Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sendang Banyu Getih (Part 4) - Para Penunggu Sendang

Danan kembali ke desa di mana pertama ia berjuma dengan Nyi Sendang Rangu. Ada kejadian yang diluar nalar disana..
Seperti sosok makhluk mengerikan yang melintasi desa tiap tengah malam..


JEJAKMISTERI - Suara gemericik air terdengar bersandingan dengan suara serangga hutan. Sesekali hembusan angin beradu dengan air dan menciptakan riak yang menggoda ketenangan sendang.

“Bu.. kok isuk-isuk ngene wis ono sing kumkum yo? Opo ra kademen?”

(Bu.. kok pagi-pagi begini sudah ada yang berendam ya? Apa tidak kedinginan?) Tanya seorang anak yang menemani ibunya mencari rempah dan tanaman di hutan.

“Hus... lagi semedi kuwi, ojo diganggu” (Hus lagi bertapa itu, jangan diganggu) balas ibu itu.

Mendengar perbincangan mereka akupun mendapatkan kembali kesadaranku dan mendapati matahari sudah mulai terbit di sela-sela pegunungan.

Akupun bergegas mengenakan pakaianku dan meninggalkan sendang sebelum tempat ini kembali didatangi warga desa yang juga ingin menyegarkan diri dengan airnya.

“Nyi, saya tinggal dulu ya...” pamitku pada sosok tak kasat mata yang terus mengawasiku sejak aku tiba di tempat ini.

***

“Mbok Yem, sini tak bantu” ucapku sembari mengantongi beberapa jajanan pasar yang sudah dipilih oleh pelanggan Mbok Yem.

“Ealah dateng-dateng langsung repot, sana istirahat dulu” balas Mbok Yem.

“Nggak papa Mbok, biar pagi saya lebih berfaedah sedikit” balasku sembari terus membantu Mbok Yem.

Pagi itu kami sedikit disibukkan oleh penggemar jajangan Mbok Yem. Walau sudah sangat berumur, rupanya Mbok Yem punya sangat banyak pelanggan yang setia melarisi daganganya.

Tidak hanya khawatir dengan keadaan Mbok Yem yang semakin berumur, ternyata warga desa juga khawatir bila tidak ada lagi yang bisa menjajakan jajanan pasar seenak buatanya.

Padahal Mbok Yem juga tidak ragu mengajarkan warga resep yang ia miliki, namun menurut warga setempat rasanya tetap tidak seenak buatan tangan Mbok Yem.

“Mbok masak soto, Nak Danan, sarapan di sini ya.. biar mbok angetin dulu” ajak Mbok Yem.

Aku tidak menolak dan segera membantu Mbok Yem mengambil kayu bakar untuk kompor tungkunya.

Rumah ini memang tidak berubah dari terakhir kali aku mampir ke sini. Warga sudah banyak yang menawarkan untuk merenovasi, tapi Mbok Yem selalu menolak. Alasanya, ia sudah nyaman selama rumah tidak bocor.
Sudah hampir seminggu aku berada di desa ini.

Ternyata setelah desa ini terlepas dari perseturuan kedua trah Brotowongso dan Darmowiloyo, masih ada beberapa masalah yang menghantui desa ini.
Kejadian bermula saat ada warga yang melihat sosok aneh berjalan di tengah desa saat lewat tengah malam.

Wujudnya seperti manusia setinggi dua meter yang berambut panjang dan menutupi wajahnya. Tubuhnya selalu basah dan selalu meninggalkan jejak air di jalan yang ia lewati.

Awalnya keberadaan makhluk itu hanya menjadi kabar burung semata, sampai akhirnya satu-persatu warga melihat sosok itu melintas di malam hari.
Pernah warga melakukan ronda untuk mencari sosok yang membuat cemas warga desa itu, tapi saat mereka menemukanya mereka tidak berani mendekat. Sebelum sampai pada makhluk itu, mereka mencium bau amis yang pekat sehingga tidak sanggup menahanya.

“Kamu tidur di sendang lagi?” tanya Mbok Yem.

“Iya mbok” jawabku sembari menikmati soto buatan Mbok Yem.

“Ndak masuk angin? Tidur di sini juga nggak papa lho.. walau rumahnya jelek, tapi lebih aman daripada tidur di sana. Apalagi sebelah sendang kan ada kuburan” ucap Mbok Yem yang juga menyeruput kuah sotonya.

“Tenang Mbok, kalau nanti sudah selesai saya pasti numpang istirahat di sini” balasku.
“Benar malam ini ya puncaknya?” tanya Mbok Yem.
Aku mengangguk dan mengalihkan pembicaraan agar Mbok Yem tidak khawatir mengenai cerita yang sebelumnya kuceritakan padanya.

***

Siang ini aku kembali ke salah satu rumah warga yang memang memintaku untuk kembali ke desa ini, Rumah Pak Wijoyo.

Ialah yang bersikeras mengatakan bahwa desa ini memiliki kutukan yang terus memakan korban. Salah satunya adalah anak perempuanya yang mati gantung diri di kamar.

