Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OMAH POJOK PERTELON (Part 2 END)


JEJAKMISTERI - "Percoyo saiki, Da?" (Percaya sekarang, Da?)

Diam, lagi-lagi yang bisa di lakukan Rida sampai beberapa lama. 

"Dewe kudu pindah seko kene, Da" (Kita harus pindah dari sini, Da) sambung Novi masih di iring isakan. 

"Tenango disek, Nov. Mengko le rembukan, dewe ngenteni Lina muleh" (Tenang dulu, Nov. Nanti kita bicarakan, nunggu Lina pulang) jawab Rida pelan.

"Tokkk....Tokkk....Tokkk..."

Baru saja bibir Rida terkatup, dari depan terdengar ketukan keras di pintu berulang-ulang. Sejenak membuat keduanya terperanjat, sebelum Rida yang mengalah untuk bangkit, berjalan ke depan. 

Saat bersamaan, mata Rida melirik ke lantai. Bersih, tak ada lagi jejak kaki, tak ada lagi aroma amis. 

"Klekkk...."

Terbukanya pintu, memunculkan kerutan pada dahi Rida. Mendapati sesosok lelaki berdiri dengan posisi membelakangi, sedikit membungkuk. 

"Maaf, siapa ya?" tanya Rida pelan.

Sosok itu perlahan menegakkan tubuhnya, kemudian berpaling. Membuat Rida tersurut mundur selangkah, menyadari keanehan pada lelaki yang hanya berjarak tiga langkah dengannya.

"Ada perlu apa, Pak?" tanya Rida kembali.

Lelaki itu masih saja terdiam. Namun bola matanya yang belong ke bawah, kemudian terangkat, menatap lekat pada Rida. 

"Pak, Bapak ini siapa dan mau apa!?" Mengeras kali ini suara Rida, karena kecemasan yang mulai menggayuti.
Namun, lelaki bertubuh gempal dengan perut membuncit itu tetap tak bergeming. Bahkan semakin menajamkan tatapannya. 

"Ya sudah, Pak. Saya mau ke dalam!"
Rida yang sudah terbauri antara cemas, takut dan jengkel, secara halus berucap mengusir serta berniat menutup pintu. Tetapi Belum sempat tanganya menyentuh handle, lelaki berwajah pucat pasi itu tiba-tiba menggedekan kepalanya sambil berkata..

"Ngaliho seko kene, ngalih... ngalih... ngalih...." (Pergilah dari sini, Pergi... pergi... pergi....) Suara lelaki itu lirih dan serak, seakan tenggorokannya tersumpal oleh sesuatu. Dari nafas yang terhembus, aroma sangat arus terkandung menyesak dada Rida. 

Setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki yang hanya bercelana jeans tanpa penutup bagian atas, membalikan tubuh dan berlalu. Namun ia melangkah bukan ke luar halaman rumah, tetapi menuju sisi kiri rumah. 

Rida yang masih merasakan mual pada perutnya segera menutup pintu. Melangkah cepat menuju belakang, tapi tertahan oleh sosok Novi yang berdiri gemetar di samping pintu kamar. 

"Seng mbok temoni kui mau, iku seng tak delok nang pojok kunu!" (Yang kamu temui tadi, itu yang aku lihat di sudut sana) 

"Maksudmu kae mau berarti..." (Maksudmu itu tadi berarti...)

Belum sempat Rida menyelesaikan ucapannya, Satu jeritan melengking menyentak dalam rumah itu. Membuat keduanya terjingkat, seraya bersama menolehkan wajah ke arah belakang, tepatnya di kamar mandi. 

Beberapa kali lolongan menyayat suara wanita itu berulang. Dan pada tiap-tiap jeritanya selalu terjeda oleh suara seperti benda terjatuh ke dalam air, menimbulkan suara gebyuran yang keras. 

Belum sempat berkurang ketegangan yang tercentang pada wajah Rida dan Novi, tak lama harus kembali menguap kuat, manakala dari kamar yang di tempati Lina, suara gedoran keras ikut meramaikan suasana malam di rumah itu. Tubuh keduanya tak luput seketika melemah dingin, gemetar dan saling merapat. 

"Brakk....!" 

