Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OMAH POJOK PERTELON (Part 1)


JEJAKMISTERI - Awalnya, saya gak begitu merespon saat tiga orang gadis ayu datang dengan wajah cemas, cuek ketika mereka mulai cerita, curhat gitu, lah.... 

Kebetulan waktu itu teman seprofesi yang menyambut, mendengarkan mereka. Tapi di pertengahan saya dengar obrolan mereka semakin menarik, menyangkut hal tak kasap mata, mulailah saya seksama ikut mendengarkan. 

Alhasil dapatlah cerita sepanjang dua part ini, atas ijin mereka serta empunya tempat. Seperti biasa... dengan syarat nama dan lokasi wajib di samarkan. 

*****

"Lin, Aku wes oleh omah sewo, lumayan murah misal di songgo wong telu" (Lin, Saya sudah dapat rumah sewa, lumayan murah misal di angkat bertiga) 
Farida, atau biasa di panggil Rida, dengan antusias menghampiri Lina, teman satu Kampus namun berbeda jurusan.

"Gon ngendi, Da?" (Di mana, Da?) sahut Lina tak kalah semangatnya.

"Iku lo... cedak e tower, pojok kiwo pertelon seng arep mlebu nang kost e dewe. Aku wes nilek i karo seng di pasrahi" (Itu lo... Dekatnya Tower, sudut kiri pertigaan yang akan masuk ke kost kita. Saya sudah survei dengan yang di percayai merawat) Terang Rida. 

Lina diam sebentar, seperti tengah membayangkan lokasi yang di jelaskan Rida. 
Selagi berpikir dan belum sempat berkomentar, dari seberang jalan kantin tempat biasa nongkrong para Mahasiswa/Mahasiswi, lambaian tangan dari seorang gadis seumuran mereka, sejenak menunda lanjutan obrolan Rida dan Lina.

"Nah, Pas iki. Dewe wong telu nyewo omah iku. Selain ringan, yo jembar" (Nah, pas ini. Kita bertiga sewa rumah itu. Selain murah, juga lebar) Ujar Rida sembari tersenyum, membuat gadis ayu berambut sepundak yang baru datang, sedikit bingung. 

Di temani minuman rasa buah kesukaan masing-masing, pembahasan tentang rencana untuk pindah kost dan menyewa sebuah rumah dengan alasan sempitnya tempat kost lama, berlanjut serius. Hingga tercapai kesepakatan untuk mengambil sebuah tempat yang telah Rida datangi, dengan biaya patungan. 

Setelah obrolan siang itu dan saling setuju, segala sesuatu pun di percayakan Rida sepenuhnya. Mengingat, dialah diantara Lina dan Novi yang paling hafal sekitaran tempat itu, juga paling memiliki waktu senggang. 

Sabtu, tanggal Tiga Belas, memasuki waktu senja, tiga gadis dengan latar belakang berbeda, jurusan berbeda meski dalam satu kampus, berkemas meninggalkan Kost lama Mereka, menuju sebuah hunian baru. Sebuah Rumah bercat kuning dominan, berpagar tembok dengan terusan kawat berduri mengelilingi, yang bakal menjadi tempat baru bagi ketiganya. 

Dari depan rumah itu terlihat asri dan bersih, meski terletak tak jauh dari jalan hitam aspal, lintas satu arah.
Mempunyai halaman cukup luas, bertumbuh bunga warna-warni serta sepokok pohon Rambutan rindang menjulang, menambah nuansa indah rumah itu, juga mencerminkan perawatan yang baik, walau telah lama di kosongkan. 

"Gone anyes temen, Da?" (Tempatnya dingin sekali, Da?) ujar Novi saat baru menjejakan kaki di dalam.

"Malah penak to gak kudu nganggo kipas opo AC" (Malah enak to tidak harus pakai kipas atau AC) jawab Rida sembari meletakan koper miliknya di ruangan berlantai keramik, tepat di depan dua buah pintu berjejer tanpa lapisan kain horden. 

"Dewe ngenggoni kamar seng endi iki? opo kudu sak kamar-sak kamar?" (Kita menempati kamar yang mana ini? apa harus satu kamar masing-masing?) tanya Lina setelah tau bila rumah itu mempunyai tiga kamar, dengan dua berjejer bersekat tembok yang saat itu ada di hadapan mereka. Sedangkan satunya berada sedikit kebelakang, sebelah kiri berbatasan langsung dengan dapur dan kamar mandi. 

