Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GETIH IRENG ABDI LELEMBUT (Part 5) - Nyi Sendang Rangu

Pencarian keberadaan Nyi Sendang Rangu menyebabkan danan dan Cahyo terlibat perang Santet yang dialami oleh sebuah desa..


JEJAKMISTERI - Sekali lagi Vespa tua milik Cahyo berhasil membawa kami tiba di sebuah perkampungan yang cukup terpencil di daerah Gunung Kidul. Sebuah perkampungan yang cukup padat dengan pasar yang masih tradisional digelar di dekat pintu masuknya.

“Nan... Jajan sek piye?” (Nan Jajan dulu gimana?) Ucap Cahyo yang menghentikan motornya tak jauh dari bakul kue di pasar itu.

“Ora luwe? Mangan sego sisan piye?” (Nggak laper? Makan nasi sekalian gimana?) Balasku.

“Yo luwe.. tapi kuwi lho, lemper, gethuk, kue cucur.. manggil-manggil njaluk dituku” (Ya laper, tapi itu lho, lemper, gethuk, kue cucur manggil-manggil minta dibeli) Lanjut Cahyo.

“Yo bener sih omonganmu, nek luwe neh karik mangan meneh...” (Ya bener sih ucapanmu, kalau lapar lagi tinggal makan lagi)
Kali ini aku setuju dengan Cahyo setelah melihat berbagai jajanan kampung yang digelar di pasar itu.

“Monggo mas... Jajan dulu” Ucap seorang ibu yang menawarkan daganganya di hadapan kami.

“Nggih mbok, ketoke enak-enak kabeh iki...” (Iya bu.. kayaknya enak semua ini) Jawab Cahyo yang dengan sigap mengambil beberapa kue dalam sebuah kantong plastik.

Aku mengambil beberapa jajanan dan menaruhnya di kantong kresek yang sedang di bawa Cahyo. Sementara itu tak jauh dari posisi kami berada terdengar suara kerumunan orang yang berjalan seolah mengiringi sesuatu.

“Mbok.. kuwi opo mbok?” (Bu, Itu apa bu?) Tanyaku.

“Oh... itu, lagi ada syukuran kampung ini..” Balasnya.

Aku memperhatikan rombongan itu yang diikuti oleh warga dari berbagai usia mulai dari anak-anak hingga mereka yang lanjut usia. Sebuah gunungan tumpeng dan berbagai hasil alam dibawa oleh rombongan itu.

“Lah memangnya mereka itu mau ke mana mbok?” Tanya Cahyo sambil mengunyah kue cucur yang baru saja dia beli.

“Ke Sendang, biasanya kami mengadakan syukuran di pinggir sendang di dalam hutan.. di sana kami akan menghabiskan bersama semua ‘berkat’ yang di bawa sambil bermain air di sendang itu” Jawab ibu itu.

Aku dan Cahyo saling bertatapan, setidaknya kami tidak perlu susah-susah untuk mencari sendang yang dimaksud oleh Raden Anjar.

Sambil duduk dan menikmati cemilan pasar, kami menyaksikan iring-iringan yang sebentar lagi lewat di hadapan kami. Suara musik disetel menggunakan pengeras suara yang didorong dengan gerobak.

Awalnya Kami melihat rombongan ini seperti acara biasa, sampai akhirnya mata kami tertuju pada rombongan bagian belakang yang terdengr lebih sepi. Mereka hanya membawa sebuah galah panjang yang diatasnya tertusuk sebuah kepala...

T..tunggu, itu benar sebuah kepala?

“Nan.. itu nan, itu bener kepala manusia?” Tanya Cahyo padaku.
Aku mendekat dan memastikanya saat rombongan pembawa kepala itu lewat di hadapan kami.

“Iya Cahyo, itu beneran kepala... Mbok, ini sebenernya acara syukuran apa to?” Tanyaku pada Ibu penjual kue itu.

“Wajar kalau pendatang seperti kalian kaget, ini syukuran atas terbebasnya kampun ini dari kekejaman yang di lakukan oleh orang itu dan kerabat-kerabatnya” Ucap ibu itu.

“Memangnya apa yang sudah dilakukan orang itu?” Tanya Cahyo.

Ibu itu menghela nafas, wajahnya terlihat tidak ingin untuk menjawab pertanyaan kami. Namu akhirnya ia berdiri dan berjalan ke hadapan kami yang sedang duduk di sebelah warungnya.

Ia melinting sedikit baju di lenganya dan menunjukkan sebagian lenganya yang terlihat berwarna hitam.

“I..itu kenopo mbok?” Tanya Cahyo.

“Santet...?” Tambahku.
Ibu itu mengangguk dan kembali menutup lenganya.

“Beruntung saya bisa selamat, tapi tidak dengan anak dan suami saya..” Ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Cahyo segera berdiri dari tempat ia duduk dan mencoba menghibur ibu itu.

“Apa ini perbuatan dari orang yang kepalanya dipenggal itu?” Tanyaku.

“Benar... dia bangsawan biadab yang tega melakukan apa saja untuk memenuhi keinginanya. Kematianya adalah berkah bagi warga kampung ini” Ucap nenek itu dengan mata penuh dendam mengarah ke rombongan yang baru saja lewat itu.

“Danan...”

Cahyo menoleh ke arahku memberikan isyarat untuk memeriksa luka ibu itu. Aku mengangguk dan mengerti maksudnya.

“Ngapunten.. maaf bu? Bisa saya lihat lenganya?” Ucapku.
Ibu itu terlihat bingung, namun tetap menjulurkan lengan yang terluka oleh santet itu.

Aku mengambil botol air minum yang ada di tasku, dan membacakan doa pembersih yang sudah kupelajari dari Paklek.
Sedikit-demi sedikit aku menuangkan air yang sudah kubacakan dengan doa pada bagian lengan yang menghitam itu.

“Mbok.. sesakit sakitnya luka yang diterima karena santet, itu tidak ada apa-apanya dibanding sakit yang diakibatkan oleh dendam yang disimpan terlalu lama.

