Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GETIH IRENG ABDI LELEMBUT (Part 7 END) - Wiwitan Lan Pungkasan

WIWITAN LAN PUNGKASAN (Awal dan Akhir)

Sedo bersama istrinya berjalan menghampiri sebuah perkampungan di salah satu kaki gunung. Bangunan kayu tua mendominasi seluruh bagian kampung ini seolah tidak pernah diurus, padahal cukup banyak warga yang lalu lalang di sekitar Sedo.

Warga di sini juga cukup aneh, mereka hanya melakukan rutinitasnya sehari-hari untuk berkebun, mengurus ternak tanpa berbicara satu sama lain ataupun bertegur sapa. Sedo tidak mempedulikanya dan segera berjalan terus ke sebuah bangunan yang paling besar di desa itu.


JEJAKMISTERI - Sebuah bangunan seperti Candi dengan sebuah beberapa penjaga yang sudah siap menyambut Sedo.

“Persyaratan yang Ki Brotowongso minta sudah saya selesaikan” Ucap Sedo dengan sedikit hormat.

Mendengar suara Sedo, seseorang keluar dari balik tirai bangunan itu. Seorang Pria tua dengan dengan baju paling lusuh diantara semua penjaga di tempat ini namun tubuhnya dipenuhi berbagai perhiasan yang sebagian besar merupakan pusaka yang tidak biasa.

Walaupun penampilanya seperti itu, Mereka semua tau dengan jelas. Dia adalah penguasa tempat ini.. Ki Brotowongso.

“Aku sudah mengetahui semuanya, kamu gagal membunuh adikmu dan anak tertua dari pamanmu sudah mati terlebih dahulu sebelum kau sempat membunuhnya..” Balas Ki Brotowongso.

“Damar sudah tidak ada ikatan denganku dan walau tak kubunuh Sapto tetap sudah mati Ki. Jika memang harus, aku akan mencari cara untuk membunuh Damar..” Ucap Sedo.

“Tidak... tidak usah, aku sudah menerima niatmu. Persyaratan juga sudah kalian penuhi... tunggu di sini“ Lanjut Ki Brotowongso yang segera berbalik kembali ke balik tirai.

Sedo menunggu dengan sabar, sama sekali tidak terlihat penyesalan di matanya setelah membunuh setiap anggota keluarganya.
Tak lama kemudian Ki Brotowongso keluar dari tirainya lagi dan berjalan menghampiri Sedo dan Dirnaya.

“Kenakan kalung ini pada istrimu.. lalu ikuti aku!” Perintahnya dan segera berjalan meninggalkan bangunan utama menuju sebuah bangunan batu yang cukup besar di tengah hutan tak jauh dari kediamanya.

Sedo mengenakan kalung itu pada Dirnaya dan menuruti perintah Ki Brotowongso.
Itu hanyalah bangunan batu candi biasa yang sekilas di dalamnya hanya ada ruangan sebesar kamar, namun saat Sedo memasukinya semua isi di dalamnya benar-benar diluar perkiraan.

Isinya menyerupai salah satu bagian istana kuno dengan beberapa ruangan di sekitarnya.

“Kamu tidak kaget Sedo?” Tanya Ki Brotowongso.

“Aku sudah pernah mendengar tentang keraton ini, hanya saja aku tidak menyangka dapat memasukinya dengan cara seperti ini” Jawabnya.

Ki Brotowongso membawa Sedo dan Dirnaya ke dalam sebuah kamar yang gelap dengan batu persegi yang besar berada di tengah-tengahnya dan hanya diterangi cahaya api menyerupai obor dari empat sisi.

“Aku tanya lagi, kamu siap meninggalkan segalanya untuk menjadi Abdi dari keraton ini? Semua yang kamu inginkan di dunia ini hampir pasti kamu dapatkan bila kamu menjadi pengabdi di sini..” Tanya Ki Brotowongso memastikan lagi.

“Tidak ada alasan lagi untuk mundur..” Jawab Sedo dengan tegas.
Seketika nyala api di kamar itu mati bersamaan dengan jawaban Sedo. Tak lama kemudian terdengar suara teriakan perempuan tak jauh dari posisi Sedo berada. Itu adalah suara Dirnaya...

“Massss! Ini apa mass!! Tolong mas!” Teriak Dirnaya.

“Dirnaya!! Ada apa? Apa yang terjadi! Ki... apa maksudnya ini?” Teriak Sedo.

Suara Jeritan Dirnaya terdengar semakin keras, tak lama kemudian seseorang menyalakan sebuah obor di sudut ruangan hingga cahaya redup menyinari ruangan itu.

Di situlah Sedo baru melihat, kini Dirnaya sudah berada di batu persegi di tengah ruangan itu bersama dua sosok makhluk yang memegangi tubuhnya.
Makhluk itu berwujud manusia berkulit hitam legam dengan penuh borok di seluruh tubuhnya, hanya sedikit rambut yang tersisa di kepalanya sementara mata merahnya terus melotot tanpa ada kulit penutup yang bisa membuatnya berkedip.

“Mas.. tolong mas!” Teriak Dirnaya yang berusaha memberontak ketika dibaringkan di batu itu.

Mas Sedo bersiap berlari menghampiri Dirnaya namun sosok bayangan berwujud penjaga menahan tubuhnya hingga berlutut ke arah Dirnaya.

“Ki ! Apa maksudnya ini!!” Teriak Sedo dengan penuh amarah.

“Bukankah kamu sendiri yang sudah yakin untuk menyerahkan segalanya?” Ucap Ki Brotowongso yang segera berjalan meninggalkan ruangan itu.

Raut muka penyesalan terlihat di Wajah Sedo. Ia menyaksikan kedua makhluk menjijikkan itu melucuti baju indah yang dikenakan oleh Dirnaya hingga kulit mulusnya terlihat jelas di hadapan semua makhluk yang ada di situ.

“Hentikan... Mas... hentikan mereka” Tangis Dirnaya sembari menatap Sedo dengan air matanya yang terus menetes.
Sedo berusaha memberontak namun kekuatan makhluk yang menjaganya membuatnya tidak berkutik.

Kini Sedo melihat di depan matanya, Seseorang yang selama ini selalu ia jaga kehormatanya tubuhnya dipermainkan oleh kedua makhluk itu. Tidak satupun bagian tubuh Dirnaya lolos dari jilatan makhkuk menjijkan itu.

Kuku-kuku mereka yang tajam sesekali melukai kulit indah Dirnaya dengan penuh nafsu.
Tak cukup sampai disitu, kedua makhluk itu membawa Dirnaya ke hadapan Sedo, dan menyetubuhinya dengan tanpa belas kasihan tepat di hadapan mata sedo.

Sedo menangis sejadi-jadinya melihat perlakuan mereka pada Dirnaya. Apalagi setiap Dirnaya melawan, makhluk itu tak segan-segan menghantamkan pukulan hingga membuat Dirnaya tersungkur di tanah.

“Yang akan kamu dapatkan akan jauh lebih banyak dari yang kamu berikan...”

Terdengar suara wanita berbisik di kuping Sedo, entah itu suara siapa. Namun ucapanya itu membuat Sedo berfikir apa saja yang akan ia dapatkan setelah semua kejadian ini.

Sedopun membunuh perasaanya dan menatap Dirnaya yang sedang dinikmati makhluk-makhluk itu dengan tatapan yang kosong.
Hampir setengah malam Sedo menyaksikan tontonan mengerikan itu hingga akhirnya suara pintu terbuka dan seseorang masuk ke dalam ruangan itu.

“Bagus... sekarang Ratu sudah bersedia menemuimu” Ucap Ki Brotowongso yang menjemput Sedo untuk ke ruangan lainya.

Tepat sebelum keluar dari ruangan, Sedo menoleh kembali ke arah Dirnaya dan melihat beberapa makhluk menjijikkan mulai berdatangan lagi dan bersiap menikmati tubuh Dirnaya.

“Ratu sangat pencemburu... ia tidak suka pengikutnya memiliki perasaan setia lebih dari dirinya” Jelas Ki Brotowongso.

“Sudah temui sendiri beliau..”
Ki Brotowongso mengantarkan Sedo ke sebuah pintu megah dan menyuruh Sedo masuk ke dalam.

Sebuah ruangan yang sangat megah, berbagai hiasan emas menghiasi setiap sudut ruangan ini. Ditengah-tengahnya terdapat sebuah kasur besar yang ditutupi kelambu.

“Kamu yang bernama Sedo...” Ucap sosok wanita yang teramat cantik yang terduduk dibalik kelambu itu. Sangat cantik, namun kekuatan yang memancar dari dirinya menandakan dia merupakan penguasa keraton ini.

“I..iya Ratu...“ Jawab Sedo yang tanpa sadar segera berlutut menghadap sosok penuh wibawa itu.

“Tidak usah takut... sekarang kemarilah dan temani saya” Ucap Ratu yang segera dipatuhi oleh Sedo.
Sedo memasuki balik kelambu itu dan melihat sosok perempuan yang sangat rupawan. Sedo gemetar tak mampu berfikir harus berbuat apa.

Namun sang ratu dengan anggunya menyentuh pipi sedo dan mencumbu bibirnya. Seketika Sedo tebakar oleh nafsu dan tergiur dengan keindahan tubuh Ratu.
Sama sekali tak pernah Sedo bayangkan, Sedo menyetubuhi sosok yang paling indah yang pernah ia lihat seumur hidupnya.

Ia tidak lagi teringat tentang nasib Dirnaya di ruangan lain dan terus menikmati malam itu bersama Ratu hingga terlelap. Anehnya di alam mimpinya ia tidak merasa berada di sebuah kamar, melainkan berada di sebuah rawa bersama seekor ular besar yang melilitnya dan memakan sedikit demi sedikit bagian tubuhnya.
Saat terbangun Sedo tiba-tiba sudah berada di salah satu ruangan di kediaman Ki Brotowongso.

Sebuah perubahan terjadi pada dirinya tatapanya berubah lebih tajam. Dengan menutup matanya ia bisa merasakan apa yang akan terjadi denganya di beberapa saat kedepan. Kekuatan hitam seolah meluap dari dalam dirinya. Ia seperti bisa membuat siapa saja patuh dengan kekuatan ini.

Tak berapa lama setelah mengagumi dirinya suara pintu kamar terbuka. Ki Brotowongso masuk dengan wajah tersenyum.

“Sekarang apa kamu puas?” Tanya Ki Brotowongso.

“I..Iya Ki, ini sangat luar biasa..“ Jawab Sedo Kagum.

“Aku pernah bilang.. Semua yang kau inginkan pasti kau dapatkan, Ratu tidak akan mengecewakanmu” Lanjut Ki Brotowongso sambil menunjukkan seseorang yang menyusulnya dari belakang.

“Dirnaya!” Ucap Sedo.

Terlihat Dirnaya memasuki ruangan dengan wujud yang anggun. Tidak ada sedikitpun cacat di tubuhnya. Kulitnya terlihat lebih cerah dan menawan dengan kecantikan yang berlipat-lipat dibanding sebelumnya.

Seketika Sedo melompat dari tempat tidurnya dan memeluk Dirnaya yang dibalas dengan penuh kehangatan. Sedo merasa senang dan membawanya masuk ke kamar sementara Ki Brotowongso meninggalkan mereka berdua.

Sedo melampiaskan rindunya pada Dirnaya sepanjang hari. Tetapi Sedo juga merasa sedikit ada kejanggalan. Dirnaya saat ini menjadi sangat penurut, mematuhi setiap perintah Sedo tapa ada kehendak melawan.

