Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GETIH IRENG ABDI LELEMBUT (Part 3) - Kesumat

Bukan di daerah mewah seperti yang kami perkirakan, tapi kami malah diajak melewati hutan-hutan yang hanya memiliki jalur untuk satu mobil.


JEJAKMISTERI - “Pak Gito... saya kira Nyai Kanjeng tinggal di rumah mewah di daerah kota, gak nyangka malah masuk ke hutan-hutan begini” Tanyaku penasaran.
Sambil menyetir dengan hati-hati Pak Gito mencoba menjawab pertanyaanku dengan sepengetahuan dia.

“Benar, nyai kanjeng punya rumah dan lahan yang besar di pinggir kota. Tapi seperti yang saya jelaskan kemarin, keberadaanya mungkin diincar oleh musuh-musuhnya sehingga ia memilih untuk tinggal di pendopo yang selama ini menjadi ‘rumah aman’ untuk Nyai kanjeng”

Pejelasan dari Pak Gito cukup masuk akal, sepanjang perjalanan tadipun kami sudah melihat beberapa makhluk yang berdiam di berbagai pohon yang tinggi memperhatikan kami seolah diperintahkan untuk berjaga memantau apa yang terjadi.

***

“Danan! Paklek nan! Ada yang aneh sama paklek!” Suara Cahyo tiba-tiba memecah lamunanku. Seketika aku segera menoleh ke belakang tempat paklek duduk dan benar saja, wajah Paklek terlihat tegang dan sedikit pucat.

“Paklek! Kenapa Paklek? Paklek ada serangan?” Aku mencoba melihat keadaan sekitar, namun tak menemukan serangan apapun di sekitar kami.

Khawatir dengan keadaan paklek, akupun bersiap membacakan mantra untuk memulihkan paklek dari kekuatan yang menyerangnya namun tiba-tiba paklek menahanku.
Tidak seperti tadi... Cahyo tidak terlihat panik dan seolah menahan tawanya.

“Ora Danan... ora... iki lho mobile” (Nggak Danan... nggak, ini lho mobilnya) Ucap Paklek.

“Mobilnya kenapa paklek?” Tanyaku.

“Dingin... dingin banget, Paklek arep nyilih sarunge cahyo ora dikei.. Masuk angin nek koyo ngene..” (Dingin.. dingin banget, Paklek mau minjem sarungnya Cahyo nggak dikasi, masuk angini ini...) Ucap paklek yang terlihat lemas sementara Cahyo menahan tawanya.

“Ealah Panjul! Tega bener kamu...” Ucapku.

“Lho... Paklek kan Pendekar sakti mandraguna, mosok iyo ra tahan dingin” Balasnya sambil tertawa.
Mendengar perbincangan kami Pak Gito segera mematikan AC mobil dan membuka jendela.

“Ngene wae yo paklek.. pake AC alam aja” (Begini saja ya paklek, Pakai AC Alam saja) Ucap Pak Gito.

Paklek menarik nafas sedalam-dalamnya menikmati udara yang masuk melalui jendela mobil mewah milik Nyai Kajeng ini.

“Nah... ngene lho, mbok yo dari tadi” (Nah gini lho.. harusnya dari tadi aja) Terlihat wajah paklek perlahan mulai pulih dari pucatnya.

“Nasib.. Nasib... nduwe Paklek kok ndeso” Ledek Cahyo yang segera dibalas paklek dengan lemparan sandal jepit lusuh miliknya.

Belum sempat menyaksikan pertengkaran mereka tiba-tiba Pak Gito melambatkan kendaraanya. Terlihat sebuah bangunan joglo yang besar dengan beberapa rumah pendamping di sekitarnya layaknya sebuah desa kecil.

“Pak.. ibu ada di sini?”Tanya Tika yang mulai terbangun dari tidurnya selama perjalanan.

“Iya Tika.. Jaga kesopanan ya, kita harus tetap sadar diri” Jawab Pak Gito.

Tika mengangguk patuh sembari merapikan rambut dan pakaianya yang berantakan karena tertidur selama perjalanan.
Pak gito memarkirkan mobil tak jauh dari bangunan yang paling besar di tempat itu.