Mungkin tidak mudah.. tapi saya harap Simbok mau pelan-pelan belajar memaafkan dan belajar mengikhlaskan anak ibu agar Ia juga bisa tenang..” Ucapku sambil berusaha memulihkan luka bekas santet yang dimiliki ibu itu.

Perlahan warna hitam di lengan Ibu itu memudar bersamaan dengan jatuhnya tetesan cairan berwarna hitam dan benda yang menyerupai tanah dari bekas lukanya.
Ibu tu menatapku dengan heran namun sepertinya ia mau mendengar ucapanku tadi.

“Gimana mbok? Masih sakit?” Tanya Cahyo setelah aku selesai mengobati lengan ibu itu.

“N..nggak sakit lagi, matur nuwun yo nang... Kalian ini sebenernya siapa to?” Tanya ibu itu.

“Nggak mbok, kami bukan siapa-siapa.. Cuma kebetulan lewat” Jawabku.

“Sudah kalian tidak usah bohong, kalian pasti ada maksud dan tujuan kan ke tempat ini?” Balasnya lagi.

Aku membereskan botol airku dan memasukanya kembali ke tas.

Akhirnya kami menceritakan maksud dan tujuan kami ke kampung ini kepada ibu itu untuk mencari sebuah sendang yang berada di Gunung Kidul dan sebenarnya sudah terjawab dengan arah pergi rombongan iring-iringan tadi.

“Ya sudah kalau kalian sudah nemuin tujuan kalian, pokoknya hati-hati...” Ucapnya.

“Mbok.. memangnya, orang yang nyantet Simbok itu namanya siapa?” Tanya Cahyo.

“Sugono... Sugono Darmowiloyo, keluarga itu memang keluarga biadab. Bila bertemu dengan mereka, segera menjauh dan jangan berurusan dengan mereka” Ucap Ibu itu.

“Ibu tahu bagaimana orang itu bisa mati?” tanyaku.

“Ada yang membantu kami warga desa, seseorang dari keluarga Brotowongso...” Cerita Ibu itu.

“Brotowongso? Ceritakan mbok.. kami ingin tahu” Ucap Cahyo.

Kali ini ibu itu tidak ragu untuk bercerita kepada kami.

Rupanya sudah bertahun-tahun kampung ini dikuasai oleh seorang bangsawan bernama Sugono Darmowiloyo. Awalnya warga mengenalnya sebagai seseorang yang baik dan berkharisma. Iapun mempekerjakan warga desa untuk mengerjakan lahanya, sampai suatu saat hal mengerikan terjadi.

Kepala desa sebelumnya meninggal secara misterius setelah berseteru dengan Sugono setelah kepala desa membela salah satu warga yang lahanya diserobot oleh Sugono.

Sebelum meninggal pak kades berteriak kepanasan seolah terbakar padahal tidak ada api di sekitarnya.

Mantri yang mencoba mengobatinyapun heran, suhu tubuhnya normal dan tidak ada keanehan secara medis hingga di malam esoknya Pak Kades meninggal dengan luka bakar hampir di seluruh tubuhnya.

Semua warga melayat ke pemakaman pak kepala desa kecuali Sugono. Selang beberapa hari, warga yang berseteru dengan Sugono sebelumnyapun mati dengan cara yang sama, tidak hanya orang itu.. tapi juga seluruh anggota keluarganya mati dengan mengenaskan.

Kali ini Sugono datang ke pemakaman orang itu saat warga kampung sedang ramai. Seolah memberi pernyataan, Sugono menghampiri jasad mereka dan meludahinya. Seketika warga kampung menjadi emosi.

Namun mereka tidak mampu bergerak sedikitpun dari tempat mereka sampai Sugono pergi. Wargapun sadar bahwa Sugono merupakan pemilik ilmu hitam yang mengerikan.
Semenjak saat itu Sugono menjadi momok yang ditakuti warga. Saat itu juga ia mulai berlaku semena-mena.

Perbuatanya semakin parah ketika ia tertarik dengan seorang perempuan yang sudah bersuami, dengan terang-terangan Sugono memintanya untuk tidur denganya untuk memuaskan nafsunya. Permintaan itu sudah pasti ditolak mentah-mentah.

Anehnya, pada suatu malam saat suami wanita itu pergi tiba-tiba wanita itu berjalan menghampiri sendiri ke rumah Sugono. Menurut cerita yang beredar, ia menuruti semua kemauan Sugono untuk memuaskan nafsunya.

Saat suaminya pulang dan mendengar cerita yang beredar, ia datang dengan penuh amarah dengan membawa sebilah pisau di tanganya.
Tak ada satupun serangan lelaki itu yang mampu menyentuh Sugono hingga ia kelelahan.

Sugono menertawakanya, dan membiarkan wanita itu kembali pulang bersama pria itu. Sayangnya itu hanya karena Sugono sudah bosan denganya.
Warga sekitar mendengar pertengkaran besar yang terjadi di rumah pasangan itu.

Besoknya ketika sang suami kembali kerumahnya, ia sudah melihat tubuh istrinya tergantung dengan tali yang mengikat di lehernya dengan mata yang masih terbuka yang terus menatap suaminya.

Mendengar teriakan histeris pria itu, wargapun datang namun nyawa wanita itu sudah tidak tertolong.
Wanita itu bukan satu-satunya, kejadian itu terjadi dengan beberapa wanita di desa ini. Setelah menjadi pemuas nafsu Sugono wanita itu pasti bunuh diri atau menjadi gila.

Alhasil banyak warga yang memiliki istri yang masih muda atau anak wanita untuk meninggalkan desa ini.

“Mbok... jangan-jangan anak Simbok juga jadi korban Sugono dan mati bunuh diri?” Tanyaku di tengah-tengah cerita ibu itu.

Ia mengangguk. Kali ini ia tidak mampu menahan air mata yang jatuh ke tanah.