“Sudah mau pergi?” Tanya Ki Brotowongso yang melihat Sedo dan Dirnaya meninggalkan kamarnya.
Sedo tidak menjawab dan terus melangkah meninggalkan bangunan Ki Brotowongso.

“Apa maksud sikapmu itu?” Tanya Ki Brotowongso yang segera menghampiri mereka.

Sedo membalikan badanya memancarkan kekuatan hitam dari tubuhnya dan mencekik tubuh kakek tua itu dengan kekuatan yang ia dapat dari Ratu.

“Saya sudah tidak membutuhkanmu lagi!” Ucap Sedo yang bersiap membunuh Ki Brotowongso.

Ki Brotowongso terlihat tak berdaya, ia hanya menatap Sedo yang sudah memiliki kekuatan dari ratu. Namun ternyata Ki Brotowongso tersenyum.

“Bagus.. sudah punya keberanian sekarang?” Ucap Ki Brotowongso.

Seketika sesosok makhluk besar menghantamkan tubuh Sedo hingga keluar. Tak hanya satu.. Ki Brotowongso diikuti sosok Buto dari berbagai ukuran.

“Butuh beratus-ratus tahun lagi bagimu untuk melawanku..“ Ucapnya lagi. Ki Brotowongso menatap wajah sedo dan seketika Sedo merasa kesakitan tanpa sebab dengan pembuluh darahnya yang terlihat disekitar wajahnya.

“Sudah Ki!! Ampun!!” Teriak Sedo, Namun Ki Brotowongso belum puas, ia terus menyiksa sedo hingga cairan hitam keluar dari mata dan telinganya.

“Ampun ki!!” Teriak Sedo dengan nada yang memelas.

Merasa sudah memberi cukup pelajaran. Ki Brotowongsopun menghentikan seranganya pada Sedo.

“Kau pikir bisa seenaknya dengan kekuatanmu?! Aku menjadikanmu bagian dari kami tidak dengan cuma-cuma!” Ucap Ki Brotowongso sambil menunjuk Sedo dengan penuh emosi.

“Sebagai bagian dari Trah Brotowongso Kau harus membawakan tumbal setiap bulan purnama ke tempat ini, Mengerti?!” Teriak Ki Brotowongso

“B..baik Ki”, ucap Sedo yang sangat ketakutan dengan perbedaan kekuatan mereka.
Ki Brotowongso tersenyum.

“Sebaiknya kau mencari yang banyak untuk dirimu juga...“

“Maksudnya untuk apa ki?” Tanya Sedo.

“Nanti kamu akan mengerti dengan sendririnya” Tutup Ki Brotowongso yang segera kembali ke kediamanya.

Hari semakin berlalu.. seluruh hal yang diinginkan Sedo pasti terpenuhi. Kini tidak hanya Dirnaya yang menjadi istri Sedo, belasan selir sudah ia miliki baik yang ia dapat dengan cara memaksa atau ia temukan sendiri.

Harta yang melimpah akan selalu memenuhi peti hartanya yang tidak pernah habis. Kekuatan yang ia miliki membuatnya ditakuti oleh orang-orang sakti di sekitarnya.

Setiap bulan purnama Sedo selalu mengirim seseorang yang akan menjadi tumbal ke Kediaman Ki Brotowongso. Hampir sebagian tumbalnya diambil dari orang-orang di sekitarnya.

Setelah begitu banyaknya orang hilang warga di sekitar Sedo cemas hingga meminta pertolongan ke Damar dan Andara yang sebelumnya merupakan Adik Sedo.
Merasa kasihan dengan warga, Damar dan Andara datang ke kediaman Sedo yang begitu mewah sekedar untuk berbicara denganya.

Tentunya dengan memawa mustika pemberian Mbah Sarjo.
Mendengar kedatangan Damar, Sedo dengan penuh semangat bersiap untuk membunuhnya dengan kemampuan yang ia miliki sekarang. Namun kenyataanya berbeda. Dihadapan mustika yang dikenakan Andara, Sedo tidak mampu menggunakan kekuatanya. Ia kembali menjadi Anjing yang patuh pada tuanya.

“Bahkan kekuatan dari ratu tidak mampu melawan mustika itu?” Tanya Sedo Dalam hati.

“Hentikan semua perbuatanmu, tidak ada lagi manusia yang boleh kamu tumbalkan!” Perintah Andara.

Dalam pengaruh mustika Itu Sedo menyetujui permintaan Andara, namun dalam hatinya ia masih mencari cara untuk mengalahkan adiknya itu.
Kejadian itu berhasil membuat Sedo berhenti mencari tumbal untuk Ki Brotowongso.

Nama Trah Darmowiloyopun dianggap sebagai pahlawan dan disegani oleh warga hingga Damar dan Andara memiliki keturunan dan mewariskan pusakanya itu ke anak-anaknya.
Sedo yang juga sudah berumur dipanggil oleh Ki Brotowongso.

Ia menuntut tumbal yang sudah bertahun-tahun tidak ia kirimkan. Sedo menceritakan semuanya dan membuat Ki Brotowongso murka. Namun selama memiliki mustika itu, mereka tidak mungkin bisa menyentuh Trah Darmowiloyo.

Sedo sudah ikhlas jika harus mati saat itu di tangan ki Brotowongso.

“Mati? Jangan konyol! Kau pikir apa yang terjadi pada kita apabila kita Abdi lelembut mati?” Tanya Ki Sedo.
Saat itu Sedo merasa kaget dan menatap Ki Brotowongso.

“Semua kekuatan, kekayaan, dan kejayaan yang kamu terima akan dibayar setelah kamu mati! Jiwa kita akan merasakan semua siksaan dari iblis-iblis itu tanpa ampun” Ucap Ki Brotowongso dengan wajah yang menyesal.

“Semua kekuatan, kekayaan, dan kejayaan yang kamu terima akan dibayar setelah kamu mati! Jiwa kita akan merasakan semua siksaan dari iblis-iblis itu tanpa ampun” Ucap Ki Brotowongso dengan wajah yang menyesal.

“Itu semua tidak hanya sementara... jiwa kita sudah dijanjikan untuk di neraka! Selamanya Sedo!”

Saat itu Sedo merasa ketakutan. Ia tidak pernah mengira bayaran atas pengabdianya pada iblis akan dibayar setelah ia mati.

Ia pikir semua orang yang ia bunuh, tumbal, Dirnaya adalah bayaran atas apa yang ia minta. Ternyata itu hanyalah syarat untuk menunjukan keseriusanya.

“Ki!! Terus kita harus gimana ki? “ Ucap Sedo dengan mata yang dipenuhi air mata ketika mengetahui Neraka sudah dijanjikan untuk mereka ketika mereka mati”

“Tumbal yang kuminta itu adalah syarat untuk membuatku tetap hidup... aku belum siap menghadapi neraka, dan tidak akan pernah siap” Jelasnya.

“Aku akan terus mencari cara untuk hidup apapun caranya”

Sedo akhirnya mengerti perkataan Ki Brotowongso saat dulu meninggalkan kediaman ini. Rupanya Ki Brotowongso takut akan apa yang ia hadapi saat mati nanti. Saat ini ketakutan itu dirasakan juga oleh Sedo.

“Bawalah beberapa ingon Brotowongso, cari cara untuk terus hidup.. jika kamu tidak mampu mencarikan tumbal. Mereka bisa!” jelas Ki Brotowongso dan Sedopun mengikuti perintah Ki Brotowongso.

Damar dan Andara yang semakin tua akhirnya meninggal dengan tenang. Anak-anaknya tumbuh besar dan membentuk Trah Darmowiloyo yang sangat disegani banyak orang.

Sayangnya kebaikan leluhurnya tidak menurun ke sebagian dari mereka. Kemampuan yang mereka miliki membuat mereka merasa diatas segalanya.

Sedo yang merasa iri dengan mereka sesekali mengirimkan teluh dan membunuh bayi dari keluarga Darmowiloyo tanpa tujuan yang jelas. Saat ini ia sudah semakin tua, Dirnayapun sudah mati meninggalkanya. Ia hidup dengan mempersembahkan tumbal pada Ratu untuk memperpanjang umurnya.

Raden Jarga Darmowiloyo, salah satu cucu dari Damar dan Andara. dialah yang pertama kali menyadari keanehan ini dan berhasil menemukan bahwa bayi-bayi yang mati itu adalah ulah Sedo.

Ia membawa pusaka cincin bermata hitam untuk melawan Sedo dan mustika Andara yang dikenakan Istrinya.
Sedo yang mengetahui hal itu mencari cara untuk memisahkan mereka berdua dan menghadapi Raden Jarga sendiri.

Cincin pusaka damar telah diisi olehnya dan menjadi kediaman ingon yang Raden Jarga dapat dari perjalana spiritualnya.
Ingon berwujud kesatria kerajaan miliknya berhasil mengimbangi buto yang dibawa Sedo. Namun Sedo sama sekali tidak gentar.

Tanpa adanya mustika Andara, Sedo sangat percaya diri menghadapi Raden Jarga.

“Akhirnya aku bisa balas dendam dengan keturunan Damar..” Ucap Sedo dengan tawa yang tresengal-sengal.

“Jangan sombong.. peliharaanmu itu bahkan belum mampu menjatuhkan ingonku” Tantang Raden Jarga.

Dengan sekali tatap ingon yang dibawa raden jara segera terbakar dan menghilang bersama dengan nyala api. Hal ini membuat Raden Jarga menjadi panik. Ia merapalkan ilmu yang ia miliki, namun itu semua sia-sia.

Sedo memerintahkan Butonya untuk menyerang Raden Jarga hingga tidak berdaya. Tubuhnya bergelimang darah namun Sedo enggan menghabisinya.

“Bunuh! Bunuh saja saya!” Ucap Raden Jarga dengan suara yang hampir hilang.

“Kekuatan pusakamu itu tidak akan mampu melawan abdi dalem sepertiku.. membunuhmu hanya akan menghilangkan kesenangan, aku lebih suka membunuh keturunan kalian satu persatu dan menyaksikan keputus asaan kalian” Jawab Sedo.

Sedopun memerintahkan anak buahnya untuk melucuti pakaian Raden Jarga dan membuangnya yang sudah tidak berdaya di tengah keramaian pasar untuk menghinanya. Di satu sisi istrinya juga tidak pernah kembali setelah dipisahkan oleh Sedo.

Penghinaan yang diterima Raden Jarga tidak berhenti sampai di situ, besoknya iya mendapat kabar bahwa istrinya ditemukan mengambang di sungai tanpa sehelai pakainpun dalam kondisi tidak bernyawa.

Mustika Andarapun sudah menghilang, di sinilah Raden Jarga merasakan ada pengkhianat diantara Trah Darmowiloyo. Itu karena tidak ada yang bisa menggunakan atau merebut mustika itu selain mereka yang memiliki darah Darmowiloyo.

Dibakar dendam yang kian mendalam, Raden Jarga mencari cara untuk membalaskan perbuatan Sedo yang merupakan bagian dari Trah Brotowongso.

Kini ia tidak mempercayai saudara-saudaranya dan memilih mencari keberadaan sosok yang bisa memberikan kekuatan kepadanya untuk menyaingi kekuatan Sedo.
Perjalanan membawa Raden Jarga sampai tengah hutan dimana orang mengetahui tempat itu sebagai kerajaan demit.

Raden Jarga memilih untuk mengabdikan dirinya pada keraton itu hingga mendapat kekuatan seperti yang dimiliki Sedo.
Membalas perbuatan Sedo, Raden Jarga membantai keturunan-keturunan Brotowongso yang berhasil ia temui.

