Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NENG LILI (Part 2)


JEJAKMISTERI - Malam semakin beranjak larut, suara kendaraan yang lalu lalang, semakin berkurang terdengar dari kost ku, menandakan jika kota semarang mulai lengang. 

Meski rasa lelah dan waktu juga sudah menunjukan pukul 12, mataku rasanya enggan untuk terpejam. Pikiranku masih menyelami kembali, kejadian demi kejadian yang membuat isi kepalaku di penuhi tanda tanya tentang, Neng Lili. 
Ahh... kenapa Aku begitu memikirkan Neng Lili selama tiga hari ini. Siapa dia? Rumahnya? keluarganya pun Aku tak tau."  ucap batinku mencoba  mencari celah pembenaran, agar Aku bisa melupakan semua rasa penasaran yang mengganggu pikiranku. 

Selagi pikiranku masih berselancar, tiba-tiba suara ketukan pintu sedikit mengejutkan. 
"Tok... Tok... Tok.." kembali suara ketukan di pintu kostku terulang, setelah ketukan pertama tak kurespon.

Aku masih terdiam sejenak, untuk memastikan. Sebelum suara ketukan lebih keras kembali terdengar, yang akhirnya memaksaku bangkit dari kasur kapuk tak berseprai. 

Perasaan tak nyaman tiba-tiba menghampiri, saat Aku sudah berdiri, membuat tanganku ragu untuk memutar gagang pintu. Apa lagi, wangi bunga kamboja mendadak tercium pekat, membuat pikiranku bertambah tak enak. 

Mataku benar-benar terperanjat, mendapati satu sosok yang berdiri, tepat di luar pintu, yang baru saja memaksa tanganku untuk membukanya.

"Neng Lili! " tegurku dengan suara sedikit bergetar. 
"Kang Aming... tolong saya kang..." sahutnya lirih dan meminta tolong.
"Tolong apa Neng? apa yang bisa saya bantu buat Neng Lili?" tanyaku yang mulai tersusupi rasa takut. 

Neng Lili tak menjawab, hanya suara isak tangisnya yang terdengar, membuatku mulai kebingungan.
"Maaf Neng, sebenarnya ada apa? kenapa Neng Lili menangis dan... Dan Neng Lili mau minta tolong apa?" tanyaku lagi mulai gugup. 
"Saya minta tolong, Kang Aming mau mengambilkan pesanan saya, kalau sudah jadi, soalnya saya besok mau pulang Kang." ucapnya dengan air mata mengalir.

Aku tertegun mendengar permintaannya, hanya demi sebuah pesanan, ia rela malam-malam begini datang ke kostku.
Selagi pikiranku menerka-nerka, ia berlalu setelah berpamitan. Dan bodohnya Aku, belum sempat menanyakan isi paketan dan di mana Aku harus mengambilnya. 
Ahh... besok sajalah kutanyakan." pikirku mengurungkan niat untuk mengejar sosok Neng Lili yang baru saja hilang di tikungan gang depan kostku.

Setelah kepergian Neng Lili, bau kembang kamboja pun berangsur-angsur hilang. Segera kututup pintu kost, dengan perasaan tak menentu. 
kurebahkan kembali tubuh lelahku agar segera terpejam, dan berharap sejenak, bisa melupakan semua rasa penasaran yang memenuhi otakku.

***

Pagi itu, Aku yang seperti biasa selalu datang paling awal di banding lainya, merasakan satu dorongan kuat yang tak mampu kutolak untuk melangkah kebelakang. Entah apa yang aku cari, sampai Aku merasa bingung sendiri. 

Hanya tumpukan-tumpukan selimut dan handuk, yang kulihat saat kakiku berhenti di gudang. Tapi, sesaat kemudian, telingaku mendengar langkah kaki bersepatu seperti turun dari lantai atas. "Paling mbak-mbak yang tidur di mess" pikirku. 
Meskipun begitu, rasa keingintauanku, membuat kepalaku menoleh. Posisiku yang dekat dengan tangga akhir, membuat mudah untuk mataku mengenali pemilik langkah tersebut. 
"Neng Lili." seruku setelah mataku mengenali sosok yang terlihat sangat cantik pagi ini, di banding hari-hari sebelumnya menurutku.
Sikapnya pun sungguh berbeda kali ini, senyum ramahnya kembali mengembang, juga wajahnya terlihat ceria serta bau wangi dari tubuhnya, kini seperti biasa, yang sehari-hari ia pakai. 
"Kang Aming, pesananku ada di alamat ini. Saya minta tolong ya sama kang Aming. Soalnya, cuma kang Aming yang selama ini baik, jujur, sopan sama saya. jadi Aku sangat percaya sama Kang Aming." ucapnya lembut dengan kilatan kesedihan, tiba-tiba kulihat di matanya yang bening. 

"Saya juga minta maaf sama Kang Aming, jika ada salah saya." ucapnya kembali.
Sejenak Aku terdiam, ada rasa nyeri menyisip di dadaku, ketika mendengar kata maaf dari bibirnya. 
"Saya juga minta maaf sama Neng Lili, karena saya sudah banyak merepotkan. Terima kasih banyak untuk semua bantuan Neng Lili yang begitu banyak kepada saya." sahutku yang tiba-tiba saja meluncur dengan ucapan layaknya sebuah perpisahan, tanpa sadar. 
"Sama-sama kang, Aku juga terima kasih, Kang Aming mau membantuku terakhir kalinya." ucapnya penuh kesedihan. 
"Maaf sebelumnya Neng, sebenarnya Neng mau pindah kerja dimana? atau..." 
"Sudah ya kang, saya mau pulang." Aku tak bisa lagi berucap ketika Neng Lili memotong pertanyaanku sembari melangkah keluar.

