kembali sukmaku” Tanya paklek.

“Memang itu yang kumaksud, tapi selama kepergian kita, gunakan ajian apimu lagi untuk melindungi mereka berdua,” Perintah sosok di tubuh Linus itu.

Dengan segera Paklek membaca sebuah mantra, memutarkan tanganya untuk mengendalikan api kecil yang muncul di tanganya sebelum akhirnya membesar dan membara di tengah hutan ini.

“Ini adalah geni baraloka, api putih yang mampu melenyapkan niat jahat roh di sekitar kalian. Gunakan untuk melawan makhluk apapun yang muncul” Ucap Paklek yang segera membentuk posisi meditasi dan berkonsentrasi membagi sukmanya.

“Tu..tunggu paklek! Bagaimana cara kami menggunakan api ini?” Tanya Linggar dengan wajah yang panik dan juga Linus yang kesadaranya sudah kembali.

Tanpa tahu harus berbuat apa tak lama kemudian terdengar suara makhluk yang mengaum dengan sangat keras hingga ke seluruh penjuru hutan.

Suara itu dibarengi dengan suara langkah kaki yang besar terdengar mendekat dengan cepat ke arah mereka.

*****

Angin berhembus begitu kencang di gelapnya hutan yang hampir tidak dapat dibedakan mana siang dan mana malam. Semua terlihat sangat samar di tempat ini.

Jogorawu... itu adalah nama sosok makhluk yang sedang kami hadapi saat ini.

Ia mengepung kami bersama dengan pasukan raksasa hitam yang sedari tadi menyerang kami.

“Ayo Wanasura... kita serang demit Jogorawu itu! biar demit-demit lain-lain menjadi urusan bocah gondrong itu!” Ucapku.

Wanasura tersenyum dan mengaum sekuat tenaga. Dengan segera ia memukulkan lenganya ke tanah dan menerjang Jogorawu yang sudah bersiap menerima seranganya.

Tepat saat akan mencapai tubuh Jogorawu, Wanasura melompat dan...

Melarikan diri...
Dia segera berlari ke sisi gelap hutan yang berada tak jauh dari posisi Jogorawu berada.

“Wanasura! Kamu ngapain? Musuhmu disana itu lho!” Ucapku.

Sayangnya Wanasura hanya tersenyum dengan memamerkan giginya seolah memang sudah berniat melakukan itu sedari awal.

Awalnya aku khawatir dengan Giridaru dan Bocah Gondrong itu, namun saat melihat Jogorawu mengejar kami aku merasa sedikit lega.

Aku berpegangan erat saat Wanasura berlari hampir tak beraturan ke berbagai penjuru hutan.

Tapi ternyata hal yang tidak kusangka terjadi..

Kami muncul di sisi hutan dimana punggung Jogorawu terlihat dengan jelas, dan dengan segera Wanasura menyerangnya dengan memukulnya sekuat tenaga hingga terpental dan kembali melarikan diri ke sisi hutan lain.

Beberapa saat kemudian Kami muncul lagi di sisi samping Jogorawu dan Wanasura kembali menyerangnya.

Rupanya ini adalah strategi bertarung Wanasura.

“Haha.. kamu cerdik juga!“ Ucapku kagum.

Namun strategi itu tidak bertahan lama, kali ini beberapa kalipun Wanasura memutari hutan ia tidak menemukan kembali sosok Jogorawu.

Itu membuat kami kebingungan. Hingga sebuah sapuan besar meluluh lantahkan puluhan pohon dalam sekali tebas.

Itu adalah ulah Jogorawu..
Kini ia berdiri sendiri dengan menggenggam pusaka berbentuk gada besar yang ia gunakan untuk menyapu pohon-pohon di sekitarnya.

Terlalu mengerikan, kali ini sosok Jogorawu mulai terlihat jelas dengan tubuh yang hampir mirip dengan Wanasura namun dengan ukuran yang lebih besar dan sangat gelap.

Pantas saja dukun itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia bukan roh manusia yang bisa diajak berkompromi.

Semua yang ia lakukan hanya berdasarkan insting buasnya saja. Sangat berbahaya bila membiarkan ia kembali ke alas wetan lagi.