Perang antar ilmu hitam antar kedua trah terjadi hingga memakan banyak korban.
Permusuhan antar trah ini berlanjut turun temurun hingga mereka berebut mencari tumbal dan kekayaan untuk mendapatkan kekuatan melawan musuhnya masing-masing.

Mustika Andarapun ditemui dimiliki oleh salah satu keturunan Darmowiloyo yang lain yang menyebabkan orang itu ditunjuk untuk menjadi pemimpin Trah karena bisa menahan gempuran ilmu hitam Sedo dan keturunanya.

Saat keaadaan mulai aman, Sebagian dari mereka yang mulai sadar memilih untuk mengasingkan diri dan mencari cara untuk bertobat. Sementara sebagian masih menikmati kekuatan yang mereka miliki untuk memenuhi hasrat mereka masing-masing.

******
***
*

“Leluhur?” Tanya Nyi Sendang Rangu.

“Iya Nyi.. mantra itu hanya bisa menghubungkan kami dengan leluhur kami dengan perantaraan keris Ragasukma” Jelas Paklek.

Nyi Sendang Rangu tertawa kecil dengan wajahnya yang manis.

“Lah, kalian ini manusia atau Jin.. kenapa bisa ngira kalau saya ini leluhur kalian?
Saya ini bangsa Jin buka Roh manusia yang belum tenang” Jelasnya.

“Lantas kenapa Nyi Sendang Rangu bisa hadir dengan mantra ini..” Tanyaku.

Nyi Sendang Rangu kini berganti menghampiriku dan mulai menceritakan sesuatu.

“Untuk menyempurnakan mantra ini dulu leluhurmu Widarpa Dayu Sambara melakukan semedi di tengah sendang, jauh sebelum Sendang Rangu terbentuk.

Saat itu ia mencari berbagai cara untuk melindungi keturunanya. Widarpa Sadar, Ajian segoro demit miliknya membuatnya tidak dapat mendekat ke orang-orang yang ia sayangi.

Sesekali ia menghampiri anak dan istrinya dan memantaunya dari Jauh. Namun ia tidak berani mendekat karena takut tiba-tiba ilmunya menguasai mereka dan menyakiti mereka.

Melihat tingkahnya itu aku sang penunggu sendang tertarik denganya. Sekali aku mencoba menggodanya, namun cintanya pada istrinya yang bernama Nyai Suratmi benar-benar tidak tergoyahkan.

Saat ia mengamuk dikuasai ajian segoro demit, aku mengirimkan hujan dari sendangku yang bisa menahan kekuatan jahat yang menguasainya.

Hal ini terus berulang-ulang selama bertahun-tahun hingga ia menemukan Mantra itu.

Dengan gaya lucunya yang khas, Widarpa dengan malu-malu meminta bantuanku untuk menyempurnakan keris Rogosukmo yang dimiliki Daryana menggunakan air dari sendangku.

Tujuanya untuk menghubungkan rohnya dan keturunanya yang belum tenang dengan keturunanya yang masih hidup.
Di satu sisi, ia bisa membantu keturunanya yang masih hidup, di sisi lainya keturunanya bisa membantu leluhurnya yang belum tenang.

Tiap rintikan hujan yang menetes di setiap kemunculan Widarpa dan Daryana adalah tetesan air dari Sendang tempatku bertemu dengan Widarpa dulu, itulah yang menghubungkanku dengan mantra ini”
Entah mengapa aku tersenyum-senyum sendiri mendengar cerita nyi sendang rangu.

“Kenapa Danan? Kok ketawa-ketawa sendiri?” Tanya Cahyo.

“Seneng aku Cahyo.. ternyata di pengasinganya Eyang Widarpa nggak sendirian. Ada Nyi sendang rangu yang nemenin” Jawabku.

Nyi Sendang Rangu kembali tersenyum.

“Namun peranku hanya sampai di situ.. Widarpa memutuskan untuk bertemu terakhir kalinya dengan Daryana dan menurunkan Mantra itu padanya.

Setelahnya ia mengembara hingga kembali mengakhiri hayatnya di tempat yang sekarang disebut dengan nama Alas Mayit” Lanjut Nyi sendang Rangu.

“Lalu bagaimana Nyi Sendang Rangu bisa memiliki hubungan dengan Darmowiloyo?” Tanya Mas Jagad yang juga penasaran.

“Aku tidak pernah mengabdi pada Trah Darmowiloyo... namun leluhur mereka Mbah Sarjo dan keluarganya mengabdikan diri untuk melindungi tempatku berasal. Longsor besar menghancurkan satu desa, dan mereka yang membangun desa itu dengan menggantungkan hidup dari Mata airku..

Ketulusanya membuatku ingin hidup bersama mereka.
Aku memastikan tidak ada bencana atau ilmu hitam yang akan menyakiti mereka.
Sampai suatu ketika keturunan mereka termakan oleh nafsu duniawi dan saling membunuh.

Mbah Sarjo sampai mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan mereka. Itulah saat terakhir aku membantu Damar dan Andara menentukan takdir mereka sendiri dengan membawa nama Trah Darmowiloyo. Sayangnya, kebaikan mereka tidak menurun ke keturunanya"

Aku menoleh pada Nyai Kanjeng dan Raden Anjar yang menunduk, sepertinya mereka menerima teguran dari Nyi Sendang Rangu secara tidak langsung.
Nyai Kanjeng mengumpulkan keberanianya. Ia mendekat ke arah Nyi Sendang Rangu dan seketika berlutut.

“Saya mengakui semua dosa saya Nyi.. namun saya mohon, lindungi Tika. Setidaknya saya bisa memberikan hidup yang tenang untuknya setelah semua perbuatan saya” Ucap Nyai Kanjeng.

Ucapan itu membuat Nyis Sendang Rangu menoleh kepada Nyai Kanjeng. Seketika Wajahnya berubah menjadi menyeramkan wajahnya menghitam dengan urat yang menguning menatap Nyai Kanjeng.

“Tika sudah dalam perlindungan saya... Sekarang kamu sudah bisa mati!” Balas Nyi Sendang dengan suara yang mengerikan.

“T..tunggu Nyi, sabar... jangan galak-galak” Ucap Cahyo dengan polosnya.

Nyi sendang rangu merespon ucapan Cahyo, namun ia lebih tertarik dengan Nenek leluhur nyai kanjeng ini yang pernah menyandang nama Nyai Betari itu. ia menatapnya dengan tatapan sedih, namun wajahnya tidak berubah seperti saat berhadapan dengan Nyai Kanjeng.

“Dosa leluhurmu membuatmu mengambil jalan ini... ikutlah aku ke sendang rangu, Kamu bisa beristirahat di sana dengan tenang dan memurnikan dosa-dosamu..” Tawar Nyi sedang rangu.

Nenek itu terlihat menitikan air mata, sepertinya pertemuan dengan Nyi Sendang Rangu adalah penantian yang ia tunggu semasa hidupnya. Ia berlutut berterima kasih namun Nyi Sendang Rangu menahanya.

“Jangan pernah berlutut pada sosok jin apapun wujudnya, kami tidak sebanding dengan Yang Maha Pencipta yang berhak mengampuni dosa-dosamu” Jawab Nyi sendang Rangu.

“Baik Nyai.. Sekarang saya sudah siap...” Ucap Mbah sambil menitikkan air mata haru.

Nyi Sendang Rangu mengibaskan selendangnya dan seketika Mbah kehilangan kesadaran. Rangkaian doa kami bacakan untuk mengantar kepergianya.

“Aku akan menyusul kalian setelah mengantarkan Roh Yati dan Mbah Betri ke sendang..” Pamit Nyi Rendang Rangu yang segera menghilang bersama rintikan hujan yang mengiringinya.

Dengan Singkat kami menguburkan jasad Mbah Nyai Betari dan kembali ke jalur kami menuju Mess kembali dengan ‘helikopter darat’ milik Mas Jagad.
Kali ini mess terlihat sangar berdebu seperti tidak terurus.

Tidak ada lagi penduduk yang menghampiri tempat ini namun sekali lagi aku merasakan perbedaan energi saat memasuki bangunan ini.

“Paklek... paklek ngerasain juga?” Tanyaku.
Paklek mengangguk.

Nyai Kanjeng dan Raden Anjar terlihat ragu saat memasuki mess ini, namun saat melihat Tika dan Ajeng, mereka memutuskan untuk masuk ke tempat yang sebelumnya mereka anggap menjijikan itu.

Aku memperhatikan Nyai Kanjeng yang melangkah ke atas dan menatap kamar di lantai atas dengan tubuh yang bergetar. Ia melihat kamar itu, kamar tempat ia menyimpan jasad anaknya yang ia kira masih hidup. Sekali lagi air matanya menetes.

Ia seperti sudah menyadari kesalahanya sepenuhnya.
Aku dan Cahyo yang tahu jelas kejadian itu tidak mampu berkata apa-apa. Nyai Kanjeng mengusap air matanya dan kembali turun ke bawah.

“Mas Danan, Mas Cahyo.. Terima kasih, saya bertemu kalian sebelum semuanya jauh terlambat” Ucap Nyai Kanjeng pada kami.

Aku dan Cahyo saling menatap dan tersenyum sambil melanjutkan membereskan ruangan ini seadanya, sementara yang lain membersihkan Kamar yang dulu digunakan oleh Yanto saat terjebak di tempat ini.

“Ini.. di irit-irit, kita tidak tahu akan berapa lama kita di tempat ini” Ucap Mas Jagad yang menurunkan dua dus yang kuduga berisi makanan instan dan keperluan logistik.

“Matur suwun mas.. sebenernya kami juga bawa, tapi mobilnya masih ketinggalan di mulut hutan tadi” Ucap Pak Gito Sungkan.

“Sama-sama, udah tenang aja...” Jawab Mas Jagad sambil menepuk pundak Mas Gito.

Setelah berdiam beberapa saat Tika berlari ke salah satu ruang di belakang. Ia seperti mengutak atik sesuatu, setelahnya terdengar suara air yang mengalir dan benda yang bersuara seperti genset.

Seketika bangunan ini menjadi lebih terang walau hanya dengan lampu bohlam sederhana berwarna oranye.

“Kok kamu tau seluk beluk bangunan ini Tika?“ Tanya Dirga.

“Tika inget.. dulu Tika, eh.. Ningsih yang sering disuruh masuk ke tempat ini untuk beres-beres dan...” Ucapnya terputus.

“Dan menyiramkan darah ke jasad di lantai atas...”

Tika tertunduk dan terlihat gemetar saat ingat kejadian itu, namun Ajeng yang ada di sebelahnya merangkulnya bahunya layaknya seorang kakak yang menjaga adiknya.

“Nahhh Gitu donk! Tika Keren! Liat tuh paklek dari tadi masih berusaha nyalain api ke kayu bakar dari luar.. udah tau tadi hujan” Ucap Cahyo.

“Heh enak aja... namanya juga usaha” Balas Paklek dengan sedikit malu. Saat ini kami merasa tempat ini cukup aman. Tidak ada satupun serangan yang mendekat.

Namun kami tidak tahu ini semua karena tempat ini atau memang karena musuh kami sedang mengumpulkan kekuatan.

***

“Raden Sarwo Kusumo, bukanya mereka juga keluarga Nyai Kanjeng? Tapi kenapa mereka seperti terlihat membenci Nyai Kanjeng?” Tanya Dirga sambil mengantarkan minuman hangat yang baru saja ia buat ke tengah-tengah kami.

