Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NENG LILI (Part 1)


Sebuah kisah nyata yang belum lama di alami seorang teman baru, dan atas ijinya saya tulis dengan menyamarkan nama serta tempat kejadian.

Semarang, 2020.

JEJAKMISTERI - jarum jam sudah menunjuk di angka 9 pagi.
Aku yang baru menyelesaikan sarapan seadanya, bergegas membersihkan badanku yang tentu masih beraroma kecut dan apek. Maklum, bangun tidur langsung membeli sarapan. 
Setelah semuanya rapi, dengan langkah penuh semangat, ku ayunkan kakiku menjemput kesempatan mendapat rizki, walaupun sebagian orang menjudge jika pekerjaanku haram, meski sebatas OB. 
Sebab, sudah sebulan ini  Aku yang hanya lulusan SMA, harus rela bekerja di sebuah tempat yang mungkin buat sebagian besar orang punya Stigma negatif. Sebuah tempat yang biasa di kunjungi bos-bos, pengusaha, atau orang yang sekedar ingin menghilangkan rasa lelah, penat, dengan bermanja dalam baluran tangan-tangan halus nan lembut pijatan wanita-wanita muda berjemari lentik. 

Sekitar 30an terapis wanita muda berasal dari berbagai daerah, beberapa suku, menjadi daya tarik bagi mereka yang berdompet tebal. Salah satunya Neng Lili, wanita cantik berkulit putih dengan lesung pipit yang menjadi primadona.
Dara semampai yang berasal dari satu daerah di jawa barat ini, sudah satu tahun menghuni gedung berlantai tiga. Tapi beberapa bulan ini, Neng Lili memilih kost sendiri di deretan kost-kost elit perkotaan, yang berjarak satu kilo meteran dari tempat kerja. 

Seperti biasa, setelah berjalan kaki 15 menitan, Aku memasuki sebuah gedung dengan melewati gerbang dan halaman parkir lumayan luas. 
"Pagi pakde." sapaku pada security yang mendapat sift malam, pakde Sani. 
"Pagi juga ming." balasnya tanpa senyum, sebab, kulihat ia tengah sibuk mengisi daftar absen para pekerja yang mulai masuk, termasuk diriku. 
Sekitar sepuluh menit kemudian, dua patrnerku, Roni dan Hen datang. Di susul dengan wajah-wajah cantik, para terapis di belakang mereka. 
Tanpa basa basi lama, kami segera memulai kewajiban kami masing-masing. 
meskipun kami dari tim OB berjumlah tiga orang, namun dalam hal kerja kami punya tugas paten sendiri-sendiri. 
Seperti halnya diriku, tugas utamaku  menyiapkan selimut dan handuk serta menggantinya pada 20 kamar yang berderet dengan pencahayaan remang.
Selama satu bulan Aku bekerja, tak banyak terapis yang kukenal. ya... mungkin karena statusku atau memang sebagian dari mereka tertutup.
Di antara yang kukenal salah satunya Neng Lili, ia ramah, supel dan sangat welcome pada siapapun, meski kudengar dia primadonanya tempat itu. 
Tapi keramahan, senyum manisnya, hari ini sepertinya hilang. Wajahnya begitu pucat dan terlihat murung. Sampai sapaanku yang biasanya di balas dengan candaan, kali ini, tak di respon sama sekali. 

Rasa heran terbersit di benakku, melihat wajahnya seputih kapas, meskipun ia sendiri sudah berkulit putih, tapi putih wajahnya kali ini sangat berbeda dari yang kulihat hari-hari sebelumnya. Apalagi, harum parfum yang biasa ia pakai, hari ini sangat lain, seperti harum semacam wangi bunga. 
Setelah selesai memasang selimut dan handuk di tiap-tiap kamar, sejenak kulepas sedikit lelahku di pintu belakang, tepatnya di bawah tangga naik. 
Di temani sebatang rokok filter yang sudah kunyalakan, dan mulai kuhisap pelan-pelan, melambungkan kembali akan perubahan sikap Neng Lili, yang kurasa sangat tak mengenakkan pikiran. 
"Apa Aku ada salah? atau memang dia ada masalah?" batinku mulai mencari-cari poin kesalahanku sendiri. 