Seseorang keluar dari salah satu rumah kecil di sisi bangunan utama selah memastikan siapa yang datang.
Seorang wanita yang sudah berumur mengenakan kebaya. Aku menduga dia adalah seseorang yang dipercaya untuk menjaga rumah ini.

“Niki rencange kulo Yu Nijah... bade ketemu nyai kanjeng..” (Ini teman-teman saya Yu Nijah, Mau bertemu dengan Nyai Kanjeng)
Samar-samar aku mendengar perbincangan antara Pak Gito dan seorang perempuan yang dipanggil dengan nama Yu Nijah itu.

Tempat yang cukup aneh, terlihat tidak ada bangunan lain selain bangunan yang ditempati Nyai kanjeng dan bangunan pendampingnya. Padahal terlihat ada beberapa tempat yang sepertinya pernah ada rumah penduduk di sana.

“Paklek, Mas Danan, Mas Cahyo.. ayo masuk, Nyai kanjeng ada di dalem” Ucap Pak Gito.
Aku meninggalkan rasa heranku dan berniat menanyakanya nanti saat bertemu dengan Nyai kanjeng.

Sementara aku berjalan masuk, Yu Nijah terlihat sangat sopan menundukan kepalanya menyambut kami.
Kami masuk ke sebuah rumah kayu yang luas dan terlihat penuh peralatan antik. Jelas bangunan ini lebih pantas disebut Rumah Mewah bernuansa kayu dibanding disebut pendopo.

“Ngapunten Nyai Kanjeng, kulo lancang...”
Belum sempat menyelesaikan perkataanya Pak Gito terhenti dengan perkataan Nyai Kanjeng.
“Wis Mas Gito, ra usah sopan-sopan... gowonen masuk kabeh, ben digaweke unjukkan sik karo Yu Nijah” (Sudah Mas Gito, tidak usah sopan-sopan... bawa masuk saja semua, biar dibuatkan minuman sama Yu Nijah) Potong Nyai kanjeng.
Wajah Pak Gito terlihat cukup heran. Sebelumnya tidak pernah Nyai Kanjeng menyambut seseorang ataupun dirinya dengan begini santainya.

“Saya belum mengerti maksud kalian kemari... tapi terima kasih sudah menyembuhkan Tika dan mengajak Tika ke sini” Ucap Nyai Kanjeng pada kami.

Aku dan Paklek segera mengambil posisi duduk di kursi kayu yang nyaman berhadapan dengan Nyai Kanjeng, sementara Cahyo masih menikmati memandang ornamen-ornamen indah yang menghiasi ruangan ini.

“Nyai.. ini Paklek, beliau yang sudah membantu Tika..”

Pak Gito memperkenalkan Paklek kepada Nyai Kanjeng dan disambut dengan anggukan yang anggun. Sebenarnya semenjak memasuki rumah ini aku sudah memperhatikan gelagat paklek yang menjadi serius.

Kami memulai pembicaraan sambil menikmati kopi dan suguhan yang disajikan oleh Yu Nijah. Sedari tadi Tika masih merasa canggung dengan Nyai kanjeng, walaupun aku tahu dia ingin sekali mendekat ke ibunya itu.

“Saya sudah siap menerima apapun konsekuensi atas kesalahan yang saya lakukan di desa tanggul mayit. Tapi tolong… seperti ucapan kalian saat di desa itu, setidaknya Tika bisa selamat dari mereka yang ingin membalas dendam kepada Trah Darmowiloyo”

Aku tidak pernah menyangka kata-kata itu akan keluar dari Nyai Kanjeng yang sebelumnya sempat berniat menumbalkan Tika.

Mata Tika terlihat berkaca-kaca, seolah tika menerima ucapan Nyai Kanjeng tadi sebagai ungkapan rasa sayang seorang ibu yang dulu hampir tidak pernah ia rasakan. Aku hanya sedikit tersenyum dan mengusap kepala Tika.

“Masalahnya Nyai.. Tika juga tidak ingin Nyai Kanjeng kenapa-kenapa, makanya dia meminta kami untuk mencari jalan keluar agar Nyai bisa selamat” Balasku.
Nyai kanjeng menatap Tika sebentar dan menoleh dengan tatapan yang sendu.