Saat inipun kamar itu masih sama seperti saat ditinggalkan, dengan tali tambang yang masih menggantung di langit-langit kamarnya. Hanya saja, jasad anak Pak Wijoyo sudah dimakamkan dengan layak.

Beberapa warga mengatakan kematian anak pak wijoyo adalah masalah personal, padahal menurutnya ada korban-korban lain. Tapi karna waktu dan cara kematian yang tidak terlalu mencolok, warga menganggap itu sebagai hal yang alamiah.

“Saya sengaja tidak ingin merubah kamar ini sampai masalah ini terungkap mas” ucap Pak Wijoyo.

“Iya pak, mohon doanya saja.. semoga malam ini semua masalah bisa terungkap.” balasku.

“Saya sudah mengikhlaskan kepergian anak saya, tapi biarlah kepergianya menjadi yang terakhir di desa ini.” tambahnya.

“Amin pak, Apa kira-kira Pak Wijoyo punya petunjuk lain tentang kejadian ini?” tanyaku.
Pak Wijoyo terlihat setengah berpikir, seolah-olah memastikan apakah perlu menyampaikanya padaku atau tidak.

“Masyarakat di desa ini masih banyak penganut kepercayaan leluhur mas” ucap Pak Wijoyo.
“Maksud Pak Wijoyo?” tanyaku memperjelas.

“Bukan kepercayaan seperti Kejawen dan sejenisnya, tapi memang ada kepercayaan yang berasal dari leluhur desa ini” ucapnya.

Menurut pak Wijoyo, beberapa warga di desa itu masih melakukan ritual-ritual yang sebenarnya sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat jaman sekarang.

“Kurban kepala kerbau, ritual di tengah hutan, hingga pemanggilan arwah leluhur hal itu masih dilakukan oleh beberapa warga di desa ini mas..”

Aku tidak begitu kaget mendengar penjelasan Pak Wijoyo.

Saat pertama kali kami kesinipun kami melihat arak-arakan warga desa yang membawa kepala manusia. Walaupun itu adalah kepala orang jahat di desa, tapi tetap saja itu tidak bisa dibenarkan.
Dengan cerita dari Pak Wijoyo itu, hal seperti arak-arakan itu menjadi tidak mengherankan.

Aku mencoba menarik maksud dari Pak Wijoyo. Mungkin menurutnya, kematian beberapa warga desa yang tidak wajar itu ada hubunganya dengan warga yang menganut kepercayaan ini.
Akupun tidak berlama-lama di rumah Pak Wijoyo.

Dengan berbekal sedikit informasi darinya aku mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di desa ini.
Cukup membingungkan, aku tidak menemukan sama sekali hubungan antara sosok yang melintasi desa di tengah malam dan kematian warga desa yang tidak wajar.

Sempat aku berpikir mungkin saja memang kematian mereka memang tidak berhubungan dengan sosok itu.
Tapi masalah terbesar ada di malam ini...
Entah berhubungan atau tidak, tapi apa yang akan terjadi malam ini juga bisa mempengaruhi desa ini dan desa sekitarnya.

***

Tepat saat matahari mulai terbenam akupun kembali ke Sendang. Bukan tanpa alasan, saat pertama aku menghampiri tempat dimana aku bertemu dengan Nyi Sendang Rangu, aku menemukan sesaji dan sejenisnya di sendang itu.

Dengan alasan itu akhirnya aku memutuskan untuk bermalam di sendang untuk mencegahnya.

***

“Danan, jangan lengah sedetikpun..”
Terdengar suara dari sekitar sendang tepat saat aku sampai. Akupun mengambil posisi duduk diatas batu sambil menunggu apa yang akan terjadi malam ini.

Benar saja, saat malam semakin larut, dari arah salah satu sisi hutan terdengar suara langkah kaki sekumpulan orang yang mendekat ke arah sendang. Akupun meningkatkan kewaspadaanku dan menyambut kedatangan mereka.

“Rupanya kamu masih disini” ucap seorang bapak yang memimpin gerombolan itu.
“Sudah kukatakan, takkan kubiarkan kalian melakukan ritual terkutuk di sendang ini. Tidak ada yang pantas disembah selain Sang Pencipta!” Balasku.

Orang-orang itu tidak gentar dengan ucapanku, sebaliknya mereka malah tersenyum meremehkan ucapanku.
“Dia bisa memberikan apa yang kami butuhkan, tidak seperti penunggu sendang sebelumnya yang tidak berguna.” Ucapnya lagi.

Aku juga baru tahu, ternyata selama kepergian Nyi Sendang Rangu ada sosok yang menempati Sendang ini dan mengaku sebagai penunggu sendang. Ia menyesatkan warga desa dengan mengabulkan permintaan warga.

“Kalian! Singkirkan orang itu!” Perintah bapak itu pada orang-orang yang mengikutinya.
Saat itu juga lebih dari lima orang warga pengikutnya mengepungku. Akupun tidak tinggal diam dan berusaha mengalahkan mereka, tapi ilmu beladiriku tidak mampu untuk mengalahkan mereka.

“Jangan sok jagoan, tidak mungkin kau mengalahkan kami seorang diri..” ucap mereka.
Aku sadar kalau ilmu bela diriku tidak mampu mengalahkan mereka, terlebih aku tidak mau menggunakan ilmu batinku untuk menghadapi sesama manusia.

