Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 8) - Gua Rahasia Desa Bakor


Gigi Gagak Rimang yang tajam menggeretak keras, ajian 'Gelap Ngampar' bukanlah sembarangan. Ilmu itu hanya dimiliki beberapa orang sakti setingkat pertapa yang sudah memiliki tenaga dalam mumpuni. Konon katanya bila digunakan takkan ada satupun ajian yang tak bisa ditangkal. Seperti ajian waringin sungsang yang memiliki delapan belas macam perubahan tak terduga sanggup dimentahkan dengan mudah. Padahal sebelumnya jurus itu tak pernah gagal memutas ratusan kepala manusia.

Untuk memaksa Sasrobahu yang memiliki ilmu itu jelas tidak mudah, haruskah ia mengeluarkan dulu semua kesaktian untuk menundukkan kepala desa pongah itu? 

Perlahan ia menggenapkan kekuatan tenaga dalam hingga delapan puluh persen, suasana terasa mencekam. Hawa dingin menghembus dari belakang punggung Gagak Rimang memancarkan aura kehitaman seperti dua bilah sayap hitam  raksasa. Ketika aura tersebut dikibaskan maka meniupkan angin beliung luar biasa kencang, sinar hitamnya menyedot semua cahaya tersisa sehingga pengelihatan Sasrobahu seperti mendadak remang-remang.

Para budak iblis dan siluman segera menjauhi arena pertempuran, takut terkena imbas kedahsyatan Gagak Rimang. 

Sasrobahu memantapkan kuda-kudanya, lawan tampaknya ingin mengerahkan kekuatan aslinya dan bukan barang mainan. Salah perhitungan sedikit nyawanya bisa melayang.

"Bangsat, rupanya kau sudah berani menentang kehendak Penguasa Hutan Tumpasan Sasrobahu?" geram Gagak Rimang melihat lawan dengan posisi menantang. 
Bagaimana bisa manusia satu ini tidak putus nyali merasakan gempuran angin bercampur tenaga dalamnya yang berhembus. 

Melihat musuh mengajak bicara Sasrobahu lantas menjura hormat, ia kendorkan kuda-kudanya. 

"Hamba tidak berani menentang kehendak junjungan kita Nyi Gondo Mayit, cuma jika dihadapkan dengan kroconya yang bertindak diluar aturan, tentu hamba akan melawan untuk membela diri. Ini demi menjaga selembar nyawa kami para penduduk desa Bakor"

Panglima perang siluman itu turut membuyarkan pemusatan tenaga dalamnya. Angin ribut yang datang bertubi-tubi mendadak sirna seketika, menandakan tenaga dalamnya sudah pada tahapan tertinggi bisa dipakai sesuka hati. 

"Apa maksudmu bawahanku telah berbuat di luar aturan?" tanya Gagak Rimang keheranan.

"Anakbuahmu Kuntilanak Merah telah melukai wargaku, bukankah kita sudah ada kesepakatan untuk tidak saling mencelakai selama ada ritual persembahan tumbal kembar?" ejek Sasrobahu.

Gagak tertawa seram, "Hahaha, itu perjanjian hanya berlaku bila wargamu tetap di wilayah Desa. Apabila sudah masuk hutan Tumpasan maka jelas dia akan menjadi santapan anak buahku"

"Tidak, kecuali Murni, dia tak dapat kalian jadikan santapan, bahkan tidak dapat kalian sentuh sedikitpun!" bentak Sasrobahu.

Gagak Rimang mendelik. Diikuti desisan seluruh hantu dan lelembut yang melingkari Sasrobahu. Mereka mencakar-cakar tanah, meludah histeris hingga mengumpat kasar. Mereka semua marah karena larangan itu berasal dari seorang bangsa manusia yang rendah. Yang hanya berharga untuk dijadikan santapan mereka.

Beberapa siluman sudah tidak sabar, mereka berteriak ke Gagak Rimang meminta ijin untuk melumat tubuh Sasrobahu. Kepungan mereka semakin rapat mengelilingi pemuda itu. Bau anyir nan busuk dari tubuh siluman dan demit itu sungguh memuakkan menguap di udara.

Namun Panglima itu mengangkat tangannya untuk memerintahkan pasukan siluman berhenti mendesak Sasrobahu, melihat tubuh kepala desa itu tidak ketakutan sedikitpun, pastinya ada suatu tipu muslihat yang disembunyikan.

