Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GETIH IRENG ABDI LELEMBUT (Part 4) - Sambara

Suara motor vespa tua memecah keheningan desa yang terletak di kaki gunung.

“Cahyo.. ngopo ndandak nganggo montormu iki to? Nek diterke Pak Gito kan penak” (Cahyo, Kenapa harus naik motormu ini sih? Kan kalau dianter Pak Gito lebih enak)

Protesku pada Cahyo yang memutuskan untuk pergi ke desa ini menggunakan motornya dibanding diantar dengan mobil mewah milik Nyai Kanjeng.

“Orapopo nan... biar Pak Gito ikut jagain Tika, lagian paklek gak bisa kemana-mana kalau ga ada Pak Gito di sana” Jelas Cahyo.

Aku paham, namun naik motor tua untuk jalur berbatu seperti ini bukanlah ide bagus.


JEJAKMISTERI - Dengan berbekal sebuah kertas yang bergambar peta kasar mengenai lokasi Raden Anjar, kami menyusuri desa ke desa dan beberapa kali melewati pinggir hutan untuk mencapai tempat ini.

Sebuah gapura bertuliskan nama Desa Jayopurwo terpampang di hadapan kami. Sayangnya kami sampai saat langit mulai gelap sehingga hampir tidak ada warga yang terlihat di desa ini.

Beruntung masih ada warung kopi yang buka, sehingga kami memutuskan untuk beristirahat sekaligus menggali informasi tentang keberadaan Raden Anjar.

“Kulo nuwun bu...“ (Permisi Bu)

Aku dan Cahyo memasuki sebuah warung kopi kecil berbentuk bangunan kayu sederhana dengan penerangan lampu oranye yang menimbulkan suasana sendu di kampung ini.

“Monggo mas... ngopi?” Jawab seorang perempuan paruh baya yang menjaga warung itu.

“Nggih bu.. gorengane ditokno sisan yo bu” (Iya bu.. gorenganya dikeluarin sekalian bu) Balas Cahyo.

Kami meletakan barang bawaan kami di kursi dan merenggangkan tubuh kami di depan kedai kopi ini sambil menghirup udara di desa ini yang masih segar.

Suara jangkrik dan beberapa tokek terdengar dari hutan-hutan di sekitar desa ini.

“Sama-sama di tengah hutan, tapi desa ini jauh lebih nyaman dibanding pendopo Nyai kanjeng kemaren ya Cahyo?”

“Iyo.. bener, sudah lama nggak ngerasa suasana begini.. kamu nggak kangen ke desa Windualit Nan?

Benar juga, suasana desa ini sedikit mirip dengan suasana di desa Windualit yang sama-sama terletak di tengah hutan.

“Iya ya... jadi kangen, habis masalah ini selesai kita mampir ke sana gimana? “ Ajakku.

“Ide bagus... Sekar apa kabar ya kira-kira?”

“Halah... bilang aja dari awal kamu kangen sekar” Ledekku.

“Iyo.. Ra mung sekar, Kangen juga ketemu Pak Sardi dan warga desa lain” Balasnya.

Ucapan Cahyo seketika mengingatkanku saat dulu aku tersesat di desa Windualit. Ketika aku terpisah dari Rama dan Yanto saat mendaki gunung merapi dulu.

“Sendang Banyu Ireng... apa itu ada hubunganya dengan Nyi Sendang Rangu ya? Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan nama itu..” Tanyaku pada Cahyo.

“Jangan asal cocok-cocokan nan.. kalau memang ada hubunganya nanti kita juga akan tau sendiri” Balas Cahyo.

Tak berapa lama terdengar suara gelas radu bersama langkah kaki yang mendekat.

“Monggo mas, kopinya saya taruh di dalam apa di depan?” Ucap ibu penjaga warung.

“Di sini aja bu.. matur nuwun” Balasku.

Dua gelas kopi dan pisang goreng hangat menemani kami beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.

“Ngapunten Bu.. Ibu kenal dengan Raden Anjar?” Tanyaku pada ibu itu yang sedang merapikan meja makan di dalam warung.

“Ooo.. Raden Anjar, mas-mas ini mau mencari pusaka?” Ibu itu bertanya balik kepada kami.
Aku beradu pandang dengan Cahyo, kami tidak menyangka kalau Raden Anjar ini sering dicari oleh para pencari pusaka.

“Eh.. mboten bu, nggak... saya diminta tolong saudara Raden Anjar untuk menemui beliau” Balasku.
Ibu itu menatap kami berdua seolah memastikan sesuatu.

“Lantas tujuan kalian apa? Resikonya terlalu besar bila ingin bertemu Raden Anjar... beberapa orang mempertaruhkan nyawanya untuk menemui beliau hanya demi sebuah pusaka. Kalau tidak mencari apapun resikonya tidak sebanding..” Ucap Ibu itu.

Mendengar perkataan ibu itu seketika kami tidak menganggap ia sebagai ibu penjaga warung biasa, Ibu itu sepertinya lebih dari sekedar penjaga warung di desa kecil ini.

“Yang kami cari memang bukan pusaka, tapi resikonya sebanding dengan yang kami perjuangkan kok bu” Jawab Cahyo.

“Benar bu, tujuan kami meminta petunjuk dari beliau untuk menolong kenalan kami.. mungkin ibu bisa memberi petunjuk cara untuk menemui Raden Anjar” Tambahku.

Sekali lagi Ibu itu memperhatikan kami berdua secara bergantian.

“Bisa, tapi habiskan dulu kopi dan gorenganya... istirahat dulu saja, nanti kita lanjut” Balas ibu itu.

Aku sedikit tersenyum mendapat tanggapan baik dari ibu itu dan kembali menikmati suasana tenang di kedai kopi ini sambil menyeruput kopi hitam yang terasa istimewa dengan udara dingin ini.

