Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sendang Banyu Getih (Part 5) - Nyi Sendang Rangu

JEJAKMISTERI - Seorang kakek bersaksi bahwa kematian misterius anak perempuan di desa disebabkan sosok bernama Nyi Sendang Rangu..
Sosok itu kerap kali meminta tumbal dengan selendang sebagai penanda yang terpilih.


(Sudut pandang Danan)
Desa kembali ricuh dengan kematian seorang perempuan yang mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Kejadian ini sama persis dengan yang terjadi dengan anak Pak Wijoyo.

Seketika aku merasakan dilema, Saat ini Cahyo sedang menunggu di Desa Banyujiwo dan harus menahan kutukan di Desa itu seorang diri. Tapi, ada nyawa seseorang melayang di sini, dan mungkin akan bertambah bila tidak ditemukan akar permasalahanya.

Apalagi, di tempat kejadian ditemukan selendang mungkin berhubungan dengan Nyi Sendang Rangu...

"Rojak, titip tasku...” ucapku sembari melemparkanya kepada Rojak.
"Mas Danan nggak jadi pergi?”
"Nggak, aku numpang lagi ya Mbok..” ucapku sembari bergegas mengikuti Pak Kades menuju rumah salah seorang korban bernama Nifah itu.

Rumah Nifah terletak cukup jauh dari rumah Mbok Yem, letaknya hampir di batas desa yang cukup berjarak dengan rumah warga lainya.

Suasana duka masih terasa sejak kami mendekat ke arah rumah itu. Sudah ada beberapa warga dan mantri desa yang membantu mengurus jenazah Nifah untuk dimakamkan.
Pak Kades menemui kedua orang tua Nifah untuk mengetahui kronologi kejadian tentang kematian anaknya itu.

"Nifah nggak ada masalah apa-apa pak, kemarin dia masih sekolah kayak biasa..” ucap Ibu Nifah sembari menahan tangis.

"Saya juga bingung pak, bahkan kemarin Nifah masih sering cerita ke kami seolah tidak ada masalah apapun padanya,” tambah ayahnya.

Pak Kades tidak bisa mengambil kesimpulan apapun selain menyampaikan rasa dukanya. Kamipun meminta ijin untuk memeriksa kamar Nifah untuk sekedar mencari petunjuk seandainya ada hal lain yang menyebabkan kematian Nifah.

Memang benar seperti ucapan kedua orang tuanya, tidak ada tanda-tanda aneh dari kematianya. Kejadian ini persis seperti apa yang terjadi dengan anak pak Wijoyo.

Tapi... keberadaan selendang Nyi Sendang Rangu di tempat ini seolah menandakan kejadian ini bukanlah hal yang biasa.
Aku tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Mungkin sebaiknya aku kembali ke sendang untuk menanyakan langsung kepada Nyi Sendang Rangu.

"Anak itu adalah tumbal untuk penunggu sendang..” ucap salah seorang kakek yang hadir di rumah Nifah tepat sebelum aku meninggalkan kamar Nifah.
"Sama seperti saudariku..”

Mendengar ucapanya beberapa warga mempertanyakan tentang ucapan kakek itu, namun kakek itu memilih untuk pergi setelah memastikan apa yang ingin ia lihat.
"Pak, saya ijin pergi sebentar..” pamitku pada Pak kades dan kedua orang tua Nifah.

Akupun segera keluar dan menyusul kakek itu. Ia terlihat berjalan tertatih menahan tubuhnya yang bungkuk. Langkahnya yang perlahan membuatku mudah untuk menyusulnya.
“Maaf mbah...”
Aku memanggil kakek itu dengan hati-hati agar tidak mengagetkanya.

Saat melihatnya aku segera bisa menilai bahwa kakek itu sudah sangat berumur.
“Ngapunten, Mbah (Permisi, Mbah)
Melihat aku menghampirinya kakek itupun menghentikan langkahnya. la menoleh ke arahku seolah mencoba mengenaliku.

“Kulo Danan Mbah, kulo tinggal ten griyone Mbok Yem," (Saya Danan Mbah, saya tinggal di rumahnya Mbok Yem) ucapku memperkenalkan diri.

“Owalah, Mbok Yem sing dodolan tenongan kuwi?" (Owalah, Mbok Yem yang jual jajanan pasar itu?) ucap kakek itu membalas ucapanku.

“Nggih Mbah,” balasku singkat
“Ono opo le?" (Ada apa Le?)
Sembari berjalan perlahan aku menceritakan sedikit tentang maksud kedatanganku ke desa ini. Kakek itu memperkenalkan diri dengan nama Mbah Ponidi.

Dari caranya berjalan dan bentuk tubuhnya, kemungkinan Mbah Ponidi sudah berumur lebih dari delapan puluh tahun.
"Kuwi ono pendopo, lungguh ning kono wae” (Itu ada pendopo, duduk di sana saja) ucap Mbah Ponidi.
Ada sebuah pendopo bambu yang berdiri di pinggir kebun sebuah warga.

Kamipun mengambil posisi duduk yang nyaman. Sepertinya Mbah Ponidi bersiap berbicara panjang lebar menanggapi ceritaku.