“Dulu Mustika dan cincin pusaka Darmowiloyo dimiliki oleh leluhur Raden Sarwo Kusumo.. namun ia dijebak oleh Sedo Brotowongso. Istrinya yang mengenakan mustika Andara dibunuh dan mustika itu hilang..
Hal itu membuatnya menganggap ada pengkhianat diantara Trah Darmowiloyo yang membuatnya hampir tidak mempercayai saudaranya” Jelas nyai kanjeng.

“Hehe... rumit juga ya malah keluarga Nyai Kanjeng, Dirga nggak jadi nanya deh” Lanjut Dirga.

Ini sudah malam hari, namun tidak ada tanda-tanda serangan ilmu hitam ataupun kemunculan makhluk ghaib hingga kami memutuskan membiarkan sebagian dari kami untuk beristirahat dan berjaga bergantian.

Aku mengecek lagi lewat jendela, memang tidak terlihat apapun di luar. Namun instingku merasakan ada yang aneh.
Sebelum aku kembali, akupun mencoba memastikan keluar.
Dan Benar.. Tepat saat aku membuka pintu dan melangkahkan kaki meninggalkan rumah ini.

Semua pemandangan di luar tidak seperti yang terlihat dari dalam.
Banaspati melayang-layang di antara bangunan ini. Siluman ular berbadan manusia sudah mengintai kami disudut-sudut pohon. Roh makhluk wanita yang melayang-layang mengintai ke setiap sisi bangunan itu.

Dan semua makhluk itu dipimpin oleh sepasang makhluk raksasa persis seperti yang menghampiri rumah Raden Anjar.

“C..Cahyo! Paklek! Ke sini!” Teriakku yang merasa Gentar melihat semua serangan ini.

Cahyo dan Paklek Segera berlari menghampiriku, seketika ekspresi mereka berubah serupa denganku.

“Mereka! Mereka yang menggagalkanku mendapatkan seratus tumbal mereka dari trah sambara dan satu lagi dari trah Rojobedes!” Ucap seseorang yang muncul dari dalam kegelapan.

Dia adalah Dukun yang menipu nyai kanjeng. Walau dia lemah Aku memang sudah menduga kalau dia dilindungi oleh sosok yang kuat.

“Nan... Rojobedes nan” Bisik Cahyo.
Aku sedikit menahan ketawa.

“Iki Serius lho... jangan bercanda” Balasku pada Cahyo.

Mendengar keramaian di luar, Jagadpun menyusul kami dan sepertinya ia sudah menduga apa yang terjadi. Dirga diperintahkan untuk tetap di dalam menjaga yang lain.

“Wis.. coba kita hadapi! Toh cepat atau lambat kita akan menghadapi mereka juga kan” Ucap Paklek.

Aku mengangguk dan menghampiri dukun itu yang ternyata tidak sendiri. Seorang kakek tua ada di belakangnya. Tepat saat kemunculanya kekuatan yang besar menyapu sekitar kami. Rasa merinding tidak dapat kami hindari.

“Mbah Sedo...“ Dukun itu menunduk menyambut kehadiran seseorang yang disebut dengan nama Mbah Sedo.
Tua, sangat tua... tubuhnya terlihat renta, namun hawa hidupnya masih sangat besar seolah bukan tubuh fisiknya lagilah yang menyangga kehidupanya.

Ia hanya memakai baju seadanya dengan berbagai jimat terikat di lehernya.

“Jangan habisi mereka... habisi dulu orang-orang terdekatnya” Perintah Mbah Sedo pada dukun itu.

“Kehkehekhe...” Dukun itu tertawa terkekeh mengerti dengan perintah tuanya itu.

Ia menerima dua buah pusaka berbentuk batu hitam dari Mbah Sedo dan bersiap melemparkanya.

“Ini buah atas perbuatan kalian..“ Dukun itu melempar benda itu ke udara dan sosok makhluk seperti ular besar melayang menuju dua tempat yang berbeda.

“Apa yang kalian Lakukan!” Tanyaku pada Dukun itu.

“Yang Satu ke desa Kandimaya menemui sinden cantik, dan yang satu ke desa di belakang pabrik gula menemui istri seseorang... dan mereka akan menjadi mayat!” Jawab dukun intu sambil terkekeh.

“Beraninya kalian!“ Ucap Mas Jagad yang menyadari bahwa kedua tempat itu adalah kediaman Bulek dan Ibuku. Namun aku menahan mas jagad dan memintanya untuk tetap tenang.

“Tapi mereka dalam bahaya!” Mas Jagad terlihat panik.

“Sudah tenang dulu, kita fokus dengan yang ada di hadapan kita” Potong Paklek.

“Kalian tidak usah sok tenang... sebentar lagi mereka akan menjadi mayat dan menjadi makanan ingon kami” Lanjut dukun itu dengan puas.

Tak mengunggu berapa lama, tiba-tiba dukun itu terhentak dan memuntahkan darah hitam dari mulutnya.

“K..kenapa? Ini kenapa?” Dukun itu terlihat panik.

“Apa yang kau ikat dengan kedua ingon yang kau perintahkan agar mereka patuh?” Tanyaku tenang.

“Nyawanya...” Seseorang yang dipanggil Mbah Sedo itu yang menjawab pertanyaanku dengan tenang sementara dukun itu kesakitan.

“Mbah... mereka kalah! Ada sesuatu yang menjaga orang-orang itu!” Ucap dukun itu.
Aku menarik nafas lega, Cahyopun tersenyum dan maju menghampiriku. Rupanya Yang Maha Kuasa juga melindungi Ibu dan Bulek melalui “Mereka”.

“Kami hanya perlu khawatir kalau ingonmu sanggup mengalahkan salah satu monyet kembar alas wetan yang mampu memimpin pasukan ras kera hutan Wanamarta. Kenalan dulu.. namanya Kliwon” Ucap Cahyo.
Mendengar ucapan Cahyo, aku juga memperingatkan mereka.

“Kami hanya perlu khawatir kalau ingonmu mampu menghancurkan bukit batu yang di jaga Buto lireng, sang raksasa pelindung bukit batu yang sudah disana selama ratusan tahun” Lanjutku.

Paklek terlihat tersenyum lega mengetahui hasil ini. Setelah ini aku harus berterima kasih pada Buto Lireng yang pasti dialah yang membantu Ibu dan warga desa Kandimaya dari serangan dukun itu.

“A..apa yang kalian berikan sampai ingon-ingon sekuat itu bisa patuh pada kalian?” ucap dukun itu.
Aku dan Cahyo saling menatap.

“Opo ya? Pisang Bu Darmi...” Jawab Cahyo dengan polos sambil menggaruk kepalanya.

“Nek aku opo yo? Ora tak kei opo-opo... paling nyeritain cerita wayang” (Kalau aku apa ya? nggak tak kasi apa-apa paling tak ceritain wayang) Tambahku.

“K...Kalian jangan bercanda...” Belum sempat menyelesaikan ucapanya dukun itu tiba-tiba terjatuh.

Sesuatu seperti kembali ke dalam tubuhnya. Itu adalah dua sosok ular raksasa yang ia utus untuk membunuh bulek dan Ibu.
Layaknya peliharaan buas yang gagal mendapat mangsanya, ular itu berbalik menyerang Dukun itu dan menggigiti tubuhnya.

Tanpa ampun ular-ular itu melilit tubuh renta itu hingga suara tulang yang remuk terdengar sampai ke telinga kami.
Aku sedikit memicingkan mata dan menjauhkan telingaku berusaha untuk tidak mendengar dan tidak melihat kejadian mengerikan itu.

“T..tolong mbah..” Pinta dukun itu namun Mbah Sedo seperti tidak peduli. Tak lama setelahnya darah hitam dukun itu bermuncratan dari dalam lilitan ingon ular kembar yang menghabisi dukun itu dengan beringas.

“Paklek.. ada roh yang kami tenangkan bilang supaya kita berhati-hati sama mereka yang berdarah hitam. Katanya mereka sudah tidak dianggap sebagai manusia lagi” Tanyaku pada paklek.

“Entah Nan.. Paklek juga nggak tahu. Tetap ikuti nuranimu” Ucap Paklek.

Mbah Sedo Brotowongso, dia adalah sosok yang diceritakan Nyai Kanjeng dan Nyi sendang Rangu sebagai sosok manusia yang sudah hidup ratusan tahun. Kekuatanya sama sekali tak terukur.

“Bagaimana kalau kalian juga jadi Abdi seperti saya.. kalian akan dihormati dan mendapat kekayaan yang melimpah” Ucap Mbah Sedo.
Tak satupun dari kami yang bergeming.

“Kau sudah tahu jawabanya” Jawab Cahyo.

Baru saja Cahyo selesai berbicara tiba-tiba sosok Mbah Sedo sudah ada dibelakang kami.

“Ya sudah, kalau begitu mati saja...” ucapnya sambil bersiap menusukkan keris ke tubuh Cahyo namun Mas Jagad dengan cekatan menahanya dengan kerisnya.

Kami selamat, namun keris Mas jagad yang ia gunakan untuk menahan serangan Mbah Sedo pecah berkeping-keping.
Cahyo yang melihat keadaan itu segera menarik sarungnya, membacakan ajian penguat raga dan mencoba menyerang tubuh Mbah Sedo.

Sayangya malah Cahyo yang terpental dengan kekuatan yang memancar dari tubuh Mbah Sedo.
Serangan Cahyo memberiku kesempatan untukku menarik keris Ragasukma dan menahan serangan Mbah Sedo berikutnya.

Sebuah ledakan energi terjadi dari dua keris pusaka yang beradu hingga membuat jarak diantara kami.

“Jagad, itu keris opo to? Kok sekali serang udah hancur” Tanya paklek.

“Lha kan aku beda sama kalian yang dapet warisan Pusaka, kerisku tak cari sendiri..” Jawabnya.

“Lha iya.. nyari dimana?”Tanya paklek.

“Pasar Klitikan..” Jawab Mas Jagad dengan malu.

“Yowis... di dalem aja jagain yang lain, daripada kenapa-kenapa” Perintah Paklek.

Aku yang mengingat kekuatan Mas Jagad saat di rumah Raden Anjar terpikirkan sebuah ide agar mas jagad bisa ikut bertarung.

“Jangan! Mas Jagad ikut saya! Cahyo Paklek.. tahan mereka sebentar..”

Aku segera menarik menjaga mas jagad masuk kedalam Mess sementara Cahyo dan Paklek setuju menahan Mbah Sedo.

“Dirga!” Teriakku.

“Kenapa mas?” Sahut Dirga yang segera menghampiri kami.

“Keris mas jagad rusak...” Ucapku. Dirga bersiap mengambil kerisnya namun aku menahanya.

“Percuma.. kesaktian keris itu hanya bisa digunakan olehmu. Tolong jaga ragaku.. jika terjadi sesuatu segera tarik sukmaku!” Perintahku yang segera disetujui oleh Dirga.
Keris Ragasukma memiliki dua wujud, wujud fisik dan wujud ghaib.

Dengan ini Mas Jagad bisa menggunakan wujud fisik keris Ragasukma.
Saat itu juga Mas Jagad mengerti maksudku. Ia mengambil Keris dari ragaku dan kami kembali bersiap keluar lagi untuk membantu Paklek.

***

Tepat saat keluar dari mess sebuah pemandangan yang jarang terjadi terlihat di hadapan kami.

***

“Paklek awas, ekor ularnya di belakang!” Teriak Cahyo ayang segera direspon oleh sapuan kaki paklek ke arah ekor ular yang akan menyerangnya.

“Jangan tahan kerisnya! Tahan tanganya jul!” Perintah Paklek yang segera direspon Cahyo dengan memukul lengan Mbah Sedo yang bersiap menyerangnya.