“Saya tahu kalian bukan orang biasa.. tapi kalian tetap harus hati-hati. Saat mencapai ujung desa kalian akan melihat komplek pemakaman di salah satu bukit kecil. Pergilah ke arah sana, dan bawa benda ini”

Ibu itu menyerahkan kepada kami bungkusan kertas yang tertutup seperti ada sesuatu di dalamnya.

“Ini apa bu?” Tanyaku sambil menerawang apakah benda ini merupakan jimat atau sejenisnya.

“Tenang, benda ini bukan seperti yang kamu pikirkan... serahkan saja pada Raden Anjar kalau kalian berhasil bertemu dia” Balas Ibu itu seolah bisa membaca pikiranku.

“Sampaikan padanya, salam dari Bu Ninik, Kapan ngopi di sini lagi?” Lanjutnya.

Mendengar ucapan ibu itu aku sedikit tersenyum dan berjanji akan menyampaikan pesanya sementara Cahyo menyerahkan uangnya untuk membayar kopi dan gorengan yang hampir sebagian besar dihabiskan oleh Cahyo sendiri.

“Matur nuwun Bu Ninik.. pisang gorengnya enak!” Ucap Cahyo sambil meninggalkan kedai itu.

***

Sesuai petunjuk dari Ibu penjaga warung tadi, kami melaju vespa tua Cahyo lagi ke arah ujung desa hingga terlihat sebuah bukit seperti yang disebutkan Bu Ninik tadi.

Sebuah bukit dengan kompleks pemakaman tua yang dipisahkan dengan pagar yang juga sudah berkarat. Terdapat beberapa pohon kamboja besar di berbagai sisi pemakaman ini bersama pohon-pohon besar yang sepertinya sudah ada sejak awal sebelum pemakaman ini ada.

“Cahyo.. kita ke sananya besok pagi aja gimana? Kayaknya kalau ke sana malem-malam kayak cari perkara” Ucapku.

“Awalnya aku juga mikir gitu tadi Nan, tapi waktu kita nggak banyak.
Nyai Kanjeng dan Tika bisa mendapat serangan kapan saja, lagipula bila ada hal yang aneh dengan Raden Anjar, justu kita bisa tahu lebih jelas di malam hari” Balas Cahyo.

Ucapan Cahyo ada benarnya, kami harus mempersingkat waktu sebelum semakin banyak permasalahan yang akan terjadi. Tapi apa benar ada seseorang yang tinggal di komplek pemakaman semengerikan ini.

“Nan.. ono fansmu kuwi ning ngarep” (Nan ada penggemarmu tuh di depan) Ucap Cahyo dengan tertawa.
Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Cahyo.

Itu adalah sebuah makam dimana ada sesosok makhluk berwujud wanita berbaju putih lusuh menyeringai menatap ke arahku dengan wajah penuh darah.

Benar, dia kuntilanak...

Mungkin ini yang di maksud ibu itu, sudah banyak demit yang menanti di pemakaman ini sebelum sampai ke tempat Raden Anjar.

“Ojo ngomong ngono, mesakke...” (Jangan bilang begitu, kasihan) Ucapku yang segera menghampiri makhluk itu.

Seketika makhluk itu terlihat kaget, mungkin karena jarang ada manusia yang berani mendekatinya.

“Mbakyu... ini makam siapa?” tanyaku.
Makhluk itu tidak menjawab, ia malah menoleh ke arah pohon dan dari sana terlihat sosok makhluk seukuran anak kecil pucat tanpa busana.

Aku menduga makhluk menyerupai tuyul itu adalah anaknya.

“Ya sudah, kami bacakan doa ya supaya kalian bisa tenang” Ucapku yang segera disusul dengan Cahyo yang menghampiri disampingku dengan posisi siap untuk melantunkan doanya.

Perlahan sosok makhluk itu mulai memudar dari hadapan kami, semoga saja mereka benar-benar bisa tenang dengan doa yang kami bawakan. Tetapi sebelum mereka benar-benar hilang, sosok tuyul anak kecil itu menghampiriku dan mendekat.

“Masnya hati-hati ya, ada yang mau membunuh kalian berdua dari dekat sini” Ucapnya sambil berbisik dan segera menghilang sesaat setelah menyampaikan hal itu.

Seketika ucapan itu membuat aku dan Cahyo semakin waspada.

Cukup mencurigakan, ini adalah sebuah pemakaman namun tidak banyak makhluk gentayangan seperti pemakaman pada umumnya.

Aku dan Cahyo merasakan kekuatan yang tidak biasa dari salah satu pohon di tempat ini.

Saat menoleh ke arahnya terlihat sosok makhluk berwujud ular berkepala manusia melilit di rantingnya dan menatapku dengan mata yang merah menyala.

Entah apa yang terjadi, seketika sebuah ingatan merasuk ke pikiranku. Beberapa dialog terdengar seolah terucap di sekitarku.

***

“J..Jangan Raden Anjar, dia nggak salah...“ Terdengar suara wanita yang di susul penglihatan seorang pria berbaju jawa menggenggam parang menyapu leher seorang pria hingga terputus.

“Jangan ada yang tersisa, atau mereka akan membalaskan dendamnya pada kita semua” Kali ini terdengar suara seorang pria dengan suara yang berwibawa, aku menduga itu adalah suara Raden Anjar.

Sebuah desa yang seluruh warganya telah terkena teluh berwujud berbagai penyakit terlihat bersimbah darah dengan mayat-mayat warganya yang bergelimpangan di jalan.

Raden Anjar pergi meninggalkan tempat itu sambil memandang sebuah pusaka berbentuk pedang pendek yang menawan sementara beberapa orang sudah siap untuk membereskan sisa-sisa jenazah di sana.

***

Aku kembali pada kesadaranku sementara makhluk di pohon itu masih terus memandang kami. Namun sekarang aku tahu, makhluk itu adalah sosok wanita yang melarang Raden Anjar untuk membunuh warga di desa tadi.

Cahyo membantu menahan tubuhku yang hampir terjatuh.