Belum habis sebatang rokok yang tengah kunikmati, telingaku mendengar beberapa langkah kaki dari lantai atas yang menuju lantai bawah. menandakan jika ada terapis-terapis yang sudah di pilih tamu atau pelanggan tetap mereka. 
"Aming, ming..." satu suara memanggil namaku dari sebelah tangga. 
"Ya Ron." sahutku pada teman kerjaku, Roni. 
Kulihat dia mendekat ke tempatku duduk, wajahnya yang sedikit basah bekas keringat, tampak seperti tengah menahan kekesalan. 
"Ada apa Ron? kok kayak lagi jengkel banget?" tanyaku setelah ia duduk di kursi plastik, depanku. 
"Salahku apa coba, nanya baik-baik eee ... cuma diem tanpa menoleh. Sekalinya menoleh di sapa, malah melotot. Konyol." gerutunya yang membuatku mengerutkan kening. 

"Siapa yang kamu maksud Ron?" tanyaku.
"Itu tadi pas Aku lagi ngepel kamar no xx, biasa... Kamar kesukaannya sang primadona, pas kebetulan juga dia lewat, saat ku sapa, ya seperti itu tadi kejadianya." sahutnya sembari mengambil sebatang rokok.
Aku tertegun mendengar penjelasan Roni, Aku tau siapa yang Roni maksud meski tak menyebut nama. Tapi dari ucapan primadona dan no kamar yang di sebutkan, jelas yang di maksud Roni adalah Neng Lili. 
"Woi... malah ngalamun" seru Roni mengagetkanku. 
"Memang hari ini Neng Lili gak seperti biasanya Ron. Aku tadi juga sempat ketemu, tapi sama saja denganmu, di cuekin." ucapku pada Roni yang sesaat kulihat terdiam, setelah mendengar keluhku yang sama. 
"Barangkali memang lagi ada masalah dia. Ya cuma kesel aja tadi Aku." ucapan Roni kali ini Aku setujui. Sebab, hampir semua yang bekerja di tempat ini, mengenal sosok Neng Lili yang periang dan ramah tamah serta dermawan. Jadi wajar, jika Aku dan Roni atau mungkin semua, merasa heran dengan sikap diam dan acuhnya Neng Lili. 

Hari semakin beranjak sore, seiring ramainya para tamu, kesibukanku pun lumayan padat, hingga membuatku lupa dengan masalah Neng Lili. 
Sampai ketika tiba giliranku makan malam. Seperti biasa, nasi bungkus jatah dengan lauk ikan laut, siap kusantap di tempat yang sama, di bawah tangga. 
Tapi baru saja tanganku akan menyuapi mulutku, tiba-tiba suara langkah kaki dari lantai atas terdengar disertai bau wangi kembang kamboja, ya... baru ku ingat, jika parfum yang di pakai Neng Lili hari ini, beraroma bunga KUBURAN. 

Tanganku terhenti dan meletakkan kembali sejumput nasi beserta secuil daging, yang sudah hampir masuk kemulutku. Saat tiba-tiba Neng Lili sudah berdiri di samping kananku, wajahnya masih sama dengan yang kulihat pagi tadi, putih pucat.
"Ehh... Neng Lili, ada apa ya Neng?" sapaku heran. 
Sedetik dua detik, sampai beberapa kali tarikan nafas, tak ada jawaban darinya. Hanya tatapan matanya yang sayu, seperti menyimpan sesuatu yang ingin di ungkapkan, tapi sulit untuk ia ucapkan.  
Bulu kuduku mendadak merinding, ketika harum bunga kamboja sesaat memenuhi rongga hidungku.

Ingin rasanya meraih pundaknya, saat ia menunduk dengan suara isakan, yang terdengar lirih. Tapi tertahan dengan rasa takut yang entah dari mana datangnya, tetiba saja mulai menjalariku.
 Suasana kaku antara Aku dan Neng Lili bertahan selama beberapa menit, sebelum ia membalikan badan. Masih sempat kulirik matanya yang sembab akibat isakan tangis, sebelum ia benar-benar melangkah pergi dengan diam dan meninggalkan wangi bunga kamboja.  