Beberapa pukulan berhasil menghantam tubuhku, aku mencoba membalas namun mereka beramai-ramai menahan tubuhku dan mengikatku.
“Hentikan, jangan sampai kau menyesal atas perbuatanmu!”

Teriakku yang masih berusaha menghalangi bapak itu melakukan Ritualnya, tapi sepertinya ia tidak peduli.
Ia dan beberapa orang pengikutnya mempersiapkan beberapa benda untuk melakukan ritual.

Satu nampan berisi kembang sesajen, kemenyan yang di bakar, dupa, hingga beberapa jenis rempah hutan. Tapi, yang paling mencurigakan adalah beberapa benda yang masih ia tutupi dengan kain.
Saat selesai dengan persiapanya, iapun membuka bungkusan kain itu.

Darah masih menetes dari benda yang ia keluarkan, namun aku sedikit lega karena itu adalah kepala kambing berwarna hitam bukan kepala manusia seperti yang pernah mereka lakukan saat arak-arakan dulu.
Ada mantra dengan bahasa yang tak kumengerti dibacakan di depan sesaji itu.

Ia tidak sendirian, ada beberapa warga yang menyusul duduk di sampingnya dan membacakan mantra yang sama.
“Kalian tahu kan? Yang kalian lakukan itu dikutuk oleh Sang Pencipta!” peringatku.

“Kau masih bodoh, kelak kau akan seperti kami bila sudah mengalami neraka dunia ini.
Doa itu hanya bualan, kita sendiri yang harus merubah takdir busuk yang diberikan Tuhanmu itu!” ucap salah seseorang yang memegangiku.

Aku terheran-heran mendengar balasan mereka. Apa yang telah terjadi hingga mereka memutuskan untuk melakukan hal ini.

Ritual mereka diakhiri dengan menyembelih ayam cemani dan menumpahkan darahnya diantara sesaji yang ada di tempat ini.
Bersamaan dengan itu angin di sekitar sendang ini berhenti berhembus. Suara dedaunan yang berdesik dan serangga hutan mendadak hening.

Seketika orang-orang itu merasa gelisah. Mereka merasakan hawa yang tidak wajar menyelimuti mereka. Aku tahu ada sesuatu yang menjawab panggilan mereka.
Riak air terlihat dari dalam sendang, ada sesuatu yang bergerak menuju daratan tempat sesaji mereka dipersembahkan.

Itu adalah seekor ular...
Ular yang besar dengan badan sebesar paha manusia dewasa dengan panjang yang tidak dapat kupastikan. Ia melahap sesaji yang orang-orang itu berikan dan mengitari orang-orang itu.

“Pak! Pi..piye iki, ulone munggah nang guluku..” (Pak! Gimana ini.. Ularnya naik ke leherku) ucap salah seorang dari mereka yang merasa ngeri ketika ular itu melilit menaiki tubuhnya.
“Sing tenang, Nyai arep ngerungokno panjalukanmu”
(Yang tenang, Nyai mau mendengarkan permintaanmu) ucap Bapak itu.

Mendengar ucapan itu, iapun berusaha menenangkan diri dengan wajah ular yang sudah bersebelahan dengan kepalanya. Iapun akhirnya memberanikan diri mengatakan permintaanya.

“Kulo pengin sugih Nyai, Kulo wis kesel urip mlarat, wis kesel diremehake..”
(Saya ingin kaya Nyai, saya sudah lelah hidup miskin, sudah lelah diremehkan) ucap orang itu.
Sebuah senyuman muncul di bibir Bapak yang memimpin ritual itu.

Dan benar saja, ular itu segera pergi setelah mendengarkan permintaan orang itu.
Sosok ular itupun bergantian berpindah ke pengikutnya yang lain.
“Ku..kulo pengin....”
Belum sempat mengucapkan keinginanya, tiba-tiba muncul sesuatu dari dalam hutan.

Orang-orang di tempat itu terlihat panik dengan sosok makhluk hitam setinggi dua meter yang berjalan dari hutan menuju sendang.
“I..itu apa pak?”
Wajah seluruh orang di sana terlihat panik. Akupun tidak menyangka akan melihat sosok itu di tempat ini.

“Sa..sakit,” ucap makhluk itu yang terus menyeret langkahnya menuju ke sendang.
Mengetahui makhluk itu mendekat ke arah mereka, orang-orang itupun membubarkan diri namun tidak dengan bapak yang memimpin ritual itu. Wajahnya terlihat gelisah.

Padahal hampir semua orang di tempat itu menjaga jarak karena tidak tahan dengan bau dari tubuh makhluk itu.
Gelagat aneh itu terjawab ketika makhluk itu semakin mendekat dan menyadari keadaan Bapak itu.
“Pak... Bapak, sakit pak...” ucapnya seolah mengenali Bapak itu.

Bapak itu terlihat panik saat makhluk itu mendekat ke arahnya.
“Pe...pergi!!” pergi dari sini!” ucap bapak itu.
“Ta..tapi, sakit pak.. kapan Rojak sembuh pak..” Balas makhluk itu.
Tu..tunggu! Aku mencoba mencerna semua ini, jangan-jangan makhluk itu..