"Penunggu sendang itu makhluk yang jahat, dia tidak pernah berhenti meminta tumbal dari manusia yang tinggal di sekitar sendangnya,” ucap Mbah Ponidi dengan wajah geram.

Aku tidak langsung menerima cerita dari Mbah Ponidi, namun aku juga tidak langsung menentangnya.
‘‘Mbah tahu dari mana? Bukanya sebelumnya tidak ada kejadian seperti ini?” Tanyaku.

Mbah Ponidi menggeleng, ia mencoba mengingat-ingat apa yang pernah ia dengar semasa hidupnya.
"Dulu sosok penunggu sendang itu menjadi ingon salah satu trah, sosok itulah yang selalu menyediakan tumbal untuk penunggu sendang itu..” jelasnya.

"Tapi sebelum menjadi peliharaan trah itu, Makhluk itu selalu meminta tumbal dengan menggunakan selendang itu sebagai penandanya.”
Aku mencoba mengingat kembali kejadian dulu. Apa yang dimaksud Mbah Ponidi adalah Trah Darmowiloyo?

Aku masih menebak-nebak siapa sosok yang ia maksud. Nyai Sendang Lowo? Atau siapa?
Tapi, keberadaan selendang itu mengarahkanku kepada Nyi Sendang Rangu...
Tidak... itu tidak mungkin.

Semua yang diceritakan oleh Mbah Ponidi sangat berkebalikan dengan Nyi Sendang Rangu yang kukenal.
"Sepertinya saat ini Trah yang memelihara sosok itu sudah tidak terdengar lagi,
kemungkinan tidak ada lagi tumbal yang mereka berikan hingga makhluk itu mencari tumbal itu dari manusia di sekitarnya lagi...” Jelas Mbah Ponidi.

Akupun menghela nafas mencoba berpikir sejernih mungkin.
"Mbah yakin dengan cerita itu?” aku mencoba memastikan tentang itu.

Kali ini Mbah Ponidi menatap mataku, memang benar aku tidak melihat tatapan seseorang yang berniat berbohong.

"Saat adik perempuan Mbah meninggal, mbah mencari petunjuk mengenai hal aneh yang terjadi padanya. Hasilnya sama seperti korban saat ini, tidak ada hal aneh” Mbah Ponidi melanjutkan ceritanya lagi.

Tapi beberapa tahun kemudian ia melihat seorang perempuan membawa sebuah selendang seperti yang sempat dibawa adiknya. la mencoba memperhatikan perempuan itu dari jauh selama beberapa hari, dan benar saja wanita itu meninggal dengan bunuh diri menjatuhkan dirinya ke jurang.
Kejadian itu terjadi saat terdapat konflik di antara Trah yang memelihara makhluk itu.

Tidak ada dari mereka yang menyediakan tumbal untuk dewi penunggu sendang itu sehingga ia mencari sendiri seperti saat ini.
Tapi, adik dari perempuan yang terjun ke jurang itu juga seorang anak yang tidak biasa.

Ia mengaku sebelum kakaknya bunuh diri, ia melihat sesosok wanita cantik yang mengikuti kakaknya dan memandanginya dari jauh.
Anak itu beberapa kali menanyakan pada kakaknya tentang sosok itu, tapi tidak ada jawaban yang pasti dari kakaknya sampai akhirnya ia menanyakan sendiri pada sosok itu.

"Namanya Nyi Sendang Rangu...” ucap Mbah Ponidi.
Danan mencoba menahan perasaan yang bergejolak di dalam dirinya, sebagaian dari dalam dirinya ingin segera meninggalkan mbah ponidi dan menganggap cerita itu sebagai bualan saja. Tapi ia juga masih membutuhkan petunjuk lain.

"Anak itu bertanya apa maksudnya mengikuti kakaknya selama ini, namun ia malah berbalik dan mengancam anak itu” lanjut Mbah Ponidi.

"Mengancam?” Tanyaku memastikan.
Mbah Ponidi mengangguk.

la ingat sekali kata-kata yang diucapkan bocah itu saat makhluk itu mendekatinya dengan wajahnya yang cantik...

“Jangan ikut campur ya Nduk... kamu belum cukup matang untuk menjadi makananku,"
Mendengar ancaman itu anak perempuan itu hanya bisa pergi menjauh tanpa tahu bahwa esoknya makhluk biadab itu akan mengambil nyawa kakaknya.
Aku sedikit melamun mendengar cerita Mbah
Ponidi.

Merasa cukup dengan ceritanya, akupun
mengantarkan Mbah Ponidi ke rumahnya dan ingin segera menanyakan kebenaran tentang cerita ini pada Nyi Sendang Rangu.

***

Tepat saat matahari terbenam aku kembali ke sendang dengan membawa semua rasa penasaranku. Sendang kali ini terlihat begitu jernih dengan cahaya bulan purnama yang terpantul di permukaanya.