"Nek jare pak Bari, dewe oleh ngenggoni kamar loro iki tok. Seng siji kui, isine barang-barange seng nduwe omah" (Kalau kata Pak Bari, kita boleh menempati dua kamar ini saja. Yang satu itu, isinya barang-barang yang punya Rumah) jawab Rida, menjelaskan. 

Mendengar ucapan Rida, Lina kemudian berpikir dan menyarankan untuk menggunakan dua kamar itu. Namun lain dengan Novi. Gadis yang bercita-cita menjadi seorang Apoteker itu menginginkan mereka tinggal satu kamar.

Satu alasan yang sebenarnya ingin di ungkapkan Novi atas permintaannya saat itu. Tetapi sungkan untuk keluar dari bibirnya, mengingat dirinya tau watak dua temannya sejak kecil yang memang berasal dari satu desa, tak akan mempercayai bakal alasannya. 

"Wes, ngene ae. Kamar loro iki di nggo kabeh, bebas misal arep turu nangdi ae. Wong yo dewe ki jadwal kuliahe gak tau bareng" (Sudah, begini saja. Kamar dua ini digunakan semua, bebas semisal mau tidur di mana saja. Lagian kita itu jadwal Kuliahnya tidak pernah sama) ucap Rida memutuskan.

Bersih namun sinung, lagi-lagi di rasakan Novi begitu memasuki kamar yang letaknya paling depan bersama Rida.
Bahkan beberapa kali ia mengusap leher belakangnya, merasai hembusan aneh, seperti sebuah tiupan.

Perasaan tak nyaman itu di rasakan Novi hingga tiga hari berturut-turut. Tetapi anehnya, hal itu hanya terjadi ketika sore menjelang malam.

Masuk di hari ke empat, tepat setelah waktu Asyar, Novi yang kebetulan pulang lebih cepat dari Rida dan Lina, merasa ragu untuk berada sendiri di dalam rumah. Apalagi saat itu langit tengah di rundung gumpalan mendung-mendung berserak, membuat ketidaknyamanannya semakin menguat. 
Namun baru saja berniat ingin keluar sekedar mencari makan sambil menunggu kepulangan dua temannya, rintikan air hujan menghalangi. 

Menunggu beberapa saat tapi tak juga mereda, mengurung diri dalam kamar akhirnya menjadi pilihan Novi.

Mulanya ia seperti biasa hanya sebatas merasai hembusan dan hawa aneh. Namun petang itu, berselang beberapa menit dari sebuah terpaan angin dingin menusuk, hidungnya membaui beberapa wewangian yang khas, antara aroma kembang dan minyak pembalur mayat. 

Novi pun terdiam dalam cekatan tak nyaman. Batinnya kemudian tergerak untuk bangkit dari pembaringan, berusaha menghindari bau yang semakin tajam menusuk rongga penciumannya. 

Tiba di ruang tamu yang hanya terdapat dua buah kursi plastik berwarna biru, Novi menghenyak sambil menatap halaman depan dari balik kaca. Pikiranya yang sudah tak tenang, sedikit terselingi oleh tetesan-tetesan air hujan berirama tiupan angin.

Selagi dalam keasyikan menatapi curahan Rahmad dari Sang Pencipta, tanpa Novi sadari jika waktu telah beranjak malam. Ia baru tergagap saat melihat sekitaran ruang tamu telah gelap. 

Bergegas Novi bangkit untuk menghidupkan lampu. Satu langkah kakinya berayun, tersambut suara keras dari teras samping sebelah kamar yang ia huni.

"Duukkk... Duukkk... Dukkk..."

Tak hanya sekali, suara derapan kaki berlari berulang sampai tiga kali. Membuatnya tertegun, menerka-nerka. 

Sekian detik diam menunggu dan tak lagi terdengar, Novi melanjutkan niatnya, melangkah mendekati saklar lampu yang menempel di dinding ruang keluarga. 

