Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GETIH IRENG ABDI LELEMBUT (Part 6) - Leluhur

Danan dan Cahyo akhirnya kembali setelah menemui Nyi Sendang Rangu. Mereka mendapati pendopo nyai kanjeng sudah seperti medan perang.. Paklek seorang diri menahan berbagai serangan disana.


JEJAKMISTERI - Aku dan Cahyo melaju secepat mungkin ke arah Pendopo tempat persembunyian Nyai Kanjeng yang berada di pedalaman hutan. Mengerikan, tak seperti saat kami pertama kali ke tempat ini, hampir dari seluruh penjuru hutan terlihat makhluk berbagai wujud melayang menuju arah pendopo.

“Cahyo.. cepetan, kalau lawanya makhluk sebanyak ini Paklek pasti kewalahan!” Ucapku yang terus memaksa Cahyo untuk melaju dengan cepat.

“Sek to Nan, sabar.. mbok kowe liat ning ngarep kuwi ono opo” (sebentar to Nan, sabar.. coba kamu lihat di depan itu ada apa) Ucap Cahyo yang perlahan mulai menghentikan motornya.

Benar kata Cahyo, di hadapan kami sudah berkumpul sejumlah pocong yang sepertinya berniat untuk menghalangi kami.

Di tempat ini tidak ada pemakaman, hampir dapat dipastikan pocong-pocong ini adalah kiriman seseorang.

“Mereka ini sebenernya gak ngerti atau pura-pura gak ngerti sih.. melihara satu pocong buat penglaris aja hidupnya pasti gak tenang.. gimana kalau sebanyak ini” Ucap Cahyo kesal.

“Mereka gelap mata, justru kalau ada kesempatan.. tugas kita buat nyadarin mereka” Balasku.

Aku dan Cahyo membaca ayat-ayat suci untuk menenangkan jasad-jasad yang terbungkus kain kafan yang berdiri di hadapan kami.

Suara geraman dan tangisan terdengar dari penampakan-penampakan di hadapan kami. Entah itu suara tangisan atau suara amarah, semua terdengar jadi satu hingga tidak dapat dibedakan.

Saat perlahan demi perlahan sosok itu menghilang, aku dan Cahyo kembali menaiki motor Cahyo untuk melanjutkan perjalanan, Namun salah satu sosok pocong tadi terlihat berubah menyerupai kakek-kakek dan menghampiri kami.

“Matur suwun yo Le... Ati-ati karo sung uwis nduwe getih ireng, mereka dudu menungso meneh” (Terima kasihya nak, hati-hati sama mereka yang sudah mempunyai darah hitam. Mereka bukan lagi manusia) Ucap sosok kakek itu yang segera menghilang bersama dengan sosok lainya setelah memperingatkan kami.

“Getih ireng... apa mereka sudah tidak bisa kita anggap sebagai manusia lagi?” Tanya Cahyo.

“Seperti Girman kemarin ya? Aku nggak bisa mikir sekarang... nanti kita tanyakan sama Paklek juga” Jawabku yang segera memberi isyarat ke Cahyo untuk terus melaju Vespa Tua miliknya.

***

Seperti yang sudah kami duga, secara tak kasat mata Pendopo Nyai Kanjeng sudah berubah menjadi medan pertempuran.

“Paklek!” Teriakku yang melihat Palek sedang duduk bersila di hadapan pintu dengan menggenggam kerisnya.

Saat mendekat aku merasakan hawa panas, aku tahu ini adalah pelindung yang dipasang Paklek yang hanya membakar makhluk yang mendekat dengan niat jahat.

“Sana bantuin Paklek, biar aku yang jaga raga kalian...” Perintah Cahyo.

Dengan segera aku mengambil posisi di sebelah raga Paklek, membentuk posisi yang sama, menggenggam keris ragasukma di dada dan memisahkan sukma dari ragaku.
Mengerikan.. dalam wujud sukma terlihat dengan sangat jelas.

Paklek seorang diri menahan berbagai macam serangan siluman-siluman dari berbagai wujud. Tak hanya itu, terlihat beberapa wujud manusia melayang di sekitaran pendopo ini.

“Jangan bengong Danan, Paklek bisa ngurusin demit-demit ini.. kamu urus yang di belakang rumah, terlambat sedikit semua yang di pendopo dalam bahaya” Ucap Paklek.

Aku menoleh ke tempat yang diperintahkan oleh Paklek, di sana terlihat sosok makhluk wanita besar berambut hitam panjang.

Tapi sebenarnya aku tidak bisa membedakan apa itu rambut atau lendir.. sebagian tubuhnya seperti tenggelam di tanah sementara tangan dan sebagian tubuhnya merangkak berusaha menembus pelindung yang dibuat oleh Paklek.

Dengan penuh konsentrasi, aku membacakan sebuah mantra pada kepalan tanganku dan melemparkan ajian lebur saketi, sebuah pukulan jarak jauh untuk melumpuhkan makhluk itu.

Sayangnya ia hanya sedikit terpental dan kembali lagi pada posisinya. Pantas saja Paklek tidak mampu menahan makhluk ini sambil melawan makluk lainya.

“Danan.. makhluk sekuat itu pasti punya pengikat entah jimat, pusaka, atau apa.. coba dicari dulu”

Teriak Cahyo yang menjaga tubuh kami sambil mengawasi pertempuran ini.
Benar kata Cahyo. Akupun memilih meninggalkan makhluk itu melayangkan sukmaku lebih tinggi dan mencoba membaca aliran kekuatan yang memperkuat makhluk itu.

Samar-samar namun terlihat, sebuah benda terkubur di bawah salah satu pohon. Di sana juga terlihat bekas tanah yang baru dikubur. Aku segera menghampirinya dan menghujamkan keris ragasukmaku ke tanah.

Sontak ledakan kecil muncul dari tanah dan mengeluakan benda berupa botol kayu kecil yang pecah oleh seranganku. Aliran benda kental berwarna hitam seperti keluar dari botol itu menyerupai darah yang sudah membusuk.

Saat itu juga suara teriakan menggema ke seluruh hutan, sosok makhluk wanita hitam bertubuh besar itu berteriak seperti merasa kesakitan. Tak menyia-nyiakan waktu, aku segera menghampirinya membacakan mantra pada kerisku dan menusukan ke tubuh makhluk itu.

Sekilas aku merasakan terdapat lebih dari satu jiwa yang membentuk makhluk ini. Ada ratusan... ratusan nyawa yang ditumbalkan oleh pemilik ingon ini untuk bisa membuatnya patuh.

Kali ini di setiap seranganku kubacakan doa-doa yang kuharap bisa sedikit meringankan beban mereka yang mati dengan mengenaskan di tangan manusia biadab yang menumbalkan mereka hanya demi kekuatan fana ini.

Saat makhluk itu menghilang tiba-tiba salah satu sosok sukma manusia yang melayang terjatuh dan menjadi pucat seolah kekuatanya mulai menghilang.