"Gadis ini adalah tumbal kembar! Dia dalam pengawasanku!" teriak Sasrobahu dengan suara menggelegar. Matanya menyapu sekitar dengan nyalang untuk menebarkan rasa ketakutan pada setiap lawan.

Teriakan itu kembali dibalas dengan berbagai umpatan pasukan demit Hutan Tumpasan. Mereka menggeram tertahan karena tahu tidak bisa makan daging manusia hari ini.

Gagak Rimang segera melayang turun dari cabang pohon. Dengan tatapan yang dingin dari sepasang matanya yang kecil ia menyeringai.

"Pantas kau begitu percaya diri Sasrobahu, rupanya gadis itu adalah tumbal kembar. Bagus!  sekarang serahkan dia kepadaku" pintanya.

"Tidak bisa" tolak pemuda itu tegas.
"Tumbal kembar adalah kewajiban warga Desa Bakor dan harus diserahkan oleh Manusia juga" 

"Hm kau mau melawan perintahku? aku jamin sebelum tumbal seujung jari gadis itu tak akan kami sentuh" janji Gagak Rimang memainkan jemarinya yang kurus.

"Sebaiknya kau tidak usah repot. Bila Nyai Ratu tahu kau ikut campur masalah ini, semua bisa kacau termasuk acara tumbal malam ini. Malapetaka tidak hanya bagi dirimu, tapi juga bagi kami penduduk Desa Bakor" ancam kepala desa pemberani itu.

Sepasang mata bulat kecil yang hitam legam milik Gagak Rimang menyorot tindak-tanduk Sasrobahu. Kepala desa yang baru menjabat beberapa tahun di desa Bakor.

Bila manusia lain mungkin sudah terkencing ketakutan tetapi tidak dengan pria di hadapannya. 

Awalnya dulu dia mengacuhkan orang ini karena sikapnya seperti kerbau yang dicocok hidungnya, tetapi setelah bertukar serangan sebanyak belasan jurus ternyata ilmu orang ini begitu tinggi di luar dugaan. Ditambah dengan sikap keras kepala dan keberanian Sasrobahu bisa menimbulkan benih-benih perlawanan penduduk desa Bakor. 

Hal ini benar benar diluar perkiraan Gagak Rimang dan bisa saja membahayakan kerajaan siluman Nyi Gondo Mayit.

"Baiklah, kali ini hanya karena malam ini adalah sakral. Kau berhutang nyawa kepadaku. Dan suatu saat nanti kedua kalinya kau berkeliaran di hutan ini, aku takkan segan. Hutang Nyawa aku akan mengambilnya sendiri dengan tanganku" ancam Gagak Rimang seram. 

Mangsanya sudah jelas, mulai detik ini ia akan memantau seluruh gerak-gerik Sasrobahu. 

"Semuanya, mundur"

Panglima Nyi Gondo Mayit itu lalu berkelebat dibalik jubahnya yang lebar dan menghilang di balik pucuk pepohonan, diikuti dengan segenap anak buahnya.

Sosok-sosok menyeramkan seperti genderuwo, kuntilanak, dan bangsa siluman mulai berubah menjadi bayang-bayang kemudian menghilang dari pandangan mata. 

Bulan sedikit malu mengintip di balik awan, cabang-cabang pepohonan dihembus angin yang menimbulkan suara berderit. Di tanah lapang itu hanya tersisa Sasrobahu dan kesunyian. 

Kali ini panglima siluman itu pergi, dan pastinya keadaan tidak lagi akan sama seperti sesudahnya. Makhluk itu akan mengincarku untuk seterusnya karena telah melihat kemampuan asliku pikir Sasrobahu. 

Setelah bersila dan mengatur napas ritme jantungnya, pemuda berbadan tegap itu segera bergegas kedalam pondokan. 

"Murni?"

"A-aku disini kakang..." sahut Murni dengan nada bergetar.

Sasrobahu menyeruak masuk kedalam kamar mendengar nada ketakutan dari Murni. Betapa terkejut ia melihat kondisi nenek buyutnya. 

"Celaka" tukas Sasrobahu

Pemuda itu melihat kepala Darsini terkulai lemas dipangkuan Murni. Segera ia bersila di ranjang dan mendudukan orang tua itu, dengan mengatupkan kedua tangan di dada ia mengarahkan telapaknya ke atas lalu ke samping membentuk lingkaran, terakhir di arahkan telapak itu ke punggung Nenek Tua itu. Hawa asap keluar dari tubuh Sasrobahu mengagetkan Murni. Asap kebiruan itu berputar-putar di telapak lalu ke punggung tua renta itu namun tak ada perubahan sedikitpun.

