Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sendang Banyu Getih (Part 3) - Sendang BanyuJiwo

JEJAKMISTERI - Cahyo terjatuh kedalam sendang dengan air berwarna hitam pekat, ia tidak menyangka di dasarnya terdapat sisa-sisa tubuh manusia yang telah membusuk...


(Sudut pandang Cahyo)
“Mas Tiko yakin anak-anak perempuan itu bukan manusia?” tanyaku yang baru saja mendengar penjelasan tentang permasalahan di desa Banyujiwo.

“Saya yakin mas, saya lihat sendiri tubuh anak-anak itu seperti jasad yang sudah membiru dan bengkak.

Bahkan setelah dihantam kapak yang meremukan kepalanya, mereka masih bisa bangkit dan mencoba menyerang warga” jelas Tiko.

Aku masih tidak percaya dengan ucapan Tiko. Mayat hidup? Anak-anak? Terlebih lagi mayat itu kembali utuh dan menyerang desa setiap hitungan hari tertentu.

“Apa warga desa ada yang mengenali jasad anak-anak itu?” Tanya Cahyo.

Tiko menggeleng, “Tidak ada Mas Cahyo, warga desa sendiri bingung dengan penyebab musibah itu.”

Pak Juwono keluar dari kamarnya setelah memastikan Menur sudah tertidur dengan nyaman di kamarnya.

“Gimana Menur pak?” Tanya Pak Karyo.

“Sudah istirahat Pak Karyo, saya tidak menyangka akhirnya akan ada hari seperti ini. Hari dimana Menur bisa pulih” balas Pak Juwono.

“Alhamdulillah ya pak..” balas Badrun.

Beberapa gelas kopi panas dihantarkan lagi oleh Mbok Tumi untuk menemani perbincangan malam kami.

“Saya mendengar cerita Mas Tiko dari dalam kamar tadi. Apa itu benar mas?” tanya Pak Juwono.

“Benar pak, saya baru saja bisa pulang kampung setelah lima tahun merantau. Saya sendiri hampir tidak percaya” Jawab Tiko.

Pak Juwono menghela nafas dan menyeruput kopinya.

“Sebelum kejadian Menur, saya termasuk orang yang cuek dengan hal ghaib. Sekarang saya baru tersadar betapa dekatnya hal-hal seperti itu di kehidupan kita” Pak Juwono seolah merenungkan sesuatu di pikiranya.

“Hal ghaib, jin, iblis, Roh jahat, sihir, itu memang ada Pak Juwono bahkan hampir di semua kitab agama apapun menceritakan akan hal itu.

Tidak untuk ditakuti, tapi juga tidak untuk diremehkan.

Selama kita dekat dengan tuntunan Yang Maha Pencipta kita pasti akan dijauhkan dari masalah yang berhubungan dengan itu semua” Ucapku berusaha menenangkan Pak Juwono.

Pak Juwono kembali menghela nafas, terlihat wajah khawatir masih terpampang di wajah Pak Juwono.

“Oh iya Mas Cahyo, ini sertifikat sawah seperti janji saya. Nanti biar Pak Karyo yang membantu masalah balik nama dan administrasinya” ucap Pak Juwono.

“Opo iki Pak Karyo?” (Apa ini Pak Karyo?) Tanyaku bingung.

Pak Karyo tertawa, iapun menjelaskan mengenai sayembara yang diadakan oleh Pak Juwono. Aku memang sudah membaca pengumuman yang dibuat oleh Pak Juwono, tapi aku tidak menyangka beliau sampai benar-benar menyerahkan hartanya itu kepadaku.

“Nggak.. nggak mau, Pak! Saya nggak bisa garap sawah” balasku menggeser kembali sertifikat tanah itu.

“Eh, ma..maksud Mas Cahyo? Bukanya Mas Cahyo ngebantu kami karna tawaran hadiah ini?” tanya Pak Juwono.

Akupun menggeleng dan menoleh pada Pak Karyo.
“Nggak, Pak Karyo cuma bilang ada saudaranya yang minta tolong. Awalnya saya ga mau, biar Danan saja yang ke sini.

Tapi Pak Karyo bilang katanya sekalian mau ada hajatan yang potong kambing, tumpengan, banyak makanan enak katanya” Balasku.

Memang... semenjak terbebas dari jagad segoro demit aku hampir tidak bisa menolak godaan makanan-makanan yang selama ini tidak bisa kami makan selama di alam itu.

“Lah? Ini gimana Pak Karyo?” tanya Pak Juwono.

“Hahaha... saya sengaja Pak Juwono, orang-orang ini mungkin malah akan mundur kalau ditawari hadiah atau bayaran besar. Saya sendiri nggak ngerti pemikiran mereka” ucap Pak Karyo.

Akupun mencoba meluruskan agar mereka tidak salah sangka.

“Nggak gitu Pak.. Paklek selalu bilang, kalau kita butuh duit atau harta ya harus kerja. Kalau menolong ya tujuanya supaya menyelesaikan masalah, bukan tujuan yang lain. Doanya beda” Jelasku.

“Te..terus? Sawah ini gimana? Saya sudah janji lho” balas Pak Juwono.

“Sawah sebesar itu pasti mempekerjakan banyak warga desa kan? Biar terus seperti itu saja pak, jadi bisa jadi rejeki buat yang lain juga” balasku.

Pak Juwono sepertinya mulai mengerti maksudku, sementara itu Pak Karyo malah tertawa kecil dengan jawabanku.

“Tinggal janji Pak Karyo aja, hajatanya di mana? Tumpenganya?” tanyaku sembari melirik sinis ke Pak Karyo.

Ia masih tertawa seolah tidak kehabisan akal.
“Tenang, saya juga nggak bohong. Setelah Menur sembuh Pak Juwono pasti akan ngadain hajatan. Iya kan pak?” ucap Pak Karyo.

“Iya Mas, saya memang sudah nyiapin lima kambing untuk selametan.. Mas Cahyo jangan buru-buru pulang ya” ucap Pak Juwono juga penuh harap.