“Indi, nama anak saya, saat ia kembali dari rumah setan biadab itu dia tidak seperti Indi yang kukenal, tidak sedikit luka di tubuhnya, bahkan untuk menatap dirinya dicerminpun ia tidak sudi” Jelasnya.

“Suami saya kenal orang pintar dari desa sebelah, kami memanggilnya untuk menolong Indi agar tidak berakhir tragis seperti wanita lainya dan Indipun kembali pulih. Pulihnya Indi juga atas bantuan warga yang tidak pernah menyalahkan Indi atas pebuatan Sugono...”

Cahyo menatap ibu itu dengan semakin serius.
“Terus kenapa Indi bisa meninggal mbok?” Tanya Cahyo.

“Mengetahui kemampuan orang itu, warga memintanya untuk menghentikan Sugono dan mengusirnya dari kampung ini dengan ilmu yang ia punya” Lanjut Ibu itu.

“Sayangnya ilmunya kalah, dan besoknya Kepala orang pintar itu sudah menggantung di pohon beringin di tengah desa sebagai peringatan ke warga kampung ini”

Aku semakin geram dengan cerita dari ibu itu. Sepertinya aku tahu bagaimana kelanjutanya.

“Sugono yang tahu bahwa orang pintar itu adalah kanalan kami juga ikut menyerang kami di tengah malam dengan santet hingga Indi dan suami saya meninggal... seharusnya saya juga bernasib sama seperti mereka, namun sebelum santet ini membunuh saya suara ayam berkokok dan langit mulai terang dan semua serangan itu terhenti”
Ibu itu kembali mengusap air matanya namun sepertinya ia masih ingin bercerita.

“Bu.. kue cucur sama lempernya ya” Ucap seseorang yang datang berbelanja.

Ibu itu membersihkan matanya, pergi melayani pembeli sebentar dan kembali lagi menghampiri kami.

“O, iya.. sampai lupa,udah cerita banyak tapi saya belum tau nama kalian..” Ucapnya.

“Saya Danan bu, ini temen saya Cahyo” Ucapku. Cahyo mengangguk mengiyakan.

“Panggil saya Mbok Yem saja... di kampung ini saya tinggal sendirian, makanya saya jualan di pasar biar bisa ada temen ngobrol. Kalian juga kalau bingung mau nginep bisa di rumah mbok di belakang pasar, tapi ya seadanya..” Ucapnya.

“Terima kasih mbok, kalau darurat nanti kami mampir... tapi saya penasaran kenapa bisa tiba-tiba ada keluarga Brotowongso yang membantu desa ini?” Balas Cahyo.

“Entah, tiba-tiba dia datang bertemu dengan kepala desa yang baru dan mendengar cerita tentang Darmowiloyo.. ia meminta kami mengumpulkan sepuluh ayam jantan hidup dan kepala kerbau hitam dan malamnya warga dilarang untuk keluar rumah sama sekali” Jelas Mbok Yem.

“Malam itu adalah malam paling mencekam yang pernah kami rasakan. Dari dalam rumah, kami melihat makhluk-makhluk yang tidak pernah kami lihat sebelumnya.

Mulai dari bola api, puluhan pocong yang memadati desa, hingga makhluk besar yang bahkan wajahnya tidak dapat terlihat dari dalam rumah.
Perang ilmu mengakibatkan Sugono mati di kediamanya. Warga yang sudah menahan emosinya segera menyerbu rumahnya dan memenggal kepala Sugono.

Mereka berterima kasih pada anggota keluarga Brotowongso yang tidak mau menyebutkan namanya itu”
Dari cerita Mbok Yem kini sudah jelas apa maksud dari acara syukuran tadi.

“Nan.. apa benar keluarga Brotowongso memang mencoba membantu warga desa ini?” Tanya Cahyo.

“Jangan lengah.. dari cerita Mbok Yem, yang digunakan tetap ilmu hitam. Kita harus tetap waspada” Jawabku.
Kami berterima kasih atas cerita dari Mbok Yem dan berpamitan. Bila urusan kami sudah selesai mungkin kami akan mampir untuk beristirahat sejenak di rumahnya.

Cahyo melaju motornya lagi menuju jalur hutan tempat kemana kerumunan tadi menuju. Tidak terlalu jauh, namun kami harus memarkirkan motor Cahyo di pinggir hutan dan berjalan kaki menuju arah keramaian di dalam hutan itu.

Sesuai cerita Mbok Yem, warga dengan meriahnya merayakan acaranya di sana. Aku mencari keberadaan kepala tadi yang akhirnya kutemukan sudah siap dikuburkan di pemakaman yang rupanya hanya berjarak beberapa ratus meter dari sendang ini.

“Masnya pendatang ya? ikutan saja.. itu tumpengnya pasti sisa kok” Ucap salah seorang warga yang mengajak kami bergabung.

“Matur nuwun mas... nonton dari sini saja sudah seneng kok, tadi juga sudah jajan di warung Mbok Yem, jadi masih kenyang” Jawabku.

“Owalah.. kenalane Mbok Yem to? Ya sudah pokoknya kalau mau gabung-gabung aja ya...“ Balasnya lagi dengan ramah.

Aku dan Cahyo menyaksikan acara yang sebenarnya tidak terlalu lama itu hingga akhirnya mereka membubarkan diri dan membersihan sisa-sisa acara mereka.

“Sejahat-jahatnya manusia, saat sudah mati jasadnya berhak mendapat perlakuan yang layak. Karna hanya Yang mahakuasa yang berhak memberikan pembalasan” Ucapku yang segera menghampiri tempat kepala itu dimakamkan dan disusul oleh Cahyo.

Kami membacakan sedikit doa-doa agar roh dari jasad ini bisa tenang walau ia mati karna pembalasan atas perbutanya sendiri.

Setelahnya kami menghampiri sebuah sendang yang cukup besar. Airnya cukup segar, pantas saja warga dengan senang bermain di tempat ini.