“Sepertinya Raden Anjar sama kejamnya dengan Nyai Kanjeng... dia orang yang gila pusaka bahkan ia tega menghabisi satu desa demi merebut sebuah pusaka” Jelasku pada Cahyo.

“Kamu mendapat penglihatan?” Tanya Cahyo
Aku mengangguk.

“Makhluk itu yang menunjukkanya padaku, tapi entah bagaimana sampai dia bisa berwujud seperti itu” Jawabku.
Cahyo terlihat khawatir. Namun sepertinya makhluk tadi tidak memiliki maksud lain selain memperlihatkan hal itu padaku.

Kami terus berjalan menyusuri pemakaman, samar-samar kami merasakan adanya sosok makhluk yang mengintai kami. Kami belum menemukan sosoknya namun nafsu membunuhnya tak dapat disembunyikan. Mungkin dialah yang diceritakan oleh sosok berwujud tuyul tadi.

Setelah melewati bukit yang dipenuhi dengan pemakaman, kami melihat sebuah rumah joglo yang dengan kayu-kayu yang sudah reyot. Aku cukup ragu masih ada orang yang menempati rumah dengan kondisi seperti ini.

“Masuk mas..”

Belum sempat kami mengetuk, tiba-tiba pintu rumah itu sudah terbuka dengan sosok perempuan yang meminta kami untuk masuk.

“Ini benar kediaman Raden Anjar? “ Tanya Cahyo.

“Iya… silahkan duduk dulu” Jawabnya.

Perempuan itu mempersilahkan kami duduk di kursi bambu tua dengan beberapa hidangan ringan sederhana yang sudah disediakan di hadapan kami dan meninggalkan kami.
Aku cukup heran bagaimana mereka bisa tahu tentang kedatangan kami.

Sementara ini aku berfikir ‘suruhan’ milik keluarga Darmowiloyolah yang memberi informasi mengenai kedatangan kami.
Perempuan itu kembali setelah mengabari kedatangan kami kepada seseorang yang ada di dalam dan duduk di hadapan kami.

“Jadi kalian Trah Sambara yang diceritakan oleh Bapak?” Tanya perempuan itu pada kami.
Cahyo menoleh ke arahku. Hampir saja aku mengangguk, namun aku merasakan ada kejanggalan. Aku tidak pernah menyebutkan nama trahku pada Nyai kanjeng dan yang lain sebelumnya.

Lalu bagaimana mereka bisa tahu?

“Bukan nduk... Bukan mereka” (Bukan nak.. bukan mereka) Terdengar suara renta seseorang yang datang dari dalam rumah.

“Mereka kenalan Bulekmu, Bapak baru saja diberi tahu”

Seorang kakek tua dengan jenggot putih berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya. Perempuan yang ternyata merupakan anaknya itu segera berdiri membantu ayahnya untuk menghampiri kami.

Walau sudah tua, aku masih bisa mengenali bahwa dia adalah Raden Anjar seperti yang terlihat di penglihatanku tadi.
Cahyo menyadari kebingunganku dan berinisiatif membuka pembicaraan.

“Ngapunten Raden Anjar... memangnya siapa lagi yang akan datang kemari?” Tanya Cahyo.

“Oh.. Mereka pemuda dari Trah Sambara, saya mau menyerahkan pusaka terakhir yang saya miliki kepada mereka..” Jelasnya.
Aku semakin bingung mendengar penyataan itu dari Raden Anjar.

Siapa lagi trah sambara yang tersisa selain aku dan Paklek? Apa mungkin ada nama keluarga yang sama dengan trah kami.

“Jadi apa yang bisa saya bantu untuk kalian..” Buka Raden Anjar.

“Ini Raden, Berdasarkan informasi Nyai Kanjeng hanya Raden Anjar yang bisa memberi tahu keberadaan Nyi Sendang Rangu yang bisa melindungi Trah Darmowiloyo, termasuk Raden Anjar juga..” Ucapku.
Raden Anjar menghela nafas, dari matanya terlihat sedikit penyesalan.

“Kalau saya, saya sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan saya bila harus menanggung semua dosa yang saya lakukan.. harapan saya, Ajeng anak saya yang tersisa satu-satunya ini bisa selamat..” Ucapnya.

Rupanya yang terjadi dengan Raden Anjar mirip seperti yang dialami oleh Nyai Kanjeng. Ia meninggalkan semua ilmunya demi anaknya satu-satunya.

“Makanya pusaka terakhir saya akan saya serahkan kepada mereka yang berasal dari Trah Sambara dengan tujuan mereka mau melindungi Ajeng sebagai gantinya” Lanjutnya.

“T..tidak usah Raden, kalau kami berhasil menemui Nyi Sendang Rangu, harusnya ia bisa melindungi seluruh trah Darmowiloyo kan?” Balasku yang sedikit ragu bila Raden Anjar menyerahkan pusaka terakhirnya pada Trah sambara yang ia maksud.

Raden Anjar menggeleng sambil menghela nafasnya. Terlihat sangat banyak kekhawatiran di wajahnya.

“Nyi Sendang rangu hanya akan melindungi kami bila kami masih putih. Namun dengan dosa sebanyak ini, sudah pasti ia bahkan tidak sudi menemui kami” Jelasnya.

Penjelasan yang masuk akal, pantas saja Raden Anjar tidak mencari sendiri keberadaan Nyi Sendang Rangu walaupun mengetahui keberadaanya.
Perlahan suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah rumah ini. Ajeng dengan sigap bersiap membukakan pintu.

Sepertinya mereka adalah Orang dari trah sambara yang mereka tunggu.

“Kulo Nuwun...”
Raden Anjar berusaha berdiri menyambut mereka.
Ada dua orang pemuda seumuran dengan kami yang mengenakan kemeja jawa dengan keris yang terikat di kain di pinggangnya.

“Nah... ini mereka, Ringga dan Gandri Sambara...“ Ucap Raden Anjar memperkenalkan mereka kepada kami.

“Kowe kenal Nan?“ (Kamu kenal nan?) Tanya Cahyo padaku.
Aku menggeleng dan membalas mereka dengan senyuman seadanya.