Satu kali pencetan ujung jarinya, membuat seisi ruang rumah itu terang tersorot cahaya putih dari tiap-tiap balon yang tergantung. Dari situ juga sebuah pemandangan aneh kembali terpampang di hadapan Novi. 

Kali ini bukan suara kaki berlarian, namun bercak tapak-tapak menempel di lantai keramik, menggambar bekas jejak kaki ukuran orang dewasa.

Jejak itu begitu sempurna layaknya melangkah terarah. Menunjuk ke belakang, berawal dari ambang pintu kamar yang di tempati Lina.

Terheran, membuat Novi tanpa sadar mengurut bekas jejak itu. Mengikuti setapak demi setapak, sebelum mendadak terhenti kala keganjilan kembali menghambat. 

Pikiran Novi saat itu langsung merekam ulang dengan apa yang di rasanya sewaktu dalam kamar. Membaui aroma wangi kembang dan Minyak, sama persis dengan yang sedang ia cium, seperti berasal dari bercakan menggambar jejak kaki.

Membuatnya merinding, Novi mengurungkan niat, dan berbalik menuju kamar. Sampai di dalam, ia langsung merebahkan diri, menutupi seluruh tubuhnya dengan selembar selimut berbulu lembut. 

Desahan nafas memburu terus saja mengiringi gerak cepat dadanya meski tak lagi mencium atau mendengar sesuatu yang ganjil. Hal itu baru sedikit terasa longgar, manakala suara krietan pintu terbuka, membangkitkan harapan, jika itu adalah Lina dan Rida yang telah pulang. 

Hampir sepuluhan tarikan nafas setelah suara terbukanya pintu, Novi tak mendapati apa-apa. Tak ada suara langkah, tak ada ucapan salam atau obrolan dari dua temannya yang biasa ia dengar saat keduanya entah pulang dari manapun.

Menunggu dalam beberapa detik, keberanian Novi kembali muncul. Perlahan bangun dan bergegas, berniat menilik pintu yang terdengar terbuka. Tetapi baru tiba di ambang pintu, lagi-lagi Novi sudah hampir tersurut mundur, Menyaksikan seluruh ruangan begitu gelap kecuali dalam kamarnya. 

"Eeee... Eeeeee....."

"Lin, Rid,..." panggil Novi dengan suara lebih keras dari tangisan lirih yang baru saja ia dengar. 

"Eeeee... Eeeee... Eeeee...."

Terus dan terus tangisan dari dua suara bersamaan, wanita dewasa dan bocah perempuan, menjawab panggilang Novi. Membuatnya tersadar bila bukanlah sosok temannya yang menangis, melainkan ada penghuni lain di rumah itu. 

Novi lalu memaksa tubuhnya bergerak kembali masuk dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Kemudian menyandarkan tubuhnya di sudut kamar, di atas kasur busa berbalut kain halus berwarna cream. 

Isakan tangisnya mulai ikut mengiringi suara tangisan yang masih nyaring terdengar seperti berada di kamar sebelah. Tubuhnya dingin, memucat dan lemah tanpa daya, terkalahkan oleh rasa takut teramat sangat. 

Belum lepas dalam saruan suasana mencekam, ketukan pintu depan berulang menambah tubuh Novi gemetar. Tetapi tak berapa lama, ketukan itu berhenti, berganti suara lelaki tua memanggil.

"Mbak... Mbak...."

Hal itu langsung merubah raut Novi. Ia segera bergegas melangkah cepat keluar dari kamar. 

Sebelum menghampiri seruan di depan, Novi menyempatkan kembali menghidupkan lampu. Lalu tergesa menuju pintu utama, yang terdapat seorang lelaki berusia lima puluhan lebih, berdiri tegak di ambang luar. 

"Sepurone, Mbak, ganggu" (Mohon maaf, Mbak, mengganggu) ucap lelaki berkaos lengan pendek yang tipis menerawang, bergambar sebuah logo partai.

"Njeh, Pak. Enten nopo?" (Iya, Pak. Ada apa?) sahut Novi dengan suara serak. 

"Namung bade nyanjangi, Mbak. Menawi pas wedal Maghrib, sedoyo lampu kedah urep" (Cuma mau bilang, Mbak. Kalau sudah masuk waktu Maghrib, semua lampu harus di hidupkan) ujar lelaki itu, dengan mimik muka sedikit tegang. 

