Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sendang Banyu Getih (Part 6) - Purnama di Permukaan Air

Tidak semua anak terlahir setara, bukan hanya tentang kasta dan harta saja. Terkadang semesta tidak berpihak pada mereka dan memberkahinya sebuah kutukan..


JEJAKMISTERI - Suara tangis seorang bayi memecah keheningan malam. Bukan rasa senang yang dirasakan Mulyo saat menjadi seorang ayah saat itu. Rasa khawatir akan istrinya Ratih membuatnya melupakan rasa bahagia yang seharusnya ia rasakan.

“Ratih... bagaimana dengan Ratih?” Tanya Mulyo menerobos gerombolan ibu yang baru keluar dari gubuk persalinan.

Semenjak hamil besar, mulai ada keanehan pada tubuh Ratih. Perlahan tubuhnya semakin lemah, wajahnya selalu pucat, dan berbagai penyakit mulai menjangkit tubuhnya.

Pernah sesekali Mulyo berniat memeriksakan Ratih dengan membawanya ke desa yang lebih besar di kerajaan. Namun jawaban mengejutkan yang ia terima.

Menurut dukun kerajaan, bayi yang dikandung oleh Ratih membawa kutukan.

Ratih akan semakin lemah, dan bahkan mungkin saat bayi itu terlahir, itu juga akan menjadi akhir hayat Ratih.

Walau begitu, Ratih bersikeras tidak ingin menggugurkan bayi di dalam kandunganya.

Ia sudah mencintai bayi itu sejak pertama ia melihat senyuman Mulyo, ketika Mulyo mengetahui kehamilanya.

Sayangnya ucapan dukun itu kerap terjadi. Kesehatan Ratih semakin menurun, bahkan saat akan melahirkan tubuh Ratih semakin kurus hingga hampir tidak dapat dikenali.

***

Mulyopun menyaksikan keadaan Ratih yang tak sadarkan diri setelah melahirkan bayi itu. Matanya tak mampu menahan tangis dan segera memeriksa tubuh Ratih.

“Ratih semakin lemah mas, kita harus bersiap dengan apapun yang terjadi,” ucap seorang dukun beranak yang menangani persalinan Ratih.
Malam itu Mulyo sama sekali tidak meninggalkan Ratih, ia memperhatikan setiap nafas Ratih dan merawatnya sepanjang malam.

“Namanya... Rahayu, dia harus hidup bahagia..”
Bisik Ratih tepat saat dirinya tersadar. Tak peduli dengan apa yang ia alami, Ratih sangat menyayangi bayi perempuanya itu.
Mulyo bersyukur Ratih akhirnya tersadar, tapi ternyata semesta tidak sepenuhnya berpihak padanya.

Walau bertahan hidup, Ratih kehilangan penglihatanya. Semua yang ia lihat menjadi buram. tubuhnya lemah dan tak jarang ia selalu terjatuh setiap mencoba berjalan jauh.
Sedikit di dalam hati Mulyo menyalahkan Rahayu atas penderitaan yang diterima Ratih.

Tapi karena Ratih sangat menyayangi anaknya itu, Mulyo tetap merawatnya untuk menyenangkan istrinya.
Rahayu tumbuh dengan sehat, namun sebaliknya, kesehatan Ratih semakin menurun. Setiap melihat penyakit Ratih, Mulyo selalu melampiaskan kekesalanya pada Rahayu.

Mulyo mencari berbagai cara untuk menyembuhkan Ratih, sayangnya hampir semuanya sia-sia.
Hampir setiap hari Rahayu menghabiskan waktunya bersama ibunya. Walau dalam kondisi yang lemah, Ratih selalu mengajarkan tentang kehidupan pada Rahayu.

“Ibu nyesel nggak ngelahirin Rahayu?”
Sesekali Rahayu bertanya pada ibunya, pertanyaan itu ia tanyakan karena ia merasakan perlakuan buruk dan berbagai umpatan yang dilontarkan ayahnya setiap ayahnya kesal.

“Melahirkan kamu adalah keputusan terbaik di hidup ibu, nduk” jawab Ratih.

“Tapi kata bapak, Ibu jadi seperti ini karena melahirkan Rahayu” Balas Rahayu lagi.

“Penyakit ibu ini juga pemberian Tuhan, Nduk... Ibu menerima dengan ikhlas,”

Rahayu tahu ucapan ibunya itu bukan bualan semata. Hampir tidak ada keluhan yang keluar dari bibir ibunya atas penyakitnya.
“Jangan marah sama bapak ya, Nduk. Walau galak, dia sebenernya sayang sama kamu” ucap Ratih.

“Nggak buk, Bapak benci sama Rahayu. Bapak sendiri yang bilang” balas Rahayu sembari merunduk takut.
“Yang bapak benci bukan kamu, tapi penyakit ibu. Suatu saat pasti kamu pasti tahu nduk”

“Yang bener bu?”

Ratih mengangguk sembari meraba kepala Rahayu dan mengelusnya.

“Jadi, jangan pernah benci bapak ya...”
Ucapan Ratih saat itu benar-benar diingat oleh Rahayu. Umpatan, cacian, dan tingkah tidak peduli ayahnya tidak pernah Rahayu pedulikan.
Perlahan ia menyadari, bahwa ucapan ibunya benar adanya.

Saat musim gagal panen, desa hampir kesulitan makanan. Rahayu sedih hanya ada dua potong singkong yang tersedia di meja makan saat itu. Padahal, terakhir kali mereka makan adalah kemarin siang. Itupun hanya sedikit.

Rahayu menyuapi ibunya sembari menangis, ia mengeluh pada ibunya tentang rasa laparnya. Tetapi... saat itu Ratih menanyakan satu hal yang membuat Rahayu tersadar..

“Nduk, bapak sudah makan?”

Rahayu seketika tersadar, ia membawa sisa kurang dari sepotong singkong yang belum ia habiskan sembari mencari ayahnya.
Ia menemukan ayahnya di pawon sembari meratapi tungku yang sudah lama tidak menyala. Rahayu mendekatinya dan bertanya dengan takut.

“Ba..bapak sudah makan?” Tanya Rahayu.
Wajah Mulyo kembali menajam saat melihat Rahayu.
“Habiskan makananmu, jangan merepotkan ibumu!” ucap Mulyo.
Mulyo meminum segelas air yang ia gunakan untuk menahan rasa laparnya dan meninggalkan Rahayu sendiri di dapur.