“Sebentar saya ambil benda itu...“ Ucap Raden Anjar dengan semangat. Ia berjalan dengan berhati-hati ke dalam kamarnya.

“Masnya mencari pusaka juga ya?” Tanya seseorang yang bernama Ringga dengan wajahnya yang ramah. Namun Cahyo membalas dengan raut muka yang terlihat kesal.

“Halah... pusaka opo mas, yang dikasi ke masnya itu pusaka terakhir Raden Anjar” Ucapnya dengan ketus. Aku menyenggol bahu Cahyo menyuruhnya untuk sedikit lebih sopan, setidaknya sampai kami tahu siapa mereka.

“Ngapunten yo mas.. kami butuh pusaka itu untuk melindungi mereka yang lemah” Ucap seseorang yang bernama Gandri, namun di telingaku ucapan itu terdengar seperti ucapan yang jumawa dari seorang pemuda.

Raden Anjar kembali dengan membawa sebuah kotak berukiran naga yang terlihat sangat terawat. Ia kembali ke posisinya dan membuka kotak itu.
Sebuah keris..
Warangka atau tutup keris itu dilapisi dengan sepuhan emas yang membuatnya terlihat mewah.

Kedua pemuda yang mengaku berasal dari trah sambara itu menatapnya dengan senang.

“Keris ini dibuat untuk salah satu pangeran di kerajaan jaman dulu, kekuatan di dalamnya sangat melimpah bila kalian dapat menggunakanya dengan benar..” Ucap Raden Anjar.

“Saya titipkan pusaka ini untuk kalian...”

“Tunggu Raden Anjar, tidak bisa semudah itu...” Ucap Cahyo tiba-tiba yang segera kurespon dengan sikutanku di bahunya.

“Maksud mas Cahyo apa?“ Tanya Raden Anjar.

“Saya mau menguji kemampuan mereka berdua... apa mereka pantas mendapatkan pusaka hebat ini!” Ucap Cahyo.

“Jangan kurang ajar! Mereka ini Trah sambara.. walau nama mereka tidak terkenal tapi mereka sudah banyak mengalahkan berbagai siluman” Ucap Raden Anjar yang mulai kesal.

“Masalah itu saya sudah tahu, terlihat jelas dari apa yang mereka lakukan dengan makhluk-makhluk di luar sana..“ Balas Cahyo lagi.

“Maksudmu apa?” Tanya Raden Anjar.

Aku juga baru menyadari suasana di luar sudah berubah drastis semenjak kedatangan mereka.

“Oh itu... tenang saja Raden, siluman dan makhluk di luar sana sudah saya habisi semua agar tidak mengganggu Raden dan Ajeng lagi..” Ucap Ringga.

Raden Anjar segera berdiri dan pergi keluar, ia melihat sudah tidak ada lagi roh yang berada di sana sementara beberapa siluman sudah sekarat seperti terkena berbagai macam serangan.

“Tenang Raden, tidak usah khawatir.. saya hanya menguji mereka, karna sebenarnya saya pernah bertemu langsung dengan Trah Sambara” Ucap Cahyo.
Raden menatap wajah Cahyo dengan sedikit keraguan namun akhirnya ia mengangguk setuju.

Anehnya mata Raden Anjar terlihat berkaca-kaca setelah melihat kondisi di luar rumahnya.

“Jangan sombong kamu bocah ndeso.. kami tidak pernah merasa pernah mengenalmu!“ Balas seseorang yang bernama Gandri.

Seketika suasana di tempat ini menjadi tegang. Kami semua keluar menuruti permintaan Cahyo.

“Pendekar sambara pernah menolong penduduk desa kandimaya dari serangan Buto Lireng!” Ucap Cahyo.

“Benar, itu adalah orang tua kami..“ Balas Gandri.

Mendengar pengakuan itu aku ikut menghampiri Cahyo. Pernyataanya jelas merupakan kebohongan.

“Kalau kamu memang berniat menghalangi kami mendapatkan pusaka itu, berarti kamu musuh kami!” Ucap Ranggi yang mencoba mendekat seolah bersiap menyerang Cahyo.

Sayangnya itu hanya tipuan, seketika sosok bayangan sudah ada di belakang Cahyo dan bersiap menyergapnya. Untungnya Cahyo dengan sigap menahan serangan itu dengan lenganya yang sudah diperkuat dengan roh Wanasura.

“Hahaha... roh apa itu? Monyet?” Ledek mereka setelah melihat roh wanasura yang merasuki Cahyo. Namun Cahyo tidak bergeming.

“Terus ingon temenmu yang satu itu apa? Lutung?” Ledek mereka lagi dengan penuh tawa.

Cahyo berjalan menghampiri Ranggi dengan wajah tenang. Sosok bayangan hitam berdiri di hadapan ranggi bersiap menahan Cahyo.

Dengan lengan Cahyo yang diselimuti kekuatan wanasura, ia memukul sekuat tenaga ke arah roh bayangan hitam itu.

Seketika makhluk itu terpental bersama dengan Ranggi yang berada di belakangnya.

“Mosok kalah karo ketek?” (Masa Kalah sama monyet?) Ucap Cahyo membalas ledekan mereka.

“Wanasura roh ras kera dari hutan Wanamarta, Bukan Ingon yang diambil dengan bayaran sukma manusia seperti milik kalian”

Gandri terlihat marah dengan ledekan Cahyo namun ia lebih memilih untuk membantu Ranggi terlebih dahulu.

“Raden Anjar, jangan serahkan pusaka itu kepada mereka.. mereka bukan dari Trah Sambara” Teriak Cahyo kepada Raden Anjar.

“Bohong! Bocah itu menginginkan pusaka itu.. sampai berani melukai kami” Balas mereka.

Raden Anjar terlihat bingung.

“Trah sambara diwarisi dua pusaka keris.. Keris Rogosukmo dan Keris Sukmogeni” Ucap Cahyo.