Akupun menatap wajah Tiko dan Badrun.

“Nggak kok Pak, sepertinya saya akan lama di sekitar sini. Masalah yang dihadapi kampung Tiko sepertinya tidak akan bisa selesai dalam waktu cepat” balasku.

Saat itu Tiko dan Badrun tersenyum dan saling berpandangan. Sepertinya jawabanku barusan membuat mereka cukup lega.

Walau sebenarnya aku masih ragu apa aku bisa menghadapi masalah yang ada di desa Tiko.

“Oh iya, satu lagi Pak Karyo. Mungkin kita butuh tempat menginap lagi untuk satu orang” pintaku kepada Pak Karyo.

“Memangnya buat siapa mas?”
“Danan.. dia lebih mengerti tentang masalah Tiko. Semoga saja dia bisa datang dalam waktu cepat.”

***

Aku lupa sampai jam berapa tadi malam kami berdiam di rumah Pak Juwono. Akhirnya kembali ke rumah Pak Karyo tidak jauh dari jam subuh. Saat terbangun, akupun keluar untuk menikmati udara pagi... bukan, udara siang.. yang Menurutku masih cukup segar.

Bukan salahku hingga bangun kesiangan, perbincangan semalam berhasil membuat kami kehilangan banyak waktu tidur. Bahkan Pak Karyo sendiripun masih tertidur di kamarnya.

Sebuah angkot berhenti tak jauh di dekat rumah Pak Karyo. Entah mengapa aku mengingat kejadian yang mengesalkan disaat aku dan danan hampir mati melawan sosok Ludruk topeng ireng di tempat ini, sementara paklek dengan santai turun dari angkutan umum di tempat itu.

“Eh Mas Cahyo, sudah bangun?” ucap Pak Karyo yang turun dari angkutan umum itu sembari membawa belanjaan.
“Lah pak? Saya kira masih tidur?” Balasku.

“Haha.. nggak dong Mas Cahyo, pagi-pagi saya harus cek pekerjaan di balai desa dulu dan nitipin kerjaan ke teman-teman kalau mau ijin.” Balas Pak Karyo yang memang kembali dengan mengenakan seragam.

Akupun membantu Pak Karyo membawa belanjaan yang ia bawa ke dalam rumah. Tapi rupanya ada dua orang lagi yang turun dari angkutan umum itu. Tiko dan Badrun.

“Ati-ati yo le, nanti habis narik bapak mampir ke sini lagi” ucap bapak supir angkutan umum itu.

Badrun mencium tangan bapak itu dan menyusul kami.
“Owalah, Mas Badrun itu anaknya Pak Mardi?” tanyaku.
“Iya Mas, harusnya Paklek juga kenal sama dia kok” balas Pak Karyo.

Akupun memberi salam pada Tiko dan Badrun dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Niatku yang sebelumnya menikmati udara pagi.. maksudku udara siang kini dengan terpaksa harus kuubah.

Dengan kedatangan Tiko dan Badrun itu, artinya aku harus merubah niatku dari penikmat pagi menjadi mandi.
Beruntung air di desa Banyumulyo cukup segar sehingga aku bisa menikmati segarnya air ini sebagai pengganti udara pagi yang kulewati.

Apalagi mulai tercium aroma masakan Bu Karyo dari arah dapur. Aku sudah bisa membayangkan menu sarapan pagi yang akan tersaji nanti.

“Mohon maaf ya Pak Karyo, saya nggak bilang langsung kalau mau minta tolong tentang masalah desa saya” terdengar ucapan Tiko membuka pembicaraan mereka.

“Halah nggak papa kok Mas Tiko, kalau Mas Cahyo nggak keberatan saya juga pasti akan bantu sebisanya. Jangan sampai kita nggak mau saling bantu cuma gara-gara berasal dari desa yang berbeda” balas Pak Karyo.

Akupun ikut nimbrung kedalam perbincangan mereka sambil menyelimuti tubuhku dengan sarung untuk mengurangi rasa dingin setelah mandi.

“Tenang aja Mas Tiko, sudah benar kok Mas Tiko minta bantuan ke sini. Kalau sampai tidak ditangani, mungkin masalah itu bisa merembet ke desa-desa lain” balasku.
“Yang bener Mas Cahyo? Bisa merembet ke desa lain?” tanya Badrun bingung.

“Tidak menutup kemungkinan mas, banyak kejadian ketika desa yang diincar sudah tidak bisa menghasilkan tumbal lagi, mereka pindah ke desa lain.” Balasku sembari mengingat kejadian-kejadian yang pernah kutemui sebelum-sebelumnya.

Sepertinya ucapanku barusan malah membuat mereka bertiga semakin khawatir. Akupun memutuskan untuk menutup mulutku sembari menikmati teh hangat yang sudah disediakan untuk kami.
“Ta..tapi Mas Cahyo mau kan mampir ke desa banyujiwo membantu desa saya?” Tanya Tiko memastikan.

Aku mengangguk dan meletakkan cangkir tehku.
“Iya mas, hari ini saya mampir dulu ke rumah Pak Juwono memastikan keadaan Menur dulu, besok pagi kita ke desa Mas Tiko ya” balasku.

“Matur nuwun Mas Cahyo, semoga dengan kedatangan Mas Cahyo masalah di desa saya bisa segera selesai” ucap Tiko.
“Amin mas” balasku singkat.
Walau berkata begitu, sepertinya aku mendapat firasat bahwa permasalah di desa Tiko bukan perkara mudah.

Ada sesuatu yang disembunyikan di sana, entah oleh warga desa atau orang yang memang memulai permasalahan itu. Yang pasti, aku merasa bahwa itu adalah hal yang tidak baik.

***

“Mas Cahyo!” teriak Menur dari dalam rumah.
Ia bergegas menjemput kami berempat yang bahkan belum masuk ke halaman pelataran rumahnya.

“Ealah Menur, nungguin to?” Tanyaku.
“Jelas, Mas! Mbok Tumi udah masakin yang spesial hari ini buat Mas Cahyo” ucap Menur dengan semangat.