“Masalahnya, kalian tidak tahu sebesar apa Kutukan yang dimiliki keluarga kami.. terlebih atas perbuatan-perbuatan saya sebelumnya” Balasnya.

“Itulah tujuan kami kesini Nyai.. mungkin Nyai bisa menceritakan akar permasalahanya kepada kami...“ Lanjut Paklek.

Nyai kanjeng menghela nafas, sepertinya ia tidak yakin kami bisa banyak membantu. Kini ia menatapku dengan mata yang penuh emosi dan berkaca-kaca.

***

“B..Bagaimana... kalau kamu memiliki seorang anak, dan aku mengambilnya dengan paksa untuk dijadikan tumbal...“ Ucapnya Tiba-tiba.

“Apa kalian masih ingin menolong saya?” Nyai kanjeng beralih menoleh ke arah Paklek dengan suaranya yang gemetar.

“Bagaimana kalau saat kamu pulang, yang terlihat hanya kepala istrimu yang tergantung tanpa diketahui dimana badanya“

Seketika itu juga aku dan Paklek bergidik ngeri dan mulai merasa bimbang dengan apa yang kami lakukan.
Mendengar setiap ucapan Nyai Kanjeng, Cahyo mendekat ikut memperhatikan ke arah Nyai Kanjeng.

Saat itu juga Nyai kanjeng menoleh ke arah Cahyo dan menatap dengan tatapan yang sama.
“Bagaimana bila saat perjalananmu pulang kamu menemukan jasad kedua orang tuamu dibuang di jalan dengan jasad yang tidak utuh”

Berbeda dengan aku dan paklek, Cahyo membalas tatapan Nyai kanjeng dengan serius dan berjalan mendekat.

“Saya akan mendoakan mereka agar mereka tenang, dan mencari cara untuk menghentikan pembunuhnya... bukan untuk balas dendam, tapi agar kejadian itu tidak akan terjadi lagi kepada orang lain..” Jawab Cahyo dengan yakinya.

Seketika aku teringat tentang masa kecil cahyo yang menyaksikan sendiri kematian kedua orang tuanya, dan bahkan seluruh warga desanya oleh perbuatan demit yang menyamar sebagai kelompok Ludruk.

Aku dan Paklek menghela nafas, Nyai kanjengpun pasti tidak pernah menyangkat penyataan itu akan keluar dari mulut seseorang. Seketika pernyataan Cahyo menjawab keraguan kami semua dan paklekpun mencoba berbicara.

“Sudah.. sudah, Dosa Nyai Kanjeng dan Keluarga urusanya dengan Tuhan... dan benar kata si Panjul ini, Urusan kami adalah menghentikan agar hal-hal itu tidak terjadi kepada orang lain, Termasuk kepada Trah Darmowiloyo”

Aku ikut mengangguk dan memantapkan niat kami. Namun sepertinya Nyai Kanjeng masih terlihat gelisah. Namun sebelum kami mencoba meyakinkan Nyai lagi tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berlari mendekat dari luar.

“Nyai! Nyai! D..di luar ada..” Yu Nijah membuka pintu dengan terburu-buru dengan dengan nafas yang tersengal-sengal.

“Demit! Ada Demit Nyai..”
Mendengar ucapan Yu Nijah, serentak kami meninggalkan kursi kami dan berlari keluar menuju arah yang ditunjukan oleh Yu Nijah.

Benar saja, tepat ketika keluar dari pendopo kami mencium bau busuk yang menyengat hingga kami sulit untuk berkonsentrasi mencari keberadaan makhluk yang dimaksud oleh Yu Nijah.

Aku dan Cahyo memperhatikan sekitar, mencari keberadaan makhluk yang menjadi asal dari bau busuk ini dan penglihatan kami terhenti di salah satu sebuah pohon yang tiba-tiba saja sudah mengering.

Entah bagaimana aku menggambarkannya, makhluk yang berada di sana berwujud seperti manusia yang sangat kurus. Mungkin tubuhnya hanya seukuran bambu yang dilapisi kulit dengan tangan yang menjuntai sampai ke tanah.