Lama Aku berdiri mematung dengan perasaan tak menentu, sampai satu seruan dan tepukan di pundakku membuatku terjingkat. 
"Nglamunke opo!"(Melamunkan apa!)" seru pak Farhan dengan logat jawanya. 
"ehh... pak Farhan, enggak kok pak." jawabku gugup. 
Kulihat pak Farhan tersenyum tipis, seperti tau akan lamunanku. 
"Ini kok masih sepi pak?" ucapku setelah menyadari jika suasana masih begitu sepi, padahal sudah lewat jam sepuluh. 

"Lho kamu belum di kasih tau? kalau hari ini kita libur. Karena baru saja dapat berita kalau Neng Lili meninggal dunia." jawab pak Farhan yang seketika membuat mataku terbelalak, tak percaya. 
Jantungku seakan berhenti berdetak, dadaku sesak dengan tubuh lemas seperti terlolosi, ketika pak Farhan mengulangi ucapanya sekali lagi. 

"Tak mungkin, Tak mungkin..." teriak batinku yang masih belum percaya dengan ucapan pak Farhan. 
"Kamu kenapa Ming? kok jadi pucat banget wajahmu." tanya pak Farhan yang heran dengan kondisiku.
"Tidak pak, tidak apa-apa. Tapi bener pak Neng Lili meninggal?" jawabku dengan suara bergetar.
"Yo bener to! masak ngabarin orang meninggal kok main-main Ming..." Jawabnya agak sewot. 
"Bahkan Neng Lili meninggalnya sudah tiga hari yang lalu. Baru ketahuan setelah di cek kostnya. Awalnya Neng Lili dikira teman-temannya pulang kampung, ada juga yang mengira jalan sama pacarnya, sebab seminggu yang lalu kata temanya dia mengeluh gak enak badan dan pengen pulang. Ee... malah pulang selamanya." ucap Pak Farhan menjelaskan. 
Tubuhku tetiba seperti mati rasa. Kaku, seperti tak ada lagi darah yang mengaliri, setelah mendengar penjelasan lebih dari pak Farhan. 

Sesaat kemudian, pikiranku langsung melayang mudur kewaktu tiga hari yang lalu. Saat pertama perubahan sikap Neng Lili, yang berarti hari itulah dia menghembuskan nafas terakhirnya. 

"Ayo ming." ajak Pak Farhan setelah ia selesai mengunci pintu belakang dan gudang. 
Aku hanya mengangguk, lemas rasanya tubuhku seperti tak bertenaga.

Sebelum kuikuti ajakan pak Farhan, perlahan tanganku membuka kertas alamat, tulisan tangan Neng Lili. Tulisan yang rapi dengan tinta hitam, menunjukan satu alamat yang tak asing bagiku. 
Langkah gontaiku mengikuti pak Farhan dari belakang, nalarku masih terus mencerna pertemuanku dengan Neng Lili beberapa puluh menit lalu. 
Wajahnya, suaranya, dan guratan kesedihan masih sangat jelas di pelupuk mataku.

***

Jerit tangis langsung menyambutku, yang baru sampai di halaman kost elit berlantai dua. Suara isakan yang mayoritas dari teman seprofesinya, membuat suasana duka teramat mendalam. 
Aku dan Pak Farhan, perlahan mendekat kearah kamar kost yang masih di kerumuni banyak orang. Dengan dada berdebar-debar, kusibak beberapa orang yang berdiri di pintu, membuat pandangan mataku sangat jelas melihat sebujur tubuh Neng Lili dengan kondisi mengenaskan. 
Tubuhnya yang masih terbungkus kaos putih dengan celana jeans, dalam posisi terlentang. Matanya melotot keatas, dengan mulut ternganga lebar. Kedua tangannya mencengkram kain seprai, seperti menunjukan, jika sebelum meninggal, Neng Lili merasakan sakit yang luar biasa. 
Bau busuk yang mulai menyebar dari raga tak bernyawa Neng Lili, membuat semua orang yang datang, tak mampu bertahan lama. Apalagi melihat keadaannya, sangat membutuhkan mental kuat, sebab, sangat mengiris dan menakutkan. 

Aku bersandar di tembok luar, ketika batinku tak mampu lagi menahan rasa yang sulit ku ungkapkan. Lebih-lebih, otakku kembali memutar memory beberapa kejadian yang kini kutau, sebagai suatu isyarat akan kematianya. 
Ketika mataku mengedar kesekeliling, tak sengaja berbenturan dengan mata temanku, Roni. 
Kulihat wajahnya begitu pucat, mungkin sama dengan wajahku saat itu. 
Tapi, dari tatapan matanya, Aku menebak, ada ketakutan luar biasa dalam dirinya, karena aku tau jika dirinya dan Aku saja, yang bertemu Neng Lili selama tiga hari tepat saat kematianya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close