“Ayam bakar, sayur lodeh.. bener ga?” ucapku sembari menajamkan penciumanku.
Menur terlihat heran dengan tebakanku.
“Kok Mas Cahyo tahu? Berarti Mas Cahyo bener sakti ya?” tanya Menur.

“Jelas.. ilmu dasar dari kanuragan adalah mengetahui jenis masakan dari jarak jauh” balasku iseng.

Pak Karyo dan yang lain hanya tertawa mendengar jawabanku.

“Bisa aja Mas Cahyo” balas Pak Karyo singkat.

Kamipun berkumpul kembali di rumah Pak Juwono. Aku memeriksa keadaan Menur yang berangsur-angsur pulih. Walau masih terlihat kurus tapi kulit Menur sudah kembali normal dan tidak pucat seperti sebelumnya.

“Kalau Menur makan yang banyak, mungkin seminggu sudah bisa benar-benar pulih” ucapku.

“Tuh Menur, kalau disiapin masakan sama Mbok Tumi dihabisin ya” ucap Pak Juwono.

“Hihi.. iya Pak” balas Menur.

Sudah tidak banyak perbincangan lagi saat itu. Hampir semua sudah dibicarakan semalam. Aku hanya mengajak Pak Juwono keliling rumahnya sembari memeriksa apakah ada benda pembawa teluh yang masih tertinggal di sana.

Saat itu aku sekaligus mengajarkan doa-doa dan ayat-ayat yang seharusnya bisa memantu memulihkan dan menjaga Menur dari hal-hal serupa.
“Lantunkan doa-doa itu sebelum Menur tidur ya pak, kalau bisa mengajarkan Menur menghafal, itu lebih baik” ucapku.

“Baik Mas Cahyo, terima kasih. Tapi.. saya mau tanya sekali lagi mas?”
“Tanya apa Pak Juwono?”
“Benar Mas Cahyo tidak mau menerima pemberian saya?” ucap Pak Juwono.

Aku menghela nafas, tawaran Pak Juwono memang menggiurkan untuk orang lain.

Tapi untukku yang senang hidup bebas dan tidak ingin terikat akan harta rasanya pemberianya benar-benar tanggung jawab yang besar.

“Tidak, Pak.. kalau Tuhan berkehendak memberikan saya melalui Pak Juwono mungkin akan ada waktunya. Tapi saya yakin bukan barang seperti sawah ini” balasku.

Kali ini Pak Juwono mulai terlihat menyerah. Semoga saja ucapanku bisa membuatnya paham. Kamipun kembali dan mulai menikmati hasil masakan Mbok Tumi yang sedari tadi sudah menggoda penciumanku.

“Pokoknya kalau mas Cahyo butuh bantuan dari saya, segera kabari saya ya” pinta Pak juwono sebelum bergabung dengan yang lainya.
Setelah selesai dengan urusan Pak Juwono, akupun mengirim pesan singkat pada Danan dan paklek mengenai permasalahan yang dihadapi oleh desa Tiko.

Mereka pun merasa ini adalah hal yang serius, namun aku harus memastikan dengan mata kepalaku sendiri sebelum meminta mereka meninggalkan urusanya di tempat masing-masing. Yang aku tahu permasalahan yang sedang diurus oleh Paklek dan Danan juga tidak kalah penting.

***

Desa Banyujiwo...
Persis seperti cerita Tiko, Desa Banyujiwo terletak cukup terpencil dengan melewati jalur-jalur hutan. Namun setidaknya, motor masih bisa masuk ke desa melalui jalan setapak yang memang dibuat oleh warga.

“Mas Cahyo, serius mau nerobos hutan naik... motor antik itu” ucap Badrun berusaha menghaluskan ucapanya.

“Lha.. jangan remehin Si Mbah, dia udah ikut berpetualang ngurusin demit-demit antarkota lho” balasku membanggkakan motor vespa tuaku.

“Ya sudah, kita pelan-pelan saja kalau gitu” ucap Badrun lagi.
Kupikir Desa Banyujiwo hanya desa yang berdiri sendiri di sana, tapi ternyata tidak.

Desa itu berdampingan dengan beberapa desa lainya dengan aliran sungai yang berbatasan dengan hutan-hutan yang terlihat masih liar.
Ternyata ucapan Badrun benar, walau sudah berbentuk jalan setapak, tapi jalur menuju desa masih cukup berat untuk dilewati motor tuaku.

***

“Mas Cahyo, Si Mbahnya masih ngambek nggak nih?” teriak Badun dan Tiko yang terlihat kehabisan nafas mendorong motorku di belakang.

“Hehe... makasi ya, bener omonganmu, Simbah udah tua nggak cocok sama jalur hutan” balasku yang dengan sengaja menukar simbah dengan motor Badrun agar dapat sampai ke desa lebih dulu.

Akupun gantian mendorong simbah, sementara mereka mengatur nafas setelah cukup panjang membantu motorku yang sempat mogok tak jauh sebelum sampai ke desa.

Tiko mengajak kami untuk istirahat di rumahnya. Sebuah rumah yang cukup tua namun masih sangat terawat.

Aku merasakan ada sesuatu yang melindungi rumah ini, mungkin saja ini yang pernah diceritakan oleh Tiko.

“Rumahmu adem Mas Tiko” ucapku.

“Iyo mas, padahal lama nggak ditinggalin ya?” Tambah Badrun.

Tiko mengambil dari dapur seteko air dan beberapa gelas untuk melepas dahaga kami setelah dikerjai oleh Simbah tadi.

“Selama ditinggal oleh keluarga, rumah ini dijagain sama Mbah Sagimin. dia baik banget sama keluarga saya” jelas Tiko.

Aku mengisi gelasku dengan air dari teko dan meneguk hingga habis.

Tak selang beberapa lama, dari luar terdengar suara seseorang mendekat dan masuk ke dalam rumah.