Aku merasakan gemetar di tubuh Wanasura, sepertinya ia juga gentar melihat makhluk ini apalagi setelah strateginya tidak lagi berguna.

Sebuah mantra penguat raga kubacakan dan kusalurkan ke tubuh Wanasura. Samar-samar terlihat cahaya memasuki tubuh Wanasura dan membuat tubuhnya semakin tegap.

“Tidak apa-apa Wanasura, kita hadapi bersama” Ucapku padanya.

Wanasura mengangguk seolah siap menerima segala resiko dari pertarungan ini.

Sepertinya Jogorawu merasakan ketakutan kami dan memutuskan untuk menyerang kami dengan gada hitamnya yang besar.

Wanasura mundur ke dalam hutan di belakangnya, sayangnya kekuatan gada itu terlalu besar dan menghancurkan poho-pohon di sekitar kami dan membuatku dan Wanasura terpental.

“Kalau memang kekuatan besarnya berasal dari pusaka itu, mungkin saja tubuhnya masih bisa kita serang” Ucapku.

Terdengar mudah namun akan sangat sulit untuk dilakukan hingga aku dan Wanasura memutuskan untuk berpencar.

Wanasura mengaum dengan keras memancing perhatian Jogorawu untuk menyerang ke arahnya sementara aku memusatkan kekuatanku dan menggunakan semua ilmu yang pernah diajarkan oleh paklek.

Tepat ketika Wanasura berhasil memancing Jogorawu untuk membelakangiku. Aku keluar dari persembunyianku dan menyerang persendian kakinya berharap makhluk itu akan kehilangan keseimbangan.
Seranganku melukai kakinya namun ternyata tidak perpengaruh banyak.

“Maaf Wanasura.. aku lupa, demit nggak punya dengkul” teriakku yang segera kembali bersembunyi sementara Wanasura kembali mengalihkan perhatianya lagi.

Sayangnya kesempatan kedua sulit untuk di dapat, sebuah pukulan besar dari gada Jogorawu berhasil mengenai tubuh Wanasura dan membuatnya hampir tidak berdaya.

Aku ingin berteriak sekeras mungkin, namun itu jelas akan membahayakanku.

Entah apa yang aku pikirkan hingga aku memutuskan menaiki tubuh Jogorawu dan mencoba menyerangnya tepat di punuk punggungnya.

Sayangnya aku tidak bisa mengeluarkan kekuatan sekuat tadi.

Aku menyerangnya bertubi-tubi namun hanya sedikit berdampak padanya hingga ia menghempaskan tubuhku tak jauh dari tubuh Wanasura.

Sakit...
Tanpa sadar sudah banyak luka-luka di sekujur tubuhku.

Namun ini belum ada apa-apanya dengan yang diterima oleh Wanasura.

Aku berjalan tertatih menghampiri Wanasura yang tengah tersungkur menahan lukanya.

“Wanasura, kembali ke tubuhku! Kita cari cara lain..” Perintahku.

Tingkah lakunya menolak namun aku terus memaksa hingga ia kembali merasuk ke tubuhku tepat sebelum serangan Jogorawu mengenai kami.

Aku berlari sekuat tenaga menjauh dari makhluk itu mencoba mencari cara untuk menyelamatkan diri darinya.

Berbeda dengan saat tadi. Kini aku merasakan kesadaran Wanasura berada di tubuhku, sepertinya kali ini kami terhubung seperti saat aku bertarung bersama kliwon.

Sialnya... saat ini Jogorawu sudah berada di hadapanku lagi.

Mata merah Jogorawu memandangku dengan penuh amarah. Namun sebelum seranganya mengenai tubuhku tiba-tiba Jogorawu terpental oleh sebuah serangan yang muncul dari sisi hutan lain.

Itu adalah bocah Gondrong tadi..

“Kita pergi dulu..” Ucap Giridaru yang muncul dari dalam kegelapan hutan.

“Kita melarikan diri kemana?” Tanyaku yang segera berlari mengikuti arahan Giridaru.

“Tidak.. kita akan bertarung denganya di tempat lain!” Jelasnya.

Terlihat dari sisi semak-semak hutan bocah gondrong itu mengikuti kami sambil menghalau demit-demit yang mengikuti kami.

“Kalau kita menyatukan kekuatan, apa kita bisa mengalahkan Jogorawu?” Tanyaku.