“Brengsek kalian! Untuk apa kalian ikut campur urusan kami” Ucapnya.
Aku menghampiri Paklek, sepertinya dialah pemilik ingon itu.

“Sudah hentikan.. masih ada waktu untuk bertobat! Nyai Kanjeng dan Raden Anjar sudah memilih jalan yang benar. Sampai kapan kalian ingin seperti ini?” Teriakku.

“Sampai semua yang menghalangi tujuan kami Mati!” balasnya dengan penuh emosi.

Kali ini sukma salah seorang yang lain yang menyerang pendopo seperti membaca mantra. Hanya dengan mendengar ucapanya saja aku sudah merasakan bahaya. Tak lama setelahnya muncul siluman berwujud mancan tak jauh dari hadapan Cahyo.

“Hati-hati Cahyo!” Teriakku.

Namun sepertinya kekhawatiranku sia-sia. Dalam sekejap Sosok siluman macan itu segera terpental jauh ke arah pemanggilnya. Tak mau menyia-yiakan waktu, Paklek membacakan sebuah mantra dan memainkan gerakan tangan hingga muncul sebuah api.

Geni Baraloka... Salah satu ilmu terkuat milik Paklek. Ia melemparkan serpihan-serpihan apinya pada roh-roh penasaran yang diperbudak oleh mereka hingga roh itu bisa tenang dan pergi ke alam seharusnya.

Melihat kondisi pertempuran sudah berbalik, manusia dalam sosok sukma itu memilih untuk mundur dan menarik semua pengikutnya.

“Bukan hanya kami.. ada begitu banyak orang yang menginginkan kematian anak itu dan ibunya! Kalian pasti mati!” Ancam salah satu dari mereka.

***

Saat keadaan sudah aman, aku dan Paklek kembali ke raga kami dan segera masuk memastikan keadaan Tika dan yang lain. Sungguh pemandangan yang tidak pernah kusangka. Pak Gito, Tika, Nyai Kanjeng dan Yu Nijah sedang bersimpuh sambil melantunkan ayat-ayat suci.

“Paklek?” Tolehku pada Paklek.

“Tika yang ngajak.. dia yang mengajarkan ibunya sedikit demi sedikit mendalami agama” Jawab Paklek. Aku sedikit tersenyum dan perlahan menghampiri mereka.

“Mas Danan, Mas Cahyo...!” Sambut Tika dengan wajah cerianya. Sepertinya walaupun dalam keadaan mencekam, Tika juga mendapatkan hal baik yang bisa membuatnya tersenyum seperti itu. Tebakanku... hal baik itu adalah kedua orang tuanya berada di sisinya.

“Heh... kowe wis adus durung? (Kamu sudah mandi belum?) jangan-jangan dari pas Mas tinggal kamu belum mandi?” Goda Cahyo.
Tika yang berlari menghampiri kami seketika berhenti dengan memasang raut muka cemberutnya yang lucu.

“Halah.. jangan didengerin Tik, yang belum mandi itu mas Cahyo.. alasanya lagi dalam keadaan darurat terus” Timpalku.
Cahyo membalasnya dengan nyengir sambil sesekali mencium bau tubuhnya.

Belum lama kami memasuki Pendopo tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti suara benda yang terjatuh, sepertinya itu sebuah serangan yang terhalang olah perlindungan Paklek.

“Kita harus segera meninggalkan tempat ini... sepertinya akan semakin banyak serangan” Ucapku.

“Paklek setuju.. tapi ke mana? Nyai Kanjeng ada tempat yang lebih aman?” Tanya Paklek ke Nyai Kanjeng namun ia hanya menggeleng.

“Selama ini tidak ada yang bisa menyerang keluarga Darmowiloyo sampai seperti ini... jadi kami tidak pernah mempersiapkan untuk kejadian ini” Jawabnya.
Kami berpikir cukup keras hingga tiba-tiba Cahyo menghampiriku.

“Nan... aku penasaran, Mess yang dulu kita datangi di Desa tanggul Mayit sepertinya tidak ada yang berani masuk ke sana, termasuk demit-demit suruhan dukun itu... Apa ada kekuatan yang melindunginya?” Tanya Cahyo.

Seketika aku teringat kejadian saat menolong Yanto dan teman-temanya. Setiap saat aku meninggalkan Mess itu tubuhku merasakan adanya perbedaan aliran kekuatan yang membuatku terhuyung.

“Benar juga.. Nyai Kanjeng, sebenarnya itu tempat apa?” Tanyaku.

“Saya tidak tahu.. tapi menurut adat turun-temurun dari Trah Darmowiloyo, tempat itu tidak boleh dimasuki. Tempat itu menjijikkan karena hanya digunakan untuk menyimpan calon tumbal” Jelas Nyai Kanjeng.

Mendengar kata-kata itu aku sedikit kesal. Sebegitu rendah kah nyawa manusia di mata mereka Trah Darmowiloyo.

“Lalu mengapa saat itu Nyai Kanjeng menyimpan Jasad hidup anak Nyai Kanjeng di sana?” Tanyaku.

“Saat itu tumbal-tumbal yang disediakan memang untuknya sehingga ia harus berada dekat dengan calon tumbalnya..” Jawab Nyai Kanjeng.
Cahyopun merasa kesal mendengarnya.

“Itu pasti kata dukun itu kan?” Tanya Cahyo memastikan dan Nyai Kanjeng hanya mengangguk mengiyakan.

“Danan.. Kalau gitu kita ke sana!” Teriak Cahyo.
Saat itu juga semua yang ada di Pendopo setuju, Yu Nijah yang tidak ada hubungan apa-apa dengan kejadian ini akan kami turunkan di rumah keluarganya yang tak jauh dari hutan ini.

***

Pak Gito, Aku, Tika dan Nyai Kanjeng bersiap menggunakan mobil milik Nyai Kanjeng sementara Cahyo dan Paklek sedang membersihkan jok vespa tua Cahyo dan bersiap menaikinya.

“Paklek! Paklek kenal dengan Mas Jagad? Katanya sepupu Paklek dan masih ada hubungan darah dengan kita?” Tanyaku sementara Pak Gito sedang mempersiapkan mobilnya.

“Owalah Jagad... sudah lama nggak ketemu, lha kalian ketemu di mana?” Tanya Paklek.

“Di Rumah Raden Anjar.. saat ini nasib Raden Anjar tidak jauh dengan Nyai Kanjeng, Mas Jagad kumintai tolong untuk melindungi Raden Ajar dan anaknya..” Ucapku.
Saat itu juga Cahyo menoleh, seperti baru ingat sesuatu.

“Kalau begitu Raden Anjar pasti juga diincar Nan! Mungkin Nyai Kanjeng bisa mengirim utusan untuk mengajaknya ke mess” Teriak Cahyo.
Paklek menepuk pundak Cahyo dan menenangkan kami.

“Sudah.. tidak usah minta tolong Nyai Kanjeng, biar Paklek saja! Ayo cepat kita berangkat” Jawab Paklek.

“Lah Paklek juga bisa ngirim utusan ghaib? Kok aku baru tahu?” Tanya Cahyo.