“Kulo nuwun..” ucap seorang bapak yang sudah cukup berumur dengan membawa sebuah rantang.

“Owalah Mbah Sagimin, nggak usah repot-repot. Saya bisa masak atau cari makan sendiri kok” ucap Tiko.

“Ndak repot kok Mas Tiko, tapi ya gini.. Cuma sedanya” ucap Mbah Sagimin.

Akupun membantu Mbah Sagimin mengambil rantangnya dan membawanya ke dapur.

“Mbah Sagimin ikut makan disini ya, temenin kita” ajakku.

“Boleh mas, pasti banyak yang mau diobrolin juga kan?” balasnya.

Kamipun menggelar rantang yang dibawa Mbah Sagimin di tikar, dan menikmati masakan istrinya itu bersama.

“Ini Mas Cahyo Mbah, kami kenal di desa Bonomulyo” Mas Tiko mengenalkanku pada Mbah Sagimin.

“Kalo yang ini Badrun...”

“Kalau yang ini nggak usah dikenalin Mas Tiko, mana mungkin saya lupa sama tukang ojek yang sempet bikin saya encok tiga hari...” ucap Mbah Sagimin sambil bercanda.

“Hehe.. ngapunten, maaf ya mbah. Dulu saya khilaf.”

Candaan ringan itu membuka perbincangan kami yang mulai mengarah kepada permasalahan di desa ini.

Tiko menceritakan kekagetanya saat malam pertama ia kembali ke desa.

Mulai dari teror anak perempuan yang mendatangi rumahnya hingga warga desa yang harus menghabisi sosok mengerikan itu dan membuangnya di sebuah sendang di dalam hutan.

“Sendang?” tanyaku penasaran.

“Itu sebuah sendang yang sudah lama sekali tidak digunakan warga Mas Cahyo” jelas Mbah Sagimin.

"Karena jauh dari desa?” Tanyaku.

Mbah Sagimin menggeleng.
“Dulu dalam kurun waktu yang cukup lama, Air dari sendang itu tiba-tiba mengeluarkan bau bangkai, tak lama setelahnya airnya menghitam dengan cepat.”

“Berarti sebelumnya warga desa pernah menggunakan air dari sendang itu mbah?” Tanya Tiko.

“Kalau Mas Tiko sadar, nama desa ini sebenarnya diambil dari mana sendang itu. Sebelumnya sendang itu disebut dengan nama ‘Sendang Banyujiwo’, tapi setelah berubah seperti itu leluhur saya mengganti nama sendang itu dengan nama ‘Sendang Banyu Getih’.

Hal itu semata-mata karena bau sendang menyerupai aroma bangkai dan hitam seolah tercampur darah yang pekat” cerita Mbah Sagimin.

Tiko mengangguk-angguk mendengarkan cerita Mbah Sagimin, sepertinya ia juga baru tahu mengenai sejarah tentang nama desa ini.

“Lantas, apa hubunganya kejadian yang melanda desa ini dengan sendang itu mbah?” Tanya Badrun.

Kali ini Mbah Sagimin menghela nafas sambil menggeleng. Ia meneguk segelas air di hadapanya seolah cukup lelah dengan apa yang akan ia ceritakan.

“Mbah tidak tahu Drun, warga lainpun juga tidak tahu. Awalnya kami mengira semua kejadian ini tidak ada hubunganya dengan sendang itu.

Sampai suatu ketika, ada seseorang yang mengerti menyarankan kami untuk membuang jasad anak-anak itu ke dalam sendang agar tidak bangkit lagi” ucap Mbah Sagimin.

“Maksudnya bila tidak dibuang ke sendang, jasad itu bisa kembali utuh dan menyerang desa lagi?” ucapku mencoba mengulang apa yang diceritakan Tiko sebelum ke desa ini.

“Benar mas, mungkin memang sulit dipercaya. Tapi itu yang sebenarnya terjadi” ucap Mbah Sagimin.

Aku bergidik ngeri mendengar kisah itu, terlebih yang menjadi perantara untuk menyerang desa adalah sosok jasad anak-anak kecil yang mungkin semasa hidupnya tidak berdosa.

“Tapi walau dibuang ke sendang itu, jasad itu akan tetap kembali ke desa ini juga kan?” tanyaku.
Mbah Sagimin mengangguk.

“Orang pintar itu mengatakan, ada waktu-waktu dimana sendang banyu getih kehilangan pesonanya.

Disaat itulah seluruh jasad yang kami buang ke sendang itu akan kembali lagi ke desa seperti kemarin”

Aku menjadi penasaran, berarti sebenarnya warga desa sudah tahu bahwa sendang itu memiliki ‘sesuatu’ yang tersembunyi.

“Berarti, sebenarnya sendang banyu getih itu juga menyembunyikan sesuatu yang besar ya mbah?” tanyaku.

“Itu juga masih menjadi misteri, tapi leluhur desa ini memerintahkan kami untuk menjauhi sendang itu.

Menurutnya sendang itu sudah dikutuk dan bila masih digunakan, akan membawa bencana untuk warga desa” ucapnya.

Aku mencoba mengerti jawaban Mbah Sagimin. Mungkin iapun tidak mengetahui permasalahan yang pernah dihadapi oleh desa ini sebelum ia lahir.

Aku menghela nafas dan menghabiskan air putih di gelasku.

“Ya sudah, saat ini pilihanya hanya dua mas” ucapku pada Tiko.

“Menunggu tragedi itu terjadi lagi, atau mencari petunjuk dengan mendatangi sendang”
Badrun mengangguk menyetujui jawabanku.

“Menurut hitungan saya, kemungkinan serangan itu terjadi dua minggu lagi” balas Mbah Sagimin.
Mendengar ucapa Mbah Sagimin Mas Tikopun tidak banyak berpikir lagi.

“Kita ke sendang saja, nanti biar saya minta tolong Fajri buat nemenin” ucap tiko.

“Hati-hati ya Mas Tiko, jangan berbuat yang aneh-aneh di sana. Walaupun sendang itu dikutuk, tempat itu tetaplah tempat keramat” peringat Mbah Sagimin.