“Belum cukup.. tapi aku merasakan ada kekuatan yang akan datang di suatu tempat di hutan ini, kita ambil pertaruhan ini” Ucapnya.

Sepanjang perjalanan kami melihat berbagai jenis demit dengan berbagai wujud, namun mereka sama sekali tidak menyadari keberadaan kami.

Mungkin ini adalah ilmu miliki kera Giridaru ini. Sebuah sendang... Mirip dengan sendang di alas wetan. Namun disini tidak hanya satu. Yang terlihat di mataku ada lebih dari lima kolam di sana.

“Giridaru, aku tidak setuju bila harus mengembalikan dia ke alamku!” Ucapku.

“Tenang dulu.. bukan itu rencanaku”
Tak lama setelah bocah gondrong itu sampai ditempat ini, ia menceburkan tubuhnya ke masing-masing sendang dengan terburu-buru dan melakukan meditasi.

Sendang itu menandakan kelima jin penguasa hutan ini yang tidak pernah menampakan wujudnya lagi hingga saat ini.

Sendang pertama meminjamkan kebijaksanaan.
Sendang kedua memberikan keberanian
Sendang ketiga memberikan pengetahuan.
Dan sendang kembar memberikan kesadaran dan pemulihan.

Ilmu yang ia miliki membuatnya mengamuk tanpa sadar. Tapi kelima sendang ini bisa mengisi kesadaran bocah itu untuk sementara waktu sehingga ia bisa bertarung dengan sadar.

Aku mulai mengerti, begitu rumitnya hidup di alam ini. seandainya ada yang bilang ini mimpipun aku akan percaya.

Saat ini aku hanya berharap untuk terbangun dengan sayur lodeh buatan bulek dan memakanya bersama kliwon.

Plakk!

“Mikirin apa kamu? Sana siap-siap! Jogorawu sudah dekat!” Ucap Giridaru.

“Lha terus aku yang ngelawan?” Tanyaku bingung.

“Nggak usah bohong, Wanasura ada di dalam tubuhmu dan kamu juga tahu cara menggunakan kekuatanya kan!” Ucap Giridaru.

Benar yang dikatakan Giridaru. Aku memang ingin mencoba kekuatan yang sering kulakukan dengan kliwon saat bersama Wanasura kali ini.

Aku menunggu dengan berhat-hati tepat di sisi hutan tempat kami datang dan samar-samar aku mulai mendengar suara langkah kaki besar yang mendekat.

Tapi tunggu.. itu bukan hanya suara satu langkah kaki.

Puluhan! Bahkan mungkin lebih dari itu.

Seketika terkesibak kabut di kedalaman hutan itu saat Jogorawu berlari ke arah kami, kali ini dengan pasukanya yang tidak kalah mengerikan.

Mereka lebih terlihat seperti sosok hewan buas berbulu hitam yang patuh dengan perintah Jogorawu.

“Gi... gimana ini Giridaru? nggak mungkin kita lawan mereka semua!” Ucapku.

“Nggak! sudah jelas apa yang harus kita lakukan.. Kabur!”

Aku menoleh ke arah Giridaru, ia benar-benar berlari menghampiri Bocah Gondrong itu ke hutan yang lebih dalam.

“Bocah.. Dari sendang yang mana kamu masuk ke hutan ini?” Tanya Giridaru.

“Nggak... nggak tahu, tapi...”

Belum sempat aku menjawab tiba-tiba muncul sekumpulan pasukan kera menyergap Jogorawu dan pasukanya sebelum sempat memasuki pelataran sendang hutan ini.

“I...Itu?”

Tanyaku saat melihat sosok kera besar mirip Wanasura memimpin pasukan itu.

“Benar! Itu Wanasudra.. dia datang tepat waktu”

Aku segera berlari ke arah kera itu, ke arah kliwon dengan wujud yang jauh berbeda dan lebih mengerikan dari wujud kecilnya saat mencuri pisang di rumah Bu Darmi.

“Kliwon!” Teriaku.

Ia mendengar suaraku dan segera meninggalkan pertarungan menghampiriku. Entah aku tidak bisa mengerti apa yang kupikirkan, di satu sisi aku senang bertemu denganya dan di satu sisi aku khawatir karena ia juga ikut terjebak di alam ini.