“Utusan ghaib gundulmu! Tinggal nelpon Jagad aja kan bisa... jangan bilang kelamaan di Jagad segoro demit bikin kamu lupa teknologi jaman sekarang” Ucap Paklek.
Aku sedikit tertawa melihat Cahyo yang menggaruk-garuk kepalanya.

“Ya sudah Paklek, kira-kira mereka ada kendaraan untuk ke sana nggak ya?” Tanyaku.

“Lah, kalian nggak ngeliat pas ke sana Jagad naik apa?” Tanya Paklek.
Kami berdua menggeleng.

“Helikopter... udah nggak usah khawatir, Cepet Jalan..” Perintah Paklek lagi.

“Helikopter? Serius Paklek..” Tanyaku.

“Iya.. udah nggak usah musingin mereka..”

Saat itu Pak Gito memberi isyarat bahwa mobil sudah siap dan Nyai Kanjeng sudah masuk bersama Tika. Kami segera memulai perjalanan menuju mess tempat yang dulu selalu kami harap tak pernah ada.

***

Malam semakin larut, kami melaju kendaraan dengan cepat. Rupanya prediksi Cahyo benar, Paklek juga diincar oleh orang-orang ini. Hal mengagetkan kuketahui saat aku menanyakan kepada Nyai Kanjeng, rupanya dari sekian banyak yang mengincar Tika dan Nyai Kanjeng, sebagian besar adalah saudara-saudara mereka sendiri yang ingin menghabisi Tika.
Keberadaan Tika sebagai anak dari pemimpin trah Darmowiloyo dianggap sebagai aib oleh saudara-saudara Nyai Kanjeng.

Walaupun tidak berniat untuk ikut campur dengan urusan Darmowiloyo, mereka tetap khawatir suatu saat Tika akan memiliki kemampuan untuk mengambil posisi tertinggi di trahnya.

Saat mulai memasuki jalan yang dikelilingi hutan, di tengah perbincangan kami tiba-tiba terdengar suara pukulan dari atap mobil. Awalnya kami menganggap sebagai suara benda jatuh biasa. Namun suara itu terus berulang seperti sesuatu sedang berada di atas mobil ini.

“Mas Danan! I..itu apa? Tika Takut...” Aku menoleh kebelakang dan melihat wajah tika yang pucat pasi dipelukan Nyai Kanjeng. Ia menatap ke jendela di sebelahnya, dan terlihat dengan jelas sesuatu yang membuatnya sampai ketakutan seperti itu.

Itu adalah rambut hitam panjang menjuntai yang diikuti dengan wujud kepala seorang nenek tua yang menatap ke arah Tika dari atap mobil. Aku bersiap membacakan doa untuk mengusirnya, namun kali ini gantian Pak Gito yang terlihat kaget hingga mobil yang kami tumpangi hampir keluar jalur.

“Mas s...setan...“ Ucap Pak Gito yang terlihat menjauhi jendela di sampingnya.

Rupanya niat mereka membunuh Tika tidak main-main hingga mengirimkan makhluk ini untuk mengejar kami.
Aku membacakan ajian muksa pangreksa untuk menghindari niat jahat dari makhluk-makhluk itu, namun sepertinya itu tidak cukup.

Aku harus keluar untuk menghadapi mereka, tapi ini bukan seperti di film-film action dimana aku bisa bertarung di atas mobil tanpa terjatuh. Bisa-bisa bukanya beradu dengan demit dan malah wajahku yang beradu dengan aspal.

Di tengah kebingunganku aku melihat Paklek sedang mengikatkan sarung Cahyo ke tubuhnya dan Cahyo seolah menjaga agar tubuhnya tidak terjatuh. Aku seperti membaca niat Paklek dan segera menarik keris Rogosukmo dari tubuhku.

“Mas.. mas Danan mau ngapain?” Tanya Pak Gito.

“Tolong jaga tubuh saya ya Pak..“ Ucapku yang segera memisahkan sukmaku dari raga dengan menggenggam wujud ghaib Keris Ragasukma. Dengan tubuh Sukma aku dan Paklek bisa bertarung dengan Makhluk-makhluk kiriman ini tanpa takut terjatuh.

Dari atas mobil aku melihat sosok nenek dengan leher panjang yang menakuti Tika tadi berusaha memasuki mobil namun sesuatu seperti menghalanginya.

Saat itu juga aku menusuk roh itu dengan keris ragasukma hingga asap hitam keluar perlahan dari tubuhnya. Sayangnya dari sisi jendela Pak Gito makhluk serupa berbalik menyerangku dengan menyemburkan asap hitam yang membuatku hampir tidak bisa melihat keadaan sekitar.

Tanpa penglihatan yang jelas tiba-tiba sebuah luka gigitan tersemat di pundaku, wujud sukmaku tidak mengeluarkan darah.. namun rasa sakit juga dirasakan oleh tubuhku.
Aku mencari keberadaan makhluk-makhluk itu di tengah kepungan asap hitam, namun tidak menemukanya sampai sebuah mantra terdengar menggema di sekitarku. Itu adalah suara Paklek.
Seketika Asap itu menghilang dan keberadaan kedua nenek itu kembali terlihat..

“Danan... segera habisi kedua makhluk itu. Mereka Cuma pembawa teluh.. Biar Paklek fokus mencari apa yang mereka bawa” Perintah Paklek.
Aku setuju dengan Paklek, mereka bukan makhluk yang sulit di hadapi.

Namun sesuatu yang mereka kirimkan mungkin bisa mempengaruhi Pak Gito atau kendaraan ini hingga mencelakakan kami semua.

Dengan segera aku membacakan doa untuk menenangkan kedua makhluk itu namun ternyata kekuatan hitam mengikat kedua makhluk ini yang membuat mereka patuh oleh mereka yang mengirimnya.

Paklek masuk ke dalam mobil dan mengeluarkan benda kecil yang terbungkus kain kafan seperti berisi tanah kuburan dan terikat jerami, entah ada apalagi yang berada di dalamnya. Yang pasti aku merasakan kekuatan hitam pekat dari benda itu.

Kedua makhluk tadi menjadi beringas ketika mengetahui teluh yang iya bawa telah diambil oleh Paklek dan mulai mengejar Paklek.
Tanpa pikir panjang aku membacakan doa ke arah keris rogosukmoku dan menghujamkanya ke arah kedua makhluk itu, dan makhluk itupun menghilang di kegelapan bersama dengan melajunya mobil yang dikendarai Pak Gito.
Terlihat juga Paklek sudah membakar benda yang menjadi perantara teluh itu dan segera memerintahkan ku ke dalam mobil.

Mobil kami melaju semakin cepat hingga melalui halte proyek perusahaan milik Nyai Kanjeng. Tepat sebelum memasuki jalur hutan, tiba-tiba kendaraan kami dihadang oleh beberapa orang berpakaian lusuh yang dipimpin oleh seorang pria berpakaian jawa, lengkap dengan sarung dan keris yang terikat di pinggangnya.