Rahayu sadar, sedikit makanan yang ia keluhkan saat itu adalah pengorbanan ayahnya. Iapun menghabiskan sisa potongan singkong itu di pawon sembari menitikkan air mata. Ia menyukuri sepotong singkong itu melebihi apa yang pernah ia terima saat ini.

Menurutnya di dalam sepotong singkong itu terdapat rasa sayang ayahnya yang hampir saja ia dustakan.

***

Kemiskinan yang melanda sebagian wilayah kerajaan juga berdampak terhadap desa-desa di sekitarnya. Setiap orang mencari cara bagaimana agar mereka bisa bertahan hidup dan memberi makan anggota keluarganya.

Saat itu tersebarlah tentang sebuah kabar mengenai sebuah pesugihan yang dilakukan di sendang yang tak jauh dari desa mereka.
Sendang Banyujiwo...
Sendang itu sebelumnya adalah sumber air untuk orang-orang yang membangun kehidupan di sekitarnya.

Ketika mereka sudah dapat membuat sumur air tanah, sendang itupun mulai ditinggalkan.
Mulyo mendengar cerita yang menyebar di kalangan teman-teman desanya.

***

Beberapa tahun yang lalu, ada seorang prajurit yang mengembara menemukan Sendang Banyujiwo yang sudah lama tidak dikunjungi warga. Ia menghabiskan beberapa malam untuk beristirahat di sana. Saat bulan purnama, prajurit itu menyaksikan hal yang aneh.

Pantulan purnama di permukaan sendang perlahan berubah menjadi sosok bayangan yang melayang-layang di atas sendang. Seolah membaca maksud sang prajurit, sosok itu menawarkan sebuah pertukaran.

Prajurit itu mengembara atas perintah sang raja. Ia diperintahkan untuk mencari ilmu yang dapat menerjemahkan sandi yang ditinggalkan oleh leluhur kerajaan.

Hebatnya sosok yang muncul itu menyanggupi untuk memberinya ilmu itu, namun ia menanyakan bayaran yang bisa diberikan prajurit itu.
Sang prajurit menawarkan pusaka keluarganya yang diwariskan turun-temurun pada dirinya. Sebuah gelang emas dengan batu permata merah.

Saat pusaka itu ia tenggelamkan di sendang, perlahan wujud itu berubah. Samar-samar ia berwujud seperti seorang wanita.

Benar saja, perlahan ilmu yang ia cari seolah merasuki pikiranya. Prajurit itu mendapatkan apa yang ia cari dan kembali ke kerajaan.

Kisah itu menyebar diantara beberapa orang yang berhubungan denganya.
Warga desa beberapa kali melihat pengembara melintasi desanya dan menuju ke Sendang Banyujiwo. Warga desa yang curigapun akhirnya mengetahui tentang ritual yang mereka lakukan di sendang.

Lambat laun, ada beberapa warga desa yang nasibnya berubah seratus delapan puluh derajat. Ada yang menjadi kaya dengan materi yang tidak dapat dijelaskan sumbernya, ada yang menikahi bangsawan, hingga ilmu-ilmu yang tidak masuk akal.

Sayangnya, ternyata ada hal mengerikan dibalik semua pemberian itu. warga yang sudah terbiasa dengan kenikmatan duniawi yang mereka dapat, tidak bisa berhenti melakukan pertukaran.

Lambat laun diketahui bahwa tidak sedikit yang mengorbankan nyawa manusia sebagai tumbal untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Akhirnya tiba waktunya dimana Sendang itu tidak mengalirkan airnya lagi.

Semua tumbal dan benda-benda yang tenggelam di tempat itu membuat air di sendang itu semakin menghitam. Bau busuk dari jasad-jasad di dasar sendang mulai menguap dan mengundang sosok-sosok mengerikan di sekitar sendang.

Suatu saat, prajurit yang menemukan kesaktian sendang itupun kembali. Ia bermaksud untuk melarung sesaji untuk mendoakan pusaka yang ia tenggelamkan di sana, namun ia mendapati sesuatu yang mengerikan.

Sosok penunggu yang menyerupai seorang perempuan itu kini lebih terlihat mengerikan. Wanita itu berwajah pucat dengan rambut yang tak berbentuk. Tubuhnya dipenuhi borok dan sisik aneh dengan baju kebaya yang telah terkoyak.

“Apa yang terjadi?” tanya prajurit itu.

Makhluk itu tertawa dengan mengerikan.
“Aku adalah apa yang kalian benamkan di sendang ini,” ucap makhluk itu.
Prajurit itupun merasakan ada hal yang buruk dan sebagian penyebabnya adalah dirinya.

Iapun melompat ke dalam sendang yang mengerikan itu dan menemukan sisa-sisa jasad manusia dan berbagai hal yang mengerikan.
Mengetahui kenyataan itu, sang prajurit melarang siapapun mendekat ke sendang itu lagi.

Iapun menurunkan beberapa prajurit untuk berjaga hingga jalur menuju sendang itu tertutup oleh pepohonan dan ritual itu mulai dilupakan oleh masyarakat..

***

“Beberapa bulan lalu ada warga desa sebelah yang menemukan sendang itu dan melihat sosok seperti yang diceritakan oleh legenda itu Mas Mulyo” ucap seorang warga.
“Lantas?”

“Dia kembali ke sana dan menyembelih seekor kambing kendit sebagai tumbal penunggu sendang, dan konon kekayaan yang ia miliki saat ini adalah hasil persembahan itu” jelasnya.

Beberapa warga terdengar antusias dengan cerita itu, ada yang ingin mencoba dan ada yang menolak mentah-mentah.
“Segala sesuatu yang didapatkan dengan jalan yang salah tidak akan berakhir baik” ucap Mulyo.

“Iya sih mas, tapi apa mas Mulyo tidak mau mencoba. Siapa tau dia bisa memberikan kesembuhan untuk Ratih. Lagipula itu bukan permintaan yang jahat kan?”

Ucapan warga itu seketika tertancap di pikiran Mulyo. Hati kecilnya menolak, namun kesembuhan Ratih melebihi segalanya.

Suatu ketika, penyakit Ratih kambuh. Ia kesakitan hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Mulyo bingung menghadapi situasi ini, Rahayu hanya bisa menangis tanpa tahu apa yang harus ia perbuat.