Tepat saat mendekatiku, Kliwon kembali ke tubuh kera kecil dan naik kepundakku. Di saat yang sama Wanasura keluar dari tubuhku dan menyambut kembaranya itu.

Aku rasa kita tidak ada lagi yang perlu kami takutkan. Bocah Gondrong itu juga sudah menyelesaikan meditasinya dan bersiap memasuki medan perang.

Satu persatu pasukan Jogorawu dihabisi hingga tidak berdaya oleh bocah gondrong bersama pasukan yang dibawa oleh kliwon.

Kliwon menghampiri Giridaru seolah mengucapkan salam dan menyampaikan pesan padanya.

Kini Jogorawu terlihat gentar saat melihat Wanasura dan kliwon kembali ke wujud kera raksasanya dan menghampirinya.

Aku bersiap berlari menaiki salah satu tubuh mereka. Namun dengan cepat Giridaru menarik tubuhku.

“Sudah.. sudah tidak ada yang perlu di khawatirkan. Sekarang kita hanya penonton” Ucap Giridaru.

Benar kata Giridaru, Wanasura dan Kliwon memiliki dengan mudah berhasil mengimbangi kekuatan Jogorawu hingga beberapa kali ia terpental.

Sebuah pertarungan yang tidak masuk di akal bila dilihat oleh manusia biasa.

Seekor kera kecil yang sering iseng dengan warga desa dan melemparkan kacang ke anak kecil, kini bertarung dengan sosok raksasa yang seukuran pohon yang biasa dipanjat olehnya.

Aku begitu semangat berteriak kepada kedua kera kembar raksasa itu sementara Giridaru memperhatikan dengan cemas bocah gondrong yang membantu pertarungan itu.

“Bocah.. sesuatu akan datang ke tempat ini dan menyelesaikan pertempuran ini,” Ucap Giridaru.

Aku menoleh tanpa tahu maksudnya.

“Saat itu terjadi akan ada sesuatu yang bisa membawamu kembali ke alamu”

“T...tunggu, Kamu bisa meramal masa depan? Jadi kamu kera cenayang?” Tanyaku.

Giridaru menghela nafas dan bersiap menyampaikan sesuatu.

“Yang kamu bilang sedikit benar, bangsa kera wanamarta sudah dibekali dengan kekuatan ghaib sejak lahir.. dan yang terpilih bisa samar-samar melihat beberapa saat kedepan” Jelasnya.

Aku cukup lega, itu berarti aku bisa kembali ke tempat paklek setelah semua masalah ini selesai.

“Saat kesempatan itu tiba, sahabatmu wanasudra atau yang kamu panggil kliwon itu tidak bisa ikut denganmu..” Ucapan Giridaru membuatku terperanjat.

“Ma... maksudmu apa?”

“Tadi Wanasudra berkata setelah ini selesai ia akan kembali ke hutan Wanamarta, dia salah satu kunci untuk membersihkan hutan ini dari makhluk-makhluk mengerikan yang ada di sini”

Seketika tubuhku lemas, aku tidak dapat membayangkan bila harus mencuri pisang di kebun Bu Darmi sendirian. Dan tidak ada yang menemaniku saat dihukum oleh paklek.

Tapi bila tujuanya seperti itu, aku benar-benar tidak bisa menentangnya.

“Wanasudra punya satu permintaan..” Lanjutnya.

“Bawalah Wanasura bersamamu, raganya sudah mati di alamu.. saat hutan ini sudah kembali normal, Wanasura sudah tidak punya tubuh lagi untuk didiami dan ia akan lenyap saat itu juga”

Dengan segera aku menyetujui ucapan Giridaru. Aku tidak ada masalah dengan keberadaan Wanasura di tubuhku. Terlebih ia terhubung dengan Kliwon.

“Kalau begitu, jangan halangi aku untuk bersenang-senang dengan mereka” Ucapku yang segera berlari menuju medan tempur dan menaiki tubuh Kliwon dengan bulunya yang terasa sangat nyaman.

“Kliwon.. katanya kamu mau tinggal di alam ini?” Tanyaku.

Kliwon hanya menoleh dan memberikan senyuman yang dipaksakan sambil menghindari serangan Jogorawu.