“Siapa mereka Nyai Kanjeng?” Tanyaku pada Nyai Kanjeng.

“Raden Sarwo Kusumo.. anak tertua dari almarhum pakde saya” Jawabnya dengan gemetar.

Dari reaksi Nyai Kanjeng aku bisa menebak bahwa mereka tidak di pihak kami. Saat itu Kami turun dari mobil sementara Nyai Kanjeng menyembunyikan Tika di belakangnya.

“Nyai Kanjeng, saya masih menghormatimu sebagai saudara... Habisi anak haram itu sekarang, dan kalian akan kubiarkan hidup” Ucapnya.

Jelas orang ini bukan orang biasa. Nyai Kanjeng yang pernah memangku posisi pemimpin trah saja sampai gemetar melihat orang ini.

“Bagaimana kalau dibalik.. kau bunuh saja saya, dan biarkan Tika hidup tenang dengan ayahnya..” Ucap Nyai Kanjeng yang dibalas dengan genggaman erat Tika di bajunya.
“Jangan bodoh.. kamupun sudah tau, darah Darmowiloyo yang sudah mengalir di tubuh bocah itu tidak akan hilang sampai ia mati. Aku hanya menanyakan satu kali, nyawamu dipertaruhkan di sini” Ucapnya.

Aku berdiri di hadapan Nyai Kanjeng sementara Cahyo dan Paklek yang baru saja sampai segera memarkirkan motornya dan menyusul di sampingku.

Kami berharap keberadaan kami bisa memberi keberanian untuk Nyai Kanjeng, dan Pak Gito yang berniat melindungi Tika.

“Tidak usah kujawab.. kalian sudah tahu jawabanya!” Ucap Nyai Kanjeng.

Saat itu juga wajah Raden Sarwo Kusumo menjadi murka, ia mulai memerintahkan orang-orang suruhanya untuk menyerang kami.

“Paklek, gimana ini.. lawan kita orang, bukan demit..” Tanyaku.

“Tenang... mereka urusan si panjul aja, kita siap-siap urusin Abdi dalem itu..” ucap Paklek.

“Abdi dalem? Keraton mana yang make ilmu hitam begini Paklek?” Tanyaku.

“Dolanmu kurang adoh Nan... (Mainmu kurang jauh Nan..) banyak kerajaan ghaib yang mencari pengabdi seperti mereka ini” Jawab Paklek

Sekilas aku teringat kisah masa kecilku dulu mengenai keraton segoro kidul. Mungkin keraton seperti itu yang dimaksud Paklek.
Cahyo mulai sibuk menghalau anak buah Raden Sarwo Kusumo dengan kemampuan dari wanasura.

Sepertinya orang-orang ini juga dibekali jimat yang membuat mereka memiliki kemampuan untuk merepotkan Cahyo.
Raden Sarwo Kusumo hanya berjalan perlahan mendekat ke arah kami, secara spontan kami menahanya untuk mendekat.

Namun aneh... ia tidak melakukan apa-apa dan hanya melipatkan tanganya dibelakang dan seketika aku terpental cukup jauh saat ia mendekat.

“Mas Danan! “ Teriak Pak Gito, tapi matanya tidak mengarah ke arahku melainkan... ke Tubuhku!

Sukmaku terpisah sementara tubuhku terjatuh dihadapan Raden Sarwo Kusumo. Beruntung Paklek masih bisa mempertahankan Sukmanya di dalam raganya. Samar-samar terlihat pancaran kekuatan dari tubuh Paklek yang beradu dengan kekuatan hitam dari tubuh Randen Sarwo kusumo.

Semua ini terlihat jelas dengan wujud sukmaku. Sayangnya sukmaku terpisah dengan paksa sehingga aku harus menstabilkan wujud ini untuk memanggil wujud gaib dari Keris ragasukma untuk bertarung.

Tak lama, Tubuh Paklek juga ikut terpental. Beruntung ia berhasil menjaga agar sukmanya tidak terpisah sepertiku.

“Sampai kapanpun Ilmu putih tidak akan mampu melawan kekuatan ini..” Jawabnya.

Cahyo yang mengetahui kondisi kami yang dalam bahaya segera menghempaskan setiap orang yang menyerangnya dan bersiap menyerang ke arah Raden Sarwo Kusumo itu.

“Kakek tua.. jangan sombong kamu!” Ucapnya sambil melompat untuk menghempaskan Raden Sarwo Kusumo dengan kekuatan dari wanasura. Anehnya sebelum sampai menyentuhnya, Cahyo terjatuh dan sesuatu terlempar dari dalam tubuhnya.

Sosok Roh kera Raksasa... Itu Wanasura! Wanasura Terpisah dari Tubuh Cahyo!

“Cahyo... Roh Wanasura!” aku mencoba memperingatkan Cahyo yang masih mengumpulkan kesadaran.
Mendengar teriakanku, seketika Cahyo panik.

Wanasura tidak memiliki tubuh fisik, akan sangat berbahaya bila terpisah dari tubuh Cahyo di alam manusia. Sukmaku menghampiri wanasura dan menuntunya kembali ke Cahyo yang berlari ke arahnya.

Setelah membantu menyatukanya kembali ke tubuh Cahyo aku segera mendekat ke tubuhku, namun kekuatan besar dari Raden Sarwo Kusumo menahanku untuk menyatu lagi.

***

“Habisi mereka.. Sukma mereka akan menambah kekuatan kalian” Ucap Raden Sarwo Kusumo pada sosok yang seketika muncul dari kegelapan hutan di belakangnya.

Bayangan hitam muncul dari belakang Raden kusumo, wujudnya semakin Jelas berwujud seperti manusia yang tingginya lebih dari dua kali manusia biasa dengan kepala kuda dan berbagai perhiasan yang biasa dikenakan oleh prajurit jaman dulu.

“Hati-hati Paklek.. makhluk itu Ingon peliharanya, Ki Jaran Rhundra” Peringat Nyai Kanjeng.

“Makhluk itu sudah memakan ratusan sukma bahkan semenjak belum menjadi ingon Raden Sarwo Kusumo”

Mendengar ucapan Nyai Kanjeng aku sedikit panik, terlihat juga Cahyo setengah mati menahan roh wanasura untuk tetap di tubuhnya. Sayangnya yang kutakutkan terjadi..

Sukmaku yang paling lemah menjadi incaran Ki Jaran Rhundra yang segera menerjang ke arahku. Makhluk itu menggenggam senjata berupa cambuk layaknya pemain jatilan yang meunjukan aksinya.

Beruntung aku berhasil menarik Keris Ragasukmaku dan menahan serangan cambuknya. Namun tubuhnya yang besar membuatku sulit menghindarinya
Perlahan aku merasa sosok sukmaku mulai melemah.

Dan segera sadar, bahwa ini adalah pengaruh dari pusaka berwujud kuningan dengan batu merah darah yang dikalungkan di leher ingon ini.
Cahyo yang menyadari keadaan ini mencoba menolongku, namun Raden Sarwo Kusumo menatapnya dan mementalkan lagi roh wanasura.