Aku memperhatikan wajahnya yang memandang entah kemana dengan mata hitamnya yang sayu dengan kepalanya yang hanya sebagian yang ditumbuhi rambut panjang.
Tanpa berpikir panjang aku membacakan doa-doa dan ayat suci untuk mengusir makhluk itu.

Namun Bau busuk malah kian menyengat.
Sialnya Bau busuk yang diciptakan makhluk itu menarik sekumpulan pocong yang mulai mengelilingi bangunan pendopo ini. Seketika itu juga pemandangan di sekitar tempat ini lebih pantas disebut sebagai desa demit dibanding tempat tinggal.

Cahyo berinisiatif menghampiri makhuk itu dan mencoba menyerangnya dengan pukulanya hingga makhluk itu terpental. Sayangnya makhluk itu segera berdiri seolah serangan Cahyo tidak banyak terpengaruh terhadapnya.

Sekali lagi Cahyo bersiap menyerang, namun tiba-tiba ia terhenti saat menyaksikan tangan yang ia gunakan untuk menyerang mahluk itu tiba-tiba memerah dan dipenuhi dengan bisul.

“Panjul! Mundur!” Teriak Paklek yang segera sigap membacakan mantra untuk menghilangkan kutukan di lengan Cahyo.

“Paklek.. firasatku nggak enak, sepertinya makhluk itu membawa teluh...” Ucap Cahyo sambil tetap waspada dengan keberadaan makhluk yang terlihat tidak mencoba untuk mendekat.

“Tunggu, kalau begitu jangan-jangan tujuan dari makhluk itu...“
Belum sempat paklek menyelesaikan ucapanya tiba-tiba Tika keluar dari Pendopo dengan tergesa-gesa.

“Mas Danan... Ibu.. Tolong Ibu Mas!” Teriak Tika.
Mendengar teriakan tika kami segera berlari ke dalam pendopo sementara Cahyo tetap mengawasi makhluk itu dari puntu pendopo.

Di dalam rumah terlihat Nyai Kanjeng sedang menahan sakit dan terlihat darah berceceran di sekitar mulutnya.

“Paklek..?” Aku menengok ke arah Paklek.

“Iya danan.. ini santet” Jawab Paklek.

Dengan segera Paklek meletakan telapak tanganya ke dahi Nyai kanjeng dan membacakan doa yang kutahu sebagai doa untuk mengusir ilmu hitam.

Seolah merespon doa-doa paklek, Tubuh nyai kanjeng terlihat aneh. Ia menggelepar di tanah dengan mata yang melotot seolah ingin keluar dari tempatnya.

“Mati... uwong iki pantes mati” (Mati.. orang ini pantas mati) Ucap Nyai kanjeng dengan suara yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.

“Paklek... Ibu kenapa paklek?” Tangis tika yang khawatir dengan keadaan ibunya yang terlihat mengerikan saat itu.

“Tika.. tenang saja, Mas Danan disini buat bantu ibumu kok.. Bantu doa ya, supaya hal-hal buruknya cepat pergi” Ucapku berusaha menenangkan Tika.
Rupanya yang menyerang Nyai kanjeng bukan hanya satu serangan.

Santet yang dikirimkan mungkin menyembabkan luka dalam di tubuh Nyai Kanjeng dan itu terlihat masih terus bertambah.
Di satu sisi, muncul sesosok makhluk yang merasuki Nyai Kanjeng dan menguasai tubuhnya.

“Orang luar tidak usah ikut campur... atau kamu juga akan menjadi musuh kami!” Ucap sosok yang merasuki nyai kanjeng.
Sementara Paklek berusaha menahan santet yang mencoba masuk ke tubuh Nyai Kanjeng, aku mencoba memfokuskan mata batinku dan memastikan sosok yang merasuki tubuh Nyai Kanjeng.
Sekilas aku melihat sosok wanita dengan wajah berwarna hitam mengenakan kebaya lusuh dan tubuh yang sudah bersimbah cairan berwarna hitam.

Saat mengetahui wujudnya aku segera membacakan ajian muksa pangrekso untuk melindungi nyai kanjeng dari hal buruk yang bisa dilakukan makhluk ini. sayangnya sudah terlambat.