Malamnya Mulyo teringat akan keberadaan sendang keramat itu. Ia yang sudah mulai putus asa memutuskan membawa satu-satunya harta yang ia miliki. Seekor kambing untuk ia kurbankan pada penunggu sendang itu.

Dengan bermodalkan sebatang obor, Mulyo menembus gelapnya hutan dan mencari keberadaan Sendang itu. ia menuntun Kambing yang akan menjadi kurbanya itu sembari menyibakkan semak yang menutupi jalanya.

Tidak ada satupun petunjuk yang menunjukkan kemana arah sendang, tapi intuisinya mengatakan bahwa ia akan menemukan tempat itu.
Tepat saat melewati tengah malam, kambing yang Mulyo bawa mengembik dengan keras.

Ia seperti gelisah akan sesuatu yang ada di dekatnya. Mulyopun mendekati arah yang membuat kambingnya gelisah hingga akhirnya ia menemukan apa yang ia cari.
Sebuah sendang yang berbau amis dan berair hitam...

Tidak ada apapun di sana selain sebuah sendang yang seolah enggan memantulkan cahaya rembulan di air pekatnya itu.

Mulyo mendekat dan hanya menemukan air yang beriak oleh angin malam di hutan itu.

Mulyo mulai ragu, apakah buah bibir yang di dengar olehnya benar nyata? Atau itu hanya kabar burung yang tercipta hanya untuk meramaikan perbincangan pagi?

Saat ini tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain mencobanya..
Cahaya api obor menjadi saksi sebuah ritual persembahan. Bukan kepada Yang Maha Pencipta, melainkan kepada sosok yang bahkan tidak Ia ketahui keberadaanya benar ada atau hanya kisah semata.

Tapi.. tepat saat tubuh kambing yang telah disembelih itu ia benamkan ke dalam sendang, sesuatu dari dalam air mulai muncul.
Keanehan itu membuat Mulyo takut dan mengambil jarak dari sendang itu.

Ia tidak pernah merasakan ini sebelumnya, sosok yang muncul dari sendang itu membuatnya hampir tidak bisa berkata-kata dan takut untuk bergerak.

“Khikhikhi... tidak banyak yang dapat kuberikan dari bayaranmu, bawalah yang paling berharga dan kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan” ucap makhluk itu.
“A..apa? Apa yang kau inginkan untuk kesembuhan Ratih?” Mulyo memastikan.

Makhluk itu menunjukkan setengah tubuhnya dari dalam sendang. Sosok wanita pucat dengan wujud mengerikan. Ia menatap Mulyo yang membuat berbagai penglihatan muncul di dalam pikiran Mulyo.
“Ti..tidak!” teriak Mulyo saat mengetahui apa yang diinginkan penunggu sendang itu.

“Bukankah kau membencinya? Maka sudah sepantasnya ia menjadi bayaranya” ucap makhluk itu.
“Tidak! Takkan kubiarkan kau menyentuh anakku!” balas Mulyo yang mulai kesal dengan niat dari penungggu sendang itu.

Iapun mencabut obornya dari tanah dan segera pergi meninggalkan sendang itu. Sementara, sang penunggu sendang masih menatapnya sembari tersenyum.

“Tidak banyak bukan berarti aku tidak memberikan apa-apa, nikmatilah balasan atas bayaran yang kau berikan” ucap makhluk itu.

Mulyo hanya berhenti sejenak mendengar perkataan itu. Ia sudah tidak sudi menoleh ke belakang dan melanjutkan niatnya untuk meninggalkan sendang.
Dalam hati ia merasa menyesal telah mendatangi tempat itu.

Ia tidak pernah menyangka bahwa sang penunggu sendang meminta Rahayu sebagai bayaranya.
Dengan perasaan berkecamuk dan rasa lelahnya. Mulyopun tertidur di teras rumah. Ia menghabiskan sisa malamnya dengan menahan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya.

***

“Pak bangun pak, jangan tidur di luar..”
Terdengar suara seseorang membangunkan Mulyo. Ia tahu itu bukan suara Rahayu anaknya melainkan suara Ratih istrinya. Tapi suara itu tidak biasa, suara Ratih terasa dekat di hadapan wajahnya.

Mulyo membuka mata dan menyaksikan Ratih sedang berada di hadapanya dan menatapnya dengan wajah yang cantik. Matanya melihat dirinya dengan jelas dan kulitnya sehat seolah tidak terjadi apapun denganya sebelumnya.

“Bu? Ibu sudah sembuh? Bagaimana bisa?” ucap Mulyo.

“Ibu juga tidak tahu pak, tadi pagi tiba-tiba ibu kebangun dan bisa melihat dengan jelas. Suara ngorok bapak kedengeran dari luar, jadi ibu buru-buru sisiran dan nyamperin bapak” balas Ratih sembari menahan harunya.

Pagi itu menjadi pagi terindah yang pernah ada di kehidupan Mulyo. Ia tak henti-henti memeluk tubuh kurus istrinya dan menitikkan air mata.
“I..ibu?”
Seorang anak perempuan terlihat mendekati rumah dengan membawa tempayan berisi air.

Ia baru saja kembali dari sumur mengambil air untuk keperluan dapur.
Ratih menoleh ke arah suara yang sangat ia kenali itu.
“Rahayu?” ucap Ratih sembari memperhatikan benar-benar wajah anaknya itu.

Kali ini Air matanya benar-benar menetes. Seorang anak kecil bangun lebih pagi dari orang tuanya untuk membantu mengurus kebutuhan rumah. Ini pertama kalinya Ratih bisa melihat anaknya dengan jelas.
“Cantik pak... anak kita cantik” ucapnya tak henti-hentinya menatap Rahayu.

Pagi yang penuh haru itu benar-benar menjadi anugrah untuk keluarga Mulyo. Tapi di balik itu Mulyo memikirkan apa yang terjadi setelah ini? apa yang akan menimpanya atas perbuatan yang telah ia lakukan

***

Kadang mereka yang tidak pernah memiliki, tidak pernah tahu rasanya kehilangan. Sesuatu yang dianggap tidak akan pernah menyakiti mereka akan tercipta disaat mereka memiliki sesuatu yang berharga.