Kedua pria itu tersenyum dan mengeluarkan keris dari ikatan kainya masing-masing.

“Maksudmu ini?” Ucap Ranggi yang mengeluarkan keris berukiran kuno dari pinggangnya dan Gandri yang mengeluarkan keris perak dari tas kainya.

“Mungkin kamu harus merasakan kekuatan kedua keris ini agar menyadari siapa kami” Jelas Gandri yang segera menghujamkan keris itu kearah Cahyo. Dari setiap gerakan keris itu muncul percikan api yang sesekali hampir membakar kulit Cahyo.

“Keris sukmageni menghasilkan api dari sukma pemiliknya untuk melawan musuh seperti kamu..” Ucap Gandri sambil terus menyerang Cahyo. Ia hanya menggeleng merespon cerita karangan dari Gandri

Ranggi menyusul Gandri dan menyerang menggunakan keris pusaka yang dia akui sebagai keris rogosukmo.
Serangan mereka berdua mulai membuat Cahyo merasa kerepotan hingga beberapa luka goresan muncul di tubuh Cahyo.

Aku bersiap membantunya namun ia memberi isyarat kepadaku untuk tidak ikut campur.

“Wanasura!” Teriak Cahyo.
Seketika lengan dan kaki Cahyo diselimuti kekuatan yang membuat ia mampu bergerak dengan lebih cepat.

Dengan Ajian penguat raga, Cahyo sekali lagi membuat mereka terpental.
Ranggi yang merasa terdesak meletakkan keris itu didadanya dan mulai membaca sebuah mantra.

“Keris rogosukmo mampu menyatukan pemiliknya dengan sukma ingonya.. jangan salahkan aku bila kau sampai mati” Ucap Ranggi.

Seketika sebuah mantra yang familiar mulai terdengar..

Jagad lelembut ra nduwe wujud...

Surga loka Surga khayangan...

Aku tertegun mendenar mantra itu, apa mungkin mantra itu juga diwariskan dengan orang lain. Atau ternyata mereka juga memiliki hubungan darah denganku.

Kulo nimbali..

Langit boten nduwe roso..

Mati rogo ninggal sukmo...

Namun saat mendengar akhir dari mantra itu aku yakin, mereka bukan bagian dari trah keluargaku. Itu jelas berbeda dari mantra yang diturunkan oleh bapak.
Saat mantra itu selesai seketika tubuh Ranggi berubah menjadi hitam, tubuhnya membesar dengan mata yang memerah.

Ia seperti mulai kehilangan kedali.
“Hati-hati Cahyo!” Teriakku.
Cahyo sadar akan bahaya itu dan melompat menjauh. Ranggi yang menyatu dengan ingonya mengejarnya sementara Gandri terus melancarkan serangan.

Serangan demi serangan saling beradu di area pemakaman, kilatan api dan dentuman terdengar dari tempat mereka bertarung jelas mereka berdua cukup kuat untuk menandingi Cahyo.

Tapi entah mengapa aku merasakan seperti ada suatu bahaya yang mengintai seperti saat sebelum masuk kerumah raden tadi.
Aku memutuskan untuk menajamkan mata batinku dan mengecek kondisi di sekitar kami.

Hawa membunuh itu semakin kurasakan, namun tidak ada satupun sosok yang dapat kulihat. Sampai akhirnya samar-samar aku melihat asap hitam menuju pertarungan Cahyo.

“Cahyo kembali! Ada yang tidak beres!” Teriakku.

Cahyo merespon teriakanku dan menjauh dari kedua orang itu.

“Cih! Sombong di awal saja... ternyata penakut” Ucap Gandri sementara Ranggi masih dalam kendali ingonya itu.

Tanpa kami duga tiba-tiba dari asap hitam yang mendekat tadi muncul sebuah lengan dari makhluk bertubuh besar yang menangkap tubuh ranggi yang kerasukan.

“R..Ranggi!“ Teriak Gandri yang segera berusaha menyerang lengan makhluk itu. Sayangnya serangan itu tidak menimbulkan luka apapun.

Tepat saat kabut itu hilang, terlihat wujud raksasa hitam yang membuka mulutnya.

Ia mengangkat tubuh Ranggi dan memakanya dengan sadis hingga darah bermuncratan di sekitar pemakaman.

“R..Ranggi!!”

Gandri terlihat panik, ia mencoba lari ke arah kami namun makhluk itu bersiap untuk mengejarnya.

“T..Tolong!” Teriak Gandri.

Aku dan Cahyo segera berlari ke arahnya dan bersiap menolongya, namun tiba-tiba muncul sosok menyerupai manusia dari kabut hitam tadi di tempat raksasa itu datang.

Sosok itu menggenggam sebuah keris, dan menusukkan ke lengan raksasa yang mencoba meraih Gandri.

“Pergi!” Teriak orang itu sembari menghadang raksasa itu seorang diri.

Gandri berlari tertatih tatih ke arah kami, kami menangkapnya dan bersiap berlari membantu sosok yang datang itu yang sepertinya juga seorang manusia.

Ia membacakan sebuah mantra, namun sebelum mantra itu selesai dibacakan tiba-tiba raksasa itu kembali menghilang ke dalam kabut.

Aku menghentikan langkahku, namun tiba-tiba sosok manusia yang muncul dari dalam kabut itu berbalik berlari ke arah kami.

“Awas! Pergi!” Teriaknya.
Seketika aku tersadar ada segumpalan kabut hitam di atas kami. Dari sana muncul lengan raksasa sama seperti saat tadi ia menyergap Ranggi.

Dengan cepat aku dan Cahyo menarik Raden Anjar dan Gandri yang ada di dekat kami.

Namun kami tidak sempat menggapai Ajeng yang masih berada di dekat rumah.

“Ajeng! Lari!” Teriakku, namun raksasa itu terlalu cepat. Lenganya sudah hampir mencapai Ajeng.