“Ja..jangan kau katakan kalau makhluk itu anakmu!” teriakku yang mulai merasa geram.
Bapak itu terlihat kebingungan, sepertinya ia tidak ingin pengikutnya mengetahui kenyataan itu.
“A..apa itu benar pak?” tanya mereka.

Hembusan angin bertiup dari sisi lain hutan di belakangku. Ada suatu bayangan muncul dari sana. Seketika orang-orang yang menahankupun ketakutan dan bergabung dengan kelompoknya di dekat sendang.

Aku menoleh ke belakang, dan sosok bayangan dengan selendangnya berdiri terdiam mengawasiku dari sana. Tanpa orang-orang yang menahanku, aku bisa dengan mudah melepaskan ikatan tali yang mengikatku.
“Nyi, apa anak bernama Rojak itu korban pesugihan ayahnya?” tanyaku.

Sosok itu mengangguk, kini mulai terlihat benang merah antara permasalahan di desa ini.
“Sa..sakit! Panas...” Sosok menyeramkan itupun memilih untuk tidak menghiraukan ayahnya dan berjalan merendam dirinya di sendang.

Tiba-tiab Rojak tak lagi merintih kesakitan, air sendang itu seperti menahan rasa sakitnya. Namun aku menduga itu hanya sementara.
Di tengah rasa gelisah orang-orang itu, tiba-tiba ular besar itu menatap ke arahku.

Perlahan wujudnya berubah menjadi perempuan dengan baju kebaya lusuh berwajah pucat. Ia menatap dengan kesal seolah mengancamku. Tapi ternyata aku salah, ia ternyata menatap ke sosok di belakangku.

“Nyi Sendang Rangu, ada batasan yang tidak boleh kau langgar..” ucapnya.

Aku tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh makhluk itu, namun Nyi Sendang Rangu tetap diam seolah memahami ucapanya.

“Kedatangan Rojak pasti ulah Nyi Sendang Rangu kan?” tanyaku pada Nyi Sendang Rangu yang kini muncul di sebelahku.

“Hanya itu yang bisa kuperbuat, ada batasan yang tak bisa kulewati. Lagipula mereka melakukan ritual itu atas kehendaknya sendiri” Jelas Nyi Sendang Rangu.

Aku sedikit tersenyum melihat Nyi Sendang Rangu.

“Kenapa senyum-senyum?” Tanya Nyi Sendang Rangu curiga.

“Ndak Nyi, sepertinya Nyi juga sedikit berubah. Kalau dulu seorang Nyi Sendang Rangu hanya layaknya cermin yang memantulkan karma seseorang. Tapi kali ini Nyi sampai ingin berperan untuk menyadarkan mereka” ucapku.

Nyi Sendang Rangu kembali memalingkan pandanganya ke orang-orang itu yang masih gelisah dengan keputusanya.

“Sepertinya keseringan main dengan kalian bukan hal yang buruk” jawabnya.

Aku mulai mengerti, sebagai sesama Makhluk penunggu, Nyi Sendang Rangu tidak boleh menghalangi atau merebut manusia yang ingin menjadi pengikut makhluk sejenisnya. Terlebih bila itu semua karena keinginan manusia itu sendiri.

“Pak.. apa anak dan orang terdekat kita akan menjadi seperti Rojak bila melakukan hal ini?” tanya salah satu dari mereka.

“I..iya pak, saya nggak mau anak saya jadi seperti Rojak!”

Bapak yang memimpin ritual itu terlihat geram.

“Tidak bisa! Kalian sudah memutuskan menjalani ritual ini. Semua harus diselesaikan!” Ucap Ayah Rojak itu.

“Bayangkan apa yang akan kalian dapat setelah ini! Harta dan kehormatan seperti yang saya miliki!”

Sosok jelmaan ular itu mendekat ke arah Ayah Rojak yang masih memaksa mereka untuk menjadi bagian darinya.

“Ambillah, kalian tidak akan hidup sengsara lagi” ucap makhluk itu sembari menjatuhkan setumpuk emas dan berlian yang terlihat berharga.

Orang-orang itu terhenti, mereka menjadi ragu dengan keputusan mereka setelah melihat semua tawaran yang menggiurkan itu.

“Ki..kita bisa pindah ke kota dengan semua harta itu..”

“I..iya, dan apapun yang terjadi nanti, kita bisa mengurusnya dengan semua kekayaan itu”

Kali ini aku tidak ingin tinggal diam, akupun meninggalkan tempatku dan berjalan ke arah sendang. Karena menghargai Nyi Sendang Rangu, akupun tidak mengganggu mereka dan memilih untuk menghampiri Rojak yang masih berusaha menahan rasa sakitnya dengan air sendang itu.

“Tidak ada gunanya kalian menolak tawaran itu, bila alasanya karena takut hal buruk terjadi kepada orang terdekat kalian.” Ucapku.

