Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NENG LILI (Part 4)


JEJAKMISTERI - "Eeegghh..."  lenguhan dan erangan memelas, menyentakku dari pada sosok perempuan yang masih menari-nari. 

Rasa iba yang sedari awal muncul, terkalahkan rasa kagetku, ketika suara sosok pengendara yang lirih, menyebut namaku di sela-sela erangannya. 

"Ming... Aaa..ming..." Pelan, lirih dan memilukan suara rintihan dari suara yang sangat kukenal. "Roni...!" ucapku dengan terkejut. 
Beberapa orang langsung menatapku, mereka juga memberiku jalan untuk mendekat ketubuh tak berdaya Roni. 
Aku yang duduk tersimpuh disamping tubuh lemah Roni, merasakan perih bagai tersayat menyaksikan kondisinya saat itu. 
Matanya mengerjap dengan mulut setengah terbuka, seperti sedang merasakan sakit yang teramat! 

"Eengggh" sesak, suara erangan Roni, menjadi penanda terpisahnya antara raga dan sukma, atau salam terakhirnya pada dunia. 
Sejenak ku palingkan wajahku kesamping, rasanya tak kuat melihat pemandangan begitu miris tapi menakutkan, akan kematian Roni. 
Matanya melotot dengan mulut melompong, darah yang sejak awal kulihat keluar dari hidung, setelah ia menghembusakan nafas terakhirnya, seketika darah keluar dan mengalir dari mulut, telinga dan kepala bawah, sampai menggenangi aspal hitam sekitaran kepalanya. 

Aroma amis yang menguap dari genangan darah Roni, tiba-tiba berganti aroma kembang kamboja di hidungku. 
Sedikit heran dan ingin kucari sumbernya, tapi ku urungkan, sebab dari belakangku beberapa orang polisi sudah berdiri. 

"Anda kenal dengan korban?" tanya salah seorang polisi kepadaku. 
"Iya pak, ini teman saya, Roni namanya." jawabku.
"Baik kalau begitu. Sekarang akan kami bawa korban kerumah sakit. Untuk masnya sendiri, tolong kabari keluarganya sekalian ajak kerumah sakit(******)" sahut Polisi umuran 50an.
"Baik pak." sanggupku langsung bangkit. 

Aku mundur dan sedikit menjauh, memberi ruang para polisi yang akan membawa mayat Roni kerumah sakit. Saat itulah kulihat kembali sesosok wanita yang menari-nari begitu riang, aroma wangi kamboja kembali menusuk hidungku, dan ternyata berasal dari tubuhnya yang putih hampir menyamai gaunya. 

Tubuhku sedikit gemetar ketika tatapan mata sipit menyorot tajam kepadaku. Apalagi, sepertinya tak ada satupun! dari sekian banyak orang yang menyadari kehadiran sosok wanita tersebut, kecuali Aku!

Satu tepukan di bahu dari seorang lelaki yang ku kenal akrab, menyadarkanku dari rasa tercekam. Matanya menatapku penuh makna disertai gelengan kepala seperti sebuah isyarat, yang membuatku penuh tanya. Belum hilang rasa terkejutku, dengan kehadiranya yang tiba-tiba, beliau menarik segera tanganku menjauh dari tempat itu. 

"Ming, cepat kamu kasih kabar ke orang tua Roni! Dan ingat! Jangan kamu tatap DIA lama-lama!" ucap Pak Farhan tegas, setelah membawaku menyebrang ke sebuah gapura kecil pintu gang. 
"Pak, Aku takut banget pak!" ucapku yang mungkin berwajah pucat sekali saat itu. 
"Sudah Ming, kamu tenang! Harusnya kamu itu bersyukur!" sahutnya menenangkanku. 
Ingin rasanya Aku menangis, menjerit, atau apalah yang mungkin bisa melegakan pikiran batinku. Tapi, suara dari tenggorokan dan air mataku rasanya enggan untuk keluar. 

Aku setengah berlari menuju rumah Roni, tanpa memikirkan lagi semua ucapan janggal dari Pak Farhan, yang juga sudah melangkah pergi, kembali ke lokasi kecelakaan. 
Suasana yang sudah mulai sepi di tiap-tiap lorong dan gang lingkup sekitar rumah Pakde Sarji, mendadak berubah ramai, setelah suara jeritan tangis dari ibu dan kakak Roni yang rumahnya bersebelahan, begitu keras dan memilukan. Aku sendiri tergagu di teras depan bersampingan dengan Pakde Sarji, yang terdiam seperti sangat terpukul dengan berita kematian anaknya, Roni. 