Hidup Mulyo tidak pernah sebahagia ini. Ini hanyalah mimpinya yang sederhana dimana istrinya Ratih bisa beraktivitas layaknya seorang ibu yang normal dan Rahayu mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu seutuhnya.

Rahayupun belum pernah melihat ayahnya menyambut dirinya di ladang yang tengah membawakan bekal masakan ibunya. Baru kali ini Rahayu merasakan ada seorang ibu yang mengajarkanya mengikat rambut dan berdandan.
Sebuah kebahagiaan sederhana.

Mulyo tidak meminta untuk menjadi kaya, tersohor, atau sakti mandraguna seperti impian kawan-kawanya. Ia sudah sangat bersyukur apabila ini berlangsung seumur hidupnya.

“Ratih sudah sembuh Mas Mulyo? Diobatin sama siapa?” tanya beberapa warga desa yang mengetahui kabar kesembuhan Ratih.
Tidak mungkin Mulyo menjawab bahwa ia mendatangi sendang yang sedang ramai dibicarakan itu.

“Nggak mas, saya nemu rempah-rempah di hutan yang ditunjukin sama mantri di kota. Ternyata manjur” jawab Mulyo menjaga rahasianya.
Iapun tidak banyak membicarakan Ratih dihadapan teman-temanya dan selalu memilih untuk lebih lama dirumah.
Hanya beberapa minggu...

Kebahagiaan yang Mulyo alami hanya berlangsung selama beberapa minggu. Sangat cepat layaknya bunga tidur yang singgah sesaat sebelum kembali tersadar.
Malam itu Mulyo merasakan bau amis seperti yang ia temui di sendang.

Samar-samar ia menyadari kedatangan sang penunggu sendang di mimpinya. Perasaan takut menyelimuti dirinya. Bukan atas sosok yang mendatanginya, melainkan ia khawatir penunggu sendang itu akan mengambil kembali apa yang telah ia berikan.

Mulyopun memaksa dirinya untuk bangun dari mimpi itu. Ia segera menoleh ke arah Ratih yang tidur di sebelahnya.
Dan benar saja, Ratih sekarat...
Mulyo histeris melihat keadaan Ratih saat itu. Rahayu mendengar teriakan ayahnya segera menghampirinya.

Ia menangis meratapi kondisi ibunya yang berubah drastis. Tubuhnya kembali kurus, tubuhnya demam tinggi, bahkan untuk bernafas saja terlihat sulit.
Tak tahu harus berbuat apa, Mulyo keluar dan ingin menghampiri sendang itu sekali lagi.

Rahayu sebelumnya terus menjaga ibunya dan tak henti mengganti kompres yang ia harap dapat meredakan demam ibunya.
“Panggil bapak nduk, jangan biarkan bapak pergi..” Ratih berusaha sekuat tenaga untuk meminta Rahayu.
“Tapi, ibu sakit...”
“Panggil nduk, sebelum terlambat..”

Melihat ibunya bersikeras, Rahayupun meninggalkan rumah menyusul ayahnya. namun ternyata, ayahnya belum jauh. ia mendapati ayahnya berdiri diantara pepohonan hutan dan berkomunikasi dengan sosok yang tidak bisa ia lihat dengan jelas.

“Kembalikan Ratih! Kumohon...” pinta Mulyo pada sosok itu.
Rahayu bergidik ngeri melihat sosok yang berkomunikasi dengan ayahnya itu. Ia ingin segera pergi, namun di satu sisi ia juga mengkhawatirkan ayahnya.

“Kau sudah tahu yang harus kau lakukan untuk permintaanmu...” ucap makhluk itu.
“Tidak! Aku tidak mungkin mengurbankan anakku...” Tolak Mulyo.
Mendengar ucapan itu Rahayu seketika menjadi lemas. Ia tidak menyangka bahwa dirinyalah yang diminta untuk menggantikan kesembuhan ibunya.

"Sembuhkan Ratih.. aku berikan apapun selain nyawa anakku, bahkan bila aku yang harus menanggungnya" ucap Mulyo.

Rahayu tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak menyangka ayahnya menjaga dirinya hingga seperti itu.

“Kau tahu aku bukanlah makhluk suci, kita melakukan sebuah pertukaran.. kalau memang itu kehendakmu, kutunggu jasadmu terbenam di sendang”
Makhluk penunggu sendang itupun menghilang di dalam gelap.

Tidak ada suara lain di hutan itu selain suara isak tangis Mulyo yang meratapi nasibnya.
Rahayupun terus menangis mengetahui kejadian itu. Ia sadar, bahwa kelahiranyalah yang membawa petaka pada ibunya, dan saat ini dirinya yang diminta untuk menjadi bayaran kesembuhan ibunya.

Namun ada satu hal yang menusuk hatinya. Rasa sayang ibunya tidak pernah habis walau ialah yang menyebapkan ibunya seperti ini. Dan ayahnya, bahkan rela menukarkan nyawanya alih-alih mengorbankan dirinya.

***

Mulyo pulang dengan putus asa. Ia tidak lagi bisa melihat Ratih tersiksa lagi seperti dulu. Malam itu Mulyo tak henti-hentinya mengelus rambut Ratih yang telah tertidur dan mengecup keningnya. Air matanya menetes membayangkan rasa sakit Ratih.

Ratihpun terbangun saat tetesan air mata itu jatuh di wajahnya. Ia menggenggam erat tangan Mulyo dan kembali mengingatkan, bahwa ia ihklas menerima keadaanya.
“Jangan biarkan Rahayu sedih ya pak...” ucap Ratih mengingatkan suaminya itu.

Mulyo mengangguk menyanggupinya, namun saat itu ia sadar bahwa ia tidak melihat Rahayu di rumahnya.
Mulyopun mencari keberadaan anaknya itu ke seluruh penjuru rumah, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Rahayu.

Ia semakin khawatir dan mencarinya hingga keluar rumah dan masuk ke hutan.
Saat mengetahui ayahnya meninggalkan rumah. Rahayu menyelinap masuk ke dalam rumah. Ia menatap wajah ibunya yang lemah tak berdaya dari jauh, nyawanya seperti sudah diujung tanduk.

Ia tidak tahu berapa malam lagi ibunya akan bertahan.
Hanya isak tangis yang keluar dari mulut Rahayu. Ia tidak masuk menemui ibunya dan kembali keluar dengan mengambil beberapa benda di rumahnya.
Mulyo putus asa mencari keberadaan Rahayu malam itu.