Aku tidak menyadari apa yang terjadi saat itu, tiba-tiba ajeng sudah ada didekat kami bersama seorang anak remaja yang menitipkan ajeng pada kami.

“Tolong jaga mereka dulu..” Ucapnya yang segera meninggalkan kami menuju kemunculan raksasa itu bersama pendekar tadi.

“Pakde.. aku mengalihkan perhatian makhluk itu, pakde lanjutin mantranya” Perintah anak itu.

Aku hampir tidak percaya melihat apa yang ada di hadapanku. Biasanya kami yang terlibat dengan pertarungan seperti ini. tapi kali ini kami bisa menonton tanpa harus melakukan apa-apa.

Pria yang dipanggil Pakde itu membacakan mantra yang memunculkan cahaya putih sementara anak remaja itu berkali-kali menahan serangan raksasa itu.

Aku menoleh ke arah Cahyo, Sekilas aku jadi teringat saat ia masih sering berlatih bersama Paklek dulu.

“Pakde ras buto itu raganya saja yang kuat, sukmanya lemah... serang sukmanya“ Teriakku mencoba memberi petunjuk.

Pria itu menoleh seolah merespon ucapanku. Seketika cahaya putih menyelimuti kerisnya dan ia menghujamkan keris itu ke sebuah titik di punggung raksasa itu yang berhubungan langsung dengan sukmanya.

Raksasa itu terlihat kesakitan dan berlari menjauh kedalam kabut yang segera menghilang di kegelapan malam. Mereka mencoba mengejar namun sepertinya mereka untuk memilih menahan diri.

Setelah beberapa suasana mulai kembali tenang, kamipun berusaha mengatur nafas kami.

“Bapak.. itu tadi apa?” Tanya Ajeng pada Raden Anjar.

“Itu pasti salah satu ingon Brotowongso..” Jawab Raden Anjar.

Aku menoleh ke arahnya bersiap menanyakan pernyataanya itu, namun aku memilih menahanya dulu untuk menemui kedua orang yang menyelamatkan kami tadi.

“Kalian tidak apa-apa?“ Tanya orang yang dipanggil Pakde itu kepada kami. Walaupun dipanggil pakde, sepertinya umurnya tidak jauh berbeda dari aku dan Cahyo.

“I..iya, kami tidak apa-apa, terima kasih pendekar” Ucap Raden Anjar.

Cahyo terlihat celingak celinguk mencari sesuatu.

“Golek opo to jul?” Tanyaku.

“Itu lho.. orang tadi, sopo jenenge? Gandri? Kok ra ono? Kabur?” (itu lho.. orang tadi, siapa namanya? Gandri? Kok nggak ada? Kabur?) Ucap Cahyo.

Benar juga, rupanya orang itu sudah tidak ada di sekitar kami.

“Raden.. Gandri hilang, Kerisnya?” Teriakku.
Kami semua berlari ke dalam rumah dan beruntung keris itu masih ada di tempatnya.

“Pakde.. itu..” Ucap anak remaja itu sambil menujukkan keris itu pada pakdenya.

Orang yang dipanggil Pakde itu mengangguk paham.

“Ayo masuk dulu.. kita bicara di dalam” Undang Raden Anjar.
Kami kembali ke dalam rumah. Aku meneguk kopi hitam yang di suguhkan tadi sekedar untuk menenangkan rasa tegangku.

Cahyo dengan sigap menikmati singkong goreng yang sedari tadi belum sempat ia sentuh.

“Pakde! Tadi keren lho.. bisa ngalahin raksasa sebesar itu” ucap Cahyo sambil mengunyah singkong goreng yang masih dimulutnya.

“Iya Pakde.. itu tadi apa to?” Tanyaku penasaran.

Ajeng mengantarkan beberapa minuman lagi, sementara paklek membereskan pusaka terakhirnya itu dengan wajah kecewa.

Seseorang yang dipanggil dengan sebutan pakde itu menceritakan bahwa sebenarnya ia sudah datang ke tempat ini sejak kemarin, namun mereka merasakan keberadaan makhluk yang mencoba menyerang tempat ini. Itu adalah buto ingon kiriman keluarga brotowongso.
Mereka berdua memutuskan untuk menghentikan raksasa itu sebelum mendatangi Raden Anjar.

Sayangnya mereka terjebak di kabut hitam yang dibawa raksasa itu dan bertarung di sana hingga buto itu menampakan diri lagi untuk memakan kekuatan dari ingon yang merasuki Ranggi.

“Nah, berarti kalian sudah memiliki tujuan saat ke tempat ini kemarin?” Tanyaku.

Mereka mengangguk.

“Tujuan kami adalah itu..” Seseorang yang dipanggil pakde itu menunjuk pada sebuah keris yang sebelumnya ingin diserahkan kepada Trah sambara palsu itu.

“Jadi kalian juga mengincar pusaka ini?” Tanya Raden Anjar.

“Bukan begitu.. sebelumnya ijinkan saya memperkenalkan diri kami dulu. Ini Dirga murid saya… tepatnya Dirga Darmawijaya” Ucapnya.

Seketika raut wajah Raden Anjar berubah saat mendengar nama itu.

“Darmawijaya... Akhirnya saya mengerti mengapa kalian mengincar keris ini” Ucap Raden Anjar.

“Tunggu.. maksud Raden apa?” Tanyaku.

“Seperti yang saya ceritakan tadi, keris ini adalah keris yang dibuat untuk seorang pangeran kerajaan untuk melindungi diri di masa pelarianya... keris ini dibuat oleh Prabu Arya dari kerajaan Darmawijaya untuk puteranya..” Jelasnya.

Tunggu, nama itu sepertinya terdengar tidak asing bagiku.

“Yang Raden Anjar bilang itu benar” Balas orang yang dipanggil Pakde itu.

“Berarti kalian merupakan keturunan bangsawan dari Prabu Arya Darmawijaya itu?” Tanya Cahyo.