Tak lagi berdaya, tak juga mampu mengeluarkan suara, Rida dan Novi hanya pasrah, menyaksikan gebrakan pintu kamar terbuka paksa, memunculkan bocah kecil berambut sedikit keriting berlari keluar dari kamar menuju ke kamar mandi. 

Setelah anak perempuan berumur sekitar delapan tahunan itu masuk, Rida dan Novi tak lama mendengar suaranya ikut menjerit, memohon-mohon ampun serta belas kasihan. 

Detik berikutnya, keheningan menghimpit ketakutan Rida dan Novi sejenak. Namun hanya beberapa puluh detik saja, lalu kembali terlihat pemandangan menghampar kesadisan, di mana dari dalam kamar mandi terlihat seorang lelaki berperut buncit tak berbaju keluar sambil menyeret dua tubuh sekaligus dalam keadaan berlumuran darah. 

Lelaki bertubuh gempal itu terus menyeret menuju ke kamar yang di huni Lina. Tak perduli dengan ceceran darah membercak mengotori lantai, juga tangisan merintih lirih dari bibir seorang wanita berusia tiga puluhan tahun dan bocah bertubuh kurus yang ia seret.

Tak berhenti itu saja, setelah masuk ke dalam, lagi-lagi terdengar suara benturan di tembok hingga beberapa kali. Kemudian lengkingan keras serentak membahana dari suara wanita dan bocah itu, menutup keriuhan menjadi keheningan setelahnya. 

Novi dan Rida yang tak terlukis lagi ketakutannya, tersimpuh di lantai. Nafas keduanya tersengal di samping tubuh yang basah oleh keringat, setelah menyaksikan kejadian seolah sangat nyata di hadapan mereka. 

"Da, Nov! ngopo ndeprok nang kunu?" (Da, Nov! kenapa bersimpuh di situ?) 
Lina, yang baru saja pulang terkejut melihat kedua temannya terduduk dengan wajah basah pucat pasi. Kemudian dengan cepat ia memapah bergantian antar Rida dan Novi, membawanya ke dalam kamar, sadar jika kedua temannya itu tak main-main. 

"Rida, Novi, koe kenek opo!" (Rida, Novi, kalian kenapa!) 
Bingung, panik, saat itu Lina yang tak berhasil menyadarkan dua sahabatnya. Segala cara telah dirinya lakukan, mulai dari memanggil, menggunjang, namun tetap saja tak mampu membuat Rida dan Novi membuka mata. 

Dalam suasana kecemasan, Lina yang teringat sesuatu segera bergegas menuju kamarnya. Mengobrak-abrik tasnya, mencari sesuatu yang dirasa bisa untuk menolong temannya. 

Setelah teracak-acak, akhirnya Lina menemukan sesuatu yang ia cari, sebotol kecil minyak cap kapak, menumbuhkan harapan agar Rida dan Novi bisa siuman. 

Tetapi, belum sempat kakinya keluar dari lantai kamar yang di tempatinya, matanya tetiba melolong tajam tertuju pada lelehan darah menempel di tembok, bersama dua tubuh di bawahnya dalam keadaan mengerikan. 

Dua tubuh dari seorang wanita muda dan seorang bocah itu di penuhi lumuran darah. Kedua bola matanya melotot, serta bagian kepala atas remuk, mengelupas, menyisakan warna putih dari tulang-tulang batok kepalanya. 

Lina yang sudah gemetar dan tak sanggup untuk melihatnya, perlahan mundur setapak demi setapak hingga sampai di ambang pintu. Kemudian ia  membalikan badan, namun belum sempat kakinya melangkah, tepat di depannya, berjarak sejengkal saja dari wajahnya, sepasang kaki membiru menghalang. 

Sebelum menerobos juntaian dua kaki menggantung, sebentar Lina mendongak, menatapi pelan sampai ke ujung atas, mendapati seraut wajah lelaki menjulurkan lidahnya. 

Lototan bola mata dari lelaki yang tergantung dengan seutas tali tambang, seperti tepat menyorot ke arah Lina. Membuat tubuhnya goyah, terhuyung, namun tak sampai roboh. 

Merangkak pelan, Lina akhirnya sampai di kamar tempat Novi dan Rida terbaring. Selanjutnya dengan sisa tenaga dan keberanian, Lina naik mengoleskan minyak yang ia genggam. 