Namun aku sama sekali tidak merasakan adanya suasana mistis di sendang ini.
Sesuai petunjuk Raden Anjar, aku mengeluarkan sebuah selendang lusuh permberian Raden Anjar dan menghanyutkanya di sendang yang sangat jernih ini.

Suara hewan-hewan hutan kembali terdengar seusai acara warga tadi, seolah mereka mulai keluar dari persembunyianya. Kicauan burung terdengar merdu dari atas pohon yang masih indah dengan terpaan sinar matahari.

Cukup lama kami menunggu sambil menikmati keindahan alam ini, namun tidak ada apapun yang terjadi.

“Danan.. bener di sini sendangnya? Kok ga terjadi apa-apa?” Tanya Cahyo yang juga bingung.

“Mbuh.. tapi bukanya nggak ada sendang lain selain sendang ini? Apa mungkin...”

“Mungkin apa nan?”
“Mungkin kita juga belum pantas untuk menemui Nyi Sendang Rangu..” Ucapku.
Cahyo terlihat berpikir.

“Terlepas apapun itu, aku juga tidak merasakan hal apapun dari tempat ini..” Ucap Cahyo.

Aku mengangguk. Cahyo segera menghampiri ke arah selendang itu dihanyutkan, melepas baju, dan melompat ke dalam sendang untuk mengambilnya.

“Nih nan.. Simpen dulu, coba kita cari informasi lagi” Ucap Cahyo sambil menyerahkan selendang pemberian Raden Anjar.

“Lah kamu mau kemana lagi? “ Tanyaku yang melihat Cahyo meninggalkanku ke arah ujung sendang satunya.

“Berenang Nan! Adem... kan dari pagi belum mandi! ayo melu nyebur” Ucapnya.

“Uassem.. nggak ngomong-ngomong”

Aku ikut melepas bajuku dan masuk kedalam sendang dengan air yang sangat jernih itu. bagaimanapun caraku memandangnya, sama sekali tidak ada hal yang aneh dari tempat ini. mungkin memang sendang ini hanyalah kolam mata air biasa.

Kami keasikan bermain air hingga tidak sadar hari semakin sore.

“Duh laper lagi... kita ke kampung tadi apa mau coba tanya-tanya ke tempat lain?” Tanya Cahyo.

“Ke kampung tadi lagi saja... keberadaan Sugono Darmowiloyo sepertinya memastikan ada hubunganya kampung itu dengan yang kita cari” Jawabku.
Cahyo setuju, ia menyarankan untuk mampir lagi ke tempat Mbok Yem jaga-jaga bila harus terpaksa bermalam di sana.

Vespa Cahyo sekali lagi melaju membelah hutan menuju kampung tadi. Kali ini kami datang dengan badan yang sudah segar tanpa bau keringat dan asap motor Cahyo seperti tadi. Entah hanya perasaanku atau memang samar-samar aku merasakan ada yang mengintai kami dari kejauhan.

***

Sampai didepan gerbang kampung itu keanehan tejadi, suasana di tempat ini sangat berbeda dengan tadi pagi.

“Nan... bener ini kan kampung yang tadi?” Tanya Cahyo.

“Bener kok.. tuh lapak Mbok Yem yang udah tutup” balasku.

“Kok sepi banget... orang-orang pada ke mana?”

“Nggak tahu.. udah pelan-pelan aja”
Saat ini belum gelap, tapi langit sudah memerah. Suasana di kampung ini mendadak berubah hening. Hanya suara berisik knalpot motor Cahyo yang terdengar memecah keheningan.

Bukan tidak ada orang, sesekali aku menoleh ke arah jendela warga dan terlihat ada yang mengintip dan segera menutup gordenya ketika aku menoleh.

“Mas Danan, Mas Cahyo.. ke sini!” Panggil seseorang sambil menepuk tanganya. Suara seseorang yang kami kenal.

“Cahyo.. itu Mbok Yem” Ucapku sambil menepuk punggung Cahyo.
Dengan segera Cahyo memutar motornya dan mengarah ke tempat Mbok Yem berada.

“Mbok.. ono opo to iki?” (Bu ada apa to iki?) Tanyaku.

“Sudah masuk dulu ke rumah... nanti saya ceritain” Jawabnya.

Kami menuruti perintah Mbok Yem untuk masuk ke rumah bangunan kayu tua yang mulai tidak terawat. Mungkin karena Mbok Yem hanya hidup sendiri sehingga kesulitan merawat rumah ini seorang diri.

“Duduk saja dulu, tak bikinin minum” Ucapnya.

“Nggak usah repot-repot mbok..“ Balas Cahyo yang kutahu hanya sekedar basa basi.
Aku dan Cahyo memandang keluar melalui jendela, terlihat matahari mulai tenggelam dan langitpun menjadi gelap.

“Sudah mas... tutup jendelanya, bahaya” Ucap Mbok Yem.

“Makanya Mbok ceritain, biar kami nggak penasaran..” Balas Cahyo.

Mbok Yem meletakkan dua gelas teh hangat di meja dan menyuruh kami untuk menjauh dari jendela.
Tadi tak lama setelah warga desa kembali ada sebuah mobil yang masuk ke desa menuju rumah Sugono.

Mereka menghadang warga desa dan mengaku berasal dari trah Darmowiloyo. Mereka bernama Darminto dan Girman.
Seorang warga mencoba mengusirnya, namun yang terjadi seseorang yang bernama Girman itu mengambil sebuah golok, menarik lengan orang itu dan memotongnya dihadapan warga yang lain tanpa berkata-kata sedikitpun.
Sama seperti saat berhadapan dengan Sugono, warga tidak ada yang bisa bergerak saat Darminto menatap mereka semua.

“Terus, orang yang lenganya terputus itu bagaimana?” Tanya Cahyo.