Di satu sisi aku mempertanyakan apakah setiap sendang memang memiliki sosok yang menjaganya? Dan apakah tujuan dari makhluk-makhluk penjaga sendang ini?
Seperti biasa aku menghabiskan waktuku untuk melakukan tirakat dan bermeditasi
menenangkan pikiranku.

Biasanya Nyi Sendang Rangu akan muncul walau secara tak kasat mata untuk mengawasiku, tapi tidak malam ini.
Aku sama sekali tidak merasakan
keberadaanya di sendang yang seharusnya ia diami ini.
“Nyi... ada yang perlu kubicarakan,”
Kali ini aku mencoba memancing keberadaanya.

Samar-samar aku merasakan ada sosok yang menghampiriku di sekitar sendang ini, tapi aku tidak bisa memastikan sosok apakah itu.

“Bocah, sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini...”
Terdengar suara bisikan dari atas pohon.

Aku menoleh ke arah suara itu dan menemukan sosok ular yang terlihat tidak asing.
“Nyai Sendang Lowo, sebaiknya kau tidak mencampuri urusanku...” ucapku berusaha menghardiknya.

“Khekeheke.... Kalau begitu kau harus siap menemui temanmu”

Nyai Sendang Lowo mengucapkan kalimat itu sebelum akhirnya menghilang lagi. Entah apa yang ia rencanakan hingga tidak ingin meninggalkan tempat ini.
Tapi.. siapa yang dimaksud oleh Nyai Sendang Lowo? Apakah itu adalah Nyi Sendang Rangu?

Malam semakin larut, tidak ada tanda-tanda kemunculan Nyi Sendang Rangu di sini. Hal ini membuatku semakin cemas, namun aku sudah bertekad untuk menghabiskan malam ini di sendang ini.

Rasa cemas itu bukan hanya tentang kisah nyi sendang rangu, tapi juga tentang keberadaan Cahyo saat ini.
Mungkin, aku bisa sedikit memanfaatkan keheningan ini. Setidaknya kali ini aku bisa berkonsentrasi untuk mengirimkan sukmaku sejenak untuk mengetahui keberadaan Cahyo.

***

(Sudutpandang Cahyo...)

Aroma tanah yang masih basah tercium bersama rintikan hujan yang tak berhenti membasahi hutan ini seharian. Matahari terbenam, suara cuitan burung mulai menghilang dan berganti dengan serangga malam.

Ini adalah pertanda bahwa aku harus mulai waspada...

Malam semakin larut, firasat mengerikan mulai kurasakan di tempat ini.
Tanah-tanah kuburan disekitarku mulai bergetar. Satu persatu liang makam yang sudah tertutup itu mulai bergerak perlahan.
Apa ini yang dimaksud Fajri dan Mbah Sagimin?

Sosok jasad yang menyerang desa itu benar-benar akan bangkit kembali untuk menyerang desa.
Sebuah doa yang panjang kulantunkan untuk menenangkan arwah-arwah yang belum tenang di sekitar tempat ini, namun sepertinya makhluk dibalik tanah ini tidak terpengaruh oleh doa yang kulantunkan.

"Apa mungkin sosok yang mengisi jasad ini bukan roh biasa?” Pikirku.
Bau amis tercium bersama dengan kemunculan tangan-tangan yang berusaha meraih keluar dari liang lahat itu.

Sebelum jasad itu berhasil meninggalkan lubangnya, aku menghambil posisi dan menghantam mereka hingga jasad-jasad itu tercerai berai.
Aku tidak habis pikir bagaimana tubuh-tubuh itu bisa menyatu kembali.

Beberapa bagian tubuh memang sengaja dikuburkan terpisah namun seolah sudah mengetahui keberadaanya, jari jemari, lengan, dan bagian yang bisa bergerak menyeret dirinya untuk menyatu semakin utuh.
Bukan lagi darah yang mengalir di jasad itu.

Warnanya hitam pekat dengan bau yang menyengat. Ada bau yang sama antara cairan itu dan sesuatu di sendang banyu getih.
Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah pemakaman. Ada cahaya senter dan lampu minyak yang dibawa oleh orang-orang itu.
"Mas! Mas Cahyo...!

Teriak orang-orang itu mencoba mendekat.
"Jangan kesini! Makhluk-makhluk ini diluar kemampuan kalian!” ucapku menahan mereka untuk mendekat.

Mereka adalah Tiko, Fajri, dan Badrun. Selain membawa peralatan penerangan, mereka juga membawa benda tumpul seperti cangkul dan linggis yang mereka gunakan untuk menghentikan makhluk-makhluk ini sebelumnya.

"Mas Cahyo tidak mungkin menghadapi mereka sendirian!” teriak Fajri.

Tepat setelah mengucapkan kalimat itu tiba-tiba sebuah tangan menggenggam kaki Fajri dan memanjat tubuhnya untuk keluar dari tanah.
"Aaa...Aarrgh! Setan brengsek!!” Teriaknya mencoba memukuli makhluk itu dengan linggis di tanganya, namun itu saja tidak cukup.

Aku mengambil batu sekepalan tanganku dan membacakan sebuah ajian untuk memperkuat lenganku. Kuarahkan batu itu ke kepala makhluk yang merayap di tubuh Fajri dan melemparnya dengan sekuat tenaga.