Pemuda itu berdecak kesal, ia menaruh kedua tangan berhadapan di dada lalu ia sorongkan kembali ke punggung Ni Darsini berusaha membangkitkan denyut jantung tapi sayang tampaknya tak berhasil. 

"Ah ni Darsini sudah mangkat, benar benar tak diduga" guman Sasrobahu. Wajahnya penuh rasa bingung bercampur penyesalan, tangannya tak henti bergantian memeriksa nadi dan titik vital nenek renta itu di leher maupun tangan. 

"Bisa kau ceritakan apa yang terjadi Murni?" tanya kepala desa itu penasaran.

Murni mengangguk gamang, perlahan bibirnya menceritakan kejadian pada saat Sasrobahu bertarung di luar. Setelah menyanyi beberapa tembang tiba-tiba saja sang nenek bergetar hebat, kemudian tiba-tiba memuntahkan darah segar kehitaman lalu terkulai lemas.

"Apakah tidak ada hal aneh lainnya?" selidik pria itu. Tatapannya setajam elang. 

"T-tidak, aku tidak tahu Kakang, Ni Darsini seperti kesakitan dan memang sudah waktunya mangkat kalau kulihat dari usianya yang sudah sangat sepuh, apakah ada yang salah Kakang?" sahut Murni balik bertanya. 

Wajah Sasrobahu menunduk sambil mengusap peluh di dahinya. Setelah berpikir sejenak ia menghembus napas panjang. 

"Ilmu Ni Darsini sungguh tinggi. Hampir menyaingi tingkat pertapa. Harusnya ilmu Ni Darsini masih bisa membuatnya hidup beberapa waktu lagi, namun tak disangka ah ia Mangkat begitu cepat" sesal Sasrobahu. 

"Sudahlah kakang, baiknya segera kita kebumikan. Apakah rencana malam ini akan tetap berjalan?"

Ucapan Murni seperti es yang menyiram tungku perapian. Sasrobahu segera tersadar, kata gadis itu ada benarnya. Ada rencana penting yang harus ia kerjakan. 

"Saat ini di desa pasti sudah penuh oleh prajurit Kalingga. Kita harus segera sampai ke desa Bakor Murni"

"Apa kita harus menembus hutan lagi untuk sampai ke desa Kakang?  Diluar sudah gelap dan banyak hantu mengintai kita. Aku takut" 

"Tidak usah takut Murni. Perkataanmu benar kita tidak bisa menggunakan jalur yang sama untuk kedua kalinya. Terlalu berbahaya, kita pakai jalan pintas"

"Jalan pintas mana Kakang?"

"Ikuti Aku"

Keduanya lantas bergerak ke belakang rumah. Di halaman belakang Sasrobahu kuburkan jasad renta itu di sebuah lubang yang ia ciptakan dengan pukulan tenaga dalam. 

Cukup lama Sasrobahu menatap jasad nenek itu sebelum ditutupi tanah. 

"Kakang, apakah kau begitu sedih?"

Pemuda itu terdiam sembari menggeleng, ia lantas menguruk lubang itu dengan tanah. 

Setelah dirasa kuburan itu cukup layak. Kepala desa itu mengajak Murni kembali masuk ke rumah lewat pintu belakang yang ternyata langsung menuju ke ruangan dapur. 

Sasrobahu mengangkat tumpukan ranting kayu bakar di sebelah tungku terbuat dari tanah liat,  dibawahnya Murni melihat sebuah pintu kecil tersembunyi terbuat dari kayu. 

Sasrobahu membuka pintu itu dan masuk ke dalam. 

"Disini ada pijakan tangga, turunlah dengan hati-hati"

Gadis itu mengangguk,  jantungnya berdebar saat memasuki lorong sempit nan gelap itu. 

Tangga itu menurun dengan curam, entah berapa meter dalamnya tapi memakan waktu cukup lama untuk sampai ke dasar yang gelap. Sementara Murni sudah tidak bisa melihat apapun,  hanya bisa merasakan anak tangga yang sudah dipijak. 

Desah napas mereka saling terdengar di kesunyian. 

"Kakang masih lama lagi kita sampai?"

"Aku sudah sampai Murni, sebentar lagi kau juga. Hati-hati sahutnya."