“Aku nggak masalah...”

“Tapi kalau disini kamu jangan nakal lagi sama teman-temanmu. Jangan sampai mereka kira aku yang ngajarin kamu nakal..” Ucapku sambil menahan air mata.

***

“Berarti kamu juga nggak boleh marah kalau jatah pisangmu dari kebun Bu Darmi aku makan ya...”

Terlihat juga mata kliwon berkaca-kaca namun ia terus berusaha tegar..

Aku membacakan mantra penguat raga dan menyalurkanya pada kliwon hingga pukulanya bisa mementalkan Jogorawu.

“Oleh-oleh dari mas linggar di rumah Bulek juga belum habis, tapi tenang aja nanti aku bagi-bagi sama Ani..”

***

Seketika Kliwon kembali ke tubuh keranya, menaiki pundakku dan menggenggam dengan erat. Ia menyentuh kedua tanganku dan memberi kekuatan seperti saat kami bertarung bersama sebelumnya.

Aku berlari ke arah Wanasura dan membantunya menghajar Jogorawu dengan kekuatan dari kliwon.

Sebuah pertarungan yang sengit antara kami bertiga melawan Jogorawu.

Aku ingin menikmati pertarungan ini sebaik-baiknya saat hangatnya kekuatan kliwon mengalir di tubuhku dan keberadaan kliwon yang berada di pundaku.

Sayangnya Jogorawu tidak menyerah, ia mengambil gada hitam besarnya dan menyalurkan kekuatan yang sangat besar ke pusaka itu.

Namun saat gadanya berayun sebuah benda menyambar dari suatu tempat dan menghancurkan pusaka Jogorawu itu.

Kami semua menoleh ke arah datangnya benda itu yang ternyata berasal dari dalam salah satu sendang.

“I..itu pusaka temanya mas linggar” Ucapku saat melihat sebuah batu berbentuk pisau yang menancap di tanah setelah menghancurkan pusaka Jogorawu.

Terlihat cahaya menyerupai benang putih terhubung dengan pusaka itu.

Aku seperti merasakan keberadaan Paklek dari cahaya itu.

“Bocah... sekarang waktunya!” Ucap Giridaru.

Giridaru menghampiriku dan mengambil pusaka itu.

“Ikuti Benang cahaya itu... mereka sudah menunggumu” Ucap Sosok pusaka yang merasuki Giridaru.

“Cepat! Kami bisa mengurus ini semua...” Ucap Giridaru yang mendapatkan kembali kesadaranya.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Namun Giridaru segera menariku ke arah sendang tempat pusaka itu muncul.

Wanasura segera menghampiriku dan merasuki tubuhku setelah kliwon memberi isyarat padanya.

Dan saat itu juga aku tersadar, bahwa kesadaran Wanasura dan kliwon berhubungan dengan erat. Kini tidak ada lagi yang kukhawatirkan.

Aku meninggalkan Kliwon yang masih bertarung dengan Jogorawu dengan hasil yang sudah bisa kami pastikan.

“Aku akan tetap di sini... suatu saat takdir akan mengantarkanku kembali ke pemilikku” Ucap pusaka itu melalui tubuh Giridaru.

“Giridaru, aku pamit... sampaikan salamku pada bocah Gondrong itu”

“heh... jangan seenaknya, Bocah itu punya nama.. orang di sukunya menyebutnya dengan nama...”

Tepat sebelum Giridaru menyelesaikan kata-katanya, sebuah serangan dari anak buah Giridaru terhempas ke arah kami dan mendorongku ke dalam sendang.

Dengan mengikuti benang cahaya itu aku berenang ke arah lubang hitam tempat benang cahaya itu memandu kami.

***

Bara api Paklek melindungi Linggar dan Linus dari serangan roh-roh yang mendekat. Awalnya mereka merasa tenang hingga terdengar suara langkah kaki besar yang mendekat ke arah mereka.

Saat semakin mendekat terlihat sosok Buto atau raksasa dengan wajah bengis yang bersiap melampiaskan amarahya setelah bertahun-tahun terkurung di hutan ini.

Api dari Paklek tidak mampu meredakan amarah buto itu dan tepat saat lengan buto itu akan meraih mereka. Tiba-tiba Buto itu terhenti saat melihat tatapan mata Linggar yang memerah seperti mengancam Buto itu dan membuatnya mundur.