Dalam sekejap batu itu melesat tepat ke arah kepala makhluk itu dan membuatnya pecah hingga cairan hitam bermuncratan ke tubuh Fajri.

"Aku bisa menghadapi mereka atau tidak, itu urusan nanti. Yang pasti jangan ada lagi yang terlibat pertarungan dengan makhluk-makhluk ini,” ucapku.
Aku tidak bercanda, memang itu tujuanku yang sebenarnya. Ada dua hal yang harus kuhindari saat ini.

Yang pertama adalah kembalinya jasad ini ke sendang, dan yang kedua adalah jangan sampai warga desa melakukan tindakan brutal seperti saat menghabisi jasad ini lagi.
"Tapi, tanpa menghabisi mereka seperti itu mereka tidak akan berhenti mas,” ucap Tiko.

Aku memastikan keadaan saat ini cukup aman dan mendekati mereka.
"Coba bayangkan bila kalian dan warga terbiasa membabi buta seperti itu? Seolah memenggal dan memutilasi adalah hal yang wajar saat ini,” ucapku.

"Tapi kami bisa membedakan mana manusia dan mana makhluk itu Mas Cahyo, jangan khawatir,” balas Fajri.

Kali ini aku berkata dengan wajah yang lebih serius kepada mereka.
"Bagaimana bila ada masalah antar warga yang membakar emosi? Saat gelap mata, kondisi mereka saat ini akan tidak ragu untuk menghabisi nyawa seseorang,” aku mencoba menjelaskan apa yang ada dipikiranku.

Tiko dan Badrun sepertinya bisa menangkap maksudku. Namun tidak dengan Fajri, mungkin karena ia merasakan sendiri bagaimana kengerian serangan dari makhluk itu berkali-kali.

"Saat aku ke desa Sambigiri, aku menyadari bahwa kematian warga desa di sana bukan semata-mata karena makhluk-makhluk ini...” ucapku.
"Maksud Mas Cahyo?” Tanya Tiko.

"Kematian warga desa sebagian besar karena senjata dan benda tumpul. Berbeda dengan cara makhluk ini membunuh” jelasku lagi.
Mendengar ucapanku Badrun seperti tersadar akan apa yang ia lihat bersamaku di desa itu.
"I..itu bener,” jawab Badrun.

"Maksud Mas Cahyo? Mereka saling bunuh?” tanya Fajri.
Aku mengangguk, sepertinya Fajri mulai menangkap maksudku.
"Tapi bagaimana bisa?” Tiko terlihat bingung.

"Ada sosok lain dibalik semua ini. Percayalah, ada banyak makhluk yang bisa menutup penglihatan kalian hingga kalian melihat hal yang tidak semestinya,” Balasku.
Kini sepertinya mereka mulai mengerti, namun rasa khawatir mereka terhadapku tetap tidak terhapus dari raut wajahnya.

"Sekarang kembali ke desa, kalianlah yang harus menjaga warga desa.” ucapku.
"Tapi mas Cahyo?”
“Tolong... percaya sama saya, tidak akan ada satupun makhluk dari tempat ini yang akan datang ke desa,” aku mencoba meyakinkan mereka.

Mengetahui keras kepalaku merekapun memutuskan untuk kembali ke desa. Sepertinya mereka juga khawatir dengan keadaan desanya.
“Ya sudah kami kembali mas, ini ada termos air panas, kopi, dan sedikit gorengan buat ngisi perut. Mudah-mudahan bisa nemenin Mas Cahyo ya,” ucap Tiko.

“Nahhh! Kalau yang ini sih ngebantu banget.. ngomong donk dari tadi,” ucapku sembari merebut kedua tentengan itu dari mereka.
Merekapun menghela nafas melihat perubahan sikapku, walau begitu untungnya mereka tetap pada keputusanya dan kembali ke desa.

Tapi. Sepertinya aku belum bisa menikmati kopi panas dan gorengan yang mereka bawakan untukku. Baru beberapa menit setelah kepergian mereka beberapa liang lahat bergetar secara bersamaan.

Tak hanya itu, dari satu sisi di hutan ini aku merasakan ada sosok mengerikan yang memperhatikanku dari tempat yang tidak bisa kujangkau.
“Mas... sakit mas,” terdengar suara anak perempuan dari dalam salah satu kuburan.
“Mas., gelap.. takut”
“Tanganku mana? Sakitt...”

“Jangan bunuh aku lagi....”
Suara-suara itu terdengar lirih dari dalam tanah. Walau mengetahui asal suara itu, aku tetap saja merinding dibuatnya.
Suara itu terdengar semakin riuh bersamaan dengan bangkitnya makhluk-makhluk itu dari dalam makam secara bersamaan.

“Wanasura, siap atau tidak kita harus hadapi mereka” ucapku pada sosok yang berdiam didalam tubuhku.
Kekuatan Wanasura mulai menyelimuti pergelangan tangan dan kakiku.