“Kalau itu alasanya, suatu saat kalian pasti akan tergiur bila ditawarkan pesugihan lain lagi”

Entah ucapanku akan membuat mereka mengerti atau tidak. Yang pasti, bila mereka tidak meninggalkan ritual ini karena takut akan Tuhan semua akan percuma.
Suasana menjadi hening sesaat sembari aku membacakan beberapa ayat-ayat suci untuk Rojak.

Setidaknya aku mencoba melantunkan doa kepada Tuhan agar ia bersedia memberikan keadilan untuk anak yang menjadi korban keserakahan ayahnya ini.
“Be..benar, semua perbuatan pasti ada bayaranya.. sa..saya pergi!” ucap salah satu dari orang-orang itu.

Akupun tersenyum melihatnya. Namun saat salah satu dari mereka mencoba pergi lagi, Ayah Rojak menarik tanganya dan menahanya.
“Tidak bisa! Kalian sudah memulai! Kalian harus ikut merasakan apa yang kurasakan!” teriaknya.

Mendengar kalimat itu para pengikut Ayah Rojak jadi mengetahui maksud yang sebenarnya. Mereka segera berusaha pergi meninggalkan tempat itu, namun Ayah Rojak menahan mereka dan sekumpulan ular sudah menanti di pohon-pohon di sekitar mereka.

“Nyai Sendang Lowo, ingat batasanmu. Mereka harus mengikutimu atas kehendak sendiri” ucap Nyi Sendang Rangu yang kembali memperingatkan sosok itu.
Mendengar perkataan itu, Makhluk bernama Nyai Sendang Lowopun itu mundur dan menarik anak buahnya.

Namun tidak dengan ayah Rojak, ia seperti tidak rela menerima karmanya seorang diri.
“Lepaskan mereka Pak, mereka masih bisa bertobat..” ucapku.

“Berisik! Mereka juga harus merasakan semua yang kurasakan!
Mereka harus merasakan orang terdekatnya menjadi menjijikkan seperti Rojak!
Mereka harus merasakan penderitaan merawat makhluk menjijikkan seperti itu!
Mereka juga harus menemaniku merasakan siksaan di akhir Jaman nanti!” Ucapnya dengan meluapkan segala emosinya.

“Nggak! Kami nggak sudi! Kau telah menipu kami!” ucap mereka.
Aku tidak ingin ikut campur dalam perseturuan mereka, namun aku terus mencoba meruwat tubuh Rojak dan berusaha memulihkan dirinya dari kutukan yang ia terima dari perbuatanya.

Sayangnya, kutukan itu tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Kutukan itu akan terus ada selama perjanjian yang mereka sepakati. Tapi setidaknya, kali ini bukan Rojaklah yang harus menanggungnya.

“Sa..sakit!!”
Tiba-tiba Ayah Rojak merasakan rasa panas di tubuhnya. Kulitnya melepuh dan gatal.
“A..apa ini? kenapa bisa seperti ini?” Ayah Rojak terlihat panik sementara para pengikutnya hanya bisa memandanginya.

“Itu yang selama ini dirasakan oleh anakmu Rojak! Bukan dia yang harus menerima bayaran atas perjanjianmu dengan makhluk itu!” ucapku sambil menuntun tubuh Rojak keluar dari sendang.

Akupun mengambilkan baju gantiku dari tas dan mengenakanya kepada Rojak yang tubuhnya mulai pulih. Rasa sakitnya telah menghilang, dan bekas lukanya mulai mengering. Semoga saja bentuk tubuhnya juga bisa kembali seperti semula setelah ini.

“Nyai! Bagaimana ini Nyai! Mengapa bisa seperti ini?” Ayah Rojak mempertanyakan kejadian ini kepada Nyai Sendang Lowo.
Tapi.. Nyai Sendang Lowo malah mundur meninggalkanya.
“Bocah itu yang memindahkan kutukan itu ke tubuhmu” balasnya.
“Lepaskan nyi! Lepaskan kutukan ini!”

Nyi Sendang Lowo tersenyum kecut.
“Tidak bisa, kamu sudah menerima semua yang kau pinta. Harus ada yang menanggung bayaranya, ketika sudah tidak ada darah dagingmu yang menerima, berarti giliranmu” Jelas Nyi Sendang Lowo.

Mendengar ucapan itu Ayah Rojak semakin panik dan menggaruk semua bagian tubuhnya hingga bernanah. Rojak terlihat khawatir, namun aku menahanya untuk mendekat.
“Ini semua ulah bocah itu Nyi, habisi dia nyai!” ucap Ayah Rojak kesal.
Nyai Sendang Lowo menggeleng...

“Bocah itu tidak ikut campur dengan urusanku, apa yang ia lakukan adalah urusan sesama manusia. Itu urusanmu”
Itu adalah ucapan terakhir Nyi Sendang Lowo sebelum akhirnya menghilang. Kini ia tidak kembali ke dalam sendang.

Mungkin ia tahu setelah kejadian ini menyebar ia tidak akan mendapatkan pengikut sampai warga desa melupakan kejadian ini.
Walau begitu aku merasa bahwa Nyai Sendang Lowo memang tidak memulai perseturuan karena adanya Nyi Sendang Rangu di sini.