Layaknya sebuah tarian yang harmonis. Paklek dan Cahyo menghalau semua serangan yang mengarah kepada mereka dengan ilmu bela diri dan ilmu batin yang mereka latih sejak Cahyo kecil.

Tanpa pusaka.. Tanpa ingon..
tanpa bantuan Wanasura ataupun keris Sukmageni juga.

“Mereka hebat ya Nan.. suatu saat Dirga pasti akan sehebat kalian juga” Ucap Mas Jagad yang terkagum dengan ilmu mereka berdua.

Saat semakin banyak ingon Brotowongso yang ikut bertarung aku dan Mas jagad segera memasuki pertarungan dan menghabisi satu-persatu makhluk yang berada di sekitar kami.

“Ide bagus Danan!” Ucap Cahyo.

“Aku penasaran.. sekuat apa Mas Jagad kalau dia bertarung dengan pusaka yang sebenarnya” Ucapku.
Seolah merespon ucapanku Mas jagad mengambil posisi berhadapan dengan Mbah Sedo dan bersiap menerima seranganya.

Merasa kesal seranganya tidak ada yang berhasil melukai kami, Mbah Sedo seperti membacakan sebuah ajian yang membuat tanganya menghitam. Lenganya seperti berubah menjadi sisik ular dan bersiap menyerang kami.

“Awas... ada racun di serangan itu“ Teriak Paklek, tapi mas jagad terlihat begitu tenang. Ia membacakan sebuah mantra pada keris ragasukma yang membuatnya bercahaya, persis seperti yang digunakan Pendekar Daryana saat melatihku dulu.

Belum sempat menghunuskan serangan itu kepada kami cahaya keris ragasukma yang digenggam mas jagad sudah melesat lebih dulu menusuk jantung Mbah Sedo. Sebaliknya kini gantian mas jagad yang menerjang menebas lengan di hadapanya.

Seketika sebuah keris hitam terjatuh di tanah bersama lengan yang menggenggamnya.

“Brengsek!“ Mbah Sedo terlihat kesakitan dengan luka di jantungnya. Namun kami tahu serangan itu tidak cukup untuk membunuhnya.

“Keren mas jagad!” Teriak Cahyo. Akupun terkagum-kagum dengan serangan itu. Namun tidak ada waktu untuk itu. Berbagai ingon sudah bersiap mengincar kami. Paklek sudah bersiap dengan geni baralokanya...

Setidaknya api itu bisa mengurangi sebagian makhluk yang berasal dari arwah manusia.
Mbah Sedo terlihat murka, ia menggunakan ilmu kekuatan untuk menghentikan pendarahan pada lenganya.

Memungut kerisnya, dan menyelimuti tubuhnya dengan asap yang kuduga mengandung racun di dalamnya.

“Biar paklek saja!“ Ucap paklek yang merasa lebih mampu mengatasi permasalahan racun ghaib.

Tepat sebelum serangan mereka beradu tiba-tiba sebuah banaspati meledak dihadapan mereka bersama kehadiran sosok makhluk yang sangat ingin kami hindari. Ki Jaran Rundhra..

“Raden Sarwo Kusumo! Dia di sini! Kita mundur dulu..” Teriakku.

Saat itu juga kami berlari ke arah mess menjauhi Ingon Raden Sarwo Kusumo. Kami belum siap menghadapinya, ilmunya yang mampu membuat sukma kami terpisah membuat kami harus mencari strategi lain untuk melawanya.

“Hahaha... Raden Sarwo Kusumo, cucu Raden Jarga..” Ucap Mbah Sedo menyambut kedatangan Raden Sarwo Kusumo.

“Bagus kalian ada di sini... semua ilmuku ada untuk menghabisimu dan seluruh keluargamu!” Ucap Raden Sarwo Kusumo.

Tak butuh waktu lama, Seperti sudah menunggu saat ini, Raden Sarwo Kusumo mencabut kerisnya dan menyerang Mbah Sedo. Kekuatan hitam saling bertemu dan beradu hingga beberapa kali tubuh mereka terpental.

Aku kembali ke ragaku, dan saat Dirga sadar ia segera berlari ke depan pintu menyaksikan apa yang terjadi di depan.

“Danan, kukembalikan dulu Kerismu..” Ucap Mas Jagad yang segera mencari tempat untuk duduk menyandarkan tubuhnya.

Sepertinya serangan tadi banyak menguras tenaganya.

“Paklek, dulu dari dalam kami bisa melihat kondisi di luar melalui jendela.. kenapa sekarang tidak bisa? Kira-kira paklek tahu?” Tanyaku.

“Paklek juga merasa ada yang aneh.. isi rumah ini yang dibatasi dinding kayu seperti berada di alam lain.. jauh berbeda dengan di luar sana” Jelas Paklek.

“Mungkin saat kamu ke sini dulu ada kekuatan yang mehubungkan kedua alam ini, namun sekarang karena kekuatan itu sudah menghilang hanya pintu ini satu-satunya yang menghubungkan alam di luar dan alam di dalam mess ini.

Cukup membingungkan, namun aku sedikit mengerti. Mungkin keberadaan sisi dalam rumah ini yang ternyata berada di alam lain membuat tempat ini tidak dapat diserang oleh ilmu hitam.

“Biar saya coba.. kalian beristirahatlah dulu” Ucap Mas Jagad yang sudah merasa sedikit pulih.

“Mas Jagad mau mencoba apa?” Tanya Cahyo.

“Saya coba hubungkan jendela bangunan ini untuk melihat keadaan di luar, mungkin di sini aman.. namun kita tidak tahu sampai kapan” Jelasnya.

“Mas Jagad bisa ?“ Tanyaku.

“Walah.. Pakdeku ini spesialis nolongin roh orang yang tersesat dialam lain, soal lintas dimensi belum ada orang lain yang lebih ahli dari Pakde” Jawab Dirga.

Kali ini aku semakin kagum dengan mas jagad. Cahyopun segera menoleh ke arahku dengan mata yang sedikit kesal.

“Coba kamu kenal mas Jagad dari lama, kita pasti nggak akan kebingungan waktu masuk ke Jagad Segoro demit” Ucap Cahyo dengan mata yang menatap ke arahku.
Mendengar ucapan Cahyo mas jagad segera menoleh.

“Jagad Segoro Demit?! Itu sih lain cerita.. bisa nggak balik saya kalu ke sana” ucap Mas Jagad dengan ekspresi yang cukup kaget. Sepertinya ia penasaran dengan ucapan Cahyo namun ia memilih untuk menyimpan pertanyaanya sampai semua masalah beres.

Hampir semalaman kami menunggu di tempat ini. Tidak ada satupun serangan yang berhasil masuk ke tempat ini. Aku dan yang lain bergantian berjaga agar ada waktu untuk istirahat saat pertempuran berikutnya.

“Ini berarti kita nunggu sampai ada yang kalah diantara salah satu dari mereka paklek?” Tanyaku.
Paklek menggeleng.

“Kita awasi terus, kekuatan di belakang mereka sangat besar. Belum tentu tempat ini bisa bertahan”

***

Satu malam telah berlalu, aku mencoba mengintip dari pintu rumah menyaksikan apa yang terajadi di luar. Kali ini bukan hanya Mbah Sedo dan Raden Sarwo Kusumo. Tapi sudah ada beberapa orang pengikut yang saling beradu ilmu.

Aku mengingat salah satu orang di belakang Mbah Sedo adalalah seseorang yang bertarung melawan Darminto dan Girman di desa Mbok Yem.

“Duh sudah siang bukanya selesai malah tambah banyak...” Keluhku.

“Iyo nan... itu tanah di depan sudah menghitam, sudah banyak ilmu hitam yang jatuh di sana” Lanjut Cahyo.

Malam kembali datang, dan pertempuan mereka belum juga selesai. Kami mulai khawatir logistik kami akan cukup untuk bertahan bila pertempuran ini berlanjut lebih lama.

“Bimo, Danan, Cahyo.. kesini..” Panggil Mas Jagad.
Kami segera berkumpul ke ruang depan menuruti panggilan mas jagad.

“Saya sudah selesai, siap-siap setelah malam ini kita akan melihat apapun yang terjadi diluar lewat jendela mess ini” Ucap Mas Jagad.

Kami mengangguk menandakan siap menyaksikan apa yang terjadi diluar dengan lebih jelas.
Seperti membacakan bait terakhir sebuah mantra, mas jagad menutup ajianya dan seketika suara ribut terdengar di sekitar kami.

Dari Jendela mess berkali-kali terlihat kilatan yang berasal dari ledakan.

“Pakde bisa ada sebanyak itu banaspati yang beradu!” Ucap Dirga Kaget.

“Buto, siluman ular, Ki Jaran Rudhra yang kali ini membawa pasukanya... sebanyak apa pusaka yang mereka punya?” Tanya Cahyo.

Raden Anjar dan Nyai Kanjeng yang mendengar suara ricuh ini segera keluar dari kamar dan menghampiri kami.

“Ini perang santet.. bukan, ini perang ilmu hitam. Dulu ini pernah terjadi dan nyawa warga satu desa lenyap hanya karena pertarungan keji ini” Ucap Raden Anjar.

“Dulu kami lakukan ini untuk membela harga diri keluarga. Sekarang kami sadar ini adalah hal yang benar-benar bodoh” Lanjut Nyai Kanjeng.
Paklek yang sedaritadi memperhatikan perang santet ini seolah mengetahui sesuatu.

“Brotowongso Abdi Keraton Rawa Ulo dan Saudara kalian Abdi Keraton Alas Demit.” Ucap Paklek.

“Mereka hanya orang-orang bodoh yang termakan tipu daya iblis! Entah siapa yang menang dan kalah tidak ada yang akan lolos dari siksaan setan-setan itu setelah mati”

Ucapan paklek benar. Kekuatan sebesar ini hanya mereka miliki sesaat, pada akhirnya mereka akan membayar pengabdianya selamanya di neraka bersama iblis tempat mereka mengabdi.

“Raden Anjar, dulu perang ini berakhir berapa lama?” Tanya Cahyo.

“Tujuh belas hari..” Sahut Raden Anjar dengan Cepat.
Cahyo terlihat cukup kaget mendengarnya.

“Lha... piye iki? Tujuh belas hari? Persediaan kita tidak akan cukup” Keluh Cahyo.

Ucapan Cahyo benar, kami harus mencari cara untuk menambah persediaan logistik kami atau cara lain ikut campur dalam pertempuran gila itu.

“Kita tunggu Nyi Sendang Rangu sampai batas logistik kita habis, semoga dia benar-benar datang” Ucap Paklek.

“Dia pasti datang Paklek, kalaupun dia tidak menepati kata-katanya pasti terjadi sesuatu di sana” Ucapku.

Hari berjalan semakin larut. Tidak ada satupun dari kedua trah yang mengalah. Sudah cukup banyak korban dari kedua belah pihak yang mati dengan cara tidak wajar.

Ada yang mati dengan kepala yang terpisah jauh dari badanya, ada yang tubuhnya menghitam gosong seperti terbakar, ada juga yang mati dengan seluruh darahnya habis keluar dari setiap lubang di tubuhnya.

Melihat hal itu aku benar-benar kesal dan ingin segera keluar dari tempat ini untuk menghentikan mereka. Sayangnya kamampuanku jauh dari cukup.

Tepat pada lewat tengah malam, tiba-tiba suara pertempuran menjadi hening namun samar-samar aku merasakan perasaan bahaya yang membuatku tidak bisa tenang. Perasaan ini seperti saat aku bertemu sosok ludruk ireng dulu.