Tangisan berisak dalam cekaman ketakutan meriuhkan kamar paling depan, di mana setelah tersadar Rida dan Novi saling berpelukan satu sama lain. 
Kondisi ketiganya saat itu benar-benar lemah. Tak lagi mampu untuk sekedar menyahuti seruan memanggil beberapa suara, berasal dari arah teras depan. 

Satu menitan suasana terjeda kesunyian. Hanya suara langkah-langkah kaki bersliweran yang terdengar, seperti tengah mengitari seluruh bagian luar rumah. 
Berselang lima tarikan nafas, suasana kembali riuh. Berasal dari gedoran beruntun di pintu depan, seperti ingin membuka paksa. 

Namun kali ini, mendengar gedoran di sertai teriakan, justru membuat wajah ketiga gadis ayu berubah penuh harapan. Oleh karena keramaian di luar, mereka yakini dari para warga setempat, bukan dari para penghuni alam lain. 

Setitik harapan itu akhirnya menguatkan mereka untuk bersama bangkit, keluar dari kamar dengan tertatih. Lalu berubah raungan keras, luapan terlepasnya mereka dari ketakutan, saat puluhan orang memapah keluar dari dalam rumah, menuju ke sebuah rumah milik salah seorang warga. 

"Alkhamdulillah selamet kabeh awakmu, Nduk" (Alkhamdulillah selamat semua kalian, Nak) ucap seorang wanita berhijab kurung, memanjatkan rasa syukur, melihat Novi, Rida dan Lina, berangsur membaik setelah meneguk masing-masing segelas air putih yang ia berikan. 

"Kok iso ngene iki piye to Nduk critane" (Kok bisa begini ini bagaimana to Nduk ceritanya) ujar seorang lelaki sedikit sepuh, berkopiah hitam dengan setelan baju koko dan sarung bergaris pinggir. 

Ketiganya sebentar terdiam mengatur nafas, sebelum Rida, yang awal mendapatkan tempat itu menegakkan tubuh untuk menceritakan semuanya. 

Anggukan dan beberapa kali gelengan kepala dari beberapa orang yang ada di ruangan itu, menyambut jalan cerita yang di ungkap Rida. Rerata mereka terlihat begidik ngeri, kecuali dua lelaki yang berpakaian kontras. 

"Awakmu kui coro jowone keno Selong. Mergo Mbah Bari iku wes ninggal pirangane taun kepungkur" (Kamu itu ibarat ilmu jawanya terkena sihir mengurung sukma. Karena Mbah Bari itu sudah meninggal beberapa tahun silam) ujar lelaki tua berkain batik panjang. 

"Biyen iku, lemah seng di dekno omah kae, jane tegalan biasa. Neng sak bare kedaden ribut geden tahun sangang puluhan, lemah iku dadi ngeres. Mergo akeh wong mati di kubur nang kunu tanpo di rumat" (Dulu itu, tanah yang di dirikan rumah sekarang, sebenarnya pekarangan biasa. Tapi setelah terjadi kerusuhan besar tahun sembilan puluhan, tanah itu jadi angker. Karena banyak orang meninggal di kubur di situ tanpa di sucikan)

"Seng duwe kui asline wong sebrang seng wektu iku di gegeri. Mergo sak keluarga di pulo soro ngasi mati, akhire lemah kui di kuasai ndeso. Di dol nang wong tuone Bari, terus di kekne Bari, di dekne omah pengobatan awal-awale" (Pemilik pertama itu aslinya orang tanah sebrang yang waktu itu di ributkan keberadaanya. Karena semua keluarganya ikut jadi korban penganiayaan hingga meninggal, akhirnya tanah itu di ambil pihak desa. Di jual kepada orang tuanya Bari, terus di berikan ke Bari, di dirikanlah rumah praktek pengobatan awal-awalnya) Sambung lelaki jangkung yang di kenal sesepuh di Desa itu. 

"Artine memang Bari iku Dukun Biyene, Mbah?" (Artinya memang Bari itu dukun dulunya, Mbah?) tanya salah seorang dari beberapa warga yang ikut berkumpul. 