“To..tolong! Saya akan bayar berapapun! Tolong singkirkan rasa sakit ini!” ucap Ayah Rojak.
Aku menggeleng menolaknya.
“Tidak bisa, harus ada yang menanggung bayaran atas perjanjianmu..” balasku.
“Ta..tapi, ini sakit!!” teriaknya.

Rojak yang tidak tahan melihat ayahnya merasa kesakitan berteriak kepadanya, “Masuk ke dalam sendang, Pak!”
Benar juga, Rojak sebelumnya juga meredakan rasa sakitnya dengan menceburkan dirinya ke dalam sendang.

Ternyata dialah yang dilihat oleh warga desa melintas di tengah malam. Ia hanya ingin sedikit menghilangkan rasa sakitnya dengan air dari sendang ini.

“Saat keberadaan Rojak mulai ketahuan warga desa, Ayahnya mengurungnya di bangunan di tengah hutan.
Makanya kamu tidak pernah bertemu denganya saat berada di sini setiap malam” Jelas Nyi Sendang Rangu.
Aku mengangguk, kini semua mulai masuk akal.

***

Setelah kejadian ini masih ada sesuatu yang harus aku selesaikan di desa ini,,

Yaitu mengenai kematian tidak wajar anak Pak Wijoyo dan beberapa warga desa. Aku masih belum menemukan petunjuk atas hal itu.
Sebelum kembali, aku memerintahkan anak buah Ayah Rojak untuk membawanya pergi dan merawatnya.

Sementara aku harus memastikan Rojak berada di tangan yang aman.

***

Pemandangan menarik terjadi setelah itu. Sendang dihadapan kami yang semula penuh dengan air mendadak surut dengan cepat seolah meresap ke dalam tanah.

Tapi, tak lama kemudian muncul air yang deras dari beberapa bagian tanah dan mengisinya kembali secara perlahan.
Aku melihat Nyi Sendang Rangu berjalan ke tengah sendang itu dan menghilang di tengah gelapnya malam.

***

“Ealah Le... kok rambutmu iso gondrong koyo ngene?”
(Ealah Le.. kok rambutmu bisa sepanjang ini)

Tanya Mbok Yem yang bersusah payah berusaha memotong rambut Rojak sambil menaiki dingklik atau kursi kayu kecil.

“Ngapunten Mbok, saya sendiri lupa kapan terakhir potong rambut” balas Rojak yang mulai bisa berkomunikasi dengan baik.

“Tapi Mbok Yem hebat, ngerti cara potong rambut juga” ucapku.

“Ya, kalau motong seadanya aja bisa. Lagian Rojak ini aslinya emang udah ganteng lho” puji Mbok Yem.
Rojak menoleh sebentar ke arah Mbok Yem. Aku mengerti, mungkin sudah sekian lama sejak ada seseorang yang memanggilnya ganteng.

Baru saja hendak menikmati secangkir kopi, tiba-tiba aku terhenti dengan suara telepon yang berdering.
“Piye Njul? Tumben nelpon” Tanyaku pada Cahyo yang tiba-tiba menelpon.
“Piye masalahmu ning kono Nan?” (Gimana masalah kamu di sana Nan?)

“Baru aja selesai Jul, tapi masih ada yang harus aku cari tahu lagi.. ada apa to?” Tanyaku.
Cahyo bercerita bahwa ia tengah berada di desa Bonomulyo dan membantu Pak Karyo menangani permasalahan salah satu anak warga di desanya yang sudah kesurupan selama bertahun-tahun.

Tapi.. tiba-tiba ia didatangi dua orang dari dari desa Banyujiwo yang mengalami masalah yang lebih besar.
“Katanya, tiap malam tertentu akan ada jasad anak-anak kecil yang menyerang desa.
Warga terpaksa harus menghabisi jasad anak-anak itu dengan mengerikan agar tidak hidup lagi” Cerita Cahyo.
Aku bergidik ngeri mendengar cerita itu, namun rupanya cerita Cahyo belum selesai.

“Bila jasad anak-anak itu dikuburkan, besoknya mereka hidup lagi, menyatukan tubuhnya, dan kembali menyerang warga. Untuk saat ini, yang bisa warga lakukan adalah membuang jasad itu di sebuah sendang.
Walau begitu, pada malam tertentu jasad itu tetap masih akan bangkit dan menyerang desa”

Sendang? Seharusnya sendang adalah mata air murni yang menjadi sumber untuk air yang bisa menghidupi warga sekitar. Tapi bila digunakan untuk membuang jasad...

“Sendang itu sudah mati Nan, airnya berwarna hitam pekat.. warga menyebutnya dengan nama Sendang Banyu Getih…”
“Kamu sudah ke tempat itu?”

“Belum, besok aku ke sana dan perasaanku benar-benar tidak enak. Apalagi di sana tidak ada sinyal, makanya begitu selesai urusanmu segera nyusul ke sini ya”
Aku mengiyakan ucapan Cahyo. Sepertinya urusan di sana jauh lebih berbahaya.