Dengan semua kekuatan yang kupunya aku menghancurkan jasad itu dan tidak membiarkan satupun dari mereka meninggalkan tempat ini.
Sebenarnya bukan perkara yang sulit. Mereka hanyalah tubuh manusia yang rapuh dengan bau dan wujud yang menjijikkan.

Sayangnya jumlahnya tidak terhitung dan terus berusaha untuk menyatukan tubuhnya lagi setelah dipisahkan.
Mungkin aku terlalu jumawa, beberapa kali gigitan, cakaran, dan serangan mereka melukai tubuhku. Namun bukan itu yang kukhawatirkan saat ini.

Sementara beberapa sosok mengeroyokku, beberapa dari mereka mencoba bersembunyi dari pandanganku untuk meninggalkan tempat ini.

Sekuat tenaga aku melepaskan diriku dari kerubungan makhluk-makhluk ini, tetapi sebelum aku sempat menyusul mereka yang kabur, tiba-tiba cahaya putih melesat dan melubangi tubuh makhluk-makhluk itu.
Cahaya itu juga ikut menghabisi jasad-jasad anak kecil yang kembali mencoba bangkit di sisi lain tempatku berada.
Aku tersenyum melihat kemunculanya.

Yah, walaupun saat ini hanya sukmanya saja yang mencapai tempat ini.
"Ini semua apa, Jul?” Tanya Danan yang masih sibuk menghabisi makhluk-makhluk itu dengan keris Ragasukma di genggamanya.

"Mereka makhluk yang kuceritakan, kukumpulkan mereka di tempat ini agar tidak kembali ke desa.” Jelasku.
Tidak mungkin Danan mengerti dengan penjelasan singkat seperti itu. namun saat ini kami memilih untuk menahan makhluk-makhluk ini agar tidak pergi ke desa.

Dengan bantuan Danan, makhluk-makhluk ini dapat dilumpuhkan dengan begitu cepat. Ada sebuah ajian yang digunakan Danan untuk menahan makhluk ini mendapatkan kesadaranya kembali.
"Cukup Nan, ada sesuatu yang aku cemaskan. Mungkin kamu bisa membantu,” ucapku.

"Apa ada masalah lain?” tanya Danan.
"Aku ada firasat buruk di desa Banyujiwo, datanglah kesana dan pastikan warga desa aman,” pintaku.
Danan mengerti dengan kegelisahanku. Sisa makhluk yang masih tersisa disini adalah tanggung jawabku.

Setidaknya dengan bantuanya tadi, aku hanya tinggal menghabisi kurang dari setengah makhluk yang bangkit malam ini.

***

(Di desa Banyujiwo)
Rasa khawatir akan keadaan desa membuat Tiko memutuskan untuk berjaga di teras rumahnya bersama Fajri dan Badrun. Malam itu ia habiskan dengan mengobrol dengan ditemani kopi dan suguhan yang sama seperti yang mereka bawakan untuk Cahyo.

"Sebenarnya Mas Cahyo itu apa to? kok bisa ada manusia sesakti itu,” tanya Badrun yang masih terheran-heran dengan ilmu yang dimiliki Cahyo.

"Jangan melihat kesaktianya saja Drun, inget gak waktu pertama kali kita ngeliat dia. Kita kira dia hanya warga desa penakut yang tidak berani melawan saat dihardik oleh dukun dan anak buahnya di desa Bonomulyo,” balas Tiko.

"Iya ya, nggak nyangka aja aku..” ucap Badrun.

"Beneran ada kejadian begitu Tik?” tanya Fajri yang tidak percaya.

Saat Cahyo datang ke desa, ia melihat dengan jelas bagaimana kemampuan Cahyo menangani permasalahan desanya.

"Benar Jri, dia bahkan nggak mau nerima hadiah dari Pak Juwono. Padahal Pak Juwono sudah menjanjikan sawah miliknya bila bisa menyembukan anaknya,” Ucap Tiko.

Fajri hanya menggeleng heran mengetahui cerita tentang Cahyo.

"Tapi ada satu lagi orang baik yang kukenal Tik..” ucap Fajri.

"Siapa itu? Sakti juga?”

"Nggak Sakti sih, tapi dia bisa menghidupi satu desa bahkan setelah dia tidak tinggal di desa ini. Katanya malah dia yang mati-matian membantu warga saat warga merasa desa ini tidak layak ditinggali...” jelas Fajri.

Tiko dan Badrun mengernyitkan dahinya. la mencoba menebak siapa sosok itu namun tetap saja tidak menemukan jawaban.

"Bapakmu Tik..” lanjut Fajri.

Tiko menoleh kaget mendengar jawaban itu. Sedari kecil ia memang tahu bahwa ayahnya cukup dihormati, tapi ia tidak tahu bahwa peran ayahnya di desa ini ternyata cukup besar.

"Jujur, aku baru tahu Iho Jri..” balas Tiko.

"Bapakmu memang tidak suka di sanjung, makanya jarang terlihat. Tapi semua warga nggak akan lupa peran Bapakmu untuk desa ini,” Tambah Fajri.