"Njeh, Pak. Wau nggeh pun kulo uripaken, nanging mboten ngertos kok pejah kiambak" (Iya, Pak. Tadi juga sudah saya hidupkan, tetapi tidak tau kenapa, kok bisa mati sendiri) terang Novi menjelaskan. 

Ucapan Novi kali ini menambah ketegangan menyirat jelas di kerutan wajah lelaki itu. Bahkan ia terlihat risau, terekam dari beberapa kali wajahnya menoleh ke sisi kanan dan kiri seperti ada yang ditakutkan. 

"Nggeh sampun nek ngoten, Mbak. Kulo nyuwun pamit" (Ya sudah kalau begitu, Mbak. Saya mohon pamit)

Aneh pikir Novi melihat sikap Lelaki yang belum ia ketahui siapa. Dirinya hanya bisa mengangguk ketika sosok lelaki seumuran orang tuanya itu mengatupkan dua telapak tangan tanda berpamitan, sebelum berjalan keluar pagar. 

Di saat yang sama, setelah lelaki itu menghilang tertutup tembok dan gelapnya malam, dari gerbang pagar tak berpintu muncul Lina dan Rida. 
Seketika juga, kelegaan mengganti degupan rasa takut, menghembus dari wajah Novi. 

"Nopo kowe ngadek dewean nang teras wengi-wengi, Nov?" (Kenapa kamu berdiri sendiri di teras malam-malam, Nov?) tanya Lina yang berjalan di depan Rida, terheran. 

"Iki mau bar ono bapak-bapak rene, ngandani, kon nguripi lampu sak durunge Maghreb (Ini tadi habis ada bapak-bapak ke sini, bilang, suruh hidupkan lampu sebelum Maghrib) jawab Novi. 

"La kowe muleh jam piro?" (La kamu pulang jam berapa?) tanya Rida, setelah berdiri di samping Lina. 

"Aku muleh jam limo. Wes saiki mlebu disek" (Saya pulang jam Lima. Sudah sekarang masuk dulu) jawab Novi, sambil menarik tangan dua sahabatnya untuk masuk.

Setiba di dalam, tepatnya berada di salah satu kamar, Novi mulai menceritakan satu persatu hal aneh yang ia alami. Alih-alih mendapat solusi, atau dukungan menguatkan, Novi malah menjadi ledekan Rida dan Lina. 

Sebetulnya hal itu sudah dirinya duga. Dari dahulu, Farida dan Marlina memang tak mempercayai perkara takhayul, atau apapun yang berbau mistis. Tetapi pikir Novi, dengan ia bercerita setidaknya untuk menjaga-jaga, bahkan berharap bisa di jadikan pertimbangan dua temannya itu untuk pindah. 

"Iki kekeselen kowe, Nov. Mangkane ngasi kegowo halusinasi" (Ini kecapekan kamu, Nov. Makanya sampai terbawa halusinasi) ucap Lina tak percaya.

"Sak karepmu ae, lah. Arep percoyo opo ora. Tapi aku wes kondo opo enek e" (Terserah kalian saja, Lah. Mau percaya apa tidak. Tapi saya sudah bilang apa adanya)

"Iyo... Iyo, Nov. Saiki mangan disek ae, gampang urusan demit-demit iku" (Iya... Iya, Nov. Sekarang makan dulu saja, gampang urusan setan-setan itu) Sergah Rida berbumbu candaan. 

Meski wajah Novi merah, tak puas akan tanggapan Lina dan Rida, ia memilih menyudahi perdebatan dan menuruti dua temannya untuk keluar kamar, bersantap bersama. 

Setelah selesai, Novi pun memilih kembali masuk ke dalam kamar. Merebahkan tubuhnya, berharap tak lagi merasai hal apapun yang membuatnya takut. 

Tetapi hal itu tak sepenuhnya terwujud. Sebab ketika matanya terkatup, selalu di penuhi dua bayangan sesosok wanita dan seorang bocah perempuan, masuk tergambar tengah menagis, merintih dalam kubangan lelehan darah. 

Berkali-kali dan selalu terulang, membuat Novi tak tahan lalu terbangun.