“Iya Mbah Saya mengerti..” jawab Tiko.

Mumpung hari masih siang, akupun mengajak mereka untuk menunjukkan jalan menuju sendang yang mereka ceritakan tadi.

Tikopun mengenalkan kami dengan teman masa kecilnya yang bernama Fajri.

“Saya sudah beberapa kali ikut menangani ‘serangan’ itu mas. Walaupun begitu, saya tetap tak bisa terbiasa dengan jasad-jasad itu” ucap Fajri.

“Siapa yang bisa terbiasa sama hal gituan mas, tukang gali kubur juga mungkin nggak pernah terbiasa dengan jenazah kok” Ucap Badrun.

Fajri mengantar kami sembari bercerita mengenai kejadian yang menyerang desanya pertama kali. Dia tidak bisa melupakan bagaimana histerisnya warga desa yang ketakutan, tangisan pak sukoco saat kematian anaknya dan warga lain yang kehilangan anggota keluarganya.

Mendengar kisah itu aku sedikit merasa bersalah tidak bisa mengetahui kejadian di desa ini lebih awal, tapi setidaknya setelah ini semoga aku bisa menyelesaikan kutukan ini agar warga desa banyujiwo bisa hidup dengan tenang.

Butuh sekitar setengah jam berjalan kaki melalui hutan yang cukup lebat untuk sampai ke sendang yang mereka ceritakan. Walau begitu, ada jalur yang tidak sengaja terbentuk oleh gerobak yang dibawa oleh warga desa untuk mengangkut jasad ke sendang itu.

Benar ucapan warga desa, sendang ini sepertinya sama sekali tidak pantas disebut ‘sendang’ lagi. Pohon-pohon disekitarnya terlihat kering dengan sisa daun yang yang layu sementara bau menyengat tercium saat kami mulai mendekati tempat itu.

Aku mengambil sedikit air dari permukaan sendang itu dan menciumnya. Entah mengapa saat itu aku merasakan ada yang memperhatikanku dari arah sendang. Jelas, ini bukan sendang biasa.

“Gimana Mas Cahyo?” tanya Mas Tiko.

Aku mencoba meletakan tanganku ke permukaan sendang dan membacakan doa mencoba untuk menyalurkan energi baik ke dalam sendang, anehnya saat itu aku merasakan ada sesuatu di dalam sendang yang memberikan perlawanan.

“Benar, ada begitu banyak hal mengerikan di dasar sendang ini..” ucapku.
“Terus gimana Mas Cahyo? Kita harus bagaimana?” Tanya Fajri.
Aku menggeleng dan meninggalkan sendang.

“Belum, kita belum bisa melakukan apa-apa. Walau ada sesuatu di dasar sendang ini, tapi aku tidak bisa memastikan jika kutukan desa banyujiwo berasal dari sendang ini” jelasku.

Setelah memeriksa beberapa tempat sekitar sendang akupun segera mengajak mereka kembali sebelum langit mulai gelap.

Wajah mereka, Tiko dan yang lain terlihat sedikit kecewa dengan jawabanku, tapi sepertinya mereka juga mengerti bahwa masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah.

***

Sinar rembulan memancar malu-malu diantara awan yang memenuhi langit malam. Purnama telah melewatkan pesonanya beberapa malam yang lalu, namun cahayanya saat ini masih bisa menunjukkan warna dari dedaunan hutan tumbuh dengan lebat.

Aku melangkah seorang diri berusaha mengingat arah menuju sendang yang kami datangi tadi pagi. Bukan tanpa alasan, sesuatu dibalik sendang itu bisa saja membahayakan Tiko dan yang lain seandainya saja aku salah bersikap.

Sebaiknya aku menyelidiki tentang sendang ini seorang diri.
Berbeda dengan keadaan di siang hari tadi, ada sesuatu yang memperhatikanku sepanjang perjalanan menuju sendang.

Sesekali aku menoleh ke beberapa sisi hutan, hawa merinding seolah menyelumutiku dengan keberadaan sosok yang mencoba menyakitiku.

***

Tepat saat melewati hutan langkahkupun terhenti. Ada sosok yang menghadangku tak jauh dari sisi sendang.

Manusia? Hewan? Setan? Tidak aku sama sekali tidak bisa memastikanya.
Yang terlihat di mataku saat ini, makhluk itu tengah meringkuk menikmati bagian lengan manusia yang masih basah, sepertinya ia mendapatkan bagian tubuh itu dari sendang yang berada dibelakangnya.

Sesekali ia menatapku dengan matanya yang memerah buas.

Aku tidak bisa memastikan makhluk itu mengenakan pakaian atau tidak, namun hampir seluruh bagian tubuhnya tertutup oleh rambutnya yang begitu panjang.

“Kau penunggu sendang ini?” tanyaku mencoba membuka pembicaraan.

Walaupun sosoknya mengerikan, aku tidak mau mengambil kesimpulan dulu mengenai makhluk itu.

“Ki Boyo Gandru... aku sing nduwe kuwoso ning sendang iki” (Ki Boyo Gandru.. aku yang punya kuasa di sendang ini) ucap makhluk itu setelah selesai menikmati santapanya.

Jadi itu nama makhluk ini? Sang penjaga sendang banyu getih, Ki Boyo Gandru...

Aku mendekat ke arahnya, namun ia menatap dengan mengancam.

“Opo sing mbok gowo?” (Apa yang kau bawa?) Tanya Ki Boyo Gandru.

Aku tidak mengerti apa yang ia maskud. Jelas aku tidak membawa apapun yang mungkin bisa mengancam dia. Selain.. Wanasura.

“Aku ra nggowo opo-opo Ki..” (Aku tidak membawa apa-apa ki..) balasku singkat.

Ki Boyo Gandru menatapku dan berpaling meninggalkanku.

“Tu..tunggu!” Teriakku.

Ki Boyo Gandru tidak bergeming ia terus setengah merangkak ke arah sendang dan meninggalkanku. Aku mencoba mengejarnya, namun ia mengoleh dengan penuh amarah.