Tiko sedikit tersenyum mendengar cerita dari Fajri, sepertinya kisah tentang ayahnya lebih memberikan kehangatan dibanding segelas kopi yang baru saja ia seduh.

Melewati larut malam, tiba-tiba kabut putih turun dari atas gunung dan menyelimuti seluruh desa.

Hal ini tidak seperti biasanya.
"Drun, bangun drun.. kabut” Tiko mencoba membangunkan Badrun yang ketiduran sesaat.

Dengan kesadaran yang belum utuh, Badrun mencoba menilai keadaan dan menyaksikan kabut sudah menutupi hampir seluruh desa.

"Apaan ini Mas Tiko? Memangnya desa ini sering seperti ini?” tanya Badrun.

"Nggak mas, jarang banget desa berkabut. Apalagi malam-malam gini,” Fajri menggantikan Tiko untuk menjawab pertanyaan Badrun.

"Kalau mau tidur masuk aja Mas,” Tawar Tiko kepada Badrun.

Bukanya mengiyakan tawaran itu, sebaliknya Badrun malah menggelengkan kepalanya dan memukul kedua pipinya.

"Kalau memang jarang terjadi, berarti ini sesuatu yang nggak wajar. Jangan tidur dulu,” ucap Badrun memperingatkan Tiko dan Fajri.

Tiko dan Fajri saling bertatapan, ia tidak menyangka kalau Badrun juga memikirkan desa ini sampai seperti itu.

Baru beberapa saat setelah kabut itu turun, tiba-tiba terdengar suara kentongan dari balai desa.

Sontak Tiko dan yang lainya panik, iapun segera mengambil baju hangatnya, membawa peralatan, dan menuju asal suara kentongan itu.

“Teko!! Mayite Teko!!!" (Datang! Mayatnya datang!!) teriak seseorang yang memukul kentongan dengan panik.

Terdengar suara pintu-pintu rumah warga yang keluar dan buru-buru menuju asal suara itu. Tiko dan yang lain tidak mau ketinggalan dan segera berlari tapi sebelum sampai ke asal suara itu mereka terhenti dengan sosok bayangan yang mendekat kearah mereka.

"Tu..tunggu!” Fajri mencoba menahan mereka untuk melangkah.

Bayangan itu semakin mendekat, sosok yang mereka takutkan itu akhirnya sampai ke desa mereka. Mayat anak-anak itu kembali bangkit dan menyerang desa Banyujiwo lagi.

Tiko, Badrun, dan Fajri sudah bersiap dengan linggis di tanganya dan siap melawan makhluk itu lagi.

"Sial, berarti Mas Cahyo gagal?” ucap Fajri.
Mendengar umpatan itu Tiko menyadari sesuatu.

"Nggak, Mas Cahyo sudah bilang kalau dia pasti akan menahan makhluk-makhluk ini,” ucap Tiko.

"Maksudmu apa mas? Itu mereka sudah ada di depan kita! Kalau tidak cepat bisa habis warga desa ditikam oleh mereka!” teriak Badrun.
Sekali lagi ucapan Badrun menyadarkan
Tiko.

"Buang! Buang senjata kalian!” Teriak Tiko.
"Gila kamu Tik, bisa mati kita!!” Bantah Fajri.
Mengetahui Fajri dan Badrun tidak akan mempercayainya begitu saja, Tiko pun nekad menghadang seorang diri makhluk yang bersiap menyerangnya itu.

la menahan lengan makhluk itu dengan tanganya sebelum parang itu melukai tubuhnya.
"Ambil parang dari tanganya!” Teriak Tiko.
Badrun dan Fajri kali ini menuruti Tiko dan memaksa memisahkan senjata tajam itu dari mayat anak kecil yang membawanya.

Ada satu sosok lagi yang menyerangnya, namun Fajri sigap dan menahan serangan makhluk itu. Jumlah mereka bertiga memberi keuntungan untuk menahan kedua makhluk yang menyerangnya.
"Bawa mereka masuk ke dalam rumah!” Perintah Tiko.

Fajri dan Badrun masih bingung, tapi kali ini mereka menuruti perintah Tiko.
Tepat saat masuk ke dalam rumah, tiba-tiba sosok makhluk itu berubah menjadi warga desa. kedua orang itu mengucek matanya dan kaget melihat ketiga pemuda itu.
"Mas Tiko?” tanya orang itu.

"Apa maksudnya ini Tik?” Tanya Fajri.
Kebingungan terpancar di wajah semua orang yang ada di rumah Tiko.
"Harusnya kita percaya dengan Mas Cahyo, tidak ada satupun setan itu yang akan masuk ke desa?” Ucap Tiko.
"Lantas?” Badrun tidak sabar menunggu alasan Tiko.

"Kita harus beri tahu semua warga, Tidak ada serangan dari mayat-mayat itu di desa ini. Semua kabut ini menipu mata kita. Ini persis seperti yang ditakutkan mas Cahyo” tambah Tiko.

"Ta..tapi, kalau ada mayat anak-anak itu yang benar-benar datang bagaimana mas Tiko?” Tanya warga itu.
"Tidak akan, Mas Cahyo sudah berjanji. Kami percaya dia akan berhasil menahan makhluk itu,” Jawab Tiko dengan yakin.