"Nopo Nov, kok gelisah ngunu" (Kenapa Nov, kok gelisah begitu) tanya Rida, yang baru masuk setelah membersihkan tubuhnya. 

"Jujur gak tenang blas aku, Da. Bayangan wong wedok karo bocah cilik nangis, ketok-ketok en nang mripat" (Jujur tidak tenang sama sekali Saya, Da. Bayangan perempuan bersama anak kecil menangis, menggambar terus di depan mata) jawab Novi pelan. 

"Moco Doa nek arep turu, ki" (Makannya Baca Doa kalau mau tidur) sahut Rida cuek, sambil terus menyisir rambutnya. 

"Uwes, Da. Tapi panggah ae. Aku dadi ngroso, nek omah iki gak beres" (Sudah, Da. Tapi tetap saja. Saya jadi merasa, kalau rumah ini tidak beres) Sanggah Novi dengan raut merengut. 

Namun ucapannya tetap saja di tanggapi dingin oleh Rida. Bahkan tak berselang lama, Rida yang selesai berhias ringkas, berbaring menutup telinganya dengan sepasang Handset sambil memejamkan mata. 

Malam itu benar-benar membuat lelah pikiran Novi. Berusaha sekuat apapun untuk terlelap menyusul temannya, namun kelopak matanya seakan terganjal, sampai lantunan suara Tarhim berkumandang. 
Semua kejadian itu membuat Novi harus bangun terlambat. Tergesa dalam menyiapkan bekal untuk ke kampus, tertinggal oleh Rida dan Lina yang telah lebih dulu berangkat. 

Menjelang sore hari, nafas lega terdengus keluar dari bibir dan penciuman Novi, mendapati Rida telah berada di rumah. Sedang Lina, dirinya tau bila ia paling sibuk oleh karena jurusan yang di ambil mewajibkan waktu lebih banyak. 

Berbasa-basi sejenak, Novi meninggalkan Rida sendiri di teras. Menuju kamar sebentar, kemudian keluar melangkah ke kamar mandi. 

Sekira baru ingin mengguyur tubuh penatnya, tiba-tiba Novi di kagetkan dengan aroma wangi kembang kamboja yang hadir seperti berasal dari belakangnya. Seketika, tangannya urung menggayung air bening dari bak mandi berlapis keramik warna hijau, memilih berpaling untuk sekedar memastikan. 

Kosong, tak ada apapun kecuali pintu yang tertutup rapat. Membuatnya kembali pada niatan membasuhkan air pada tubuhnya. 

Sampai pada gayungan terakhir, Novi tak lagi membaui wewangian khas kembang kuburan. Namun saat ia akan beranjak keluar, dari dalam bak mandi tercium bau amis darah menyengat. 
Tak percaya begitu saja, tangan Novi lalu menyentuh air di dalam bak. Hampir saja Novi terjatuh setelah tubuhnya terhuyung mundur, manakala tak hanya berbau amis darah saja air yang baru ia gunakan membersihkan tubuhnya, tetapi juga berubah kental, seperti berlendir. 

Tak ingin lebih jauh merasakan ketakutan, Novi buru-buru keluar, dan berlari menuju kamar. 
Rida yang saat itu tengah mengutak atik alat komunikasinya, sempat terheran melihat raut pucat Novi sekembalinya dari kamar mandi. Tetapi tak lama ia pun tertawa, mendengar Novi menceritakan apa yang baru saja ia alami. 

"Wet cilik tekan sakmene gedine aku ngerti setan iku nang film, Nov. Mulo aku yakin, enek e setan, demit, iku yo mung gawe-gawene menungso. Halu film horor yo kowe, Nov....." (Dari kecil sampai sebesar ini saya tau setan itu di film, Nov. Makanya saya yakin, adanya setan, demit, itu ya buatan manusia. Halu film horor ya kamu, Nov.....) ujar Rida, masih dengan senyum ledekan. 

Novi yang mendengar itu, hanya menggelengkan kepala. Bukan mengiyakan ucapan tentang dirinya halu oleh film horor, namun tak menyangka tingkat ketidakpercayaan Rida sampai sebegitunya.

"Mugo-mugo ae nang omah ikilah kowe karo Lina bakal weruh, ndadekne percoyo karo seng jenenge makhluk ghoib, Da" (Moga-moga saja di rumah inilah kamu dan Lina akan melihat, menjadikan kalian percaya dengan yang namanya makhluk ghaib, Da) sahut Novi sedikit ketus. 