“Ora ono bayaran, ora ono sing iso tak kei” (tidak ada bayaran, tidak ada yang bisa saya berikan) ucapnya yang ingin segera kembali ke dalam sendang.

Urusanku denganya belum selesai, dengan spontan aku mengejarnya dan menarik lenganya untuk menjaganya kembali ke dalam sendang.

“Saya tidak mencari apapun Ki!” balasku.
Sepertinya perbuatanku membuatnya marah. Ia menatapku dengan tatapan yang mengerikan sembari mengeluarkan suara yang tertahan. Entah apa yang ia perbuat, tapi setelahnya tiba-tiba muncul berbagai sosok dari dalam sendang.
Anak perempuan...

Persis seperti cerita Tiko dan warga desa, banyak anak-anak dari berbagai umur merayap keluar dari dalam sendang dan mulai mengerumuni kami.

Mengerikan, wujud mereka benar-benar mengerikan. Mereka benar-benar jenazah yang sudah membusuk dan membengkak di dalam air.

Baunya begitu menyengat. Namun masih ada perasaan tidak tega saat aku melihat wujud mereka yang masih anak-anak.

“Opo kowe sing dadi bayarane” (apa kamu sendiri yang menjadi bayaranya?) Ucap Ki Boyo Gandru sembari menyeringai dari balik rambutnya yang menutup wajah.

Merasakan ada bahaya akupun melepas genggamanku. Tapi kali ini berbalik Ki Boyo Gandrulah yang menarik tanganku.

Akupun berusaha melepasnya secepat mungkin, tapi ada sosok jasad anak-anak yang mendorongku dari belakang dan membuatku terjatuh ke dalam sendang itu bersama dengan Ki Boyo Gandru.

Seharusnya pinggir sendang ini dangkal, namun entah mengapa saat aku terjatuh sendang ini terasa begitu dalam. Aku mencoba berenang ke permukaan, namun ki boyo gandru masih mencoba menarikku ke dasar sendang.

Aku menoleh ke arah Ki Boyo Gandru berusaha melepaskan diri, tapi hal yang mengagetkan terjadi lagi di hadapan mataku.
Ki Boyo Gandru sudah berubah menjadi seekor buaya yang tubuhnya ditumbuhi bulu. Ekornya mengikat tubuhku dan menyeretku ke dasar sendang.

Aku mencoba mengatur nafas untuk menyelamatkan diri, tapi kekuatan ki boyo gandru tidak main-main. Ketika aku merasa bisa melawan, ia semakin cepat menyeretku hingga ke dasar sendang hitam itu.

Gila! Aku mencoba membuka mata melihat apa yang berada di sana. Walau warna hitamnya semakin pekat, samar-samar aku masih melihat benda-benda yang mengambang-ngambang di sekitarku.

Saat aku menggapai sesuatu, yang kudapatkan adalah tangan manusia yang sudah membusuk, saat aku menoleh sudah ada kepala manusia yang sudah terpisah dengan sebagian dagingnya sudah tidak menutupi tengkoraknya.

Aku merasa mual, jangan sampai aku membuka mulutku di dasar sendang ini. Dasar sendang ini dipenuhi oleh jasad-jasad manusia dan benda-benda pusaka yang sudah berkarat.

Tak tahan dengan semua hal yang menjijikkan di dasar sendang ini, akupun berusaha memanggil wanasura untuk merasuki tubuhku. Sayangnya di dasar sendang aku tidak bisa memanggilnya dengan suara.

Beruntung Wanasura tersadar dengan kondisiku saat ini. Iapun merasuk ke kedua lengan dan kakiku dan memberikanku kemampuan untuk mementalkan Ki Boyo Gandru menjauh dari tubuhku.

Dengan sisa nafas yang sedikit, aku menendang dasar sendang dengan kekuatan wanasura dan melesat ke permukaan sendang. Secepat mungkin aku menjauh dari sendang dan memuntahkan semua rasa mual yang kudapatkan dari dasar sendang.

Aku mulai mencoba waspada dengan Ki Boyo Gandru dan sosok jasad hidup yang keluar dari sendang, tapi... saat ini mereka sudah tidak ada di sekitar sendang.

Akupun mengatur nafas dan sedikit memeras baju dan sarungku.

Walau tidak begitu kering, tapi setidaknya air dari sendang itu tidak terlalu membebani tubuhku.

Ada perasaan janggal di dalam pikiranku saat ini. Sepertinya ada kegelisahan yang tidak dapat terjelaskan.

Aku ingin duduk sebentar untuk bermeditasi menenangkan perasaan ini, namun entah mengapa tiba-tiba wanasura menggeram seolah memberi tanda ada sesuatu yang berbahaya.

“Krssasak”
Aku mendengar suara dari dalam hutan.

Aku menoleh dan ternyata arahnya menjauh dari tempatku saat ini. Saat itulah aku mulai panik.
Ternyata suara itu berasal dari salah jasad anak yang melangkah menuju desa.

Dengan sekuat tenaga akupun berlari melewati sosok itu dan beberapa sosok yang masih tertinggal di hutan.

Namun samar-samar dari jauh aku mendengar teriakan warga desa yang tengah panik.

“Brakk!!” terlihat Fajri meletakkan jasad anak kecil ke dalam gerobak.

“Ini lebih banyak dari sebelumnya!” teriak seorang warga yang memegang linggis.

“Seharusnya tidak ada serangan di malam ini, bagaimana bisa?” Mbah Sagimin berteriak bingung.

“Tolong! Kulit istri saya membiru” teriak warga lain.
“Bawa ke balai desa! Semua yang terluka bawa ke balai desa!”
Suasana desa saat itu begitu mencekam.

Seingatku aku hanya tenggelam selama beberapa menit di sendang itu, tapi mengapa kejadian ini seolah sudah terjadi berjam-jam. Akupun menoleh ke arah bulan, dan benar saja bulan sudah bergeser cukup jauh dari saat terakhir kulihat.