Sampai jam 10, jam istirahat, setelah pertemuanku tadi, Aku tak bertemu atau melihat kembali Neng Lili.
Mungkin pulang duluan ke kost" pikirku, saat semua Terapis yang tak menempati mess keluar, Tapi tetap saja mataku tak melihat Neng Lili. 

Sampai di kost ku yang sederhana pun, pikiranku masih saja terfokus pada Neng Lili. Bukan masalah Aku suka atau apa, tapi Aku merasa ada yang janggal pada diri Neng Lili...

***

Hari selanjutnya, sikap Neng Lili tak banyak berubah. Ia masih acuh dan sesekali hanya menatapku dengan tatapan seperti kosong. Hal serupa juga di rasakan Roni, tapi tidak dengan yang lain. mereka seperti biasa-biasa saja, tak merasa aneh dengan perubahan Neng Lili. Bahkan, terkesan seperti tak melihat kehadiran Neng Lili. 

Hingga sampai hari ketiga dari perubahan sikap Neng Lili, kurasakan keganjilan yang benar-benar tak masuk akal. Tepatnya selepas waktu maghrib, saat Aku tengah menumpuk selimut dan handuk kotor di keranjang besi dorong. 
Ketika pikiranku yang tengah fokus pada pekerjaan, tiba-tiba saja telingaku mendengar suara rintihan tangis di tempat biasanya Aku dan tim OB istirahat. 

Sejenak kuhentikan pekerjaanku dan menajamkan pendengaranku, mengarahkan fokus pikiran pada suara tangisan cewek di bawah tangga.
Suara rintihan dan tangisan yang masih begitu jelas terdengar, membuat rasa penasaranku, mendorong kakiku untuk melihat dan memastikan siapa yang tengah menangis begitu pilu. 

Mataku tercekat mendapati satu sosok yang tengah duduk sembari terisak, rambutnya yang lurus dan hitam serta panjang sepinggang, menjuntai kedepan, menutupi wajahnya yang tertunduk. 
Sosok yang memakai kaos putih, dengan jeans panjang seperti tak asing bagiku. Apalagi di lihat dari suaranya jelas itu adalah Neng Lili. Tapi satu yang aneh, aku tak lagi mencium wangi bunga kamboja seperti biasanya, melainkan aroma amis dan busuk yang menyengak. 

Saat langkahku berhenti dua meteran dari sosok Neng Lili, suara tangisanya berhenti, seperti mengetahui kehadiranku di belakangnya. 
"Neng, kenapa Neng Lili menangis di sini?" tanyaku dengan sedikit gugup dan menutup hidung setelahnya. 
Neng Lili tetap diam, namun kepalanya perlahan menengadah dan menoleh kearahku yang masih menutupi hidung.
Rasa takut mulai menghampiri batinku, saat wajah cantik berlesung pipit Neng Lili, menatapku dengan sayu memelas. 
Guratan kesedihan terlihat jelas di wajah nya yang pucat seputih kapas, tapi bukan itu yang membuatku takut, Melainkan dua bulatan pada kulit luar matanya.

Pundakku semakin menebal saat Neng Lili bangkit dan mendekat kearahku, bau busuk dan amis semakin menyeruak takkala Neng Lili tepat berada di depanku. 
"Mas Aming, tolong Aku ... Mas Aming.  Tolong." ucapnya lirih dengan wajah pucatnya dan bibir membiru. 
"Tolong apa Neng." tanyaku dengan gugup. 
"Tolong bebaskan Aku, Tolong bebaskan Aku Mas Aming..." kembali ia berucap memohon, yang sama sekali tak kumengerti maksudnya. 

Sebelum kujawab kembali, tiba-tiba dari pintu arah samping yang menghubungkan lorong tempatku biasa mengantar selimut dan handuk kotor, Terdengar suara keras memanggil, membuatku terkejut dan memalingkan wajah.
Semakin keras suara panggilan yang ku hafal milik pak Farhan, mungkin karena tak ada sahutan dariku, atau mungkin aku sudah di tunggunya mengantar handuk dan selimut kotor. 
Setelah kujawab Teriakan Pak Farhan, Aku di kejutkan dengan sosok Neng Lili yang sudah tak berada di depanku. Juga bau amis dan busuk yang ikut lenyap, membuatku bingung dan merasa aneh. 
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close