“Dia sedang dilarikan ke rumah sakit kota... Yang terpenting kedua orang itu menyuruh warga desa memanggil keluarga Brotowongso yang membunuh saudaranya itu.

jika tidak malam ini seluruh warga desa akan mati dengan cara yang sama dengan Sugono” Cerita Mbok Yem.

Aku bertatapan dengan Cahyo. Kami tidak pernah menyangka keadaan akan menjadi seserius ini.

“Orang dari Brotowongso itu akan datang mbok?” Tanyaku.

“Entah... tapi, kepala desa sudah memanggilnya” Jawab Mbok Yem.
Malam semakin larut. Udara dingin mulai menyelimuti desa. Samar-samar mulai terdengar suara teriakan dari luar. Aku mencoba mengintip melalui jendela dan terlihat beberapa warga mencoba menyelinap keluar.

Sayangnya mereka dihadang sepasang makhluk berwujud pocong yang menjaga warga agar tidak keluar dari desa.

“Kasihan, kalian malah jadi terkurung di desa ini” Ucap Mbok Yem.

“Mbok.. nggak usah khawatir, nggak akan ada yang bisa menyentuh tempat ini...” Balasku.

Aku mulai merasakan kekuatan ilmu hitam yang mulai menyelimuti desa ini. Awalnya aku ingin memasang mantra pelindung, namun apabila keberadaanku dan Cahyo ketahuan masalah mungkin akan semakin besar hingga aku memutuskan hanya menyembunyikan keberadaan rumah ini.

Saat ini suasana terasa begitu mengerikan, padahal tidak ada suara apapun bahkan kami tidak melihat ke arah luar. Tapi seluruh warga tahu dengan jelas ada kutukan yang siap menanti warga di sini.

“Nan nggak kita coba samperin mereka aja... siapa tahu mereka kenal Nyai Kanjeng” Ucap Cahyo.

“Tenang dulu Cahyo.. kita pastikan dulu keadaanya, kita juga harus tahu siapa orang dari trah Brotowongso itu. Kalau sudah mulai ada serangan ke warga pasti kita turun tangan” Jelasku.

Cahyo setuju dan kembali menunggu.
Suara motor terdengar masuk ke dalam desa. Aku mengintip lewat jendela dan terlihat kepala desa sedang membonceng seseorang bapak paruh baya yang membawa berbagai macam barang.

“Itu.. itu orangnya! Dia yang beradu ilmu dengan Sugono!” Ucap Mbok Yem.
Belum sempat memasuki desa lebih jauh, sosok Pocong sudah menghadang motor pak Kades hingga ia hampir terjatuh. Sepertinya orang itu menyuruh pak kades untuk menjauh.

Seketika setelah Pak Kades memasuki salah satu rumah warga yang ada di dekatnya Pria paruh baya itu menghilang dari tempatnya berdiri. Saat itu juga berbagai macam makhluk halus muncul memenuhi seluruh desa.

“Itu.. Banaspati” Ucap Cahyo.

Terlihat bola api melayang ke arah yang tidak menentu. Beberapa dari bola api itu meledak di udara seolah ada yang menangkalnya. Dari arah rumah Sugono muncul makhluk berwujud manusia tanpa kepala dengan tubuh yang sudah membusuk.

Aku pernah melihat makhluk itu, tubuh itu seperti tubuh tumbal yang kulihat di desa tanggul mayit.
Salah satu bola api terhempas ke sebuah rumah warga. Tak lama kemudian seseorang keluar dari rumah itu meminta pertolongan.

“Tolong!! Tolong suami saya!” Ucap seorang wanita yang keluar dari rumah.
Tak menunggu lama, sosok makhluk berwujud mayat hidup tanpa kepala itu segera mengerubutinya. Wanita itu segera menyesal dan berlari.

Ia melihat kemunculan sosok pria yang mengaku berasal dari keluarga Brotowongso itu dan menghampirinya. Namun bukanya menolong, pria itu malah pergi berlari ke arah rumah Sugono dan membiarkan Wanita itu menjadi korban jasad tumbal yang segera mencoba mencabik-cabik tubuhnya.

“Danan.. nggak bisa! Kita harus ke sana...” Ucap Cahyo.

“Mbok Yem jangan keluar ruma ya..“ Pamitku pada Mbok Yem yang mencoba menahanku.

Cahyo berlari dengan cepat menuju arah wanita itu. Aku membaca sebuah mantra untuk menghalau sosok pocong yang mencoba menahan Cahyo.

“Wanasura!”
Dengan sebuah teriakan, sontak lengan dan kaki Cahyo dipenuhi kekuatan hingga ia bisa melompat dengan cepat menuju wanita itu.

“Demit Brengsek! Udah mati saja masih ngerepotin!” Ucapnya sambil mengusir makhluk yang menyerang wanita itu.

Satu demi satu makhluk itu terpental, Cahyo menahan serangan-serangan brutal dari segala arah. Rupanya serangan ini memang tidak diarahkan ke arah seseorang yang berasal dari trah Brotowongso itu, serangan ini memang bermaksud untuk menyerang warga desa saat kekuatanya sudah terkumpul.
Aku mencoba membantu wanita itu untuk berdiri dan mengantarnya ke rumah Mbok Yem.

“Mbok titip ya..“ Ucapku.

“Kalian Jangan nekad... cepetan masuk!” Balas Mbok Yem sambil menerima wanita itu.

“Mbok Yem nggak usah khawatir, doakan saja aku dan Cahyo supaya selamat” Balasku yang segera pergi menyusul Cahyo.

Cahyo terlihat sedang kerepotan menghalau sosok genderuwo yang mencoba masuk ke rumah warga. Puluhan banaspati yang melayang di atas desa juga membuatku kerepotan untuk menahan agar tidak menyerang warga desa.

“Piye iki Danan? Kalau nggak nyerang empunya serangan ini nggak akan berhenti” Ucap Cahyo.

“Kalau kita tinggal warga desa dalam bahaya!” Balasku lagi.