Perasaanya semakin berkecamuk, ia harus memilih mencari keberadaan Rahayu atau menemani Istrinya yang umurnya tidak lagi lama.
Tapi tepat saat matahari mulai terbit, ia menemukan sesosok tubuh terbaring di mulut hutan.

Wajahnya pucat dengan darah sudah menggenang di sekitar tubuhnya. Mulyo yang melihat tubuh itu segera mengenalinya.
“Rahayu!!!”
Mulyo berlari sekuat tenaga dan menemukan anaknya dalam keadaan pucat dengan darah yang mengalir dari goresan pisau di urat nadinya.

“Nak!! Kenapa kamu begini nak??” ucap Mulyo.
Rahayu tersenyum mengetahui seseorang yang menemani di akhir hayatnya adalah ayahnya. Ia menguatkan dirinya untuk mengucapkan pesan terakhirnya.

“Rahayu bahagia pak... Rahayu disayangi sama bapak dan ibu. Hari-hari terakhir saat kita bersama sudah seperti surga untuk Rahayu.
Sekarang gantian bapak dan ibu yang bahagia ya... Rahayu ikhlas...”

Mulyo tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Rahayu dan mengapa Rahayu melakukan hal seperti ini.
“Bawa tubuh Rahayu ke sendang pak, Rahayu ingin memastikan bapak dan ibu bahagia”

Itu adalah ucapan terakhir Rahayu sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya. Tangis Mulyo tak terbendung, ia menangis dengan memeluk erat tubuh Rahayu.
“Seharusnya bapak nduk, seharusnya bapak... bukan kamu” ucapnya.

***

Mulyo berjalan memasuki rimbunya hutan yang hampir jarang sekali di jamah oleh manusia.
Wajah dan pakaianya begitu lusuh. Terlihat ruam di matanya bersama bekas luka dan darah yang menjadi riasan di sekitar pipinya.

Suara langkah kakinya berdampingan dengan sesuatu yang ia seret sambil tertatih. Isak tangis terdengar dari setiap langkah yang ia lalui namun seperti lembaran yang sudah mengerak, sudah tidak ada lagi air mata yang bisa menetes di pipinya.

Mulyo terhenti di sebuah sendang di tengah hutan. Entah dari mana sendang itu mendapatkan airnya, namun hitamnya warna permukaan sendang itu seharusnya membuat setiap manusia menjauhinya.

“Ini bayaran atas permintaanku” ucap Mulyo itu seolah berbicara dengan sesuatu yang ada di sendang.
Tak ada jawaban apapun selain riak air yang tercipta dari pertemuan antara angin dan permukaan air hitam itu. Walau begitu, ia percaya ada yang mendengarkan ucapanya..

Ikatan tali dilepas. Bungkusan kain yang sebelumnya dibawa dengan diseret itu akhirnya bisa terbuka. Mulyo menangis sejadi-jadinya tanpa air mata namun sayangnya ia tidak bisa mundur lagi.
Jasad seorang anak kecil perempuan terbaring di bungkusan kain itu.

Tubuhnya pucat, kulitnya membiru dan mulai membengkak, bercak darah masih terlihat di beberapa bagian kulit dan bajunya.
Dengan sisa tenaganya Mulyo menggendong jasad anak perempuan itu dan membawanya tepat di depan sendang. Ia melihat sekelilingnya, namun semua terlalu hening.

Bahkan suara seranggapun tidak terdengar malam itu.
Mulyo tak henti-hentinya menangis sembari mencelupkan seluruh tubuh anak itu hingga perlahan-lahan tenggelam ke dasar sendang.
Awalnya semua hening seperti sebelumnya.

Mulyo berpikir, mungkin Ia akan menyesali apa yang ia perbuat. Namun tiba-tiba jasad anak itu tertarik masuk ke dasar yang lebih dalam dan mulai menghilang dari pandangan Pria itu.

Saat itu hawa semakin dingin, riak air sendang semakin deras seolah menandakan munculnya sesuatu dari dalam sendang.
Dan benar saja, terlihat sosok kepala-kepala manusia memenuhi sendang itu dan mengintip ke permukaan sendang.

Ia tidak pernah meliihat makhluk-makhluk ini saat terakhir ke tempat ini.
Mereka hanya menampakan wajahnya dari ujung kepala hingga sebagian hidungnya seolah menyambutnya. Matanya menyala merah dengan terus menatap ke pria itu.

Rasa takut menjalar ke tubuh Mulyo. sosok-sosok yang mengambang-ngambang di permukaan sendang itu berhasil membuat ia merinding dan terjatuh di pinggir sendang yang dangkal.
Kengerian itu tak berhenti sampai di situ.

Sekali lagi dari dalam air muncul sesuatu yang mengambang. Perlahan tubuhnya terus naik seolah ia berjalan di permukaan air yang dangkal.
Sosok pernah ia temui sebelumnya. Wanita berwajah pucat dengan rambut yang tak berbentuk.

Tubuhnya dipenuhi borok dan sisik aneh dengan baju kebaya yang telah terkoyak.
“Khikhkhi... Seberapa berharga tumbal yang kamu hanyutkan?”
Penunggu sendang itu mendekat ke arah Mulyo hingga jarak antara wajah mereka hanya beberapa jengkal.

Mulyo ketakutan melihat sosok itu, namun kehadiranya menandakan apa yang ia lakukan sesuai dengan tujuanya.
Walau begitu Mulyo malah menangis seolah meledakkan penyesalan di dalam dirinya.

Ia mengacak acak rambutnya dan beberapa kali memukul tanah dan air di sekitarnya untuk membuat pikiranya lega. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Jasad itu dipastikan akan bersemayam bersama makhluk-makhluk mengerikan itu.

“Sekali lagi kutanya... seberapa berharga tumbal yang kau hanyutkan?”
Mulyo menatap sang penunggu sendang tanpa bisa menghentikan tangisnya.
“Di..dia anakku...” Jawab Mulyo.
Seketika suara tawa makhluk itu pecah hingga terdengar ke penjuru hutan.