Kediaman Pakde Sarji malam itu di selimuti duka kesedihan yang sangat mendalam. Jerit tangis dan isakan serta suara tetangga, mencoba menenangkan Ibu dan Kakak Roni, masih terus terdengar meski sudah tak sekencang awal. Sampai Aku yang di minta menemani Pakde sarji dan beberapa aparat desa ke rumah sakit, tak kuasa membendung air mata. Padahal, menangis adalah salah satu yang tak pernah atau biasa aku lakukan, meski dalam keadaan sesakit apapun, tapi tidak untuk malam itu...

***

Setelah kejadian malam itu, dan sempat mengikuti prosesi pemakaman Roni, Aku terbaring lemah selama tiga hari. Untuk pulang kekampungku sendiri, entah mengapa rasanya enggan. Bahkan, sekedar memberi kabar keadaanku pada Orang Tuaku sendiri saja, waktu itu seperti ada rasa sungkan yang menghalangi. Tapi untunglah, berkat saran dan bantuan  tetangga-tetangga kost, di hari kempat, Aku sudah mulai kembali pulih. Namun kalau untuk bekerja, masih terlalu lemah. 

Malam itu, adalah malam ke lima setelah kematian Roni. Hujan lumayan deras pas waktu sore, menyisakan rintik-rintik gerimis sampai malam larut. 
Hawa dingin yang seharusnya di rasakan, tapi tidak untukku malam itu. 
Gerah, Panas, dan seperti senyap hambar yang kurasan di dalam kamar kostku. 
Suara canda tawa, atau musik dari tetangga kost yang biasa menghiasi, malam itu sama sekali tak ku dengar. Entah mengapa juga, Aku yang sudah mulai bisa sedikit demi sedikit melupakan kejadian-kejadian aneh dan menakutkan, dalam beberapa hari yang lalu, malam itu tiba-tiba saja seperti terputar kembali dengan sendirinya di otakku. 
Mulai dari Neng Lili, butik dan kecelakaan yang merenggut nyawa Roni. Serta yang paling membuat tubuhku berkeringat adalah bayangan wanita bermata sipit, bergaun putih panjang. 

Selagi pikiranku masih memutar memori ingatan, yang kemudian sampai pada Pak Farhan, tiba-tiba tengkukku terasa dingin oleh sapuan angin yang entah dari mana datangnya. 
Sejenak otakku ketarik menegang, manakala aroma khas menyeramkan yang sudah beberapa kali menghampiri hidungku, mendadak seperti memenuhi  kamar kostku. 

Wajahku semakin menegang di iringi rasa takut, saat suara ketukan pintu dari luar kamar kostku, terdengar pelan dan berjeda. 
Lama kudiamkan suara ketukan yang masih berulang-ulang, tanpa kusahuti dengan ucapan apapun. Sebab, rasa takut dalam diriku mulai menebal. 

Tubuhku benar-benar terasa dingin, ketika suara ketukan yang terjeda agak lama, berganti suara panggilan pelan menyebut namaku.

"Ming... Ming...  Aming..." 
Pelan dan lirih suara itu memanggil-manggil namaku, namun sanggup membuat keringat mengucur deras dari tubuhku. 
Aku paksa tubuhku yang mulai gemetar untuk duduk bersedeku disudut kamar, kututupi telingaku dengan kedua tangan dan menundukan wajah diantara dua lutut, tapi hanya berlangsung sebentar. Sebab, selang beberapa detik kemudian, suara ketukan di kaca jendela kamar yang hanya tiga lembar bersusun tangga, memaksa wajahku untuk menengadah dan menatapinya.

Cahaya dari lampu belakang yang lumayan terang, membantuku melihat dengan jelas satu wajah amat kukenal dari balik kaca jendela, sedang menatapku sayu. 
Wajahnya putih pucat dengan bibir biru kehitaman, terlihat gurat kesedihan dari pancaran matanya, seperti ada satu penyesalan yang mendalam. 
"Ming... maafkan Aku Ming." ucap sosok Roni pelan, tapi tetap saja, setiap suara yang keluar dari bibirnya menambah tubuhku menggigil. 
Beberapa kali suara meminta maafnya di ulang-ulang, sampai akhirnya kuberanikan diri menyahut dengan mengiyakan, dan juga balasan meminta maaf dariku padanya. Tapi sosok Roni masih juga tetap berada di balik jendela, hingga beberapa kalimat sebelum sosoknya menghilang, membuatku bingung di buru rasa penasaran. 
"Ming, kamu harus pergi dari di tempat itu. Pak Farhan... Pak Farhan... Pak Farhan. Maafkan Aku Ming." itulah ucapan, kalimat, yang terakhir kudengar sebelum sosok Roni menghilang, meninggalkan bau wangi kamboja dan tanda tanya di benakku...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close