“Arrrgh sial!“ Cahyo terlihat sangat kesal ketika tidak mampu menemukan cara untuk menghentikan makhluk-makhluk yang terus bertambah ini.
Di satu sisi dari arah rumah Sugono terdengar suara dentuman yang mengerikan.

Aku menoleh ke arah sana dan melihat sosok bayangan raksasa berpakaian kerajaan yang dililit oleh sosok ular berbadan manusia yang terus mencoba menyerangnya.

“Mereka buka ingon biasa nan.. bakal repot iki!” Ucap Cahyo.

“Fokus lindungi warga dulu.. kita pikirin mereka nanti!”

Aku yang mulai merasa kerepotan mulai menarik sebuah keris dari dalam sukmaku. Sebuah keris warisan leluhurku yang mampu membuatku memisahkan wujud sukmaku.

“Cahyo.. jaga tubuhku sebentar, biar aku selesaikan makhluk yang diatas!” Ucapku.

Cahyo mengerti dan mendekat kearahku. Dengan wujud sukma aku bisa melayang ke arah banaspati yang berada di atas kami dan menangkalnya satu persatu dengan kekuatan dari keris ragasukma.

Setidaknya setelah seluruh banaspati menghilang kami memiliki sedikit waktu untuk ke medan tempur kedua trah pembuat kekacauan ini.

“Cahyo.. kita ke rumah Sugono! Kita hentikan mereka secepat mungkin!” Teriakku seketika saat kembali ke ragaku.

“Lha demit-demit iki piye..?” (Lha setan-setan ini gimana?) Tanya Cahyo.

“Mereka baru akan berhenti ketik pengirim teluhnya sudah dikalahkan.. setidaknya sekarang kita punya sedkit waktu, tidak mungkin aku menghadapi mereka sendirian” Balasku.

Cahyo mengerti dan segera melumpuhkan demit-demit di sekelilingnya dan membuatnya terpental. Setidaknya demit-demit itu membutuhkan waktu bila ingin mendekat ke rumah-rumah warga.

Kami berlari menuju medan pertempuran antar kedua ingon peliharaan kedua trah. Tak butuh waktu lama hingga keberadaan kami berdua disadari oleh ketiga orang itu.

“Orang luar tidak usah ikut campur..” Ucap seorang pria yang kuduga bernama Girman salah satu dari trah Darmowiloyo.

Dia menghadang kami bersama dengan sosok mayat hidup tanpa kepala.

“Biar aku saja... makhluk ini sama seperti yang digunakan dukun di desa tanggul mayit” Ucap Cahyo.

Cahyo berhenti dan membacakan doa-doa untuk menenangkan roh yang terjebak di jasad-jasad itu sementara aku berlari ke arah Girman dan membacakan mantra di kepalan tanganku.

Tepat saat doa Cahyo selesai jasad itu kembali terkulai di tanah dan sosok Girman terlihat dengan jelas. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan aku melepaskan ajian lebur saketi yang menyebapkan Girman terpental dan memuntahkan darah yang berwarna hitam dari mulutnya.

“Getih ireng... mereka sudah menjual jiwanya pada setan, hati-hati Cahyo!” Ucapku.

Melihat saudaranya terluka, Darminto tidak terima dan mencoba menyerang kami namun aku berhasil menahanya dengan mudah.

Mungkin karena sebagian kekuatanya terfokus pada ingon yang bertarung dengan orang dari keluarga Brotowongso itu.

“Wanasuraaa!!” Teriak Cahyo sekali lagi memanggil teman andalanya itu, roh bangsa kera dari hutan wanamarta.

Cahyo yang tidak sabaran masuk ke pertempuran kedua ingon berwujud buto dan ular berbadan manusia itu dengan menyatukan ajian penguat raga dan kekuatan wanasura.
Hanya dengan sekali pukulan kedua ingon itu terpental ke sisi masing-masing pemiliknya.

“Kalian ini ada di sisi siapa?” Ucap seorang pria dari trah Brotowongso.

“Kami di sini untuk melindungi warga dari pertempuran bodoh kalian!” Ucap Cahyo.

“Mereka warga yang menghabisi Sugono Saudara kami.. mereka pantas mati!” Ucap Darminto dengan wajah yang penuh emosi.

Aku menghadang Darminto yang medekat ke arah Cahyo.

“Kami juga ke sini atas petunjuk dari Nyai Kanjeng...” Ucapku.

“Kalau gitu seharusnya kalian membantu kami menghabisi orang itu dan warga yang sudah membunuh Sugono! Bukan menyerang kami” Teriak Girman sambil menahan sakitnya.

“Aku hanya bilang, kami ke sini atas petunjuk nyai kanjeng.. bukan berarti kami ada di pihak kalian!“ Balasku yang tetap waspada dengan situasi yang tidak bisa ditebak ini.

“Nyai kanjeng... nenek pecundang itu sudah tidak pantas menjadi pemimpin trah kami, bahkan ia tidak memiliki keturunan untuk melanjutkan wasiatnya” Ucap Darminto.

“Kalian salah.. dia memiliki keturunan, seorang anak berhati bersih yang akan menghentikan perbuatan keji kalian para pendahulunya!” Jelasku.

Girman dan Darminto saling bertatap muka. Sepertinya mereka tidak percaya dengan perkataanku.

“Tidak mungkin.. anak dan suaminya sudah mati, kalau memang ada.. berarti dia adalah anak haram yang akan menjadi aib keluarga kami dan harus segera dihabisi” Balas Girman.
Cahyo yang mendengar ucapan Girman merasa emosi.

“Heh denger dukun goblok! Haram atau tidaknya manusia bukan ditentukan dari rahim siapa dia lahir... tapi dari perbuatan dan tingkah lakunya semasa hidup! Di mata kami kalianlah yang jauh lebih hina darinya..” Ucap Cahyo.

Girman yang merasa kesal dengan ucapan Cahyo membaca sebuah mantra dengan tatapan keji ke arah Cahyo. Sepertinya ia memanggil sosok mayat hidup tanpa kepala yang ternyata bersemayam di tanah sekitar rumah Sugono.