Tak lama setelahnya Nyai Kanjeng berhenti meronta dengan wajahnya yang terkulai dan matanya yang masih terus terbuka.

“I..Ibu!“ Teriak tika yang semakin panik.

“Paklek.. Nyai Kanjeng?” Tanyaku yang berharap mendapatkan jawaban tidak seperti yang kuperkirakan.

Paklek menghela nafas dan menutup doa-doanya.

“Danan.. Paklek berhasil menangkal santetnya..” Ucap Paklek.

“T...tapi, kenapa nafas nyai kanjeng tidak ada paklek? Denyut nadinya juga hampir tidak ada..” Tanyaku yang masih mencoba berusaha untuk tenang.

“Makhluk itu... makhluk yang merasukinya tadi berhasil membawa pergi sukma Nyai Kanjeng” Jelas Paklek.

“Berarti masih ada harapan?” Tanyaku.
Paklek mengangguk.
Saat ini aku mengerti apa yang harus kulakukan.

Cahyo menjaga Pendopo ini dari makhluk-makhluk yang mungkin menyerang dari luar. Paklek menjaga agar tidak ada santet lagi yang masuk ke tubuh Nyai kanjeng. Dan berarti akulah yang harus menjemput sukma Nyai Kanjeng untuk kembali ke raganya.

Dengan segera aku menarik sebuah keris pusaka yang kusimpan di sukmaku dan membawanya ke dekat nyai kanjeng.

“Mas... mas Danan mau ngapain?” Tanya Tika yang khawatir.

Sekali lagi aku mengusap kepala Tika.
“Mas mau jemput Ibumu dulu, Doain Mas Danan ya..”

Mendengar jawabanku tika menghapus air matanya dan mengangguk. Dia benar-benar anak yang kuat.
Aku mengambil posisi duduk bersila dan mulai memisahkan sukma dari ragaku dengan kekuatan dari keris ragasukma dan segera mencari keberadaan makhluk yang membawa pergi sukma nyai kanjeng.
Jejak sukmanya menuntunku ke sebuah tempat yang menyerupai rawa-rawa dengan pohon-pohon berwarna hitam. Di sana terlihat sosok roh wanita tua berwajah hitam dengan rambut putih yang tergerai mencoba menghadangku.

“Uwis.. ora usah diteruske” (Sudah, tidak usah diteruskan) Ucapnya.

“Dia harus membayar atas perbuatanya..”
Aku tidak mempedulikan ucapanya dan segera mengangkat kerisku untuk menghujamkan ke tubuhnya.

Makhluk itu menghindar dengan mudah seperti angin yang tiba-tiba berada di belakangku.

“Kamu ingin membunuhku, sama seperti dia menghabisi keluargaku?”
Tepat saat aku menoleh dan bersiap menyerang, makhluk itu menahan tanganku dan segera menghilang dan berpindah ke tempat yang jauh.

“Kamu boleh membunuhku... tapi nanti setelah aku menghabisi seluruh Trah Darmowiloyo sampai tak bersisa”
Aku tidak menyerah begitu saja dan menuju tempat dimana makhluk itu pergi.

Tepat saat sampai di tempat ia berhenti seketika aku menjadi mual dengan pemandangan yang kulihat.
Berbagi bentuk potongan tubuh manusia berceceran di tempat itu, beberapa kepala juga tertusuk oleh bambu dan di susun secara rapi di tengah-tengah tempat ini.

“Demit brengsek! Ini semua perbuatanmu??! Ucapku yang mulai terbawa emosi.

“kehkehekhe... Aku? Aku tidak sekejam mereka... mereka membunuh seluruh anggota keluargaku tanpa belas kasihan.

Dan aku hanya membalas dengan mengambil sukma mereka untuk melampiaskan semua dendamku... khekhekehe” Ucapnya sambil tertawa puas.

Aku yang terbawa amarah segera menyerang wanita itu namun hampir tidak ada celah untuku mengenainya.