“Bukan.. Dirgalah yang berasal dari keturunan Darmawijaya. Tapi keluarga kami juga sudah saling berhubungan sejak jaman kerajaan dulu hingga sekarang” Jelasnya.

“Oh iya.. malah saya lupa mengenalkan, Nama saja Jagad...
Jagad Putra Sambara...”

Jagad Putra Sambara...
Aku dan Cahyo kembali saling menatap. Wajah bingung semakin terpampang di wajah Cahyo.

“Sambara meneh... ora usah ngapusi to Mas.. Tak kira sampeyan orang apik” (Sambara lagi.. nggak usah bohong mas, saya kira kamu orang baik) Oceh Cahyo.

“Maksud masnya apa? Memang itu nama saya..  mungkin memang bukan nama keluarga terkenal, tapi saya tidak bohong” Ucap seseorang yang mengaku bernama Jagad Putra Sambara.

Sekilas aku mengingat jurus yang ia gunakan saat menikam raksasa tadi.

“Sebentar Cahyo, mungkin ia tidak bohong...“ Ucapku.

“Lha.. kamu kenal apa ngga?” jawab cahyo.
Aku menggeleng.

“Tapi Jurusnya tadi, mirip dengan jurus yang digunakan Daryana” Jelasku.

Seketika seseorang yang bernama Jagad itu menoleh ke arahku.

“Kamu mengenal eyang saya? Eyang Daryana?” Ucapnya.

“Uwis nan.. ga usah ditutup-tutupi lagi, Ini teman saya namanya Dananjaya Sambara, jadi mas jagad tidak usah pura-pura juga” Ucap Cahyo.

Seketika wajah mereka terlihat kaget, terutama Raden Anjar. Ia tidak menyangka dengan ucapan Cahyo.

“Pantas kalian mati-matian menyangkal kedua orang tadi..” Ucap Raden Anjar yang akhirnya mengerti sikap kami tadi.

“Aku gak inget kalau Mas Bimo punya anak, tapi kalau kamu kenal dengan Eyang Daryana kemungkinan kamu juga tidak berbohong...“ Ucap Mas Jagad.

“Lah... Masnya kenal Paklek? Paklek Bimo” Ucap Cahyo.

“Ya kenal.. walaupun jauh, saya dan Mas Bimo masih sepupu” Jelasnya.

“Kulo Putrane Bisma Mas Jagad...” (Saya anaknya Bisma Mas Jagad) Jawabku memotong pembicaraan mereka.

“Owalaaah... Putrane Bisma karo kirana ya? Pantes kalian tidak kenal saya.. Bapakmu itu kelewat pinter, dia milih ngarit di sawah ketimbang tinggal di kota” Jelas Mas Jagad.

Aku sedikit tertawa, Almarhum bapak memang orang paling santai dan tidak mau dipusingkan dengan hiruk pikuk kota.

“Pakde.. beneran dia saudara pakde?” Tanya Dirga.

Sebelum Mas Jagad sempat menjawab, Aku berdiri dan berpindah duduk ke dekat Dirga.

“Maaf ya Raden Anjar.. jadi reunian keluarga begini” Ucapku.

“Tidak apa-apa mas.. saya ingin mendengar kelanjutan cerita kalian..” Balasnya.

Aku duduk di hadapan Dirga, meletakan tanganku di dada dan menarik sebuah keris dari sukmaku.

Wajah Raden Anjar, Dirga, dan Jagad terlihat kaget.

“Dirga, peganglah.. apa kamu mengenal keris ini?” Tanyaku pada Dirga.

Ia terkesima melihat keris itu. Namun lebih dari itu ia seperti mendapat sebuah penglihatan yang membuatnya teringat akan sesuatu.

“Keris Rogosukmo?” Ucapnya sambil tersenyum.

“Jadi keris ini benar-benar ada?”

Aku mengangguk, Mas Jagad ikut memperhatikan keris itu sementara Dirga mulai bercerita.

“Aku mendapat cerita turun temurun dari keluargaku. Salah satunya tentang seorang patih yang menolong leluhurku Prabu Arya dan melindunginya hingga akhir hayatnya.

Leluhurku pernah memberikan pusaka kebanggaanya saat kelahiran anak dari patih itu... pusaka itu adalah benda ini Keris Rogosukmo..” Cerita Dirga.

Aku dan Cahyo tersenyum mendengar cerita itu masih diteruskan hingga sampai ke generasi kami.

“Kamu tahu siapa nama patih itu?” Tanya Cahyo yang mulai terlihat sok tau.

Dirga menggeleng.

“Patih kakek demit edan Widarpa Dayu Sambara” Ucap Cahyo.

Aku segera memukul kepala Cahyo yang mencoba bercanda dengan Dirga.

“Kami memanggilnya Eyang Widarpa... bahkan sampai jadi setelah mati dan menjadi demitpun ia masih mencari makam Prabu Arya Darmawijaya, Raja yang paling ia banggakan” jelasku.

“Maksudnya? Kalian pernah bertemu dengan Eyang Widarpa?” Tanya Mas Jagad penasaran.

“Wohh... bukan ketemu lagi, sudah habis ini badan dipukulin sama dia Cuma gara-gara nyebut demit edan” Ucap Cahyo.

Aku tersenyum setiap teringat kejadian Eyang widarpa yang tak pernah absen memukul cahyo yang sering mengatai Eyang Widarpa Demit edan.

Sementara itu aku menceritakan mengenai mantra yang mampu membuatku memanggil roh leluhur yang masih berada di alam ini, termasuk eyang widarpa dan Pendekar Daryana.

Mas Jagad juga mengetahui mengenai mantra itu, namun ia tidak bisa menggunakanya tanpa perantara keris rogosukmo yang hanya diwariskan kepadaku.

Raden Anjar ikut memperhatikan ceritaku dan seolah ingin ikut berbicara.

“Darmowiloyo.. itu adalah nama Trah keluarga kami, dulu leluhur kami mengambil nama itu agar mirip dengan nama Prabu Arya Darmawijaya.