Terdengar suara batu saling bergesek, kemudian terlihat nyala api yang kecil kemudian semakin besar. Di tangan Sasrobahu sudah memegang sebatang obor dengan api menyala-nyala. 

Kini Murni bisa melihat keadaan sekeliling dengan lebih jelas. Dia  berada di sebuah gua kapur yang cukup luas, terlihat stalagmit dan stalaktit yang tergantung di langit gua maupun yang menyembul dari permukaan bumi. Persis seperti ribuan gigi siluman yang tajam. Ketika pancaran nyala dari obor itu mengenai bebatuan berwarna keputihan tersebut terpancar sinar kemilauan seperti pelangi. 

"Kakang? tempat apa ini? Semua terlihat begitu indah, tapi juga menyeramkan sekaligus" tanya Murni gelisah sambil mengusap kedua punggung lengannya yang dingin. 

"Kau jangan khawatir Murni, ini adalah goa Pelangi, tempat dari Empu Argolawu berlatih dan bertapa dahulu kala. Jadi kita aman disini. Goa ini memiliki ratusan jalur yang membingungkan dan bisa menembus segala wilayah yang ada di Desa Bakor maupun di Hutan Tumpasan."

Mata Murni membulat, benarkah goa ini bisa menembus desa Bakor, apakah itu artinya bisa melewati hutan Tumpasan juga? 

"Sayangnya belum menemukan jalan keluar dari hutan Tumpasan, padahal aku sendiri sudah berusaha menjajal menyusuri setiap jengkal ruang goa ini namun sampai sekarang belum sempat semua kujamah. Goa ini terlalu luas" sambung Sasrobahu. 

"Harap kau memegang erat tanganku agar tidak tersesat." terang Sasrobahu. 

Anak perempuan itu mematuhi perintah Kakangnya dengan berada dibelakang saat pria itu menunjukkan jalan melesati ruangan gua yang memiliki banyak lubang besar. Sembari berjalan Sasrobahu menyalakan beberapa obor yang tergantung di dinding jalan yang mereka lalui. 

Hingga tibalah mereka di sebuah ruangan berbentuk bulat tanpa stalaktit san stalagmit dengan sebuah altar dan patung orang tua di tengahnya. Disekeliling ruangan tersebut terdapat tujuh pintu terbuat dari lempengam batu granit besar.

Murni takjub nelihat patung orang tua itu yang persis seperti asli. 

Orang tua itu tampak bersila dengan memegang sebuag tongkat di tangan sebelah kiri. Dihadapan patung itu terdapat tujuh buah lubang. 

"Sungguh besar dan panjang gua ini, namun inilah ruang utama dari goa ini" sahut Sasrobahu sembari memindahkan tongkat itu dari tangan patung ke lubang pertama. 

Terdengar suara bergemuruh diikuti dengan sebuah pintu disebelah kiri Murni yang terbuka. 

"Pintu ini menuju desa Bakor, ayo segera masuk" pinta kepala desa itu.

Murni mengangguk dan mengikuti dengan sedikit lambat dari belakang. Kali ini dia tidak memegang tangan pria didepannya karena harus meniti dinding jalur yang lebih sempit. Jarak mereka pun terpisah dua tombak. 

Suara gemuruh tiba-tiba terdengar kencang, tumit mereka seperti melayang sepersekian detik disusul goncangan seperti gempa. Membuat Sasrobahu limbung dan terbanting ke dinding gua. 

Sasrobahu kaget bukan kepalang saat ia menengok kebelakang dan berteriak kencang mengetahui jalur goa didepannya mendadak runtuh. 

"Murni!"

Namun terlambat kejadian itu berlangsung sangat cepat. Kini didepannya sudah ada dinding penghalang terbuat dari reruntuhan batu-batu dan pasir. Dan Murni terperangkap di sisi lain. 

"Celaka! Murni!" teriak Sasrobahu panik menunggu jawaban. 

***

Bulan purnama sudah sedikit tampak, tapi belum sampai diatas kepala. Para warga terutama kaum laki-laki bersiap untuk membuat arak-arakan tumbal kembar. 

Walaupun kepala desa belum terlihat, namun rencana tetap berjalan. Karena warga desa Bakor sudah bulat merencanakan dan memperhitungkan masak-masak, apapun yang terjadi penyerangan hutan Tumpasan harus tetap berjalan. 

