Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GETIH IRENG ABDI LELEMBUT (Part 2) - Ikatan Takdir

Biar gak lupa ceritanya, mungkin bisa baca ulang Desa Tanggul mayit...


JEJAKMISTERI - Kita mulai ceritanya..

“Coba mas tanya.. nama kamu siapa?” Tanya Cahyo kepada seorang anak yang berada di hadapanya.
“Ningsih…”
Anak itu menjawab dengan tatapan tanpa ekspresi sedikitpun.

“Dek, nama kamu Tika.. Bapak ini ayahmu” Ucap Cahyo lagi, namun anak itu hanya menggeleng.

Cahyo kembali duduk bersama kami meninggalkan anak kecil itu lagi.

“Mohon maaf ya mas, seharusnya kami tidak pantas meminta tolong Mas Danan dan Mas Cahyo setelah semua kejadian di desa itu” Ucap ayah dari anak itu.

“Pak Gito... kalau kami sudah datang kesini berarti kami sudah siap membantu, tidak usah sungkan lagi” Jawabku.

“Kulo nuwun!”
Terdengar suara seseorang yang ku kenal telah sampai di depan pintu rumah dan melepas sandalnya yang lusuh.

“M..monggo pak, silahkan masuk” Ucap Pak Gito.

“Paklek kok ikutan kesini?“ Tanya Cahyo dengan wajah yang sudah kutahu bersiap untuk meledek Paklek.

“Lah.. Paklek ra oleh teko? Terus piye Tahu isine Bulek? tak gowo mulih meneh?” (Lah Paklek nggak boleh datang? Terus gimana Tahu isi dari Bulek ? Paklek bawa pulang lagi?) Jawab Paklek dengan wajah yang tidak kalah nakalnya.

“O..ora Paklek, Oleh.. oleh banget.. kene duduk samping Cahyo” (N..nggak Paklek, Boleh.. boleh banget, sini duduk di sebelah Cahyo) Ucap Cahyo yang segera menghampiri Paklek dan membawakan kantong kresek yang dibawa Paklek.
Aku hanya menutup mulutku mencoba menahan tawa melihat tingkah laku mereka.

Pak Gito menyambut kedatangan Paklek dengan perbincangan-perbincangan kecil dan sedikit menceritakan tentang kejadian di desa yang sering disebut dengan nama Desa Tanggul Mayit itu.

“Maaf Paklek, malah jadi ngerepotin.. saya kira mas Danan dan Cahyo cukup untuk membantu anak saya ini” Ucap Pak Gito.

Memang aku yang memanggil Paklek ke sini. Aku dan Cahyo sudah mencoba untuk memulihkan kesadaran Tika namun tetap gagal.

Kemungkinan ilmu yang di tanam di tubuhnya itu sudah melekat terlalu dalam.

“Nggak Papa Pak Gito, kalo urusan gebukin demit Si Panjul ini Ahlinya.. sayangnya dia sibuk ngurusin kliwon sampai kabur terus kalau disuruh belajar” Jawab Paklek.

Cahyo hanya menggaruk kepalanya sambil mencomot tahu isi buatan Bulek yang sudah dihidangkan di hadapan mereka.

Setelah meminta Ijin pada Pak gito, Paklek memeriksa keadaan Tika yang semenjak datang kesini hanya merenung tanpa emosi dan menuruti perintah siapapun yang menyuruhnya.

Setelah memeriksa beberapa bagian kepala Tika, Paklek ijin untuk membasuh lengan dan wajahnya dengan air dan pergi ke dapur.
Terdengar suara Paklek sedang menumbuk dan meracik sesuatu. Terdengar juga suara bisikan seolah sedang membacakan doa untuk sesuatu yang ia buat.

“Ini di minum dulu ya.. biar sehat lagi” Ucap Paklek sembari memberikan segelas minuman yang baru saja ia buat.

“Itu apa Paklek?“ Tanya Cahyo.

“Jamu, Kamu mau? Ambil aja di belakang..” Ucap Paklek pada Cahyo.

Cahyo segera mengambil gelas dan menuangkan minuman racikan Paklek itu.
Aku memperhatikan Tika yang mulai menyeruput minuman itu. Seolah kehilangan akal. Mata Tika tiba-tiba melotot dan segera menghabisan minuman buatan Paklek secepatnya.

“Pait Paklek... Ini Jamu opo” Tanya Cahyo yang datang dari belakang sambil menunjukan gelasnya.

“Jenenge jamu yo pait, nek manis jenenge Kartimi” (Namanya Jamu ya Pahit, kalau manis namanya Kartimi) Canda Paklek.