Makhluk-makhluk yang mengintip dari permukaan sendangpun ikut menyeringai dan membuat sendang itu terlihat seperti neraka yang mengerikan.
Tetapi, keputusan telah dibuat. Di tengah tawa makhluk-makhluk itu hanya Mulyo yang menangisi perbuatanya.

Pertukaran sudah terjadi dan tidak bisa dibatalkan.

***

Mulyo kembali ke rumahnya dengan tubuh dan jiwa yang berantakan. Ia tidak tahu apa yang dilakukanya benar atau salah. Namun keberadaan Ratih yang menyambutnya di depan rumah membuatnya sedikit tenang, hanya saja ia harus mencari cara untuk menjelaskan tentang Rahayu pada istrinya itu.
Seperti dugaanya, Ratih tak berhenti bersedih saat mengetahui kepergian Rahayu. Mulyo terus mencari cara untuk menghibur Ratih, tapi ternyata Mulyo salah.

Dia sendirilah yang paling merasakan kehilangan akan kepergian Rahayu.
Ternyata rasa sayangnya terhadap anaknya melebihi apapun yang ada di dunia ini. Setiap malam ia selalu menangisi Rahayu, memukul-mukul dadanya untuk membunuh rasa sakit itu.

Sayangnya ia selalu terbayang apa yang terjadi pada jasad anaknya itu di dasar sendang.
“Sudah pak, sudah... Rahayu melakukan ini untuk kita” hibur Ratih.
“Tidak bisa bu, sendang itu dihuni makhluk-makhluk mengerikan.

Aku juga tidak tahu apakah rohnya tenang, ataukah ia tersiksa bersama penunggu sendang itu” Tangis Mulyo.
Ratih tidak dapat berkata apa-apa, ia hanya bisa memeluk Mulyo dan menghiburnya. Apalagi semua yang dirasakan oleh suaminya itu juga dirasakan olehnya.

“Tidak bisa bu, saya tidak bisa membiarkan Rahayu tersiksa di dasar sendang seperti itu, seandainya ia sudah tiada aku lebih tidak rela bila rohnya harus bersama makhluk-makhluk itu...”

Penyesalan di dalam diri Mulyo membawanya untuk meninggalkan rumah dan berlari menuju Sendang. Ratih yang mengetahuinya segera mengikutinya dan berharap bisa menghalangi Mulyo untuk melakukan hal yang nekat.

Sayangnya rasa penyesalan Mulyo semakin besar. Walau sudah tiada, rasa sayangnya terhadap Rahayu tetap tidak bisa hilang.
Mulyo berlari ke arah sendang dan terjun ke dalamnya tanpa berpikir panjang.

Ia menyelami air yang berbau busuk itu dan mencari tubuh anaknya yang mungkin sudah tidak berbentuk. Entah berapa kali ia menggapai permukaan untuk menarik nafas dan kembali ke dasar.
Ratih yang menyusulnyapun gagal untuk menahanya.

Sebaliknya ia malah menyaksikan kemunculan sosok penunggu sendang yang mempertanyakan kedatangan Mulyo.
Usaha Mulyo tidak sia-sia, ia menemukan sebuah jasad yang sudah membengkak dengan luka di pergelangan tanganya.

Ia segera mengangkat jasad yang sudah membusuk itu dan mengeluarkanya dari sendang.
“Apa yang kau lakukan..” Tanya sosok penunggu sendang itu.
“Aku tidak sudi membiarkan anakku berada di sendang terkutuk ini walau hanya jasadnya” ucap Mulyo.

“Kau ingin menukarkan Istrimu untuk jasad yang sudah mati ini?” ucap makhluk itu.
Mulyo menggeleng, ia mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah.
“Aku menukarnya dengan jasadku...”
Mulyopun menenggelamkan tubuhnya ke dalam sendang.

Tidak ada tanda-tanda kemunculan tubuh Mulyo setelahnya. Suara tawa makhluk penunggu sendang terdengar begitu keras seolah menikmati kejadian ini.
Ratih yang melihat hal itu segera menyusul Mulyo. Namun ia dihadang oleh sang penunggu sendang.

“Pertukaran sudah terjadi, jasad ini telah terbebas dari ikatanku...” ucap penunggu sendang.
Ratih menangis melihat jasad Rahayu yang begitu mengerikan setelah tenggelam berhari-hari.
“Kau bisa menyelamatkanku dari kematian, seharusnya kau bisa memulihkan jasad dan roh anakku”

Tantang Ratih.
“Khikhiki... Dia mati sebagai pengorbanan untukku, aku bisa mengembalikanya. Bila bayaranya setimpal..."
Ratih menatap makhluk itu dengan penuh amarah. Ia tahu maksud dari makhluk itu. Ratih sudah bulat dengat tekadnya.

Ia melewati makhluk itu dan melangkah menuju sendang.
Tanpa menunggu lama, ia melangkah menenggelamkan dirinya ke dalam sendang menyusul suaminya. Saat air itu sudah menenggelamkan lehernya ia menoleh ke arah makhluk penunggu sendang itu.

“Sebaiknya kau tepati ucapanmu..” ucap Ratih.
“Aku tidak pernah berdusta...” balas makhluk itu singkat.
Ratihpun mengakhiri hidupnya di sendang itu berpelukan dengan jasad Mulyo yang ia temui masih mengambang di sendang.

Sekali lagi tawa wanita pucat penunggu sendang itu menggema ke seluruh hutan seolah puas dengan apa yang terjadi.

***

Rahayu melihat semua yang terjadi terhadap kedua orang tuanya saat rohnya masih disandra oleh penunggu sendang itu. Kini pengorbanan kedua orang tuanya membuat ia kembali menghadapi kehidupan yang sebelumnya telah ia ikhlaskan.

Sayangnya, kehidupanya tidak lagi sama. Rohnya telah ternoda oleh sendang terkutuk itu. Ada sosok di dalam dirinya yang ingin mengamuk ingin membalaskan semua penderitaanya pada kehidupan ini.

Namun ia selalu ingat, ia adalah makhluk yang lahir karena cinta, dan kembali hidup karena rasa sayang kedua orangtuanya. Itu membuatnya mampu untuk terus hidup dengan baik.

Mengetahui kedua tubuh orang tuanya bersemayam di sendang. Rahayu memilih hidup di dekat sendang itu untuk menemani kedua orang tuanya. Terlebih keberadaanya disana bisa menghalangi orang-orang yang mencoba memanfaatkan kutukan dari sendang itu lagi.