"Pertamane dukun pengobatan, suwi-suwi mbukak praktek ndobelne duwet. Mulo seng teko waktu iku tamune roto-roto seko adoh-adoh. Neng kahanane Bari mek dukun obat, akhire dekne nglakoni coro opo ae, misal di kejar karo pasien seng do setor duwet akeh, salah sijine korban seng ganggu nduk-nduk iki" (Pertamanya dukun pengobatan, lama-lama bukak praktek penggandaan uang. Makanya yang datang waktu itu tamu dari jauh rata-rata. Tapi karena Bari itu hanya dukun obat, akhirnya dia melakukan apa saja ketika di kejar para pasien yang sudah terlanjur setor uang banyak, salah satunya yang jadi korban, yang mengganggu Nduk-Nduk ini)

"Wektu iku pas Bari di grebek Polisi, sak ilingku ono wong pitu seng di kubur gok njero omahe. Bocah cilik e siji, wedok loro, lanange papat. Iku seng sekeluarga matine mergo seng lanang di apusi, di kon mateni anak bojone jare kanggo syarat, seng wektu iku melu runu, sak bare seng lanang di gantung gon lawang" (Waktu itu saat Bari di tangkap Polisi, seingatku ada tujuh orang yang di kubur di dalam rumahnya. Satu anak kecil, dua perempuan, empat lelaki. Itu yang satu keluarga meninggalnya karena si Suami di bohongi. Di suruh membunuh anak dan istrinya bilangnya untuk syarat yang waktu itu ikut ke situ, setelahnya si Suami ini di gantung di pintu)

"Mulo sampek saiki gak ono wong gelem nuku, masio murah, pisan angker mergo akeh nyowo seng di kubur, kelorone madep pertelon pas. Pendelokanmu omah iku resik nduk, neng sak bare iki, sisok isuk delok en meneh, bakal ngerti asline" (Makanya sampai sekarang tidak ada orang mau membeli, walau murah. Pertama angker karena banyak nyawa terkubur, ke dua karena menghadap pertigaan tepat. Penglihatanmu rumah itu bersih Nduk. Tapi setelah ini, besok kamu lihat kembali, akan tau aslinya)

"Nek saiki seng nduweni omah iku sopo, Mbah? terus Bari ninggale?" (Kalau sekarang yang memiliki rumah itu siapa, Mbah? terus Bari meninggalnya?) tanya lelaki berkopiah, tak lain sang tuan rumah, Suami dari wanita berhijap yang mendampingi Rida, Lina dan Novi. 

"Saiki seng nduweni adine Bari. Neng wonge wes pindah adoh, sak bare Bari ninggal nang penjara. Bari iku gak mbojo, dadi gak nduwe garis turun" (Sekarang yang memiliki adiknya Bari. Tapi orangnya sudah pindah jauh, setelah Bari meninggal di penjara. Bari itu tidak beristri, jadi tidak mempunyai anak keturunan) 

Semua orang yang mendengar itu terdiam, tertegun, meresapi cerita ngeri di balik Rumah pertigaan yang hanya mereka dengar sekedar angker, tanpa tau sejarah kelam di balik keangkeran itu sendiri. 

"Untung Nduk, mau kok kang-kang iki do krungu suoro lehmu do njerit-njerit" (Untung Nduk, tadi kok mas-mas ini mendengar suara kalian menjerit) ujar wanita berhijab, sambil mengusap kepala Novi yang duduk tepat di sampingnya. 

"Kami ki ngiro nek cah telu iki lagi KKN. Makane gak wani marani waktu pertama ngerti manggon kunu" (Kami ini mengira kalau tiga cewek ini sedang KKN. Makanya tidak berani menghampiri waktu pertama tau menempati rumah itu) sahut salah satu pria muda yang ikut menyelamatkan Novi dan dua temannya. 

Obrolan panjang lebar masih sekitaran Rumah Pertelon itu terus berlanjut hingga larut malam, walau tanpa Novi, Rida dan Lina. 
Ketiganya mengiring Wanita berhijab untuk menuju sebuah kamar. Merasai ketenangan setelah tercekam ketakutan luar biasa, oleh satu kejadian yang bakal membekas seumur hidup ketiganya...

TAMAT

close