Aku hanya tersenyum melihat perbincangan mereka berdua namun aku tahu pasti sebuah perubahan terjadi pada Tika.

“Ojo pak... ojo... aku raoleh lungo..” (Jangan pak, jangan... aku tidak boleh pergi) Terdengar suara Tika yang sebelumnya tenang tiba-tiba merengek memomohon pada Paklek.

“Lha Kowe iki sopo? ngopo nempati tubuh Tika..” (Lha kamu itu siapa? kenapa nempatin tubuh Tika?) Tanya Paklek.

“Kulo Ningsih pak, nek kulo lungo ono sing bakal nyakiti kulo..” (Saya Ningsih pak, Kalau saya pergi akan ada yang menyakiti saya) Jawab sosok yang mendiami tubuh Tika itu.
Mendengar ucapan itu sontak aku dan Cahyo ikut mendekat.

“Sopo? ngomong wae?” (siapa? Bilang saja?) Tanya Cahyo.

“Iyo Ningsih bilang saja, biar mas-masmu ini yang ngebantu” Tambahku.

Roh Ningsih masih terlihat ketakutan, namun saat menoleh kearahku dan Cahyo sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu.

“Buto.. enek buto sing bakal muncul nek kulo ninggalke rogo iki” (Raksasa... ada raksasa yang akan muncul kalau saya meninggalkan tubuh ini) Jawabnya dengan nada suara yang ketakutan
Seketika terasa getaran dari kaca rumah Pak Gito seolah suatu. “Sosok” mencoba mengancam kami.

“Pak Gito, jangan jauh-jauh dari Paklek ya... Ningsih, kamu bisa keluar sekarang, makhluk itu biar kami yang urus” Ucapku yang segera berdiri sembari mengajak Cahyo menuju kekuatan yang menyebabkan getaran tadi.
Ningsih menatap Paklek dengan ragu.

“Sudah.. ikuti kata mas-masmu, nanti Paklek akan membantu kamu sampai kamu tenang” Ucap Paklek.
Mendengar janji Paklek, Sosok Roh Ningsih meninggalkan tubuh Tika yang seketika terkulai lemah.

Itu adalah roh seorang anak yang seumuran dengan Tika. Mungkin saja mereka punya weton yang sama sehingga bisa merasuki tubuh Tika tanpa meyakiti tubuhnya.

“D...dia datang...” Ucap roh Ningsih dengan wajah yang ketakutan.

“Danan.. opo enek buto teko awan-awan ngene?” (Nan.. apa ada raksasa datang siang-siang begini?) Tanya Cahyo.

“Mbuh... gak tau, kita liat aja...” Balasku.
Kami berdua menghampiri sosok yang menyebabkan getaran dan berbagai dentuman di sekitar rumah pak Gito.

Buto? Bukan... sosok yang menghampiri kami adalah seseorang pria berambut hitam panjang bertelanjang dada dengan wajah yang dipenuhi kumis dan janggut.
Sekilas penampilanya seperti manusia biasa yang mengenakan celana kain hitam dan kalung kuningan layaknya abdi keraton.

“Ningsih... rene kowe!” (Ningsih, kesini kamu!) perintah pria itu dangan nada mengancam.
Segera aku dan Cahyo berdiri menghadang tepat di hadapan pria itu.

“Itu... itu Butonya!” Ucap roh Ningsih.

“Cahyo, Jangan lengah... kalau ia benar Buto dan bisa mengambil wujud seperti ini, berarti dia bukan buto biasa” Peringatku kepada Cahyo.
Cahyo mengangguk, sepertinya ia juga merasakan bahaya dari makhluk hadapanya.

“Ningsih sudah bukan bagian dari kalian.. biarkan dia tenang” Ucap Cahyo.

Entah, terlihat wibawa yang mengerikan dari makhluk berwujud pria ini. Ia hanya melipat tanganya ke belakang namun instingku memaksa untuk lebih waspada.

Merasa mendapat peralawanan dari kami makhluk itu maju menerjang dan menghantamkan pukulan dari tanganya yang seperti terlihat membesar.

Cahyo berhasil menahan serangan itu, namun dari setiap serangan yang kami terima samar-samar kami melihat wujud asli dari pria itu. Raksasa hijau dengan pakaian laksana abdi kerajaan.

“Heh... Lha ternyata Buto Ijo...” Ucap Cahyo.

“Lha iyo... tetep jangan lengah” Balasku.