Kami semua yang merasakan perasaan ini mengambil posisi masing-masing untuk mengintip apa yang terjadi di luar.
Terlihat Trah Darmowiloyo terpukul mundur oleh kemunculan sesosok kakek tua, yang terlihat lebih tua dari Mbah Sedo namun dengan bentuk tubuh yang lebih kuat.

“Nggak.. nggak mungkin itu manusia, dia bahkan lebih gila dari ludruk ireng dulu” Ucapku pada Cahyo.

“Bener Nan.. tapi itu siapa?” Tanya Cahyo.
Belum sempat menjawab, Kakek itu melihat keberadaan tempat ini dan mengarah ke arah kami. Sepertinya..

Mundurnya Trah Darmowiloyo mengakibatkan mereka mengalihkan targetnya kepada kami.

“Nan.. dia ke sini nan! Jangan bilang dia bisa menembus tempat ini!” Teriak Cahyo.
Kakek itu berlari semakin cepat dan menerjang tempat ini dengan kekuatan hitam yang menyelimuti tubuhnya.

“Danan, Jagad, baca ajian pelindung!” Teriak Paklek dengan panik
Dengan sekali hempasan, seketika bangunan tempat kami berlindung hancur dan mulai roboh.

Sekat pemisah dimensi yang ada di bangunan inipun menghilang seketika dan membuat seluruh ilmu hitam yang berada di sekitar bangunan ini mulai mengincar kami.
Beruntung, pelindung yang kami buat berhasil menjaga semua manusia yang ada di sini.

“Tika, Ajeng, Raden, Nyai, Pak Gito.. ke arah sini, kita harus keluar” Teriak Dirga yang segera mengevakuasi mereka bersamaan dengan runtuhnya mess ini.
Kepanikan melanda setiap dari kami dan secara bersamaan mengambil posisi mengelilingi mereka yang tidak bisa bertarung.

“Siapa kau! Apa Maumu?” Tanyaku pada sosok yang dengan mudah menghancurkan mess tempat kami berlindung.

“Aku Brotowongso!” Ucapnya dengan tenang seolah tidak takut dengan apapun.

“D..dia! Dia adalah leluhur trah Brotowongso yang hidup ratusan tahun! Sebelumnya aku tidak percaya bahwa dia benar-benar masih hidup!” Ucap Raden Anjar.

Mendengar penjelasan Raden Anjar, kami tidak banyak bertanya dan bersiap menghadapi bahaya besar ini.

“Dua anak kecil itu, Nyai Kanjeng dan Raden Anjar.. mereka keturunan Damar mereka tujuan kita” Jelas Mbah Sedo kepada gurunya itu.
Benar-benar tanpa ucapan apapun, tiba-tiba nyai kanjeng memelototkan matanya seolah merasa kesakitan.

“Paklek!” Teriakku yang segera direspon dengan mengirimkan Geni baraloka pada Nyai kanjeng untuk menghentikan serangan Ki Brotowongso itu.

Mengetahui seranganya gagal Ki Brotowongso maju sendiri dengan membawa sebuah pasak kayu tajam seolah bersiap menusukkan ke tubuh Nyai Kanjeng. Cahyo dengan spontan memanggil kekuatan wanasura dan menghadangnya.

Namun dengan satu sapuan Cahyo terpental jauh dan terjatuh dengan darah yang keluar dari mulutnya.

“Cahyo!” Teriakku yang khawatir engan keadaanya namun aku harus menghadang Ki Brotowongso yang terus menyerang.

Beruntung ki Brotowongso berhenti dengan serangan keris yang di lempar oleh Dirga yang ia kendalikan setiap Ki Brotowongso mencoba menyerang. Akupun segera menghalangi ki Brotowongso dengan tebasan dari keris Ragasukma.

“Paklek! Danan! Tika... itu Tika!!” Teriak Cahyo yang sedang berusaha berlari menghampiri kami.
Sekilas aku menoleh, namun terlambat. Tanpa ada yang sadar, tubuh tika tertarik oleh sebuah kekuatan yang berasal dari Ki Jaran Rundhra.

Pak Gito yang mencoba menahanya terpental dengan luka yang cukup serius.

“Setidaknya tujuan kita tercapai satu untuk mencegah anak haram itu mewarisi Trah Darmowiloyo” Ucap Raden Sarwo Kusumo tanpa wujud yang terlihat.

Aku bersiap menghentikan mereka, namun sebuah tendangan dari Ki Brotowongso membuatku terpental dengan luka yang cukup serius.

“Danan fokus pada lawanmu, biar aku yang menyusul Tika!” Teriak Mas jagad yang segera melebarkan celah dimensi yang dibuka oleh Ki Jaran Rundhra.

Terlalu bahaya untuk Mas Jagad bila memasuki celah itu dengan kondisinya sekarang hingga aku memutuskan untuk melemparkan keris ragasukmaku padanya.

“Mas Jagad, bawa ini!” Teriakku sembari melemparkan kerisku yang ditangkapnya bersamaan dengan tertutupnya celah dimensi itu.

Aku segera kembali menghadapi Ki Brotowongso, dan tiba-tiba Dirga berdiri di hadapanku.

“Mas, Tanpa keris Ragasukma terlalu berbahaya melawan makhluk itu” Ucap Dirga yang terlihat mengkhawatirkanku.

“Dirga.. kalau tanpa pusaka itu kita tidak bisa apa-apa, berarti kita memang tidak pantas memiliki pusaka itu” Jawabku mengulang perkataan Almarhum Bapak kepadaku dulu.
Dirga tidak mengerti, namun dia masih tetap bisa mencerna perkataanku.

“Ayo Nan! Empat lawan dua.. kalau kalah sih malu-maluin, Yang diincar Darmowiloyo hanya Tika berarti saat ini kita berkonsentrasi pada Trah Brotowongso ini” Ucap Cahyo.

Aku membacakan sebuah mantra pada kepalan tanganku yang membuatnya sedikit bercahaya dan berlari ke arah ki Brotowongso. Cahyopun membacakan ajian penguat raga dan menggabungkanya dengan kekuatan wanasura.

Paklek memperbesar geni baraloka dan menyebarkanya di sekitar kami dengan maksud kami siap menggunakanya kapanpun.
Pukulan Cahyo beradu dengan Ki Brotowongso, kali ini ia terpental namun tidak seperti tadi.

Saat perhatianya terpecah aku menghempaskan Ajian Lebur saketi sebuah pukulan jarak jauh dari kepalan tanganku. Sepertinya kali ini seranganku berdampak padanya.

Mbah Sedo yang melihat hal ini segera masuk ke dalam pertempuran, namun keris dirga menghalaunya sementara paklek membaca mantra pembakar untuk membuat jarak diantara mereka.

Kami seolah bisa mengimbangi mereka berdua, namun kami tahu ki Brotowongso masih menyimpan kekuatanya.

“Dirga biar kuajarkan sedikit mengendalikan pusakamu itu” Ucapku sembari menghalau serangan Ki Brotowongso.
Dirga menoleh dan sedikit membagi konsentrasinya.

“Manusia memiliki empat sukma.. Roh, Nafsu, Cahaya, dan Kalbu.. coba tanamkan sebagian pada pusakamu. Dengan begitu kamu bisa mengendalikanya layaknya bagian tubuhmu” Jelasku.
Dirga cukup bingung, namun sepertinya ia terus mencoba.

Aku membiarkanya dulu sementara terus mencoba melawan musuh di depanku.

“Sudah cukup!” Teriak Ki Brotowongso yang mulai kesal. Ucapanya terdengar ke seluruh hutan bersamaan dengan kekuatan hitam yang meluap dari tubuhnya.

Saat itu juga seluruh ingon yang terikat dengan jimat di tubuh mereka muncul dari kabut hitam dan berdiri di belakang mereka layaknya pasukan yang siap melumat habis kami.
Bersamaan itu tiba-tiba Jagad muncul dari kabut itu sambil menggendong tika.

“Tika!” Teriak nyai kanjeng yang segera menjemputnya.

“Lah Mas Jagad, cepet banget“ Tanya Cahyo.

“Cepet gundulmu.. saya sama tika sudah tiga hari di alam sana, beruntung saya lihat kabut hitam yang mirip di rumah Raden Anjar dan bisa muncul di sini lagi” Jelasnya.

Kedatangan Tika bersamaan dengan kembalinya Ki Jaran Rundhra dan Raden Sarwo Kusumo. Kini mereka bermaksud membunuh tika dengan tanganya sendiri, namun Raden Anjar menghadang mereka dan menatap Raden Sarwo Kusumo.

Sepertinya ada benturan kekuatan diantara mereka yang membuat Raden Sarwo tertahan.

“Minggir Raden.. aku tidak mau jika harus ikut membunuhmu” Ucap Raden Sarwo Kusumo.

“Kalau begitu tinggalkan tempat ini, kalian tidak kuijinkan menyentuh mereka selama aku masih hidup” Jawab Raden Anjar.

Sayangnya begitu selesai mengucapkan itu, tiba-tiba cemeti Ki Jaran Rundhra sudah menebas tubuh Raden Anjar hingga darah bermucratan dari tubuhnya.

“Kukabulkan..” Balas Raden Sarwo Kusumo tanpa ragu.
Raden Anjar yang terluka tidak mau menyerah, ia meraih pusaka kalung di tubuh ki jaran rundhra dan membacakan mantra pendek hingga pusakanya terpecah.

“Aku yang memberikan semua pusaka itu padamu.. kini aku mencabut berkah kepemilikan atas itu semua” Ucap Raden Anjar dengan luka yang terus bertambah dari tubuhnya.

Raden Anjar menahan rasa sakitnya dan berkali-kali membacakan mantra dimana di tengah mantra itu terdapat nama-nama berbagai pusaka. Sepertinya itu adalah pusaka yang selama ini pernah ia miliki. Tepat saat mantra itu ditutup serangan Ki Jaran Rundhra terhenti.

“Brengsek! Kau tahu apa akibat atas perbuatanmu..” Ucap Raden Sarwo Kusumo.
Raden Anjar tersenyum dengan darah yang menetes dari mulutnya.

“Ingonmu bebas.. kini mereka akan meminta bayaran atas ikatanmu” itu adalah ucapan terakhir Raden Anjar sebelum terjatuh ke tanah.

“Mas.. Mas Anjar!” Teriak nyai kanjeng yang segera menahan tubuh Raden Anjar yang terjatuh.
Tepat saat selesai berkata itu, Ki Jaran Rundhra menghampiri Raden Sarwo Kusumo dengan wajah yang beringas.

Raden Sarwo Kusumo terlihat ketakutan, ia mencabut kerisnya namun tidak ada kekuatan apapun yang muncul dari pusaka itu. Ia mengusap cincinya, namun tidak ada apapun yang terjadi.

“J..jangan! Pergi! Kamu itu peliharaanku!” Teriaknya dengan putus asa namun Ki Jaran Rundhra tidak peduli.
Setelahnya yang terlihat hanya Ki Jaran Rundhra yang menebaskan cemetinya ke leher Raden Sarwo Kusumo hingga kepalanya terpisah.

Tidak berhenti sampai di situ, Ki Jaran Rundhra tidak membiarkan roh Raden Sarwo Kusumo pergi dan malah memakanya dengan brutal.

“Danan kita menjauh..“ Ucap Paklek yang mulai merasakan bahaya lagi.

Setelah kehilangan tuanya, Ki Jaran Rundhra yang merupakan ingon berumur ratusan tahun berteriak dengan suara yang mengerikan. Dia adalah makhluk pemakan sukma. Keberadaan berbagai macam roh dan ingon yang bersliweran di tempat ini membuatnya menjadi tak terkendali.