Suatu saat, prajurit yang menemukan sendang itu kembali. Namun ia tidak lagi terlihat seperti seorang prajurit, ia datang dengan membawa beberapa pasukan seolah ia memimpin pasukan itu.

Rahayu yang sudah mulai dewasapun menghadangnya. Ia tidak membiarkanya untuk mendekat ke sendang. Namun saat prajurit itu menjelaskan tentang maksudnya, Rahayupun menyambutnya.
“Aku sudah menutup sendang ini, bagaimana sendang ini bisa kembali ditemukan?” tanya prajurit itu.

“Selama sifat tamak manusia masih ada, akan selalu ada yang menemukan sendang ini..” balas Rahayu.
Prajurit itu memang sudah khawatir akan hal ini. ia membawa beberapa orang sakti yang ia harap bisa menghapus kutukan dari sendang ini.

Rahayu menyaksikan berbagai ritual dan pertarungan tak kasat mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ritual ruwatan itu terjadi selama dua puluh tiga hari hingga sosok penunggu sendang itu dapat diusir dan berjanji tidak akan kembali.

Setelah memastikan sendang itu tidak menyimpan kekuatan lagi, prajurit itupun bersiap untuk pergi. Iapun mengajak Rahayu untuk mengikutinya dan tinggal di tempat yang lebih layak. Namun Rahayu bersikeras untuk tetap tinggal di tempat tinggalnya saat ini.

Selain karena jasad kedua orang tuanya berada di sana, ia sudah terlanjur mencintai alam dan suasana di hutan itu.
Prajurit itupun tidak keberatan, sebaliknya ia memberikan sebuah selendang merah peninggalan ibunya sebagai ucapan terima kasih karena telah menjaga sendang, dari orang yang berniat buruk selama ini.
Rahayupun menghabiskan seumur hidupnya di sana. Orang-orang yang mengetahui keberadaanya mengenalnya sebagai Nyi Sendang Rangu. Pelindung sendang berselendang merah yang melarang siapapun menjangkau sendangnya.

Sayangnya, kematian bukanlah akhir dari perjalanan Rahayu.
Rohnya masih berada di alam ini dengan maksud dan tujuan yang tidak ia ketahui.
Ia menjaga sendang itu dari masa ke masa sampai suatu saat ada seorang sakti yang menemukan sendang itu kembali.

Nyi Sendang Rangu sadar ia bukan orang yang berniat jahat. Sebaliknya, dengan bantuanya Roh kedua orang tua Rahayu yang terjebak di sendang itu bisa tenang berkat doa-doa darinya.

Tidak ada lagi yang dijaga oleh Nyi Sendang Rangu di sendang itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi mengembara. Itu adalah saran dari orang sakti itu. Mungkin saja Nyi Sendang Rangu bisa menemukan tujuanya dengan perjalananya itu.

Beratus-ratu tahun Nyi Sendang Rangu menyaksikan alur kehidupan manusia. Terkadang ia ikut merasakan kebahagiaan manusia di sekitarnya, dan terkadang ia juga merasakan kesedihan dari mereka. Namun kehidupan di dunia tidak sesederhana itu.

Memasuki masa peperangan Nyi Sendang Rangu menyaksikan ketamakan manusia melebihi yang ia bayangkan. Tidak hanya mengenai harta dan tahta, mereka juga mengejar kesaktian dan kedigdayaan yang seharusnya tidak mereka sentuh.

Peperangan antar kerajaan tidak hanya melibatkan manusia. Ilmu ghaib, mantra, pusaka mulai menjadi penentu kemenangan dalam peperangan.
Berbagai sosok ghaib dilibatkan untuk membantu mereka memenangkan peperangan yang terus memakan banyak korban.

Tak terkecuali Nyi Sendang Rangu.
Berbagai orang sakti berhasil menemukan Nyi Sendang Rangu, mereka menawarkan berbagai cara agar sosok roh yang telah berada ratusan tahun di alam ini mau membantu mereka.

Namun Nyi Sendang Rangu yang membenci peperangan menolak mentah-mentah. Hingga datanglah seseorang dari ujung timur pulau jawa yang menemui Nyi Sendang Rangu.
Dengan ilmu yang ia miliki, ia menarik sisi gelap Nyi Sendang Rangu yang ia dapat dari Sendang Banyu Getih.

Aroma bangkai jasad manusia benar-benar membuatnya tergiur dan mengambil alih kepribadian Nyi Sendang Rangu.
Sosok itu akhirnya bertuan pada orang tersebut hingga membuatnya memenangkan berbagai peperangan.

Keberadaan Nyi Sendang Rangu membuat orang itu memiliki tempat penting di kerajaan sebagai patih hingga memiliki wilayah kekuasaanya sendiri.
Nyi Sendang Rangu berdiam di sendang di wilayah itu.

Patih itu memerintahkan warganya untuk terus menyediakan tumbal perempuan untuk sendang itu. Selama Nyi Sendang Rangu mencium bau bangkai manusia, ia akan terus dikuasi oleh sisi gelap itu.
Hal itu terus berlanjut hingga peperangan berakhir dan kerajaan itu hancur.

Kesadaran Nyi Sendang Rangu kembali ketika tak ada lagi tumbal yang di persembahkan untuknya. Iapun menyesali apa yang terjadi dan meninggalkan tempat itu untuk mencari sendang yang dapat memurnikan rohnya.

Ada sebuah sendang di hutan belantara yang belum pernah ditemukan oleh manusia. Sebuah tempat yang sepi dan jauh dari peradaban. Nyi Sendang Rangu memutuskan untuk menyucikan diri di sana entah sampai kapan.

Bertahun-tahun Nyi Sendang Rangu mendiami tempat itu tanpa berhubungan dengan manusia. Ia meleburkan semua emosinya di tempat itu dan berharap sosok gelap dirinya tidak lagi muncul.
Suatu saat ia mendengar suara seseorang yang memasuki hutan tersebut. Seorang manusia..

Nyi Sendang Rangu memperhatikan gerak gerik manusia yang memilih untuk tinggal di hutan itu. Ia memulai kehidupanya seorang diri di sana dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa yang ada di hutan itu.