Fajri dan Badrun mengerti, kini tugas mereka adalah menyadarkan warga desa agar tidak tertipu oleh apa yang diperlihatkan oleh kabut itu.
Beberapa tubuh berwujud mayat anak-anak itu terlihat terkapar di tanah.

Tiko menyuruh Fajri untuk mengevakuasi tubuh itu dan membawanya ke rumah.
"Kata mbah sagimin, ada beberapa rumah yang dipasang pelindung. Bawa mereka ke rumah itu, seharusnya pelindung ghaib itu bisa menghapus penglihatan kabut ini,” perintah Tiko.

Badrun mengerti, warga yang selamat tadi segera membantu Badrun dan membawa warga sebanyak-banyaknya masuk ke dalam rumah.
Berbagai kericuhan mulai terjadi, suara kentongan yang semakin kencang membakar emosi warga untuk menghabisi Makhluk-makhluk yang memasuki desa.

"Sudah pak! Jangan pak!” Teriak Tiko berusaha menahan suara kentongan itu.
"Mas Tiko? Kenapa mas? Desa di serang
lagi!”
Rupanya Pak Sukoco yang memukul kentongan itu karna melihat sosok-sosok yang datang di balik bayangan kabut.

Tiko menunjuk ke arah Fajri dan beberapa warga yang sudah tersadar. Mereka mati-matian menghentikan warga yang saling mencoba untuk membunuh.
"Nggak mungkin mas, mereka semua mayat anak-anak yang menyerang desa,” Pak Sukoco masih belum tersadar sepenuhnya dari apa yang ia lihat.

Tikopun mengajak Pak Sukoco menahan salah satu dari mereka dan membawanya ke balai desa yang menurut Mbah Sagimin juga sudah dipasangi pelindung ghaib.

Pak Sukoco dan warga desa yang ia bawapun kaget dengan keadaan itu, mereka segera berusah menghentikan warga desa lain. Sayangnya hal yang mengerikan sudah terjadi di jalan-jalan desa.
Darah-darah berceceran dari pertarungan yang dipicu oleh halusinasi kabut ini.

Tiko dan warga yang sudah sadar sekuat tenaga menahan tragedi itu walau beberapa kali pukulan dan serangan mendarat di tubuh mereka.
"Sudah hentikan! Apa mereka tidak bisa mendengar suara kita” Pak Sukoco berteriak sekuat tenaga sembari ketakutan.

la takut saat kabut ini hilang yang tersisa tinggal jasad-jasad warga desa yang ia kenali.

"Sudah pak, Saat ini yang bisa kita lakukan hanya menyelamatkan warga sebanyak-banyaknya. Kita bukan makhluk yang sempurna, setelah semua ini, kita hanya bisa berserah,” Ucap Tiko berusaha menguatkan Pak Sukoco.
Sebelum mereka sempat melangkah lagi, sebuah hembusan angin melewati mereka bersama cahaya putih.

“Pemikiran yang bagus, Hanya Sang Penciptalah yang dapat memutuskan takdir manusia,”
Suara seorang pria terdengar diantara mereka. Cahaya kilatan putih menyerang satu persatu lengan warga hingga menjatuhkan senjata yang digenggamnya.

“Cahyo pasti menahan semua mayat anak-anak itu di pemakaman, tidak ada satupun yang akan lolos. Yang kalian hadapi sudah pasti bukan mereka,” suara pria itu terdengar lagi, Itu adalah suara Danan tapi wujudnya masih tidak terlihat oleh mereka.

“Siapa? Kau siapa?” Teriak Tiko memastikan sosok yang melintasinya itu.

“Teman...”
Danan tidak mau menjelaskan lebih jauh, waktunya tidaklah banyak.

"Ka..kami harus bagaimana?” Tanya Tiko lagi.
Danan membisikan beberapa bait ayat-ayat suci di telinga Tiko.

Ia meminta Tiko mengulang ayat-ayat itu berkali-kali dan meminta semua warga desa mengikutinya.
Perlahan tapi pasti, namun satu persatu sosok yang terlihat seperti mayat anak-anak itu mengulang ayat-ayat suci yang dibacakan oleh Tiko.

Kabut tidak menghilang, penglihatan merekapun tidak berubah. Namun mereka saling mendengarkan ayat-ayat itu dan mengenali mereka sebagai manusia.
Saat itulah mereka mulai mengumpulkan warga di balai desa, rumah Tiko, dan beberapa rumah yang memang dipasang pelindung ghaib.

Dengan keadaan yang mulai bisa terkendali. Danan segera kembali ke tubuhnya dan meneruskan apa yang harus ia telusuri malam ini.

***

(Sudut pandan Danan)

Aku kembali kedalam tubuhku dengan disambut gemericik air yang sedan tadi tenang tanpa ada gerakan berarti.

Kepergian sukmaku ternyata cukup menghabiskan tenaga. Aku mengembalikan Keris Ragasukma kedalam sukmaku dan berusaha memulihkan diri.