“Dari mana Mas Cahyo?” Tanya Mas Tiko yang menghampiriku dengan panik. Ada sebuah benda tumpul di genggamanya.

Aku belum berani untuk menjawab. Pemandangan di hadapanku saat ini begitu mengerikan. Jasad anak perempuan dibantai dengan begitu kejam oleh warga desa.

Aku tahu mereka sedang membela diri, tapi tetap saja ini terlihat mengerikan.

“Saya mencoba mencari petunjuk dari sendang, Mas Tiko! saya gak menyangka akan ada serangan di malam ini” ucapku.

“Kata Mbah Sagimin seharusnya tidak..” balas Mas Tiko.

“Mas Cahyo nggak ngapa-ngapain kan di sendang?” tanya Mas Fajri yang menghampiri kami.

Aku berpikir sejenak, apa mungkin kedatanganku tadi yang membuat makhluk ini menyerang desa? Jika benar berarti aku sudah ceroboh...

Dengan segera aku menghampiri Mbah Sagimin dan warga desa. Di hadapanku Mbah Sagimin mengayunkan kapaknya dan memecahkan kepala jasad seorang anak. Awalnya aku ingin menghentikanya untuk menyerangnya lagi, tapi jasad anak itu malah menyeringai dan kembali tertawa.

“Mbah apa tidak ada cara lain?” Tanyaku.
“Tidak ada, kita harus memisahkan bagian tubuhnya agar tidak kembali berdiri” jelas Mbah Sagimin dengan tatapan yang dingin.

Aku mencoba mencari petunjuk mengenai kejadian ini, sebelum memutuskan membantu warga desa.
Mendadak aku teringat cerita Badrun tentang keberadaan desa lain di sekitar desa banyujiwo, aku perlu tahu apa makhlu-makhluk ini hanya menyerang desa ini, atau juga desa lain.

Saat itu aku menarik Badrun untuk mengikutiku.

“Benar ada desa lain selain desa Banyu Jiwo?” Tanyaku.

“I..iya, kenapa mas?”

“Kita kesana sekarang!” perintahku dengan paksa.

“Terus warga desa gimana?”

“Kita Cuma sebentar, ada yang harus kupastikan”
Badrun yang tidak mendapat pilihan akhirnya memutuskan untuk mengantarkanku ke desa terdekat.

“Memangnya ada apa to mas? Desa lagi darurat kan?” Tanya Badrun.

“Kapan Mas Badrun terakhir kali mengantar ke desa-desa itu?” Tanyaku.

Badrun sepertinya memilih untuk mengikuti kemauanku dulu.

“Untuk desa di hutan utara, saya masih sering mengantar. Ada tiga desa di sana. Tapi yang diselatan bersisihan hutan dari banyujiwo, saya lupa terakhir saya ke sana..” ucapnya.

“Kita ke desa selatan!” perintahku.

Badrunpun melaju motornya dengan cepat dan membutuhkan waktu tidak sampai setengah jam untuk membawaku ke sebuah gapura.

Desa Sambigiri...
Tepat saat sampai di desa ini, perasaanku menjadi tidak karuan.

Aku berharap tebakanku salah, tapi padamnya lampu di semua rumah di desa ini membuat harapanku semakin pudar.

“Kok gelap ya?” ucap Badrun.

“Ssst... hati-hati, usahakan jangan berisik mas” ucapku.
Kami berjalan perlahan memasuki desa tersebut.

Desa yang sangat tidak terawat, sekitar rumah ditumbuhi rumput liar dan beberapa rumah sudah mulai ambruk.

“Desa ini sudah mati...” ucapku.

Badrun menatapku tidak percaya.

“Tidak mungkin mas, harusnya penduduk desa ini lebih banyak dari Banyujiwo” balas Badrun
“Kamu lihat sendiri” balasku.
Badrun mengecek jendela-jendela rumah dan tidak menemukan siapapun ada di desa ini. Ia cukup kaget, namun pencarianku tidak hanya berhenti sampai di situ.

Ada pergerakan di belakang desa yang lebih padat dengan rumah-rumah yang sudah bobrok. Kami mengintip dari salah satu gang, dan apa yang terlihat di sana sudah benar-benar tidak bisa kumaafkan.

Seluruh jasad warga desa tertumpuk di sebuah lapangan dengan jasad busuk anak-anak persis seperti yang menyerang desa banyujiwo mengerubutinya dan memakan daging busuk dari jasad-jasad itu.

“Mas... itu semua warga desa?” Tanya Badrun.
Aku tidak mampu menjawab, tapi seketika kaki Badrun menjadi lemas dan hampir terjatuh.

Dengan seluruh emosi yang membakar pikiranku, akupun membacakan sebuah doa untuk melindungiku dari makhluk-makhluk itu.

“Tunggu di motor” perintahku.

“Mas mau ngapain?”

“Nggak usah banyak tanya...”

Badrunpun tidak bertanya lagi dan berlari dengan tertatih menuju ke arah tempat ia memarkirkan motornya.
Aku menutup hidungku dengan sarung dan menerjang sosok jasad hidup itu.

Pukulan demi pukulan kulancarkan untuk menarik perhatian mereka. Saat mereka merasakan bahaya, akupun menorehkan kukuku pada lenganku dan meneteskan darah yang seharusnya mampu menarik perhatian mereka.

Seketika wajah makhluk itu terlihat semakin buas dan haus darah.

Mereka berlari kesetanan kearah darahku berada.
Akupun berlari dan menyusul Badrun secepat mungkin.

“Berangkat! Kita kembali ke desa!” perintahku.
Badrun menyalakan motornya dengan berhati-hati, namun ketika ia melihat puluhan sosok yang mengejarku di belakang ia secepat mungkin mengambil posisi dan membawaku pergi.

“Mas Cahyo ngapain??!!!” Tanya Badrun selama di motor.

“Jangan terlalu cepat..” perintahku.

“Tapi nanti bisa terkejar..” balasnya.