“Li...linggar, Apa itu?” Tanya linus yang bingung.

“Nggak... aku nggak tahu, apa itu tadi?” Jawab Linggar yang juga terlihat bingung.

Sayangnya itu hanya menolong mereka sementara dan Buto itu kembali maju dan menyerang lagi.

Sekali lagi tepat saat raksasa itu hampir mendekat ke Linggar dan Linus, Buto itu terpental.

Kali ini bukan karena linggar, tapi karena seseorang yang datang dengan basah kuyup dengan kekuatan lengan yang membesar seperti dirasuki oleh sesuatu.

“Panjul?” Ucap Linggar.

“Hehe.. Matur suwun yo mas, ngapunten pusakane mas linus tertinggal disana. Nanti saya jelaskan semuanya” Jelas Cahyo.

Tepat saat itu juga Paklek mendapatkan kesadaranya kembali dan membantu menenangkan buto itu.

Tidak butuh waktu lama untuk membereskan perkara di hutan ini. Kami meninggalkan hutan ini tanpa masalah berarti.

Tanpa keberadaaan Jogorawu hutan ini hanya berubah menjadi hutan angker biasa.

Roh-roh yang mengamuk akan tenang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu.

Kini Mereka bisa meninggalkan hutan ini dengan tenang.

Warga desa Ranggilawupun sudah bisa hidup tenang tanpa rasa cemas akan mengamuknya demi alas di hutan itu.

-SEKIAN-

*****
Sebelumnya


Note:
Linggar Sasena, satu-satunya nama karakter yang tidak saya samarkan di cerita ini. Memang ini atas permintaan beliau sendiri.

Mungkin suatu saat kalian akan bertemu denganya dan dia dengan senang hati akan menceritakan tentang kisahnya saat bertemu dengan monyet kembar penjaga hutan saat ia masih muda dulu.


EPILOG:
“Sudah Jangan bodoh... satu keping itu untuk membawa tubuh demit itu dan satu untukmu, kamu jelas tau apa yang kita lindungi hingga harus berbuat sejauh ini” Ucapku yang segera melompat dari tubuh Wanasura dan menghampiri Danan.

“Nggak.. ga mungkin aku ninggalin kamu di tempat ini” Mata Danan mulai berkaca-kaca saat membayangkan harus meninggalkanku di tempat mengerikan ini.

Haha.. aku pernah merasakan kejadian ini saat meninggalkan kliwon dulu.

Tapi kali ini berbeda, aku pasti akan mencari cara untuk kembali.

“Tenang Danan, aku ga sendirian.. ada Wanasura dan Kliwon yang menemaniku” Ucapku dengan mencoba memberikan senyuman padanya.

Danan menoleh ke retakan dimensi jagad segoro demit, dan terlihat lubangnya semakin mengecil.

Ia seperti akan mencoba memaksaku untuk pergi keluar gerbang itu.

Untungnya saat ia menoleh ke arahku aku sudah siap bersama Wanasura untuk menghempaskan danan dan tubuh demit ludruk itu ke dalam lubang yang dipenuhi energi gelap itu.

“Danan... Tolong jaga Sekar dan Paklek” Teriakku setelah melemparkanku ke lubang dan segera kembali menerjang gerombolan demit yang mencoba menerobos ke alam manusia.

***

Aku, Wanasura,Kliwon menahan semua makhluk yang dipanggil ludruk itu untuk memasuki celah jagad segoro demit di belakang kami hingga akhirnya benar-benar menutup.

“Wanasura, Kliwon.. tahu kan apa yang harus kita perbuat setelah ini?” Ucapku.

Mereka berdua mengangguk.

“Kabuuur!!!“ Ucapku memandu mereka.

Sebelum meninggalkan tempat itu sebuah benda jatuh dari sisa retakan gerbang itu.

Itu adalah patahan kayu dengan ukiran bertuliskan jawa kuno. Aku merasakan aura mbah wira disini.

Sekuat tenaga, kami berlari menghindari seluruh mahkluk-makhluk tadi.

Untungnya tanpa perintah dari demit ludruk mereka tidak lagi mengincar kami.