“Duh.. makhluk itu lagi, jangan-jangan kalian temenan sama dukun di desa tanggul mayit itu ?” Tanya Cahyo dengan tatapan yang sedikit meremehkan.
Girman sedikit terhenyak mendengar ucapan Cahyo.

“Jadi kalian! Jadi kalian yang menghalangi kami mengumpulkan seratus tumbal di desa itu! Kalian dari trah Rojobedes?” Ucap Girman.
Aku dan Cahyo saling menatap, kami ingin tertawa namun keadaan saat ini tidak memungkinkan untuk itu.

Rupanya benar mereka memiliki hubungan dengan dukun itu.
“I..iya, aku Cahyo dari trah Rojobedes yang akan menghentikan pertempuran bodoh Darmowiloyo dan Brotowongso” Ucap Cahyo.

“Mas Darminto.. aku tahu cara membalas mereka” Ucap Girman yang segera menorehkan pisau ke telapak tanganya hingga darah menetes dengan deras ke tanah. Iya membacakan sebuah mantra hingga terdengar suara mengerikan dari berbagai penjuru hutan di sekitar desa ini.

“Getih ireng iki kanggo kowe sing iso nggowo nyowo seko deso iki..” (Darah hitam ini untuk kalian yang bisa membawa nyawa dari desa ini)

Seketika roh, arwah penasaran, demit alas dan makhluk-makhluk dari berbagai wujud yang ada di sekitar desa ini mendekat ke arah kami tergiur dengan darah Girman yang menetes di tanah.

“Habisi seluruh desa dan darah ini menjadi milik kalian!” Ucap Girman dengan puasnya.

Seketika aku dan Cahyo merasa panik dan ingin segera kembali ke desa. Namun ingon Darminto menahan kami.

“Hei jangan diam saja, bukankah kamu yang menolong desa ini membunuh Sugono dulu?“ Ucap Cahyo pada seseorang dari trah Brotowongso itu.

“Cih.. urusanku hanya menghabisi setiap orang dari trah Darmowiloyo yang sudah menghalangi tujuan keluarga kami. Kalau kalian mau menghalangi, kalian juga harus mati” Jawabnya.

Sudah kuduga, tidak mungkin seseorang dengan ilmu hitam punya tujuan melindungi warga desa. Entah aku merasa ia juga masih memiliki tujuan jahat yang lainya.

Dari arah tempat rumah Sugono yang berada sedikit diatas desa kami melihat berbagai macam makhluk memasuki desa jauh lebih banyak dari jumlah sebelumnya.

Iring-iringan banaspati dan roh yang melayang seolah memilih dengan bebas rumah mana yang akan mereka cabut nyawa pemiliknya.

“Hentikan Girman! Urusanmu sama aku.. jangan libatkan warga desa” Ucap Cahyo namun Girman hanya membalasnya dengan senyuman puas.

Aku dan Cahyo mulai kewalahan menghadapi siluman ular anak buah dari ingon Darminto dan tidak mampu meninggalkan tempat ini.

“Nggak ada cara lain Cahyo.. aku harus ke desa dalam wujud sukma” Ucapku sambil menggenggam keris ragasukma di dadaku.

“Jangan bodoh! Ragamu bisa dihabisi dengan mudah oleh mereka! lagipula kamu sendiri bisa apa melawan demit sebanyak itu!” Tahan Cahyo.
Ucapan Cahyo benar, namun tidak mungkin aku membiarkan warga desa mati begitu saja.

Aku tidak mempedulikan ucapan Cahyo dan tetap berusaha memisahkan sukma dari ragaku. Namun saat setengah ragaku terpisah tiba-tiba terdengar sebuah suara di telingaku.

“Apa anak yang kau ceritakan itu benar?”
Itu suara wanita yang sangan halus dan indah.

Suaranya seperti jernihnya air yang menenangkan.

“Benar... siapa kamu?” Tanyaku.
Tidak ada jawaban atas pertanyaanku, namun sebuah sosok terlihat berjalan di tengah-tengah desa dengan anggun.
Seorang wanita berpakaian jawa dengan selendang yang anggun.

“Danan, jangan-jangan itu...“ Ucap Cahyo yang juga menyadari keberadaan makhluk itu.

“Iya Cahyo.. mungkin itu Nyi Sendang Rangu..” Balasku yang merasa yakin saat merasakan kekuatanya yang terasa hingga seluruh penjuru desa.

Wanita itu hanya melihat ke sekeliling desa menatap semua makhluk yang mendekat. Saat itu juga makhluk yang dipanggil oleh Girman gentar dan perlahan menjauh.
Tak ada satupun makhluk yang berani mendekat ke sosok yang ayu dan rupawan itu.

“Tidak.. tidak mungkin itu Nyi Sendang Rangu..” Ucap Girman.
Pria dari trah Brotowongso itupun terlihat gentar.

“Nyi Sendang Rangu... seharusnya ia sudah tidak ada. Bukan saatnya aku melawanya” Ucapnya yang segera memanggil kembali ingonya dan pergi meninggalkan pertempuran ini.

Saat mengetahui warga desa sudah aman, aku mengambil kesempatan untuk membacakan mantra pada keris ragasukma hingga cahaya putih menyinarinya.

Dengan memanfaatkan wujud sukma, aku menghujamkan keris ini ke tubuh ingon berwujud ular berbadan manusia hingga ia menggelepar dan perlahan kehilangan kekuatanya.

“Kalian!” teriak Darminto yang tak terima dengan tindakanku.

Girman memperhatikan sekitarnya, tidak ada lagi makhluk yang tertarik dengan darah hitamnya. Kini mereka hanya tinggal berdua tanpa ada perlindungan dari siapapun.

“Nyi Sendang Rangu! Lindungi kami dari dua musuh ini!” Teriak Girman.