Kali ini Cahyo yang maju menerjang ke arah makhluk itu, ia melepaskan sarungnya dan mengalihkan setiap pukulan dari buto berwujud manusia itu dengan sarungnya.

“Wanasura!!”

Seketika salah satu lengan Cahyo berubah menyerupai lengan kera raksasa dan berbenturan dengan dengan pukulan dari Buto itu.
Cahyo unggul dalam adu kekuatan itu, terlihat pria itu terpental dengan darah hitam yang bermuncratan dari mulutnya.

Cahyo bersiap menyerang kembali, tetapi mendadak kekuatan hitam datang menyelimuti sekitar rumah ini. Suasana siang hari yang sebelumnya cerah kini berubah menjadi gelap.
Tiba-tiba Paklek memanggil Cahyo dan menyuruhnya mundur.

“Panjul uwis!” Ucap Paklek. Sepertinya ia merasakan akan ada resiko bila meneruskan pertarungan ini.
Buto berwujud manusia itu kembali berdiri dan meludahkan cairan hitam yang masih tersisa di mulutnya.

“Sing mbok lawan dudu aku, aku mung salah siji ingon Trah Brotowongso.. Buto Lowo ijo” (Yang kamu lawan bukan aku, aku hanya salah satu ingon dari keturunan Brotowongso.. Boto Lowo Ijo) Ucapnya dengan wajah mengancam.

Ini yang aku takutkan. Saat ikut campur dengan perseturuan antar trah, yang kami hadapi bukan demit-demit biasa. Melainkan ingon-ingon milik keluarga itu yang sudah dibekali dengan kesaktian dan pusaka.

“Raden tidak akan tinggal diam dengan perbuatan kalian..“ Ucapnya dengan perlahan menghilang bersama kekuatan hitam yang menyelimuti tempat ini.

***

Saat keadaan kembali aman kami kembali menghampiri Paklek yang masih berjaga melindungi tubuh Tika dan roh Ningsih.

“Wis Ningsih.. Paklek bacakan doa ya, setelah ini Ningsih bisa tenang dan tidak ada makhluk yang bisa mengganggu Ningsih lagi" Ucap Paklek.
Roh Ningsih mengangguk dan mengikuti semua arahan Paklek.

“Matur suwun yo mas, terima kasih... salam untuk Tika, dia anak yang baik” Ucapnya yang perlahan menghilang dengan doa-doa dan ayat suci yang dibacakan oleh Paklek.

Tepat saat roh Ningsih menghilang Tika mulai tersadar.

“B..bapak, ini dimana?” Tanya Tika.

Pak Gito yang melihat Tika kembali sadar segera memeluk anak perempuan satu-satunya itu.

“Ini di rumah nak, kamu sudah pulang... maafkan bapak ya nak” Ucap Pak Gito yang terlihat terharu menatap wajah Tika.

Berbeda dengan Tika yang selama ini kami lihat, kini ia terlihat bisa menunjukan perasaanya walaupun masih bingung dengan apa yang terjadi.

“Tika inget sama mas-masnya... mereka yang bertarung melawan dukun yang ngurung Tika” Ucap tika.

Aku dan Cahyo segera mendekat ke arah anak perempuan itu.

“Nama saya Danan, nah yang sarungan ini mas Cahyo...” Balasku dengan berusaha untuk membuatnya tidak takut dengan kami.

“Sudah-sudah, Dek Tika istirahat dulu saja... dirasuki roh selama bertahun tahun itu bukan permasalahan sepele” Ucap Paklek sambil memberikan segelas air putih yang sudah dibacakan doa-doa untuk Tika.
Tika meminum air itu dan perlahan mulai mendapatkan tenaganya kembali.

“Terima kasih ya Paklek, Mas Danan, Mas Cahyo... berkat kalian Tika sudah bisa sadar. Selanjutnya biar saya yang melanjutkan..” Ucap Pak Gito.
Aku yang sedang menikmati segelas teh hangat sedikit merasa aneh dengan ucapan Pak Gito.

“Selanjutnya? Apa masih ada masalah lain pak?” Tanyaku.

Pak Gito menggeleng, namun matanya tidak menatap ke arahku. Walaupun begitu aku tahu dia bukan menyembunyikan hal buruk.

“Tidak Mas... saya tidak mau melibatkan masnya lebih jauh lagi” jawab Pak Gito.

Mendengar perkataan itu Paklek dan Cahyo segera mendekat ke arah kami.

“Lebih baik diceritakan saja Pak... siapa tahu kami bisa bantu” Ucap Paklek.
Pak Gito menatap kami kembali, sepertinya ia merasa sungkan. Tapi kami tetap memaksanya untuk bercerita.