Cahyo setengah mati mempertahankan temanya itu.
Paklek mencoba menyerang pria di hadapanya itu untuk melindungi Cahyo, namun naas.. kali ini tubuhnya tidak mampu bertahan hingga sukmanya juga ikut terlepas.

Ki Jaran Rhundra juga menyadari kemunculan sukma Paklek dan bersiap untuk menghabisinya juga.
Entah, tak ada lagi yang bisa kulakukan..

kuku-kuku hitam tajam Ki Jaran Rhundra terlihat mendekat ke arah sukmaku yang hampir tidak mampu bergerak seperti bersiap mengoyak dan memakanku. Namun tepat sebelum kuku itu menyentuhku, aku melihat sebuah keris melayang melewatiku dan menancap tepat di pusaka Ki Jaran Rhundra.

Aku ingat keris itu! Itu Pusaka Darmawijaya yang diserahkan Raden Anjar pada Dirga!
Aku menoleh ke belakang, sebuah mobil Pickup datang menghampiri kami dan mengarah ke arah Raden Sarwo Kusumo hingga ia mundur dari posisinya.

Tak menyia-nyiakan kesempatan aku dan Paklek segera kembali ke raga kami dan memastikan Wanasura sudah kembali menyatu dengan Cahyo.

“Bimo, Danan.. Semuanya Naik!” Teriak Mas Jagad yang berada di posisi sopir bersama Raden Anjar dan Ajeng di sebelahnya sementara Dirga di bak belakang segera menarik kembali keris pusakanya kembali ke tanganya.

Gila... apa ini kemampuan keris itu? ia bisa diterbangkan dan kembali kapanpun sesuai perintah pemiliknya.
Kami semua menaiki Mobil pick up yang dibawa Mas Jagad dan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Raden Sarwo Kusumo yang mengetahui rencana kami bersiap berlari mendekat. Namun sebuah kekuatan muncul dari tatapan Raden Anjar di dalam mobil yang membuat Raden Sarwo Kusumo tak mampu menggunakan kekuatanya selama beberapa saat

Kamipun berhasil melarikan diri ke dalam jalur hutan, namun Raden Anjar memerintahkan suruhan ghaibnya untuk terus mengejar kami sementara ia bersiap menuju kendaraanya untuk mengejar kami ke dalam hutan.

“Paklek..“ Ucap Cahyo tiba-tiba.

“Ngopo Njul?” (Kenapa Njul) Balas Paklek.

“Katanya helikopter?” Tanya Cahyo dengan mata yang melirik ke arah Paklek.
Akupun sedikit tertawa dengan pertanyaan Cahyo karna aku sudah menduga jawaban Paklek tadi tidak serius.

“Lah iya to.. bentuknya kan mirip Helikopter, Kalo bahasanya Jagad.. ini helikopter darat. Iya to Gad?” Jawab Paklek sambil mengetuk atap mobil diatas Mas jagad.

“Iyo… lha kan bentukane podo, mung ra iso mabur” (Iya.. kan bentuknya sama, Cuma nggak bisa terbang) Lanjut mas Jagad sambil tertawa.

Terlihat wajah kecewa Cahyo atas jawaban itu yang diikuti dengan tawa Tika sambil menutup mulutnya.

“Nyai Kanjeng... bagaimana rasanya menaiki Helikopter Darat milik perusahaan sambara?” Ucap Cahyo sambil menirukan suara reporter yang sering kami tonton di televisi.
Aku mencopot sandalku dan melemparkanya ke arah Cahyo.

“Heh.. sing serius! Kuwi lho.. itu, demit sing ngikutin nambah akeh!” (Heh yang serius! Itu lho.. itu demit yang ngikutin nambah banyak) Ucapku.

“Haha.. Mas Cahyo lucu ya!” Ucap Dirga Polos.

“Kamu belum tau kalau dia denger kendang topeng monyet, tingkahnya lebih lucu lagi..” Lanjut Paklek yang disambut dengan tawa Dirga.

“Heh Paklek!” ucapku memperingatkan situasi ini pada Paklek yang malah ikut bercanda.
Saat itu kami mengatur posisi dimana Nyai Kanjeng, Tika dan Pak Gito berada di pojok sementara aku, Cahyo, dirga, dan Paklek mengelilinginya untuk menghalau serangan dari berbagai arah.

“Awas Mas!” Teriak Dirga sembari melemparkan kerisnya ke arah sesosok bola api yang melayang ke arah Tika. Sayangnya kerisnya meleset, sepertinya Dirga masih belajar untuk mengendalikan kekuatanya.

Setidaknya seranganya memberikan kesempatan Paklek untuk membaca amalan api dan mengadunya dengan Banaspati itu.

“Gila.. untuk anak kecil saja mereka sampai mengirim banaspati..” Ucap Paklek.

Sayangnya tidak cukup sampai disitu, beberapa bola api mendekati kami lagi dari belakang.

“Nyai Kanjeng... Raden Sarwo Kusumo itu bisa ngirim berapa banaspati sih?” Tanya Cahyo Kesal.
Nyai Kanjeng menggeleng.

“Banaspati itu bukan kiriman Raden Sarwo Kusumo” Ucap Nyai Kanjeng.

Aku heran dan segera menoleh ke arah Nyai Kanjeng, namun mas jagat sedikit mengeluarakan kepalanya dari jendela dan berteriak ke arahku.

“Memangnya kalian saja yang bawa musuh! Kami juga bawa..” Ucapnya dengan nada seolah ini adalah hal biasa.

“Banaspati itu perbuatan Trah Brotowongso yang menyerang kami di rumah Raden Anjar mas..” Jelas Dirga.

“Selain itu masih ada yang lain juga nanti..”

Jauh masuk ke arah desa, tiba-tiba tepat saat melewati persimpangan lahan perusahaan kami dihadang oleh beberapa orang berpakaian serba hitam layaknya dukun kawakan bersama orang suruhan dan sepeda motor yang terparkir.

“Berhenti!“ Teriak mereka dengan berdiri di satu-satunya jalur yang bisa dilalui mobil ini.

“Gila, bahkan mereka sampai sudah bersiap menghadang kami di dalam hutan ini..” Ucapku.

Cahyo mennggedor atap mobil sambil memberi isyarat Mas Jagad “Gas aja mas.. biar tak urus”

Dengan kekuatan wanasura di kakinya, Cahyo melompat tepat di hadapan mobil dan menyingkirkan dukun itu dengan hempasan sarungnya yang diayunkan dengan tenaga wanasura. Setelahnya Ia berlari dengan kecepatan yang mampu menyaingi mobil ini dan kembali ke bak belakang.

Aku memberi isyarat berupa tanda jempol untuk memberitahukanya bahwa aksinya keren.
Sayangnya tak jauh setelahnya sudah ada lagi yang bersiap menghadang kami di depan, orang-orang dengan pakaian yang sama namun sudah bersiap dengan berbagai jenis lelembut yang sudah berlompatan di atas pohon. Sementara di belakang orang-orang tadi sudah mengejar kami dengan motor yang terparkir tadi.