Aku merenung sesaat, mungkin malam ini aku akan berbicara dengan Nyi Sendang Rangu mengenai cerita Cahyo. Sebagai penguasa sendang, seharusnya ia mengetahui sesuatu yang mungkin bisa jadi petunjuk.

***

“Temenmu?” Tanya Mbok Yem.

“Iya, Si Cahyo.. yang dulu dateng ke sini sama saya Mbok” ucapku.
“Owalah, yang kemana-mana bawa sarung itu ya?”
Aku mengangguk, namun tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan rasa cemasku.

“Kalau dia sudah menelpon seperti itu pasti dia benar-benar butuh bantuan, samperin aja” ucap Mbok Yem.
“Iya Mbok, tenang aja.. saya mau nemenin mbok dulu” balasku sembari menyelesaikan ritual ngopiku.

“Halah, nggak usah begitu tenang aja. Lagian mbok kan nggak sendirian, Rojak mau nemenin Mbok nggak di sini?” Tanya Mbok Yem Spontan.
Wajah Rojak terlihat kaget, sepertinya dari tadi ia masih berpikir akan dikembalikan ke rumah ayahnya.

“Memang boleh mbok?” tanya Rojak ragu.

“Ya jelas boleh, nanti biar Mas Danan yang jelasin tentang masalahmu ke kepala desa. Biar dibantu ngurus sekolahmu juga” ucap Mbok Yem.
Aku sedikit tersenyum mendengar perbincangan mereka.

Mungkin beberapa warga masih ada yang memandang mereka sebelah mata, namun aku yakin hati mereka cukup besar untuk menanggapi itu semua dengan baik.

Yang jadi masalah berikutnya adalah merenovasi pintu rumah Mbok Yem. Setidaknya pintu rumahnya bisa dilewati Rojak dengan mudah.

***

Malam ini aku berniat mencari petunjuk mengenai cerita Cahyo tadi. Akupun kembali ke sendang dan melihat Ayah Rojak baru saja membasuh dirinya di sendang itu untuk mengurangi rasa sakitnya.

Beruntung air sendang ini mengalir dengan baik sehingga semua kotoran yang masuk ke sendang ini akan segera dihanyutkan dan berganti dengan air yang baru.
Aku mengambil posisi bermeditasi sembari menikmati suara tetesan air dan angin yang berhembus.

“Semua itu harus diselesaikan oleh mereka sendiri Danan...”
Terdengar suara Nyi Sendang Rangu seolah mengerti maksud kedatanganku malam ini.

“Tapi Nyi...”
“Sama seperti kejadian tadi, kutukan itu tidak bisa dihilangkan. Harus ada yang bertanggung jawab atas perjanjian itu..”

Balas Nyi Sendang Rangu sebelum aku sempat bertanya.
Aku mencoba membaca maksud dari Nyi Sendang Rangu. Namun sepertinya ada maksud yang lebih dalam dari itu.
Iapun menampakkan wujudnya dan mendekat ke arahku.

“Berarti jasad anak-anak yang menyerang desa itu memang berasal dari Sendang Banyu Getih?” tanyaku pada Nyi Sendang Rangu.
“Aku tidak tahu, tapi bila jasad itu bisa tenang dengan air dari sendang itu. Mungkin saja memang ada hubunganya” Jawabnya.

“Apa Nyi Sendang Rangu benar-benar tidak tahu cara untuk menghentikan kutukan di desa itu?” tanyaku.
Nyi Sendang Rangu menggeleng, sepertinya aku memang harus mencari petunjuk yang lebih dalam dengan cara datang ketempat itu sendiri.

“Khikhikhi... kenapa tidak kau ceritakan saja Nyi, bukankah kau juga pernah mendiami sendang itu sebelum sendang ini ada?”
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang berbicara dengan suara aneh.

Sebagian tubuhnya masih berwujud ular, namun sebagian sudah menyerupai manusia.
“Nyai Sendang Lowo? Kau masih di sini?”
Aku mundur dan lebih waspada. Tapi sepertinya ia tidak ada niat jahat terhadap kami.

“Kau tidak usah banyak bicara Nyai” ucap Nyi Sendang Rangu.

Aku sedikit tidak mengerti, apa jawaban itu membenarkan bahwa Nyi Sendang Rangu pernah mendiami Sendang Banyu Getih sebelumnya?
“Apa itu benar Nyi?” Tanyaku.

“Percuma saja bila kujelaskan saat ini, saat kamu menemukan petunjuk yang lebih dalam mungkin kamu baru bisa mengerti, Nan” balas Nyi Sendang Rangu.
Ada yang misterius dari jawaban Nyi Sendang Rangu.

Aku pikir makhluk-makhluk penunggu sendang memang hanya mengabdikan diri di satu sendang.

“Tidak usah khawatir bocah, tidak ada yang salah dari ucapan Nyi Sendang Rangu. Semua yang terjadi di sana terjadi karena sebuah perjanjian.
Mungkin kalian bisa menghabisi penunggu sendang itu saat ini, atau apapun yang muncul dari sana. Tapi kutukan itu akan terus ada selama perjanjian ghaib itu masih berlangsung” ucap Nyai Sendang Lowo.

“Apa itu benar Nyai?” tanyaku.
Nyi Sendang Rangu mengangguk.