Ki Jaran Rundhra memakan satu-persatu roh siluman ular yang dipanggil oleh Mbah Sedo. Ia bertarung dengan Buto bertubuh hitam, namun pertarunganya cukup singkat saat Ki jaran rundhra menemukan titik sukmanya dan memakanya.

Mbah Sedo terlihat panik, ia meninggalkan pertarungan kami dan bermaksud menghentikan Ki Jaran Rundhra. Sayangnya setelah memakan sukma sebanyak itu ia menjadi bertambah kuat dan merepotkan Mbah Sedo.

Melihat itu Ki Brotowongsopun murka, ia membakar dirinya dengan kekuatan hitam melompat ke arah Ki Jaran Rundhra mencekik lehernya dan membantingnya ke tanah.

Ia membacakan sebuah mantra yang membuat tanganya menghitam dengan kuku tajam dan menusukkan tanganya ke tubuh Ki Jaran Rundhra berkali kali hingga makhluk itu menghilang.

“Cahyo... sekuat itu makhluk yang kita lawan” Ucapku.

Cahyo menelan ludah dan sedikit gentar melihat hal itu. Tanpa adanya Raden Sarwo Kusumo seluruh trah Darmowiloyo mundur, namun sebagian dari mereka tidak selamat dari kejaran ingon Brotowongso.

“Kita sudahi ini..” Teriak Ki Brotowongso yang sudah siap menghabisi kami. Tubuhnya tak lagi menyerupai manusia. Kini tubuhnya penuh dengan sisik ular dengan kekuatan hitam yang mengalir tanpa henti.

Saat itu tanpa kami sadari Cahyo sudah terpental, kulit mas jagad menghitam seperti terkena racun, Dirga terlihat terjatuh di tanah dengan luka yang tidak sedikit. Dan aku terlempar dengan berbagai luka cakaran yang dalam.

Kini tinggal paklek yang berada di sana dengan mengandalkan Geni Baralokanya. Sayangnya itu juga tidak berlangsung lama seketika paklek terbatuk memuntahan darah dengan setiap kekuatan yang ia tahan hingga ia ikut terpental.

Ki Brotowongso dan Mbah Sedo menghampiri Tika dan yang lainya, kini tidak ada yang bisa menghalangi mereka. Namun saat tangan ki Brotowongso bersiap meraih Tika, sebuah kekuatan membuatnya melompat menjauh.

Tika mengeluarkan sebuah cincin dengan batu hitam, sebuah pusaka peninggalan keluarga Darmowiloyo.

“Pusaka apa itu Sedo?” Tanya Ki Brotowongso.

“Itu hanya pusaka biasa.. ia hanya menyimpan ingon, aku tidak pernah melihat kemampuanya selain itu” Jawab Mbah Sedo. sepertinya ia juga tidak tahu kekuatan benda yang dimaksud Ki Brotowongso.

Mendengar hal itu Ki Brotowongso maju lagi dan kali ini benar-benar siap menghabisi mereka. Namun kali ini hujan menetes dari langit, kemunculan sesosok makhluk menahan serangan ki Brotowongso.

Tangan Hitam Ki Brotowongso tertahan dengan gemulainya tangan cantik seseorang yang muncul dari rintikan air di depanya.

“Nyi Sendang Rangu! Itu Nyi sendang rangu!” Ucapku dengan penuh semangat.

Aku memaksakan diriku untuk berdiri dan menghampiri mereka, terlihat setiap serangan ki Brotowongso terhalangi oleh selendang Nyi sendang Rangu.

“Paklek, Mas Jagad!” Teriak Cahyo yang khawatir dengan racun di tubuh Mas Jagad.

Dengan sigap paklek mengeluarkan keris pusakanya menorehkan jarinya dan meneterkan darahnya ke keris itu hingga darahnya berubah menyadi nyala api.

Tetesan darah api itu jatuh ke tubuh mas jagad, seketika seluruh racun dan luka ghaib di tubuh mas jagad kembali pulih.

Paklek menoleh ke arah Raden Anjar, bersiap melakukan hal yang sama untuk dirinya. Namun semua sudah terlambat, tatapan mata Raden Anjar sudah kosong seolah tidak lagi bisa menampung jiwanya.

“Paklek… Raden Anjar?” Tanyaku.

Paklek menggeleng dengan wajah sedih. Aku mengerti maksudnya dan saat itu juga aku menitikkan air mata. Kini Raden Anjar berada di penghujung nyawanya, ia berada di perbatasan hidup dan mati dimana surga tidak mungkin menerimanya dan Neraka tidak siap untuk ia sambut.

Kami membacakan doa untuk menenangkan Raden Anjar sementara Nyi Sendang Rangu menahan setiap serangan ki Brotowongso. Tetesan hujan yang dibawa Nyi sendang rangu ternyata mampu menenangkan roh dan ingon yang dibawa oleh Trah Brotowongso sehingga mereka menghilang satu-persatu.

“Tika... Cincin batu hitam itu bukan pusaka untuk menyimpan ingon, itu adalah pusaka yang bisa menghapus darah hitam dari manusia” Ucap Nyi sendang Rangu.

“Kekuatanya tidak menghapus dosanya, dia masih harus mempertanggung jawabkan dosa-dosanya dengan hukum sang pencipta, setidaknya bukan lagi atas kuasa Makhluk tempatnya mengabdi sebelumnya”
Aku tertegun mendengar ucapan Nyi Sendang Rangu. Ada Pusaka yang mampu melakukan hal seperti itu.

“Caranya bagaimana Nyi, Tika nggak tega melihat Raden Anjar seperti ini” Tanya Tika.

“Doa.. pusaka itu hanya akan berguna jika ada seorang trah Darmowiloyo yang masih murni mengampuni dan mendoakan saudaranya yang sudah bertobat.. itulah tujuanku dan Mbah sarjo membuat pusaka itu atas titipan Mbakyu leluhurmu” Jawab Nyi Sendang rangu.

Mendengar ucapan itu Mbah Sedo seketika memperhatikan kami.

“Pusaka itu? Pusaka itu bisa menghapus darah hitam?” Ucap Mbah Sedo dengan mata yang berbeda dari sebelumnya.

“Apa Maumu?!” ucapku yang segera menghadang Mbah Sedo mendekati Tika.

“Jika itu titipan Mbakyu, apa itu juga bekerja untukku?” Tanya Mbah Sedo. Saat itu juga Ki Brotowongso menghujamkan pukulan yang membuat Mbah Sedo terpental.

“Jangan pernah berani mengkhianati Ratu!” Ucap Ki Brotowongso.

“Tapi Ki.. saya dengan itu saya bisa selamat dari ikatan ini... Saya punya kesempatan bertobat dan tidak harus mencari tumbal untuk menghindari kematian.

Saya memilih dosa saya diadili oleh Yang maha Pencipta daripada selamanya di neraka bersama Ratu dan pengikutnya..” Ucap Ki Sedo yang ternyata selama ini takut dengan kematianya sendiri.

“Tolong Ki... saya takut ki, sayang ingin mati dengan darah yang sama seperti saya dilahirkan..”
Ki Brotowongso terlihat murka. Ia menjambak rambut Mbah Sedo, dan mengangkat wajah Mbah Sedo kehadapanya.

“Baik kalau kau memang begitu ingin mati”
Ki Brotowongso mengangkat pasak kayu yang selalu ada di tanganya, menusukkanya ke tubuh Mbah Sedo.

“J..Jangan Ki! Ampun! Saya tidak mau mati seperti ini!” Teriaknya dan menoleh ke arah Tika.

“T..Tika! Tolong! hapus getih ireng sa...”

Belum sempat menyelesaikan ucapanya, Leher Mbah Sedo sudah terpisah dari badanya. Pemandangan itu terlalu mengerikan untuk kami lihat.

“Butuh lebih dari ini untuk menghabisi kalian semua...“ Ucap Ki Brotowongso yang segera mengangkat leher Kepala Mbah Sedo, meminum dan melumuri darah Mbah Sedo ke tubuhnya.

“Ajian Getih Demit! Hati-hati!” Teriak Cahyo.
Ini adalah ajian yang digunakan dukun yang melawan kami sebelumnya. Namun jelas kali ini jauh lebih berbahaya.

Seketika tubuh ki Brotowongso meghilang. Tempat ini dipenuhi oleh asap hitam yang pekat. Bahkan hujan nyi sendang rangupun tak mampu menghilangkanya. Ia berinisiatif untuk tetap disekitar tika dan menjaganya.

Aku merasakan bahaya dari sisi belakang dan segera menghindar, namun cairan hangat sudah membasahi bahuku yang disusul rasa sakit yang tidak tertahankan. Suara teriakan Cahyo, mas jagad, dan dirga menyusul setelahnya.

“Arrgh..!” Aku berteriak seiring rasa sakit yang kurasakan.
Tidak ada yang bisa kuliihat dengan pasti, tak berapa lama aku terjatuh secara tiba-tiba dengan lubang yang sudah ada di salah satu kakiku.

“Aarrrrhh! Maju lawan aku satu lawan satu kalau berani! Jangan bersembunyi seperti pengecut” Teriak Cahyo.
Sepertinya ia ingin memancing keberadaan Ki Brotowongso dan menjadikan dirinya tamsak untuk mengurangi serangan Ki Brotowongso pada kami.

“Cahyo Jagan Bodoh!” Teriakku.

Tidak ada cara lain, aku harus memisahkan sukmaku.. namun aku baru sadar kerisku masih ada di tangan Mas Jagad.
Samar-samar aku mendengar suara berbisik. Itu seperti bacaan sebuah mantra, aku tahu itu suara paklek namun aku belum pernah mendengar mantra itu sebelumnya.

Tak lama setelahnya terlihat terdengar suara teriakan Ki Brotowongso yang diikuti hilangnya asap hitam ini secara perlahan.
Dengan menahan semua lukaku, tiba-tiba aku melihat Ki Brotowongso terbakar api hitam dari setiap luka yang tergores di tubuhnya.

“Paklek.. itu apa paklek? Jangan bilang itu ilmu hitam?” Tanyaku.

Paklek yang masih mengatur nafasnya mencoba menjawabku.
“Ilmu hitam gundulmu... ini kekuatan bilah hitam keris sukmageni, yang paklek dapat di perjalanan sebelumnya.
Dengan mantra tadi paklek bisa memanggil api hitam ke setiap luka yang ditorehkan bilah hitam keris sukmageni ini” Jelasnya.

Aku takjub dengan kekuatan itu.
Ki Brotowongso terlihat kesakitan dengan luka yang diakibatkan oleh paklek.

Ia mengamuk dan menyerang kami tapi belum sempat melangkah, ia tertahan oleh keris yang mengejarnya. Itu pasti Dirga, tapi tunggu.. itu bukan hanya satu buah keris, tapi ada empat keris.

“Dirga itu apa?“ Tanyaku.

“Kata Mas Danan manusia memiliki empat sukma.. sekarang sebagian sukma itu sudah masuk ke keris pusaka ini. Ini hasilnya” Ucap Dirga dengan wajah yang senang, namun terlihat tenaganya tidak tersisa banyak.

Mas Jagad di belakangnya sudah bersiap untuk membantu Dirga dengan menyalurkan kekuatanya.
Perlahan api yang hangat menyelimuti tubuhku, aku tahu ini adalah tetesan api bilah putih keris sukmageni milik paklek. Seketika sebagian lukaku menutup.

“Danan, Panjul Selesaikan semua!” Perintah paklek yang tenaganya terkuras dengan ilmu bilah hitam keris sukmageni itu.
Aku menangkap keris ragasukma yang dilemparkan mas jagad dan bersiap maju. Cahyo juga sepertinya sudah pulih dengan ilmu paklek.