“Kita kemana Danan!” Teriak mas jagad.

Aku mencoba berpikir mencari cara untuk kabur, namun tidak ada jalan lain.

“Kita hadapin aja gimana?” Ucap Cahyo.

“Terlalu banyak... belum lagi di belakangnya ada Raden Sarwo Kusumo” Ucap Paklek.

Aku melihat sekitarku dan tiba-tiba teringat sebuah hutan tempat aku dan Cahyo bertemu dengan seorang nenek.

“Cahyo! Hutan itu!” Teriakku mencoba memberi isyarat pada Cahyo.

“Mas jagad! Belok! Parkir di mana aja terserah... kita masuk ke hutan itu!” Teriak Cahyo yang mengerti maksudku.

“Tapi itu tempat apa?” Tanya Mas Jagad.

“Udah mas ikutin aja... mungkin di sana ada kesempatan kita untuk selamat!” Jawabku.

Sesuai perintah Cahyo Mas Jagad meninggalkan mobilnya diantara sela-sela pohon dan kami berlari menuju sebuah hutan dimana terdapat bangunan kayu tua misterius.

“Lari!! Tapi jangan terlalu dekat ke bangunan kayu itu!” Perintahku.

Cahyo berlari sambil menatap sekitar mencari keberadaan nenek yang dulu sempat bertemu dengan kami. dan beruntung, seperti sudah mengetahui kedatangan kami nenek itu menanti kami di salah satu persimpangan pohon yang penuh dengan semak.

“Kesini...“ Ucapnya sambil membawa kami ke salah satu tempat yang dipenuhi semak yang tinggi. Kami mengikutinya yang masih berjalan dengan terpincang-pincang hingga sampak ke sebuah gubuk yang dibuat dengan sisa-sia kayu bangunan perusahaan yang dulu pernah ada di tempat ini.

“Mbah... maaf mbah, kami kesini lagi” ucapku pada nenek itu.

“Sudah, Tidak apa.. yang penting kalian selamat” Ucapnya sambil menatap orang-orang yang bersama denganku.

“Mereka ini...?” Tanyanya bingung.

“Saya Bimo, Paklek mereka... ini Jagad dan Dirga, kebetulan kami berusaha melindungi orang-orang ini mbah...” Ucap Paklek dengan sopan.
Nenek itu mengangguk dengan gemetar. Sepertinya tenaganya sudah semakin termakan umur.

Ia melihat ke arah Nyai Kanjeng dan Raden Anjar lalu masuk sebentar ke arah gubuknya dan keluar dengan membawa sebuah perhiasan.

“Ini punyamu kan? Kamu yang meninggalkanya di mulut hutan ini?” Ucapnya pada Nyai Kanjeng.

“Benar mbah” ucap Nyai Kanjeng dengan wajah yang sedikit tertunduk.

“Berarti kamu Danastri... dan kamu Anjar?” Ucap Nenek itu.

Nyai Kanjeng dan Raden Anjar sontak mendekat ke nenek itu. Aku mengambil kesimpulan bahwa nama asli Nyai Kanjeng adalah Danastri..

“Maafkan Mbah ya Nduk.. Mbah nggak bisa nyelamatin suami dan anakmu” Ucap Nenek itu dengan tatapan sedih.

“Nggak mbah.. dulu saya sempat gelap mata, tapi sekarang saya sudah ikhlas..” Ucap Nyai Kanjeng.

“Mbah ini? jangan-jangan eyang kami? Nyai Betari Darmowiloyo leluhur kami yang mengasingkan diri?” Tanya Raden Anjar
Nenek itu mengangguk.

“Tapi jangan panggil saya dengan nama itu lagi... panggil mbah saja” Ucapnya sambil beberapa kali menepuk tubuh Raden Anjar dan Nyai Kanjeng seolah merasa terharu bisa bertemu dengan anggota keluarganya lagi.

“Kalian sembunyi dulu di tempat ini, saya harus mengawasi agar mereka yang mengejar kalian tidak merusak bangunan kayu itu” Lanjutnya.

“Aku ikut mbah...“ Ucapku yang segera disusul oleh Cahyo. Belum sempat aku mengejarnya, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari bangunan tua itu. Mbah jadi semakin cemas dan berjalan semakin cepat dengan kakinya yang sudah sulit untuk berjalan.

“Keluar kau Nyai Kanjeng!” teriak seseorang yang berusaha masuk ke bangunan tua itu.

Mereka membawa beberapa orang dan tak sedikit demit yang mengikutinya.
Kami mengintip dari balik semak semetara Mbah terlihat sangat cemas.

“Mbah... sebenarnya di dalam bangunan itu ada apa sih?“ Tanya Cahyo.

“Nanti kalian akan tahu sendiri... mungkin kedatangan kalian semua adalah pertanda saatnya menghadapi makhluk itu..” Jawabnya.

“Maksud mbah...?”

“Lebih dari seratus tahun saya menjaga tempat ini agar tidak ada yang mendekat ke bangunan tua itu.. namun umur saya tidak akan lama lagi, harus ada yang menghentikan makhluk di bangunan itu...” Jelasnya.
Kami memperhatikan lebih jelas ke arah bangunan itu. sepertinya mbah juga sudah memasang pelindung untuk menyamarkan tempat keberadaan kami.

Perlahan samar-samar aku mendengar suara alunan musik jawa pengiring tarian. Entah darimana suara itu berasal, tidak ada satupun alat musik di tempat ini.

Tak berapa lama setelahnya seseorang mencoba melarikan diri dari bangunan itu dengan sebagian tubuhnya yang sudah menghitam...

“To...toloong!” Teriaknya

Pria itu berlari ke arah sebuah mobil yang kuduga ditumpangi oleh Raden Sarwo Kusumo dan segera turun menghampiri anak buahnya itu.

***

Deg!! Tak lama setelahnya jantungku berdetak dengan tidak teratur seolah ada bahaya besar yang akan muncul.

Wajah Cahyopun terlihat seram juga sudah merasakan hal ini.
Dari dalam bangunan melesat sebuah boneka kayu besar seukuran manusia. Benda itu melayang ke arah orang-orang berbaju dukun yang menyerbu ke arah hutan ini.

Berbagai macam mantra terdengar dari mulut mereka ke arah boneka itu, namun tak satupun serangan mereka yang berhasil.
Sebaliknya, perasaan dendam yang telah terkubur beratus tahun terasa di sekitar boneka itu hingga kekuatan hitam pekat menyelimuti boneka itu.

Makhluk itu berwujud sebuah boneka kayu berkepala batok kelapa yang mengenakan pakaian penari lusuh seperti sudah berumur. Riasan di wajahnya seolah terbuat dari darah seseorang.

“Boneka nini thowok? Selama ini boneka itu tersegel di bangunan itu?” Tanyaku.

Mbah mengangguk. Belum sempat bertanya lebih jauh tiba-tiba terdengar suara teriakan yang menggila dari teras bangunan itu. Aku menoleh dan melihat pemandangan yang mengerikan.