“Sendang itu harusnya sudah mati, yang artinya seharusnya tidak ada yang menunggu sendang itu lagi. Kalaupun ada yang menghidupkanya, dia pasti bukan sosok biasa” Nyi Sendang Rangu mencoba memperingatkanku.

Selain mengenai Sendang Banyu Getih, aku penasaran mengapa Nyai Sendang Lowo masih berada di sini. Terlebih mereka saling berbicara seolah tidak ada masalah diantara mereka.

“Khkhikhi.. tidak usah bingung bocah, kami ini makhluk yang hidup selama ratusan tahun.
Walau berbeda pandangan, kami sudah mengerti satu sama lain.” Ucap Nyai Sendang Lowo.

“Tidak bisa, selama kau ada di sini kau akan terus menyesatkan warga desa” balasku.

“Tenang saja, aku tetap akan pergi. Tapi ingat, walaupun tanpa penunggu sendang.
Mereka yang sudah berniat pasti akan tetap mencari apapun untuk memenuhi nafsu mereka secara instan.. aku hanya salah satu dari ratusan makhluk yang ada di desa ini yang bisa mewujudkanya”

Tepat setelah mengatakan hal itu, iapun kembali ke wujud ularnya dan pergi meninggalkan kami.

“Hati-hati Danan, permasalah Sendang Banyu Getih bukanlah tentang adu kekuatan. Kebijaksanaanmu yang menentukan apa kamu bisa menyelesaikan masalah ini”

Balas Nyi Sendang Rangu yang segera menghilang dari pandanganku.
Merasa sudah tidak bisa mendapat petunjuk lebih dari ini, akupun memutuskan untuk kembali ke rumah Mbok Yem dan menepati janjiku untuk tidur di sana.

Kali ini rumah tidak terasa sepi. Keberadaan Rojak benar-benar membuat rumah ini terlihat penuh. Namun sepertinya Mbok Yem sama sekali tidak keberatan. Padahal untuk tidur Rojak Sendiri, ia harus mengikhlaskan setengah bagian ruang tamunya.

Aku tidak mencoba membangunkan mereka. Melihat wajah mereka saat tidur membuatku merasa harus terus bersyukur. Semoga saja mereka berdua bisa memiliki hidup yang lebih baik setelah hal-hal buruk yang pernah mereka terima sebelum ini.

***

Seperti biasa, pagi ini aku membantu Mbok Yem untuk berjualan. Namun kali ini lebih ramai dengan bantuan Rojak.
Pak Kepala Desa juga sudah menerima penjelasan mengenai keadaan Rojak.

Kami sepakat merahasiakan kejadian bahwa makhluk yang berjalan melintasi desa di tengah malam itu adalah Rojak dan berharap ia bisa tumbuh dan bersosialisasi dengan warga desa pada umumnya.

Awalnya Pak Kepala Desa juga tidak percaya, tapi saat pagi ini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri iapun tak bisa lagi membantah.
Banyak warga yang bertanya-tanya, namun Beruntung Pak Kepala Desa bisa menjelaskan dengan baik ke seluruh warganya.

Tak sedikit juga yang menawarkan bantuan untuk kebutuhan Rojak.
Akupun memutuskan untuk berpamitan dan menyusul ke desa Banyujiwo tempat Cahyo berada.

“Mas Danan, sering-sering mampir ke sini ya. Tenang aja Mbok Yem biar Rojak yang jagain” ucap Rojak.

“Iya Rojak, titip Mbok Yem ya.. kalau ada yang jahat sama Mbok Yem, disentil aja” balasku.
Sebelum sempat berpamitan dengan Mbok Yem tiba-tiba terdengar suara orang yang berteriak-teriak.

“Pak! Pak Kades! Gawat pak!!”

Teriak salah satu warga yang segera menghampiri Pak Kepala Desa yang masih berada di sekitar kami.
“Yang tenang mas.. gawat apa to?” Jawab pak Kades.
Orang itu mengatur nafasnya, aku melihat di tanganya juga menggenggam sebuah kain.

“A..ada anak perempuan yang gantung diri lagi di rumahnya” ucap orang itu.
Sontak aku segera mendekat ke arah mereka. Bisa jadi ini ada hubunganya dengan kematian misterius dari anak Pak Wijoyo.

“Tenang dulu, jelasin apa yang terjadi di sana..”

“Nggak pak, nggak ada yang tahu. Bahkan orang tuanya juga tidak mengerti.” Ucapnya.
Orang itu menceritakan bahwa ada seorang anak perempuan bernama Nifah ditemukan tak bernyawa di kamarnya sendiri.

Tidak ada surat atau pesan-pesan darinya, bahkan orang tuanya juga tidak merasa ada masalah anak perempuanya itu.

“Cuma ada satu benda asing di kamar Nifah Pak, ini...”
Warga desa itu memberikan sebuah kain yang sedari tadi ia bawa.

Sebuah selendang...

Tu..tungggu, bentuk selendang itu terlihat tidak asing! Mengapa bentuknya persis dengan yang pernah kami gunakan untuk menemui Nyi Sendang Rangu dulu?

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close