Kali ini Rida yang ganti menggeleng dengan di barengi sunggingan sinis. Tapi gelengannya bukan menolak ucapan mengandung unsur Doa, melainkan masih berupa ejekan dan ledekan. 

Setelah itu keduanya saling diam. Rida kembali sibuk dengan Laptopnya, sedang Novi memilih duduk menyudut di kasur tanpa ranjang. 

Puluhan menit suasana hening menyelimuti rumah dengan posisi pintu tepat menghadap pertigaan jalan. Meski di dalam terdapat Novi dan Rida, namun keduanya masih terus saling berdiam diri. 

Hingga alunan Tarhim terdengar sebagai isyarat akan masuknya waktu Maghrib, Novi bergegas bangun untuk menghidupkan lampu. 
Setiba menjejak di lantai ruang keluarga, Novi langsung merasakan sapuan angin sangat dingin hingga menembus kaos lemes yang ia kenakan. Tak begitu ia hiraukan walau mengusik rasa kaget, Novi tetap mendekati tempat sakral menempel. 

Belum sempat ujung jarinya memencet, bola mata Novi lebih dulu terarah pada satu bayangan sesosok lelaki berperut buncit penuh bercakan darah, berdiri di sudut luar kamar yang terkunci gembok. 

Tak menunggu lagi Novi pun segera menekan telunjuknya, berharap bisa segera melihat jelas sesosok itu. 
Tapi aneh, saklar yang menjadi penyambung lampu, seakan tak berfungsi meski telah tertekan seperti biasa. 

Hal itu langsung membuat kepanikan merundung Novi. Apalagi sosok itu dari keremangan terlihat melotot, seakan ingin menerkam Novi. 
Tak kuasa lagi, Novi pun menjerit. Mengejutkan Rida yang langsung datang menghampiri. 

"Enek opo, Nov!?" (Ada apa, Nov!?) tanya Rida ketus.

Bibir Novi bergetar tak sanggup menjawab. Hanya tangannya mengulur, menunjuk arah tempat dirinya melihat sosok lelaki tak berbaju menyembulkan perut buncit penuh lumuran darah. 

"Opo! ra enek opo-opo, Nov!" (Apa! tidak ada apa-apa, Nov!) kembali, dengan sengit Rida berucap setelah matanya menuruti arah yang di tunjuk Novi, namun tak menemukan apapun. 

Novi yang menunduk perlahan mengangkat wajahnya. Menatap lurus ruang kosong, yang semakin bertambah gelap. 

"Klekkk!" 
Seketika seluruh pandangan menjadi terang, setelah Rida berinisiatif menekan saklar lampu.
Semua terlihat biasa, tertata seperti semula. 
Rida yang merasa kesal kemudian membalikan tubuh dan melangkah sambil terus mengeluarkan rutukan gerutu. Tepat ketika melewati tubuh Novi yang masih mematung, lengannya tercengkram kuat oleh jari-jari Novi hingga menahan kepergiannya. 

"Opo meneh, Nov!?" (Apa lagi, Nov!?) seru Rida di penuhi kejengkelan. 

Namun kali ini, berselang beberapa detik, setelah tangan Novi untuk kedua kalinya menunjuk arah lantai, Rida terdiam. Matanya melebar, seakan ingin memperjelas pandangannya pada bekas tapak kaki tergambar lengkap oleh bercakan darah.

"Iku, Da. Iku opo!" (Itu, Da. Itu apa!) seru Novi mulai terisak. 

Rida sendiri masih mematung antara percaya tak percaya. Wajahnya masih terlihat datar, dengan tatapan menyirat penasaran. 

Berniat membuktikan, Rida melengos cengkraman tangan Novi untuk mendekati jejak kaki itu lebih dekat. Tubuhnya kemudian merunduk, berjongkok, mengamati tapakan berlumur darah yang masih tercium bau amis. 
Hal itu pun membuatnya merasai dingin tetiba menyerang sekujur tubuh, sebelum akhirnya ia kembali bangkit dengan raut wajah menggurat sesuatu yang tak bisa di tebak...

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close