Sebagian dari dukun-dukun itu mati dengan tubuh yang menghitam sementara boneka itu melayang dan menancapkan kayu bagian tajam dari bawah tubuhnya ke siaapapun yang masih hidup hingga darah bermuncratan di tempat itu.

Tak hanya itu.. banaspati, pocong, dan demit alas yang menjadi pengikut boneka itu dengan tanpa perlawanan seolah siap mengikuti perintah boneka itu.

Melihat kejadian itu Raden Sarwo Kusumo memerintahkan sisa orang suruhanya untuk pergi dan segera masuk ke mobil untuk meninggalkan tempat ini.

“Pergi.. kita harus pergi sekarang, setelah ini makhluk pasti mengincar kita” Ucap mbah.

Kami berjalan dengan terburu-buru menuju tempat Paklek dan yang lain. Terlihat di sana Paklek dan Mas jagad sedang berbincang setelah cukup lama tidak bertemu.

***

Mbah masuk kembali kedalam gubuknya dan membawa beberapa boneka jerami dan melemparkanya ke beberapa sudut hutan dan sisanya tertumpuk di sekitar kami. Entah mengapa aku tidak memiliki keinginan untuk bertanya benda apa itu.

“Paklek.. kita pasang pelindung. Makhluk mengerikan di bangunan itu baru saja bangkit” Ucapku.
Paklek tidak banyak bertanya dan segera membacakan doa pelindung dengan bantuan mas jagad. Dirga yang sudah berkenalan dengan Tika berusaha menenangkanya, sementara aku dan Cahyo bersiap di garis depan menyambut kedatangan makhluk itu.
Hening...

Hampir tidak ada suara selama beberapa saat setelah kami bersiap-siap. Entah kapan makhluk itu akan sampai ke tempat ini.

***

Seketika tanpa ada aba-aba tiba-tiba pelindung Paklek terpecah oleh sebuah gelombang hitam yang melintasi kami. kekuatanya begitu besar hingga membuat pohon di sekitar kami terlihat mengering.

“Apa itu tadi...?” Tanya Paklek.

“Paklek Fokus! Bangun pelindung lagi... seandainya tidak ada pelindung tadi pasti tubuh kita juga sudah membusuk oleh kutukan makhluk itu” Teriakku.
Paklek mengerti dan membangun lagi pelindungnya.

Sesekali suara tokek memecahkan keheningan, namun suaranya meredup seolah takut akan sesuatu.
Gelap.. cahaya dari gubuk mbah perlahan meredup.
Sayup-sayup terdengar suara musik jawa pengiring tarian dengan nada yang mengerikan diikuti suara semak-semak yang tersibak.

Dari tengah kegelapan hutan itu akhirnya Boneka nini thowok itu menujukkan wujudnya di hadapan kami dengan wajah mengerikan dan aura penuh dendam.

“Mati…”
Suara seorang perempuan terdengar berbisik oleh kami.

“Nini thowok??! Makhluk apa yang ada di dalamnya hingga bisa sejahat ini?” Tanya Mas Jagad.

“Nggak ada yang tau mas, yang pasti kutukanya bisa membuat tubuh manusia membusuk seketika” Teriak Cahyo.
Nyai Kanjeng berdiri dan melihat dengan jelas ke arah makhluk itu.

“Jadi makhluk ini yang telah membunuh anak dan suami saya...“ Ucapnya dengan suara gemetar.
Raden Anjar berusaha berdiri dan menenangkan Nyai Kanjeng.

“Uwis yu.. ada yang lebih penting sekarang” Ucapnya.

Boneka itu terlihat melayang dan menari-nari di hadapan kami. Tanpa sadar, sekali lagi gelombang hitam menghempaskan pelindung Paklek. Saat itu juga Mbah berjalan ke arah boneka itu dan mengikatkan sebuah tali yang terbuat dari kafan ke tubuh boneka itu.

Sayangnya boneka itu mengamuk dan melayang sampai akhirnya menusukan bagian runcingnya ke tubuh mbah. Perlahan luka itu menjadi menghitam sama seperti bagian tubuhnya yang telah membusuk.

“Mbah!” Teriakku khawatir.

Namun tak lama setelahnya luka mbah menutup kembali, dan salah satu boneka jerami yang tertumpuk berubah menghitam seperti menggantikan lukanya.

“Sudah mbah, jangan nekat!” Teriakku namun sepertinya tidak didengarkan.

“Cahyo jemput mbah itu, jagad coba buat pelindung bersama Cahyo... beri saya waktu memanggil geni baraloka” Perintah Paklek.

Kali ini Wajah Paklek terlihat sangat serius. Ia berkali-kali memutarkan tanganya dengan membaca mantra sambil menggenggam keris sukmageninya.

Sebuah api putih tercipta dan perlahan membesar dan terus membesar. Ia melemparkan geni baraloka ke boneka itu hingga terbakar, namun dengan cepat api Paklek termakan oleh kekuatan dendam yang memancar dari tubuh boneka itu.

Cahyo dengan sigap membawa Nenek kembali ke dekat kami, sementara Paklek kembali membesarkan geni baraloka. Kini api itu bukan untuk menyerang boneka itu melainkan untuk membakar kami semua.
Hangatnya api ini harusnya bisa melindungi kami dari serangan makhluk itu.

Tapi entah sampai kapan. Dendam makhluk itu semakin besar setiap melihat manusia.

“Api apa ini? hangat... luka kutukanku pulih sepenuhnya” ucap mbah.

“Ini Geni Baraloka milik Paklek, dia bisa memulihakan kutukan, dan menenangkan roh.. bener gitu kan mas Danan?” Ucap Mas Jagad.

Aku mengangguk. Rupanya ilmu Paklek juga sudah diketahui mas jagad.
Samar-samar dari cahaya api kami melihat sosok anak perempuan yang merasuki boneka nini thowok itu. wajahnya penuh dengan dendam dan seolah ingin membunuh siapapun yang dilihatnya.

Merespon Geni Baraloka Paklek, makhluk itu menerjang ke arah kami dengan diselimuti kekuatan hitam. Seketika jantung kami berdetak keras seolah merespon dendam makhluk itu.

“Kita harus gimana Paklek? Keluar dari api ini sebentar saja tubuh kita pasti membusuk...” Tanyaku.

“Entah, sekarang kita bertahan sekuat mungkin dulu.. Kamu bantu jaga api ini tetap menyala” Ucap Paklek.

Sial, aku tak menyangka akan ada kejadian seperti ini. Menghadapi dari boneka itu kutukan yang bahkan bisa menghabisi kami dalam hitungan detik.

Mbahpun berusaha keluar dari api ini, sepertinya ia berusaha untuk menyegelnya lagi namun Cahyo menahanya.. ia melihat boneka jerami mbah menghitam dengan sendirinya tanpa menunggu serangan mengenai mbah.