Pak Gito menjelaskan mengenai Tika, sebagian sudah kami ketahui saat di Desa Tanggul Mayit bahwa Tika adalah anak di luar pernikahan dari Pak Gito dan Nyai kanjeng.

Nyai Kanjeng adalah orang terpandang dari Trah Darmowiloyo. Sedangkan Pak Gito hanyalah bawahan dari keluarga itu yang pada akhirnya, keberadaan Tika menjadi aib bagi keluarga Darmowiloyo.

Namun setelah berbagai kejadian kemarin, mereka memutuskan untuk memberikan hak Tika sebagai anak biasa dan dirawat lagi oleh pak Gito.

Sayangnya masalah mereka tidak selesai semudah itu. Beberapa hari yang lalu Nyai Kanjeng kembali menemui pak Gito dan memberikan sebuah cincin dengan batu yang berwarna hitam legam. Sebuah cincin yang sempat digunakan oleh dukun yang mengurung Tika.

“Nyai Kanjeng meminta kami untuk menyimpan benda ini. Ini adalah pusaka terakhir keluarga Darmowiloyo..“ Jelas Pak Gito.

“Katanya mungkin suatu saat Tika membutuhkan benda ini untuk menyatakan keberadaanya sebagai bagian dari trah Darmowiloyo sekaligus mungkin pusaka ini bisa melindungi Tika”

Tunggu... aku benar-benar tidak mengerti dengan situasi ini.

“Maksud Pak Gito, Nyai kanjeng ingin mengakui Tika sebagai bagian keluarganya? Atau bagaimana?” Tanyaku.
Pak Gito mengangguk.

“Tanpa Mustika pengasihan yang dimiliki Nyai kanjeng, akan banyak musuh dari keluarganya yang akan mencoba mencelakai mereka.. Nyai Kanjeng sudah bersiap menerima setiap resikonya untuk membalas dosa-dosanya. Tapi setidaknya dia ingin Tika Selamat” Jelas Pak Gito.

Aku mengingat mustika yang dimiliki Nyai kanjeng yang berhasil aku putihkan. Kekuatanya memang mengerikan, namun tak kusangka akan berpengaruh sebesar ini.

“Pak... berarti ibu dalam bahaya?” Ucap Tika yang ternyata mendengar percakapan kami dari tadi.

Aku sungguh takjub dengan perasaan yang dimiliki Tika, ia sedikitpun tidak menaruh dendam pada ibunya yang telah memperlakukanya seperti itu dan malah merasa khawatir.

“Tenang Tika.. yang penting kamu aman dulu disini, bapak yang akan menjaga kamu” Ucap Pak Gito.

“Mas Danan sama Mas Cahyo kan hebat? Berarti bisa nolongin ibunya Tika?” Ucapnya dengan polos.

Aku dan Cahyo saling bertatapan, namun tiba-tiba tangan Paklek mendorong kepala kami berdua dari belakang.

“Ora usah kakean mikir..“ (tidak usah kebanyakan berfikir) Ucap Paklek tiba-tiba “Tenang saja, mas-mas ini akan nolongin ibumu.. kalau mereka nggak mau, lapor sama Paklek ya”
Aku mengusap kepalaku yang di dorong oleh Paklek.

Memang kami tidak ada niat menolak permintaan Tika, namun aku masih tetap merasa ragu bila harus berurusan dengan masalah keluarga orang lain.

“Kenapa Danan? Masih ragu? Inget.. ini salahmu juga, kalau mustika itu tidak kamu putihkan jadinya ga akan begini” Ucap Cahyo dengan nada yang meledek.

“Enak wae.. kalau nggak aku putihkan kamu sudah jadi kacung nyai kanjeng disana, bisa-bisa kamu disuruh jadi ledek ketek (Topeng monyet) di alun-alun” Balasku.

“Uaseemmm.. enak wae ledek ketek, tak laporke kliwon siap-siap diamuk kowe” (asem, enak aja topeng monyet.. tak laporin kliwon siap-siap dimarahin kamu) Balas Cahyo.

Paklek dan lainya hanya tersenyum melihat tingkah kami. Namun satu hal yang sudah pasti. Kami sudah memutuskan untuk membantu Tika hingga masalahnya selesai hingga ke akar-akarnya.

Lagipula kami juga mengingat dengan jelas dari pertarungan tadi, sepertinya seseorang yang menyandang nama Brotowongso itu juga sudah menandai dan bersiap mengincar kami lagi.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close