Aku terus meneteskan darahku di jalan untuk memasktikan makhluk itu mengikutiku. Sementara itu Badrun hanya menggeleng tanpa bisa menebak rencana gilaku.

Tepat saat mencapai gerbang desa banyujiwo, akupun memerintahkan Fajri dan Badrun untuk menyiapkan kuburan yang pernah mereka gunakan untuk memakamkan jasad ini.

“Kalian dari mana?” Tanya Mbah Sagimin.

Badrun berusaha mengatur nafasnya dan menceritakan apa yang ia lihat pada Mbah Sagimin. Sementara aku memastikan sosok yang masih jauh mengikuti kami dari belakang.

“Desa Sambigiri sudah mati, semua jasad warga menjadi santapan setan-setan itu” ujarnya.

“Sejak kapan?”

Badrun menggeleng, “Nggak tahu, tapi dari kondisi bangunan yang sudah rusak, mungkin sudah lebih dari setengah setahun”

Mbah Sagimin terlihat kaget mendengar ucapan Badrun.

“Terus kita harus apa?” Tanya Mbah Sagimin.

Aku berbalik dan meminta Mbah Sagimin menjelaskan ke beberapa warga.

“Jangan buang jasad itu di sendang lagi! Kita kuburkan di pemakaman” ucapku.
“Tapi besok malam mereka akan kembali lagi..” ucap Mbah Sagimin.
“Pokoknya jangan dibuang ke sendang pak! Lakukan dulu” perintahku.

Mbah Sagimin berpikir sejenak, ia terlihat masih ragu. Tapi aku tidak mau menunggu lama.
Kali ini aku memanggil wanasura merasuk ke kedua lenganku. Dengan segera aku menghampiri satu-persatu makhluk itu dan menghantamnya hingga terpental.

Warga desa terlihat kaget dengan apa yang aku lakukan, tapi aku tidak peduli. Ada sesuatu yang berbahaya di sendang itu. Bila jasad ini kembali ke sana, itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Dengan cepat seluruh mayat anak-anak yang menyerang desa terkapar di satu tempat dengan seranganku.

“Ikat! Dan bawa ke pemakaman!” Perintahku pada Badrun.

Kali ini Mbah Sagimin ikut membantu Badrun, sepertinya tindakanku barusan membuatnya sedikit percaya terhadapku.

“Benar mau dimakamkan lagi mbah?” Tanya salah seorang warga.

“Untuk kali ini, kita percayakan dulu pada bocah itu” ucap Mbah Sagimin.

Saat mereka sudah mulai lega dengan mayat-mayat yang mulai habis, tiba-tiba muncul dari satu sisi hutan makhluk serupa yang mengikutiku dari desa Sambigiri.
“Akhirnya datang...” jawabku.
“I..itu apalagi?” Tanya Mbah Sagimin.
“Mereka yang menghabisi warga desa sambigiri..” jelasku.

“Terus kenapa dibawa ke sini mas?” Tikopun mendekat dan kaget dengan itu semua.
Beberapa warga desa juga tidak terima dengan apa yang kulakukan.

“Jangan sampai ada jasad yang tertinggal, semua harus dimakamkan di satu tempat” perintahku tanpa mengindahkan keresahan mereka.

Dengan cepat aku kembali menghadapi mayat anak-anak yang mulai memasuki desa. Walaupun tidak setuju denganku, warga desapun akhirnya ikut membantu menghabisi mereka satu persatu dengan bengisnya.

Sebenarnya aku sedikit khawatir dengan cara warga desa ini, tapi sepertinya mereka tidak memiliki pilihan lain.

Butuh waktu cukup lama untuk membuat mereka terkapar hingga tidak berdaya.

Beberapa bagian tubuh merekapun terpisah oleh serangan warga tak tahu harus melawanya seperti apa lagi.

Saat aku melihat bagian tubuh jasad itu, aku kembali teringat bagian tubuh mayat yang mengambang-ngambang di sendang banyu getih tadi.

Cukup ada perdebatan panjang diantara warga desa, namun Mbah Wagimin dengan bantuan Tiko dan beberapa warga berhasil meyakinkan warga lainya untuk tidak membuang jasad itu ke sendang banyu getih.

Kamipun membawa jasad itu ke tanah pemakaman yang cukup luas. Hanya ada beberapa lubang yang tersedia di sana. Tapi Fajri dan beberapa warga sedan berusaha menambah lubang lagi untuk jasad-jasad yang kami bawa.

Tidak banyak pertanyaan dari warga desa saat kami semua menyediakan lubang untuk jasad-jasad itu. Walaupun sebenarnya aku yakin, mereka masih khawatir dengan keputusan ini.

Menjelang subuh, kamipun berhasil menyiapkan liang kuburan untuk jasad-jasad itu dan menguburkanya.

“Mas... malam besok, jasad-jasad ini akan kembali lagi mencari bagian tubuhnya dan kembali menyerang desa” tanya Tiko padaku.

Sepertinya warga desa yang memintanya mengatakan hal itu kepadaku.

“Mungkin jasad-jasad ini akan bangkit lagi seperti cerita kalian, tapi tenang saja aku pastikan mereka tidak akan menyerang desa” ucapku mencoba menenangkan tiko.

"Bagaimana Mas Cahyo yakin mereka tidak akan menyerang desa?” tanya Fajri yang masih menggenggam cangkul di tanganya.

“Saya akan tinggal di sini, tidak akan saya biarkan jasad-jasad ini meninggalkan pemakaman ini” balasku.

Fajri dan Tiko saling berpandangan.
“Maksudnya, Mas Cahyo mau bermalam di sini? Sampai kapan mas? Tiap malam jasad ini pasti akan bangkit!” ucap Tiko khawatir.

“Tenang saja, tidak akan lama.. aku hanya berjaga di pemakaman ini sampai dia datang” balasku.
“Dia? Dia siapa?” tanya Tiko.
“Teman terbaikku yang lebih mengerti tentang masalah seperti ini.. Dananjaya Sambara...”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close