***
“Nama kamu siapa?”
***

Tiba-tiba terdengar suara tika yang melangkah ke arah ujung api ini. Ia menatap ke sosok wanita yang merasuki boneka itu.

“Tika Kembali!” Perintahku. Namun ia tidak menghiraukan.

“Perempuan itu nangis!” Ucap Ajeng yang menyusul Tika sambil menoleh ke arah kami.

Melihat kedua anak perempuan itu sosok perempuan yang merasuki boneka itu mendadak berubah. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Tika dan Ajeng.

“Sudah Yati... Saatnya kamu tenang” Ucap mbah yang kembali mencoba mendekatinya.

“Nama kamu Yati?” Tanya Tika yang nekat mendekat.

“Tika jangan...!” Nyai Kanjeng terlihat khawatir dan mengejarnya. Namun pak gito menahanya.
Yang kami takutkan terjadi, Boneka itu melesat dengan cepat ke arah tika, menatapnya dengan penuh amarah. Ia tidak mempedulikan niat baik Tika dan sebaliknya ia bersiap menyerangnya.

“Aarrrghh... tidak, tidak ada pilihan lain... kita harus coba ini. Cahyo jaga mereka!” Perintahku.

Aku segera mengambil posisi menjauh dari yang lain dengan menggenggam keris rogosukmo di hadapan dadaku.

Aku mengingat wujud Nyi Sendang Rangu yang kutemui sebelumnya... entah apakah akan berhasil namun hanya ini cara yang bisa kupikirkan.

Sebuah mantra leluhur kubacakan dengan keris rogosukmo di genggamanku.

Jagad lelembut boten nduwe wujud..
Kulo nimbali..
Surga loka surga khayangan...

“Danan, Siapa yang kamu panggil?” Teriak Paklek yang sadar tidak ada leluhur kami yang masih gentayangan di alam ini.

Aku tidak mempedulikanya dan terus melanjutkan mantraku.

Ketuh mulih sampun nampani...
Tekan Asa Tekan Sedanten...

Rintik-rintik hujan mulai turun, mulai deras, dan semakin deras. Aku merasakan mantra ini berhasil.

Namun..

Bukan suara tertawa terkekeh Eyang widarpa yang terdengar, Ataupun langkah tegap Daryana yang mendekat..

Melainkan bayangan yang benih dan jernih terbentuk dari derasnya hujan yang mengguyur kami. Perlahan sosok itu mulai muncul di hadapan kami.

Sosok wanita cantik bak bidadari yang segera mendekat ke arah Tika.

“Nyi Sendang Rangu! Dia benar-benar datang?” Teriak Cahyo tenang.

Tetesan air yang jatuh dari langit perlahan memadamkan api Paklek, padahal selama ini bahkan di dalam airpun api Paklek masih menyala.

Gelombang energi hitam yang dikeluarkan oleh boneka nini thowok itu tidak lagi membunuh kami yang basah oleh air yang jatuh bersamaan dengan keberadaan Nyi Sendang Rangu ini.

“Jadi.. dia yang bernama Nyi Sendang Rangu?” Tanya Nyai Kanjeng yang menghampiriku. Raden Anjar juga mendekat ke arahku dan memperhatikan sosok itu.

“Nyi.. ternyata Nyi Sendang Rangu benar-benar datang” Ucapku.

“Tenang Danan.. saya pasti memenuhi janji saya, sama seperti kamu yang menepati janjimu dengan hanya memanggilku saat anak ini dalam bahaya” ucapnya.
Kali ini sosok boneka nini thowok itu terlihat gentar.

Ia melayang mundur.. tak satupun kutukanya bisa bekerja di bawah hujan Nyi Sendang Rangu.
Boneka itu melayang mundur, namun tiba-tiba Nyi Sendang Rangu sudah berada di belakangnya.

“Wujud ini tidak pantas untukmu!” Ucap Nyi Sendang Rangu yang menggenggam kepala boneka itu dan menghancurkanya berkeping-keping. Sontak dihadapan kami berdiri dengan jelas roh wanita yang mungkin bernama Yati itu.

Wajahnya penuh amarah dan dendam, saat menatapnya wajah Nyi Sendang Rangu berubah menghitam dan semakin menyeramkan.

“Sepertinya wujud Nyi Sendang Rangu mengikuti wujud hati makhluk yang berhadapan dengan dia” Ucap Cahyo.

“Pantas saja pas kemarin menghadapi Darminto ia berubah menjadi menyeramkan...” Balasku.

“Pergi... jangan ikut campur urusanku” Ucap roh wanita bernama yati itu.

“Kalian sudah menghabisi orang-orang yang kusayangi... semua harus merasakan yang kurasakan”

Nyi Sendang Rangu terlihat marah dengan reaksi Roh Yati. Sepertinya ia bersiap untuk menghancurkan roh penuh dendam itu dengan kekuatanya.

“Yati.. ngomong begitu sambil nangis” Ucap Tika tiba-tiba.

Tanpa sadar kami semua menatap roh yati memastikan ucapan Tika. Nyi Sendang Rangu juga merespon ucapan Tika.

“Nyi... perempuan itu apa nggak boleh pergi dengan tenang?” Tanya tika.

“Setelah semua orang yang ia bunuh, termasuk kakakmu?” Tanya Nyi Sendang Rangu.

“Kalau saja dia ketemu Mas Danan atau Nyi Sendang Rangu semasa hidup, mungkin dia tidak akan jadi seperti ini” Tambah Ajeng.
Nyi Sendang Rangu kembali dengan paras cantiknya dan tersenyum kepada kedua anak wanita itu.

Dengan sekali kibasan selendangnya, mendadak yati menghilang dari pandangan kami.
Sosok makhluk yang sedari tadi hampir membunuh kami bisa ditenangkan oleh Nyi Sendang Rangu hanya dengan seperti itu?

Aku terheran-heran, entah.. aku tidak bisa membayangkan sebesar apa kekuatan yang dimiliki Nyi Sendang Rangu.

“Biar kusimpan sukmanya, mungkin beristirahat di sendang rangu bisa memurnikan dendamnya yang telah tertimbun beratus-ratus tahun” Ucap Nyi Sendang Rangu dengan suara yang begitu menenangkan.

Seketika senyuman muncul di wajah Tika dan Ajeng. Mereka segera berlari kembali ke arah Nyai Kanjeng dan Raden Anjar. Dan satu yang kutahu, sepertinya Nyi Sendang Rangu sama sekali tidak sudi menoleh ke arah Nyai Kanjeng dan Raden Anjar.

“Nyi.. kami masih harus menghadapi Raden Sarwo Kusumo dan Trah Brotowongso” Ucapku.

Ia mengangguk seolah memberikan persetujuan untuk membantu kami dan sesekali ia menatap Paklek dan Mas Jagad yang masih heran dengan keberadaan Nyi Sendang Rangu yang merespon mantra pemanggil leluhur sambara.

“Maaf Nyi kalau saya tidak sopan” Ucap Paklek tiba-tiba.

“Apa Nyi Sendang Rangu salah satu dari leluhur kami...?”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close