Berharap Trah ini bisa sebaik dirinya.. sayangnya kami gelap mata dengan kekuatan yang kami miliki” Jelas Raden Anjar.

Tidak ada satupun dari kami yang merespon ucapanya karena tidak tahu harus menjawab apa, hingga akhirnya Raden Anjar mengeluarkan kembali kerisnya dan menggesernya ke depan Dirga.

“Saya kembalikan pusaka ini.. mungkin semua ini memang sudah digariskan” Ucapnya Pasrah.

Dirga dan Mas Jagad berterima kasih menerima keikhlasan Raden Anjar. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal untukku.

“Maaf Mas Jagad... dari sebelumnya Raden Anjar memang sudah berniat menyerahkan pusaka ini untuk kedua orang yang mengaku sebagai Trah sambara tadi..” Ucapku.

“Raden berharap mereka berdua akan melindungi Ajeng sebagai ganti menerima pusaka terakhir pemberian Raden Anjar ini”

Dirga dan Mas Jagad saling berpandang, sepertinya mereka menyepakati sesuatu.

“Tenang saja Raden Anjar, sebagai gantinya kami yang akan menerima amanah itu.. kami akan melindungi Ajeng dan Raden Anjar” Ucap Mas Jagad. Seketika wajah raden Anjar berubah senang.

“Memangnya melindungi kalian dari apa Raden? Siluman” Tanya Dirga.

Raden Anjar menggeleng.

“Trah Brotowongso... dan orang-orang yang ingin membalas dendam terhadap perbuatan kejiku dulu” Jelasnya sambil sedikit menunduk.

“Tenang saja Raden, kalau kami berhasil menemui Nyi Sendang Rangu kalian pasti bisa tidur dengan tenang” Tambahku.

Mendengar ucapan itu Raden Anjar segera berdiri dan kembali masuk ke kamarnya. Ia keluar dengan membawa sebuah selendang tua lusuh dan menyerahkanya kepadaku.

“Ada sebuah sendang di hutan Gunung timur... datanglah ke sana, dan hanyutkan selendang ini... jika beliau berkenan, kalian bisa menemuinya..” Jelas Raden Anjar.

“Maksud Raden, Menemui Nyi Sendang Rangu?” Tanya Cahyo.

Raden Anjar mengangguk. Aku cukup senang mendapat petunjuk mengenai keberadaan ingon milik keluarga darmowiloyo itu.

“Mas Jagad, Dirga.. apa saya boleh meminta tolong?” Tanyaku.

“Apa itu danan?”

“Apa kalian bisa tinggal di sini untuk melindungi Raden Anjar dan Ajeng hingga kami berhasil menemui Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku.

Mas Jagad menoleh ke arah Dirga seolah meminta persetujuan.

“Kalian tidak usah khawatirkan saya, yang pasti tolong pastikan Ajeng Selamat” Balas Raden Anjar.

“Wah gak bisa gitu” Ucap Cahyo sambil mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.

“Kalau Raden Anjar kenapa-kenapa, nanti ada yang khawatir..” Ucap Cahyo sambil menyerahkan sebuah bungkusan kertas titipan bu ninik tadi.

“I..ini apa?” Tanya Raden Anjar.

“Mbuh.. titipan dari Bu Ninik, katanya kapan mampir ke warungnya lagi?” Ucap Cahyo.

Benar juga, aku hampir lupa menyampaikan hal ini kepada raden anjar. Ia segera membuka bungkusan kecil itu dan menjadi sedikit tersenyum. Akupun penasaran isi dari bungkusan itu.

“Itu apa Raden?” Tanyaku.

“Kopi.. coba kalian cium, aromanya Kopi Bu Ninik emang nggak ada duanya” Ucap Raden Anjar dengan wajah yang sumringah.

Aku senang melihat wajah Raden anjar yang berubah polos seperti itu.

Aku tak menyangka bahwa dulunya ia adalah orang yang kejam seperti yang ditunjukan dari penglihatan makhluk berwujud ular berkepala manusia itu.

“Dirga, Mas Jagad sekali lagi.. saya titip Raden Anjar dan Ajeng ya, sebagai gantinya.. nanti saya ajak ke persemayaman terakhir Prabu Arya Darmawijaya leluhurmu itu.. pasti kamu belum tau kan?” Ucapku.

“Yang bener mas? Di mana?” Tanya Dirga dengan semangat.

“Di Kaki gunung merapi ada desa terpencil bernama desa windualit, ada sebuah hutan yang dikenal dengan nama Alas Mayit.
Aku, Cahyo dan Eyang widarpa akhirnya berhasil menemukan peristirahatan terakhir leluhurmu itu di sebuat tempat yang bernama.. Sendang Banyu ireng” Jelasku.

Mas Jagad dan Dirga terlihat semangat, mereka berjanji akan menjaga Ajeng dan Raden Anjar hingga kami kembali.

“Ya sudah Raden, kami pamit dulu ya.. doakan kami berhasil dan bisa segera kembali ke sini..” Ucap Cahyo.

Raden anjar sedikit batuk dan menutup kembali bungkusan pemberian Bu Ninik.

“Kalian tidak usah kembali lagi ke sini..” Ucap Raden Anjar dengan tiba-tiba.

Aku dan Cahyo segera menoleh mendengar perkataan itu.

“Maksud Raden apa?” Tanyaku.

“Iya.. lain kali tidak usah ke sini, tidak ada lagi pusaka yang kusimpan di makam keluarga ini” Ucapnya.

“Jadi kalau mau ke sini, kita ketemu di warung Bu Ninik saja ya sambil ngopi” Lanjutnya lagi.

Aku tersenyum.. tak kusangka, sebungkus kecil bubuk kopi pemberian bu ninik mampu merubah kepribadian Raden Anjar begitu cepatnya.

“Satu lagi.. sepertinya saya pernah mendengar sesuatu yang kamu sebut dengan nama Sendang Banyu ireng itu.. semoga saja saat kalian kembali saya sudah berhasil mengingatnya..”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close