Saat kami berdua maju Hujan turun semakin deras. Nyi sendang rangu yang sedang melindungi tika berkata kepada kami.

“Airku mampu menghubungkan dunia manusia dan dunia roh dan memurnikan dendam.. ingat itu” Ucap Nyi Sendang Rangu seolah memberi petunjuk.

Seketika aku menoleh pada Cahyo memastikan ia mengerti maksudnya.
“Wanasura!!!” Cahyo berteriak sekuat tenaga. Kali ini bukan sosok roh wanasura yang merasuki tubuh Cahyo, namun Wujud Wanasura terlihat jelas di hadapan kami.

Seekor kera raksasa dengan tubuh yang dihiasi perhiasan kerajaan kini berada di hadapan kami.
“Selama hujan ini ada, Wanasura bisa ikut bertarung... Naik nan! Aku tau rencanamu!” Ucap Cahyo.

Aku dan Cahyo menaiki tubuh Wanasura dan melompat bersiap menghujamkan serangan ke tubuh Ki Brotowongso yang sudah melemah dengan api paklek namun ia masih cukup kuat untuk menghindar.

Asap hitam dari ajian getih demit kembali muncul dan menghalangi pandangan kami. dengan kemampuan wanasura, kami melompat setinggi-tingginya mencari keberadaan Ki Brotowongso.

“Dirga, di belakan paklek!” Teriakku yang segera direspon dengan mengarahkan kerisnya ke titik itu. Ki Brotowongso yang sadar segera menghilang, Wanasura mendarat dan menghempaskan asap hitam itu namun hanya sementara.

Dengan strategi ini kami bisa membaca kemana serangan Ki Brotowongso hingga Wanasura berhasil mendaratkan pukulan ke tubuh ki Brotowongso.
Cahyo membacakan Ajian penguat raga, melompat dari tubuh wanasura dan menendang ki Brotowongso tepat di kepalanya.

Tak terima dengan serangan itu, Ki Brotowongso kembali mengejar Cahyo dan menusukkan kukunya yang tajam ke tubuh Cahyo..
Namun bukan tubuh Cahyo yang terluka, melainkan hanya sarungnya yang ia lemparkan untuk mengelabuhi penglihatan ki Brotowongso itu.

Tak melewatkan kesempatan, aku membacakan sebuah mantra ke keris rogosukmo, dan menuskukkan kerisku ke tubuh ki Brotowongso. Sekali lagi aku memisahkan tubuhku dengan sukmaku dan menusukkan wujud ghaib keris ragasukma ke sisi lain dari tubuh Ki Brotowongso.

Wanasura yang melihat sukmaku sudah terpisah segera mengambil tubuhku dan melompat ke atas.

“Dirga di sini!” Teriakku.
Seolah merespon ucapanku, keris Dirga yang terbagi menjadi empat wujud itu berkumpul dan menghujamkan diri ke tubuh Ki Brotowongso.

Saat itu juga asap hitam menghilang, darah hitam bermuncratan dari setiap luka yang kami tujukan ke Makhluk yang lebih menyerupai demit daripada manusia itu.

“T..tidak, aku tidak mau mati...” Teriaknya dengan gemetar dan terjatuh ke tanah.

Saat mencapai akhir batasnya raut wajah sombong Ki Brotowongso berubah menjadi memelas.

“T..tolong Nyi... biarkan aku jadi pengikutmu, tapi biarkan saya hidup” Ucapnya sambil merayap di tanah meminta pertolongan.

Nyi Sendang Rangu berjalan mendekat ke arahnya di tengah derasnya hujan. Saat mendekat ke arahnya, Wajah dan tubuh nyi sendang rangu berubah menghitam, menua, dengan penuh borok dan luka.. matanya menghitam dengan darah yang terus mengalir tanpa henti.

Ki Brotowongso seketika tertegun tak mampu menatapnya. Tubuhnya kaku, matanya terus melotot seolah tidak siap untuk mati, namun darahnya terus mengalir hingga akhirnya tidak ada reaksi dari tubuhnya.

Aku terbaring di atas tanah melampiaskan lelahku dibawah guyuran air hujan nyi sendang rangu.
Wanasura berteriak dengan keras memamerkan kekuatanya yang mengakibatkan semua makhluk di sekitar hutan ini menjauh.

Cahyo masih berbaring dengan nyaman di pundak wanasura sementara Dirga sudah tidak sadar kehabisan tenaga dan terbaring di pangkuan mas jagad.
Paklek berjalan ke arah Tika, mendekatinya dan melihat Raden Anjar sudah berisitrahat dengan tenang dengan doa dari Tika.

“Nyi Sendang Rangu.. jangan pergi dulu ya, saya mau menikmati hujan ini dulu” Ucapku.

“Iya, kalau ngerasain hujan ini rasanya bentar lagi bakal ada demit kakek tua yang muncul terus nendang tiba-tiba” Ucap Cahyo yang sepertinya juga kangen dengan eyang widarpa.

Aku dan paklek tertawa mendengar ucapan Cahyo.
“Maafkan kami ya Nyai, Ajeng, kami tidak bisa menyelamatkan Raden Anjar” Ucap Jagad.

Ajeng menggeleng, ia menangis namun sepertinya ia cukup tenang saat melihat ayahnya meninggal tanpa terikat dengan darah hitamnya lagi.

Aku menyudahi istirahatku dan menghampiri Nyi Sendang Rangu.

“Nyi Terima kasih banyak, tanpa nyi sendang rangu mungkin kami sudah mati” Ucapku.

“Jangan remehkan perlindungan Yang Maha Pencipta, tanpa akupun jika Ia berkehendak kamu pasti selamat” Balasnya.

Wanasura sudah kembali menghilang, dan Cahyo menghampiri kami.

“Nyi, kalau suatu saat Danan butuh bantuan.. apa Danan bisa manggil Nyi Sendang Rangu lagi” Ucap Cahyo dengan polosnya.

“Aku tidak terikat perjanjian dengan manusia manapun, aku tidak akan muncul walau kamu membaca mantra itu lagi” jawab Nyi Sendang Rangu.

Aku sudah tau itu, sebelumnya memang nyi sendang rangu akan menjawab seperti itu, aku sudah mencoba sebelum bertemu Nyi Sendang Rangu dan tidak ada siapapun yang terpanggil.
Ia memang tidak ada hubungan darah maupun perjanjian denganku.

Tapi dengan bantuanya kali saja aku sudah sangat berterima kasih.

“Tapi apa mungkin kita bisa bertemu lagi?” Tanyaku yang berharap suatu saat bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.

“Aku akan mengawasi Tika dari jauh, dan lagipula kalian masih memiliki selendang pemberian Raden Anjar, dan kalian sudah tahu kediamanku.. jika beruntung mungkin kita bisa bertemu” Jawab Nyi Sendang Rangu.

“Dan satu lagi, seandainya ada kejadian yang menempatkan diri kalian di posisi hidup dan mati, tidak ada salahnya mencoba membaca mantra itu lagi” Ucapan terakhir Nyi Sendang rangu itu benar-benar membuatku tenang.

“Nyi, Terima kasih...“ Ucap tika sambil menggenggam selendang Nyi sendang Rangu.

“Bimbing ibumu ya, sekarang ada Ajeng.. kamu nggak akan kesepian lagi. Darmowiloyo memang hanya nama, namun darah yang mengalir di tubuhmu tetap memiliki maksud.
Kejadian yang dialami Raden Anjar dan Raden Sarwo Kusumo pasti sudah diketahui anggota keluarga yang lain.. seharusnya mereka sudah bisa menentukan akan mengikuti jalan hidup siapa” Jelas Nyi sendang Rangu.

Hujan perlahan mulai mereda, rintik hujan perlahan menjadi buih-buih air bersamaan dengan datangnya matahari pagi. Setelah memulihan tenaga, kami menguburkan dengan layak semua jasad korban perang ilmu hitam semalam di tanah yang layak dan segera keluar meninggalkan hutan ini dengan mobil mas jagad.
Beruntung mobil nyai kanjeng masih berada di mulut hutan dengan aman.

“Mas! Pak Gito... mampir tempat makan dulu ya laper! Di dekat terminal ada warung lesehan... sekalian numpang mandi” Ucap Cahyo sambil melaju motornya.

“Halah Jul, biasaya mandinya nunggu diseret kliwon dulu” Ledek Paklek.

“Hehe... serius paklek, laper” balasnya.

Menuruti permintaan Cahyo, kamipun berhenti di warung lesehan dekat terminal. Pemandangan sawah di warung ini cukup membuatku sedikit terkantuk.

“Nyai kanjeng habis ini kembali ke kota?” Tanya Cahyo.

Nyai Kanjeng menggeleng, rupanya semalam mereka sudah memutuskan untuk tinggal di rumah Pak Gito dan hidup sederhana di sana.

“Saya mau mulai usaha kecil-kecilan saja Mas... Nyai kanjeng, maksud saya Danastri mau membantu saya. Kami juga mau menikah secara resmi” Ucap Pak Gito malu-malu.
Mendengar ucapan itu mataku yang terkantuk seketika terbuka.

“Yang bener Nyai Kanjeng?” Tanyaku.

“Panggil Bu Astri saja... sepertinya hidup sederhana seperti kalian jauh lebih menyenangkan.
Mungkin saya masih harus belajar untuk melakukan pekerjaan rumah, mudah-mudahan Mas Gito bisa sabar” Jawab Nyai Kanjeng.

“Nanti Ajeng bantuin Bude, Ajeng udah pinter urusan gituan” Potong Ajeng.

“Tika Juga, urusan rumah pasti beres!” Lanjut Tika.

Aku cukup senang dengan rencana mereka, semoga saja setelah ini mereka bisa hidup lebih tenang walau tanpa kekayaan sebanyak yang mereka miliki sebelumnya.

“Paklek, Mas Danan dan Mas Cahyo habis ini mau kemana?” Tanya Tika.

“Mau main ke desa Windualit, sudah janji sama Dirga” Jawabku yang dibalas dengan anggukan semangat oleh Cahyo.

“Asiiik! Habis itu mampir ke tempat Dirga ya! Siapa tau ada cerita dari bapak ibu yang bisa membantu mas Danan dan Mas Cahyo” Ucap Dirga.

“Iya Mas, sekalian kampung tempat tinggal Dirga bersebelahan dengan pabrik tahu milik seseorang yang bernama Putra. Nanti saya traktir tahu sepuasnya lengkap sama sambelnya” Ucap Mas Jagad.

“Duh jadi nggak sabar” Jawab Cahyo.

“Nanti saya kenalin sama yang namanya Ningsih..” Lanjut mas Jagad.

“Ningsih yang ngerasukin tika?” Tanya Tika.

“Bukan, Ningsih yang ini lebih cantik” Jawab Mas Jagad dengan tawa kecil yang cukup mencurigakan.

Kami menghabiskan siang itu dengan perbincangan ringan sebelum akhirnya memisahkan diri. Kejadian ini sedikit membuka mataku bahwa ada entitas-entitas diluar sana yang menggunakan sosok-sosok yang menggelapkan mata untuk menjerumuskan manusia untuk jatuh dalam dosa.

Sebuah kesaktian, kekayaan, dan tahta tidak selamanya menjanjikan kebahagiaan. Namun rasa syukur atas semua yang dimiliki kadang bisa merubah dunia dari cara pandang kita dan menjauhkan dari godaan duniawi.

Aku menoleh ke arah Cahyo, sepertinya dia yang paling tidak sabar untuk kembali ke Desa Windualit dan entah mengapa aku merasakan Dirga akan menemukan sesuatu di sana.

TAMAT
close