Ada beberapa gelombang di sendang seolah menandakan ada sosok yang pergi meninggalkan sendang itu.

“Nyi... Nyi Sendang Rangu” Aku mencoba memanggil sosok yang kuharapkan untuk mucul. Sayangnya masih belum ada jawaban atau petunjuk mengenai keberadaanya.

Perasaanku seperti terganggu. Arah riak air itu membuatku menoleh ke arah kuburan yang tidak jauh dari sendang itu berada.
Ada bayangan...
Ada melihat bayangan aneh tidak jauh dari pintu masuk makam. Aku melihat dengan hati-hati posisi bayangan itu berada.

Itu adalah makam Nifah yang baru saja ditutup siang tadi.
Menyadari hal itu Akupun berlari meninggalkan posisi menuju makam itu. Benar saja, di sana terlihat jasad Nifah sudah keluar dari liang kuburnya.
Dada dan perut jasad itu sudah terbuka dengan darah yang mengalir ke tanah.

Yang lebih mengerikan, di atasnya ada sesosok makhluk yang menggigiti perutnya dan memakan organ-organ tubuh di dalamnya.
Mengerikan, wajah makhluk itu begitu mengerikan...
Kulitnya menghitam dan terkelupas, rambutnya terurai tak beraturan dengan mata yang kehilangan kelopaknya.

Tapi... Aku seolah mengenal bentuk tubuh dan pakaian yang ia pakai.
"Tidak.. tidak mungkin” ucapku mencoba menyangkal semua pradugaku.
Sayangnya, ingatanku saat pertarungan melawan Trah Darmowiloyo di desa ini juga mengingatkanku akan sosok itu.

Itu adalah sosok yang ditujukan pada orang-orang yang sudah kehilangan hatinya dan memiliki dosa yang tak terampuni.

"Nyi Sendang Rangu...” Panggilku.
Itu adalah wujud lain Nyi Sendang Rangu. la seperti cermin yang memantulkan dosa dan isi hati orang yang berurusan denganya.

Tapi aku sama sekali tidak pernah melihatnya melakukan hal seperti ini.

Mengetahui keberadaanku yang memperhatikanya, Makhluk itu setengah merayap dengan cepat menuju ke arah ku. la maju dengan wajah penuh amarah seolah tidak sudi memperlihatkan wujudnya yang seperti itu.

Merasa ada bahaya, Akupun Menghindar namun makhluk itu terus mengejar.

"Nyi. sadar Nyi!!” aku berteriak mencoba memastikan bahwa itu adalah Nyi sendang Rangu.

“Sadar opo to cah?” (Sadar apa sih bocah?)
Itu benar suara Nyi Sendang Rangu...

Aku benar-benar terpukul dengan apa yang kulihat saat ini. Sosok yang selama ini membantu kami hingga keluar dari Jagad Segoro demit ternyata berubah menjadi mengerikan seperti ini.

"Nyi apaan ini semua? Berarti benar Nyi Sendang Rangu selama ini meminta tumbal?” Teriakku.

Sosok itu malah tertawa cekikikan sembari menjilati sisa darah dari mayat Nifah di lenganya.
"Benar. Aku ada karena tumbal-tumbal itu, untuk apa aku ada di alam ini bila tidak bisa mendapatkan apapun” jawabnya.

Pikiranku berkecamuk. Sementara itu Selendang Nyi Sendang Rangu sudah melilitku. la mencekik leherku dari jauh dengan kekuatan yang tidak bisa kutandingi.

"Nyi. jangan Nyi!” aku berusaha berteriak, namun suaraku tertahan.

Aku mencoba memanggil keris ragasukma dari dalam tubuhku, namun anehnya kerisku tertahan. Nyi Sendang Rangu tertawa seolah ia memang memiliki kemampuan untuk menahan keris ragasukma milikku.

Memang benar, saat ini dia adalah Roh terkuat yang ku ketahui saat ini.

Aku hampir menyerah, namun aku terus membacakan doa dan berharap Tuhan punya rencana lain terhadap nasibku saat ini.

Tepat saat aku mulai kehilangan kesadaran, tiba-tiba sebuah serangan merobek ikatan selendang di tubuhku.

Nyi Sendang Rangupun mencari sosok itu dan mundur dari posisinya.

Aku yang terselamatkan mencoba mencari asal serangan itu.

"Kamu belum bisa melawan dia Nan,” ucap suara yang juga kukenal terdengar dari belakangku.

Sesosok wanita anggun dengan selendang merah berjalan dari arah sendang. Wajahnya begitu cantik dengan pantulan rembulan yang menyinari kehadiranya.

"Nyi? Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku bingung.

Sosok yang menolongku barusan adalah Nyi sendang Rangu. Lalu siapa sosok yang hampir membunuhku tadi?

"Nyi! Jelaskan ini semua? Jelaskan siapa makhluk mengerikan yang memakan mayat Nifah itu?” Tanyaku.

Nyi Sendang Rangu menatap makhluk itu dengan tatapan yang tajam. Anehnya memang tidak ada perbincangan yang terdengar diantara mereka.

"Makhluk itu... Aku”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close