Desa Bakor berubah menjadi seperti tempat kumpulan ratusan kunang-kunang. Setiap orang membawa sebilah obor. Dari raut muka mereka tampak serius dan membawa aura membunuh. 

Karena sebagian besar dari mereka digantikan posisinya oleh prajurit Kalingga yang menyamar. 

Para prajurit itu menyembunyikan pelindung dan perisai di balik baju warga biasa. Sebentar lagi mereka akan melakukan penyerangan terhadap kerajaan demit Nyi Gondo Mayit. 

Tampak panglima utama Kalingga Jagadnata memberi arahan bagi para patih dan sesepuh desa serta wakil kepala desa. 

"Pasukan sudah dibagi menjadi tiga kelompok penyerangan. Yang pertama adalah kelompok pembawa Tumbal, yang kedua adalah kelompok pengiring dengan tim ini termasuk aku didalamnya. Sedangkan kelompok ketiga adalah warga desa yang dibantu oleh pasukan pemanah dari Kalingga menyokong dari belakang. Apakah kalian semua sudah mengerti?"

"Sendika dawuh panglima" ujar semua orang. 

Karena Murni belum tampak batang hidungnya,  maka mereka menunjuk Candini yang sebaya untuk berpura-pura menjadi salah satu Tumbal Kembar. Hal ini untuk mengurangi resiko jatuhnya korban nyawa di pihak Desa Bakor. 

Maka Candini dengan seorang anak laki-laki dirias dengan baju terbaik dan hiasan kepala berwarna keemasan. Keduanya ditandu oleh empat orang berbadan tegap di dalam rombongan. 

Dalam tandu Candini nampak berusaha menenangkan anak lelaki yang menangis. 

Dengan diiringi air mata para perempuan penduduk desa, rombongan itu mulai berjalan memasuki hutan terlarang. Mereka merasa ini adalah perjumpaan terakhir dengan kerabat mereka. 

Kini hutan itu tampak menyala di satu sisi karena obor rombongan. 

Seperti mengetahui akan terjadi pertumpahan darah, hutan itu mengeluarkan kabut yang lebih tebal dari biasanya. Bau amis dan anyir menyambut indra penciuman orang-orang tersebut. 

Beberapa tampak mundur, tapi kembali mereka meneguhkan hati. Iblis ini harus ditumpas, sekarang atau tidak samasekali, Bunuh atau mati dibunuh! 

***

Sementara itu di pendopo utama Desa Bakor,  dibawah pohon beringin nampak seseorang terikat di pohon dengan pengawasan dua orang prajurit. Mereka duduk dengan menyalakan api unggun kecil. 

"Sial, gara gara orang ini, aku tidak jadi berangkat berperang, benar-benar cilaka" gerutu pengawal berbadan kurusan. 

"Sudahlah, Panglima Jagadnata menyuruh kita menjaga orang ini, kita bisa apa? Memangnya kau mau melawan perintah? Bisa habis kita dipites sama beliau" sahut prajurit satunya yang berbadan gempal. 

Sebelum sempat menjawab tiba-tiba prajurit kurus itu merasa kebas di punggung. 

Aakhh..

Seseorang menotok aliran darahnya membuat prajurit itu tak mampu bergerak dan langsung ambruk.

Rekannya yang bertubuh gempal melihat sesosok perempuan berdiri di belakang rekannya. Wajahnya tak jelas. 

"Siapa kau!" bentaknya. 

Namun sosok itu lantas berjumpalitan ke atas,  tahu tahu ada di belakang prajurit tambun itu. 

Reflek prajurit itu menyabet tombaknya ke belakang. Naas tangan sosok itu lebih cepat menangkap pergelangan tangan. Kali ini di punggung telah bersarang tiga totokan membuatnya kaku dan jatuh tak sadarkan diri. 

"Nah istirahat lah sampai besok" seru sosok itu. 

Ia kemudian berbalik menuju Larantuka yang tengah terikat kencang. Matanya tampak terpejam. 

Nyala api unggun menyingkap siapa sosok misterius itu, dialah Candika. 

"Mau apa kau?" tanya Larantuka. 

"Aku mau membebaskanmu, mumpung guru tidak disini" senyum Candika. 

"Kau akan kena masalah nantinya"

"Jangan khawatir aku tahu siapa guruku, lagipula prajurit ini tak tahu penyerangnya". Sahut Candika tersenyum dingin. 

BERSAMBUNG
close