Ia hanya bergerak bagaikan angin yang tidak tersentuh.
Berbagai cara kupikirkan agar seranganku berhasil, namun semua seolah percuma hingga akhirnya tanpa sengaja aku menyadari keberadaan wujud sukma Nyai kanjeng yang tergantung di sebuah pohon.

“Jangan nekad..” Ucap Makhluk itu saat menyadari aku sudah menemukan sosok itu.
Ia terlihat marah dan seperti membacakan sebuah mantra. Saat itu juga aku merasa sukmaku kian melemah, mungkin mantra ini yang ia gunakan selama ini sehingga sukma dari korbanya tidak berdaya.

Dengan wajah penuh amarah ia menarik sebuah benda yang menyerupai tusuk konde dan menusukkanya ke sukmaku yang kian lemah. Saat itu juga aku melihat luka yang dibuat tusuk konde semakin menghitam dan menyebar.
Aku yakin ini bukan benda biasa.

Aku tidak berdaya dan terbaring di sekitar potongan-potongan tubuh yang berserakan. Namun aku tidak menyerah dan mencoba membacakan doa yang diajarkan paklek untuk menahan kutukan yang disalurkan melalui tusuk konde ini.

“Dasar bocah Goblok... percuma..“ Ucap makhluk itu yang berjalan ke arahku dengan membacakan mantranya lagi seolah bersiap menghabisiku.
Aku menggenggam kerisku dan bersiap menerima serangan apapun yang akan ia lancarkan, tapi tanpa terduga tiba-tiba muncul cahaya putih di hadapanku. Sebuah cahaya yang muncul dari sebuah api yang hangat.
Geni Baraloka!
ini adalah ilmu milik paklek! Aku tertolong!

Dengan keberadaan Geni baraloka aku memulihkan tubuhku dari luka yang mengandung kutukan dari tusuk konde yang sepertinya merupakan sebuah pusaka.
Makhluk itu terlihat panik.

“Brengsek... ternyata kalian bukan orang sembarangan!” Ucapnya dengan kesal.

Makhluk itu kembali mencoba membacakan mantranya, namun terlihat sukmanya semakin melemah.

“A..Api apa itu? kenapa bisa jadi begini?” Ucapnya heran.
Aku melihat keanehan dari makhluk itu.

“Tunggu! Kau bukan demit kiriman seseorang! Kamu manusia yang merubah sukmamu menjadi demit??!” Tanyaku setelah sadar akan pengaruh geni baraloka dengan makhluk itu.

“Brengsek! Kamu tidak tahu apa yang sudah kukorbankan untuk mendapatkan kekuatan untuk membalas dendam ini!”

Teriaknya kesal, namun sukma hitamnya semakin memudar seolah memaksanya untuk kembali ke tubuhnya.

“Awas kalian.. dendamku akan terus kubalaskan sampai tuntas!” Ucapnya yang segera pergi meninggalkanku di tempat mengerikan ini.

Aku menghela nafas lega, sepertinya serangan dari nenek itu berdampak dengan ragaku yang dijaga oleh paklek sehingga paklek mengirimkan geni baraloka ini.
Tanpa menunggu lebih lama aku memeriksa sukma nyai kanjeng yang masih utuh dan mengarahkanya untuk kembali bersamaku.

Geni Baraloka yang dikirimkan pakle kutinggalkan di tempat ini. Saat Api ini semakin besar nanti aku akan kembali ke tempat ini untuk menenangkan sukma yang sudah tidak berwujud hasil pelampiasan wanita tua berwajah hitam itu.

***

Tepat saat kembali ke tubuhku aku merasakan rasa sakit tepat di dada tempat serangan makhluk itu menusukku.

“Danan.. kowe rapopo?” Ucap cahyo yang khawatir dengan kondisiku. Mungkin seandainya ia juga memiliki ilmu ragasukma dia juga sudah menyusulku sedari tadi.

“Ora.. rapopo, untung paklek tepat waktu...” Balasku.

Aku menoleh ke arah nyai Kanjeng yang berangsur-angsur pulih setelah sukmanya kembali.
Cahyo membantu membopongku mendekat ke arah Nyai Kanjeng.

***

“Nyai Langgarwiryo...“ Ucap Nyai kanjeng begitu tersadar dari kejadian tadi. Ia berkata dengan tatapan kosong seolah berusaha mengingat sesuatu.