Benar juga, Nyi Sendang Rangu adalah ingon keluarga Darmowiloyo apakah mungkin ia mau menuruti perintah Girman.
Saat tidak ada lagi demit yang mengelilingi desa tiba-tiba terlihat seorang anak menerobos berlari keluar rumahnya.

“Ibu! Itu Ibu.. aku pernah liat perempuan itu di dekat sendang.” Ucapnya.

“Jangan keluar! Bahaya..” Ucap ibu dari anak itu yang segera menyusulnya untuk membawanya kembali ke dalam rumah.

Nyi Sendang Rangu hanya tersenyum ke arah anak itu dengan mengangkat satu jarinya ke mulut seolah memberi isyarat kepada anak itu untuk diam.
Terlihat beberapa warga yang penasaran, termasuk Mbok Yem juga keluar dari rumahnya untuk melihat sosok Nyi Sendang Rangu.

Setelah memastikan warga desa aman, Nyi Sendang Rangu menghilang dari tengah-tengah desa dan seketika muncul di hadapan kami.
Cantik... sangat cantik. Mungkin jika bidadari benar ada, bisa jadi Nyi Sendang Rangu adalah salah satunya.

“Nyi.. Kami dari trah Darmowiloyo. Leluhur kami adalah tuanmu. Habisi kedua orang itu” Teriak Darminto.
Seketika Nyi Sendang Rangu berpindah tepat ke hadapan Darminto. Di hadapanya Nyi Sendang Rangu tidak secantik tadi.

Wajahnya berubah menjadi hitam mengerikan dengan mata yang memutih.

“Jangan salah paham.. hubunganku dengan leluhur kalian bukan tuan dan ingon. Aku melindungi mereka karena keinginanku sendiri” Nyi Sendang Rangu dengan suara yang mengerikan.

Saat itu juga tubuh Darminto terlihat ketakutan. Girman hanya mampu menatap kejadian itu dari jauh tanpa bergerak sedikitpun.
Tak berapa lama setelahnya sesuatu tertarik dari tubuh Darminto dan Girman yang membuatnya terkulai tak berdaya di tanah.

“Nyi... apa yang nyi lakukan?” Tanyaku.
Sosok Nyi Sendang Rangu kembali seperti semula dan mengarah ke arah kami.

“Aku menahan sukma mereka agar mereka tidak mencoba mencelakai warga desa lagi” Ucapnya.

Aku menoleh ke arah Cahyo, sedari tadi aku tidak mendengar suaranya sama sekali.
Di sebelahku Cahyo terlihat terpaku dengan mulut yang menganga dan mata yang terheran-heran.

“Ayu yo nan... Sekar kalah ayu..” (Cantik ya nan.. Sekar kalah cantik) Ucap Cahyo dengan polos.

Dengan segera aku menarik sarung dari tanganya dan melemparkan ke wajahnya.

“Heh.. yang sopan, umurnya ratusan kali umurmu itu..” Ucapku.

“Maaf Nyi Sendang Rangu.. saya Danan, teman saya ini Cahyo.. maksud kami ke sini memang mencari Nyi Sendang Rangu atas petunjuk Raden Anjar...” Ucapku.
Nyi Sendang Rangu menghampiri kami dengan wajah yang sangat ramah.

“Saya sudah membaca maksud kalian.. saya hanya mau memastikan sekali lagi, apa kalian benar-benar memilih untuk memihak trah Darmowiloyo seperti kedua orang ini” Tanyanya.
Kali ini Cahyo yang maju menghampiri Nyi Sendang Rangu.

“Jujur Nyi, kami tidak ingin berpihak pada siapapun. Tapi ada seorang anak.. tidak.. sekarang ada dua anak yang bernama Mustika anak dari nyai kanjeng dan Ajeng anak dari Raden Anjar yang menginginkan orang tuanya bisa hidup menemani mereka” Ucap Cahyo.

“Walaupun orang tua mereka sudah membunuh banyak orang tanpa belas kasihan” Sahut Nyi Sendang Rangu.

“Mereka akan mendapat balasanya nyi, namun balas dendam dari musuh-musuhnya juga mengorbankan banyak nyawa tidak berdosa.
Kami terpaksa berada di pihak nyai kanjeng untuk mencari petunjuk cara menghentikan perseteruan ini” Jelasku.
Nyi Sendang Rangu terlihat berfikir, sepertinya ia juga merasakan kekalutan di dalam dirinya.

Lagipula sudah ratusan tahun semenjak ia hidup berdampingan dengan keluarga atau manusia lainya.

“Aku mengerti, sekarang lebih baik kalian kembali ke tempat anak itu. Saat keberadaan anak pemimpin trah diketahui akan sangat banyak musuh yang mengincarnya” Ucap Nyi Sendang Rangu.

“Lalu Nyi Sendang Rangu bagaimana? Apa bisa membantu kami?” Tanyaku.

“Saya akan tetap di sini... Perlindungan yang sejati berasal dari Yang Maha Pencipta“ Jawabnya.

Memang, tidak ada yang salah dari ucapan Nyi Sendang Rangu itu tidak ada yang lebih mampu melindungi Tika dan kami semua selain perlindungan dari Yang Maha Pencipta.

“Benar Nyi, Berarti Nyi Sendang Rangu tidak bisa membantu kami?” Tanya Cahyo.

“Saya akan menilai sendiri nanti... namun seandainya anak itu dalam bahaya, saya mengijinkan kalian untuk memanggil saya” Jawabnya.

“Tapi Nyi.. bagaimana cara kami memanggil seorang Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku.

“Kamu sudah tahu caranya, bacakan mantra yang diwariskan leluhurmu dengan perantara keris ragasukma di genggamanmu..” Ucapnya
Aku tertegun dan Nyi Sendang Rangu segera menghilang meninggalkan kami.

Tidak mungkin ia kupanggil dengan menggunakan mantra itu, itu adalah mantra untuk memanggil leluhurku.
Kecuali Nyi Sendang Rangu adalah...

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close