Namun ada yang aneh dengan Pria itu. di waktu-waktu tertentu ia mengamuk seperti kesetanan dan merusak semua hal yang ada di hutan. Nyi Sendang Rangupun sadar, bahwa pria itu sengaja mengasingkan dirinya agar tidak menyakiti orang lain dengan kutukan di dirinya itu.

Nasib yang sama membuat Nyi Sendang Rangu tertarik denganya, iapun mengikuti gerak-gerik manusia itu dari hari ke hari. Ni Sendang Rangu juga tahu, sesekali pria itu meninggalkan hutan hanya untuk menemui anak dan istrinya, tapi setelahnya ia pasti akan kembali ke dalam hutan.

Suatu ketika, Pria itu mengamuk tanpa henti. Ia kesetanan lebih dari tiga malam. Seluruh hewan dan makhluk hutan mulai terusik dengan hal itu sehingga Nyi Sendang Rangu memutuskan untuk menunjukkan dirinya dan menenangkan Pria itu dengan air dari sendangnya.

Pria yang menyadari keberadaan Nyi Sendang Rangupun berterima kasih dan memperkenalkan dirinya dengan nama , Widarpa Dayu Sambara..
Nyi Sendang Rangu belajar banyak hal dari Widarpa, sementara Widarpa mendapat lawan bicara yang bisa mempertahankan kesadaranya sebagai manusia di hutan itu.
Rasa sayang Widarpa pada keluarganya mengingatkan dirinya akan keberadaan keluarganya dulu.

Bahkan walau sedang mengasingkan diri, Widarpa terus mencari cara untuk melindungi keluarga dan keturunanya. Ia menciptakan sebuah mantra yang dapat menghubungkan dirinya dengan keturunanya melalui perantara Keris Ragasukma yang dimiliki oleh anaknya.

Nyi Sendang Rangu menyaksikan semua proses itu dan terus mendampingi Widarpa. Ada perasaan yang timbul di hati Nyi Sendang Rangu terhadap Widarpa, namun ia sadar bahwa ia tidak dapat menggantikan posisi Nyai Suratmi di hati Widarpa.

Iapun memutuskan untuk meninggalkan hutan itu untuk memendam perasaanya dan mendekat kepada manusia lagi. Sedangkan Widarpa meneruskan perjalananya untuk mencari keberadaan makam rajanya hingga akhir hayatnya.

Walau begitu Nyi Sendang Rangu sadar bahwa dirinya tidak sepenuhnya bersih. Sosok gelapnya selalu muncul setiap bertatapan dengan manusia-manusia yang memelihara dosa dan berniat jahat. Ia akan kembali ke wujud cantiknya setiap menemui manusia yang berhati baik.

***

Danan mendengarkan cerita yang begitu panjang tentang asal-usul Nyi Sendang Rangu. Ia terus mencoba menahan air matanya saat mendengar kisah Nyi Sendang Rangu semasa hidupnya.

Kini ia mengetahui siapa sosok di hadapanya yang meminta tumbal dari warga desa. Ia tidak menyangka sosok itu adalah sisi gelap Nyi Sendang Rangu. Sosok yang selama ini ia saksikan setiap Nyi sendang Rangu berhadapan dengan manusia-manusia berhati buruk.

“Aku tidak menyangka Nyi, sosok tanpa ampun yang menghukum orang-orang jahat ternyata dia..” tanya Danan.
Dengan keberadaan Nyi Sendang Rangu, sosok itu hanya menatap dan mengitari Danan. Ia seperti tidak berniat menyakiti siapa-siapa selain tumbal yang ia minta.

“Bukan dia.. makhluk itu adalah aku, kami tidak terpisahkan.” Balas Nyi Sendang Rangu.
“Lantas bagaimana saat ini ia bisa melakukan perbuatan ini dan mencari tumbalnya sendiri?” Tanya Danan.

Wajah Nyi Sendang Rangu terlihat khawatir, sepertinya ada yang sangat mengganggu pikiranya.
“Ada seseorang yang menariknya dariku, aku sudah curiga saat berada di Jagad Segoro Demit.

Walau berhadapan dengan makhluk jahat, aku tidak pernah berubah menjadi sosok itu..” balas Nyi Sendang Rangu.
Danan akhirnya mengetahui akar permasalahanya.
“Bila kita bisa mengalahkan sisi gelap Nyi Sendang Rangu, maka permasalahan akan selesai kan nyi?” Tanya Danan.

Nyi Sendang Rangu menggeleng.
“Tidak nan, rohku dan dia adalah satu.. ia baru akan musnah ketika aku musnah” ucap Nyi Sendang Rangu.
Danan kaget mendengar penjelasan Nyi Sendang Rangu. Ia tidak mungkin memusnah Nyi Sendang Rangu yang sudah menyelamatkan nyawanya berkali-kali.

“Apa tidak ada cara lain Nyi?” Tanya Danan Gelisah.
“Aku sedang mencari cara untuk mengembalikan sosok itu kepadaku, sudah seharusnya ia menjadi bagian dariku sampai akhirnya aku diijinkan untuk menghadap yang maha kuasa” Jelas Nyi Sendang Rangu.

Tapi kisah mengenai Nyi Sendang Rangu memberi petunjuk akan apa yang harus Danan perbuat.
“Sisi gelap Nyi Sendang Rangu di dapat dari Sendang Banyu Getih, sementara itu Sendang Banyu Getih juga mulai mendapatkan kutukanya lagi..
Aku merasa kunci permasalahan ini ada di sendang itu Nyi..” ucap Danan.
Nyi Sendang Rangu mengangguk setuju namun ia juga menyampaikan sesuatu.

“Yang terpenting, ada seseorang dibalik semua ini, Nan. Kalau dia bisa mengembalikan kutukan Sendang Banyu Getih dan bisa menarik sisi gelapku, sudah pasti ia pasti bukan manusia biasa” tambah Nyi Sendang Rangu.

Danan mengerti, saat ini ia tidak bisa melakukan apapun terhadap sosok Nyi Sendang Rangu yang mencari tumbal dari desa. Ia harus secepatnya menemui Cahyo dan menghentikan kutukan dari Sendang itu.

Tapi Danan tahu, mereka harus bersiap menghadapi sosok apa yang menciptakan semua tragedi yang berhubungan dengan Sendang Banyu Getih ini. Dengan sudah mengorbankan banyak nyawa, sesakti apa sosok yang harus mereka hadapi itu?
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close