“Dulu salah satu anggota keluarganya memfitnah Raden Anjar, kakak tertua saya.

Kami yang tidak terima marah dan mengirimkan santet untuk menghabisi seluruh keluarganya” Jelas Nyai Kanjeng.

“Sepertinya pusaka yang ia kenakan saat itu berhasil menyelamatkanya hingga ia berniat untuk membalas dendam..”

Aku, Cahyo, dan Paklek saling berpandangan. Kini kami tahu dengan jelas masalah apa yang kami hadapi.

“Gimana Mas... Paklek? Masih tetap mau membantu kami kan?” Tanya Pak Gito.
Cahyo menepuk pundak Pak Gito bermaksud untuk menenangkanya.

“Tenang Pak Gito, kami masih di sini kok...” ucapnya.

“Nyai Kanjeng, mungkin nyai kanjeng punya petunjuk untuk menyelesaikan permasalahan ini?” Tanya paklek yang sepertinya mendapatkan sedikit petunjuk.

Nyai Kanjeng berfikir sejenak, ia seolah berusaha mengingat sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk.

“Nyi sendang Rangu...”
Sebuah nama diucapkan oleh nyai kanjeng.

“Itu siapa Nyai?” Tanyaku.

“Dulu ia adalah Ingon pelindung leluhur kami sebelum leluhur kami memutuskan untuk memisahkan diri dari keluarga dan mengangkat nama Trah Darmowiloyo” Jelasnya.

“Seandainya bisa menemukan sosok itu, mungkin ia bisa memberi petunjuk..”
Nama itu tidak terdengar asing di telingaku. Namun aku tidak bisa mengingat lebih jauh.

“Terus saat ini makhluk itu ada di mana Nyai?” Tanya Cahyo.
Nyai kanjeng menggeleng.

“Saya tidak tahu, tapi ada seseorang yang mungkin tahu keberadaanya. Dia adalah Raden Anjar, kakak tertua. Dialah yang mengurus semua pusaka yang dimiliki keluarga kami.. temasuk cincin batu hitam yang dimiliki tika saat ini” Jelasnya.

Nyai kanjeng menceritakan tentang saudara tertuanya yang tinggal di kaki gunung. Dia mengasingkan diri untuk menjaga makam keluarga Darmowiloyo.
Aku menoleh ke arah cahyo, sepertinya ia juga membaca pikiranku untuk mencari tahu tentang Randen Anjar.

“Kalau begitu setelah ini kita harus menemui Raden Anjar.. terlebih sepertinya aku penasaran dengan makhluk yang bernama Nyi Sendang Rangu itu” Ucapku.
Cahyo mengangguk setuju.

“Kalian pergilah... Biar Paklek yang di sini..” Ucap paklek yang tidak kuduga. Sepertinya aku mengerti, sementara kami pergi harus ada yang menjaga nyai kanjeng dan tika dari serangan seperti tadi.

“Iyo paklek.. bener, Harus ada yang menjaga Nyai Kanjeng dan Tika. Hampir saja kami kelupaan” Ucapku.

“Halah... jangan mikir yang bagus-bagus... bilang aja paklek takut mabok lagi naik mobil to!” Ucap Cahyo dengan nada yang meledek.

Kali ini tas paklek yang melayang tepat ke wajah cahyo hingga dia terjatuh.

“Nek wis ngerti yo meneng-meneng wae!” (Kalau sudah tau ya diam-diam saja) Ucap paklek sambil memelototi Cahyo.

“Ya sudah besok biar saya yang mengantar Mas Danan dan Mas Cahyo... mohon titip Tika dan Nyai kanjeng ya Paklek” Pinta Pak Gito yang dibalas dengan anggukan oleh paklek.
Cahyo berdiri dan menghampiri ke arah pintu.

“Yowis.. kalau gitu sekarang tinggal beresin, demit-demit yang daritadi masih nontonin kita dari luar biar kita bisa cepet tidur” Ucapnya sambil menerjang makhluk-makhluk yang sedari tadi belum pergi dari sekitar rumah ini.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close