Sayangnya alam ini memiliki kesadaran sendiri yang mencoba merasuki pikiranku.

“Kliwon! Kita harus pergi dari tempat ini secepatnya..”

Kami sampai ke sebuah tempat dimana terdapat sendang hitam yang sangat luas. Satu persatu pasukan kliwon masuk ke tempat itu, dan menyisakan kami bertiga.

Aku menatap pantulan dari air itu, itu adalah alam tempat Kliwon tinggal.

Tidak mungkin manusia sepertiku bisa tinggal disana.

Tapi.. mungkin saja disana lebih baik dari alam ini.

Saat aku mencoba mendekat tiba-tiba kliwon menahanku, ia kembali ke tubuh kecilnya dan mengambil patahan kayu yang ada di genggamanku.

Ia menoleh ke arah sebuah pohon beringin besar yang tidak asing.

“I...itu! Pohon beringin tempat Candramukti dimakamkan?“ Kliwon tersenyum dengan gigi-giginya yang besar persis seperti senyumnya dulu. Tidak berubah sedikitpun.

Mungkin Patahan kayu ini yang menghubungkan alam ini dengan tempat Mbah wira berasal.

Aku teringat saat pertarungan melawan Brakaraswana bersama Danan dan Almarhum Pak Kuswara. Ternyata, alam itu juga terhubung dengan jagad segoro demit.

Kliwon berlari memandu kami kesana dengan tubuh kecilnya sementara aku masih menaiki tubuh Wanasura.

“Kliwon.. kamu tidak kembali dengan pasukanmu?” tanyaku.

Kliwon menggeleng dan menaiki sisi sebelah pundak Wanasura.

“Berarti urusanmu sudah selesai?” tanyaku.

Ia mengangguk. Sepertinya tahun-tahun yang kulewatkan tanpa Kliwon berjalan lebih cepat di Alamnya.

Pantas saja tidak banyak perubahan dengan Wujud Kliwon.

“Wanasura bisa ikut kembali dengan merasuk ke tubuhku, lalu apa kamu bisa masuk ke gerbang itu juga?” Tanyaku pada Kliwon tepat setelah sampai di depan pohon beringin.

Saat kami mendekat ada sebuah gerbang seperti yang dilewati danan tadi terbuka seiring dengan mendekatnya patahan kayu ini.

Kliwon kembali ke wujud kera raksasanya, dan kali ini sebuah benda sudah terikat di pinggangnya. Samar-samar aku mengingat benda itu.

Itu adalah pusaka mas linus sebuah batu berbentuk pisau.

“Itu? Pusaka mas linus?” Tanyaku.

Kliwon hanya mengangguk dan mendekatkanya ke patahan kayu mbah wira.

Aku tersadar! ukiran di pusaka itu persis dengan ukiran di patahan kayu yang kupegang.

Aku tertawa.. Rupanya semua ini sudah ditakdirkan. Aku benar-benar berterima kasih pada Yang Maha Pencipta atas perlindunganya padaku dan kehidupan yang se istimewa ini.

Jagad Segoro Demit..

Sebuah alam yang memiliki kesadaranya sendiri suatu tempat yang merupakan asal muasal demit di seluruh penjuru bumi. Aturan ruang dan waktu tidak berlaku di tempat mengerikan ini..

Tapi sekarang saatnya aku meninggalkan tempat ini..

***

Senja di pohon beringin, sebuah pemandangan yang indah sambil memandang anak-anak yang masih bermain petak umpet.

sayangnya mereka bukan anak-anak biasa.

Mereka adalah roh penasaran yang belum tenang di sekitar asrama di tempat ini.

Mungkin tidak ada salahnya bila aku bermain sebentar bersama mereka.

***

“Mas.. itu bukanya mas Cahyo?”

Terdengar suara anak kecil dari arah sekolah bersama seseorang yang sangat kukenal bersamanya.

Anak kecil itu bernama Gio, saat ini dia bersama Temanku.

Seorang teman yang tidak pernah tega membiarkan orang lain atau bahkan roh lain kesusahan.

Sepertinya sapai saat ini dia juga sedang berusaha membantu roh-roh anak-anak yang belum tenang ini.

Ya.. dia adalah teman terbaiku, Dananjaya Sambara.

-TAMAT-
close