SENDANG BANYU GETIH (Part 2) - Para Pengusir Setan
Tiko mencari pertolongan ke desa Bonomulyo dimana orang-orang sakti sedang berkumpul atas sayembara warga di sana.
Tapi apa itu adalah keputusan yang tepat?
JEJAKMISTERI - Desa Bonomulyo, Sebuah desa yang cukup padat oleh penduduk dan termasuk desa percontohan di kabupaten ini. Walau begitu, sebenarnya pernah ada kisah yang cukup membuat bulu kuduk merinding saat membicarakan tentang desa Bonomulyo.
Beberapa tahun yang lalu, berdampingan dengan desa Bonomulyo ada sebuah desa yang bernama Desa Srawen. Sebuah desa kecil yang hanya dihuni sekitar seratus kepala keluarga. Namun ada satu kejadian aneh yang membuat seluruh warga desa itu meninggal dengan misterius.
Konon warga desa Bonomulyo juga mengalami kejadian-kejadian aneh setelahnya. Namun hal itu berhenti setelah ada beberapa orang yang menjaga desa ini.
***
“Nah, kita sudah sampe nih Mas Tiko” ucap Mas Badrun yang menghentikan motornya di sebuah warung makan.
“Ya sudah, kita makan siang dulu saja. Wis laper to?” Balas Tiko.
“Yo jelas, makanya saya sengaja berhenti di depan warung” ucapnya sembari tertawa cengegesan.
Tiko hanya menggeleng sembari tertawa menyaksikan tingkah laku Badrun.
Setidaknya dengan tingkahnya itu, Tiko merasa tidak bosan sepanjang perjalanan tadi.
***
“Mas, kok mung sayur karo tempe tok? Nambah iwak ayam opo liyane ngunu” (Mas kok cuma sayur sama tempe tok? Tambah lauk ayam atau lainya gitu) ucap Tiko.
“Boten sah mas, iki wae.. sing penting segone mumbul. Iya to bu?” (Nggak usah mas, ini saja.. yang pening nasinya penuh. Iya kan bu?) Balas Badrun yang dibalas dengan senyuman oleh ibu warung.
Tikopun mengambil lauk ayam goreng satu lagi dan meletakkanya di piring Badrun.
“Makan yang kenyang mas. Tenang aja, jajanya kita berdua ini ga semahal jajanku sekali makan di Jakarta kok” Balas Tiko yang mulai menikmati makananya.
“Wah.. beneran mas? Matur nuwun lho.. rejeki ndak kemana.”
Badrun menatap dengan semangat menu makanya itu dan memakanya dengan lahap.
Sembari makan di warung, Tiko dan Badrun cukup sering melihat beberapa orang dengan pakaian aneh yang memasuki desa.
Mulai dari pakaian serba hitam seperti dukun, Pengembara menggunakan caping, hingga seseorang dengan menggunakan atribut agama tertentu.
“Bu, sejak kapan kampung ini jadi ramai dengan pendatang begitu?” Tanya Badrun penasaran.
“Owalah.. itu to? ya sejak seminggu yang lalu waktu Pak Juwono mengumumkan sayembaranya” balas ibu itu.
“Jadi sayembara itu beneran?”
“Lha bener to mas, wong dipasang di papan pengumuman desa juga”
Tiko penasaran dengan pengumuman apa yang di pasang.
Iapun menghabiskan makananya dan mengajak Badrun mencari tahu pengumuman apa yang dipasang juragan kaya itu.
Badrun menunjukkan jalan menuju pos desa dimana terdapat papan pengumuman yang di maksud.
Sepertinya dari cara Badrun menunjukkan jalan, dia tidak bohong bahwa dia memang berasal dari desa sini.
Sebelum mereka sempat sampai di papan itu, mereka melihat beberapa orang berpakaian hitam dengan benda pusaka yang terikat di pinggangnya.
Sepertinya dia berasal dari suatu perkumpulan.
“Minggir! Orang kampungan nggak usah ikutan urusan ini”
Seseorang yang berkumis tebal menghardik pemuda yang sedari tadi terpaku menatap pengumuman itu. Iapun hampir terjatuh, beruntung ada tiang pos yang menjadi peganganya.
Iapun hanya menatap orang-orang itu dan memilih untuk pergi sembari merapikan sarungnya yang melingkar di bahu.
“Kalau berurusan sama mereka, mending cabut aja Mas Tiko. Kayak orang tadi” ucap Badrun.
“Iyo mas, ngerti aku. Semoga bukan orang-orang itu yang harus kita mintai tolong” balasku.
Cukup lama sekumpulan orang itu membaca pengumuman. Sepertinya mereka sudah mendapat petunjuk kemana mereka harus pergi.
Akupun mengambil kesempatan itu untuk membaca pengumuman yang ada di hadapanku.
Aku mengira akan menemukan pengumuman seperti sebuah sayembara jaman dulu, namun ternyata apa yang terpampang dihadapanku sangat berbeda dengan apa yang kubayangkan.
Sebuah surat...
Pengumuman itu adalah sebuah surat yang berisi rasa putus asa seorang ayah yang sangat mengharapkan kesembuhan anaknya.
*****
Saya hampir menyerah...
Tapi, Menur adalah anak saya. Anak saya yang sangat saya sayangi dari lubuk hati yang terdalam.
Setiap teriakan kesakitanya, teriakan amarahnya, dan apapun yang terdengar dari mulutnya selalu menyayat hati saya.
Sudah berbagai macam cara kami coba untuk mengobati Menur.
Rumah sakit, tabib, pemuka agama, dukun, atau apapun itu namun sama sekali tidak ada perubahan dengan keadaan Menur.
Seandaikan ada yang bisa saya tukarkan untuk kesembuhan Menur. Saya bersedia memberikan harta saya seluas lima hektar tanah atas nama saya sendiri.
Itu tidak seberapa dibanding kesembuhan Menur saat ini.
Saya tidak peduli apakah yang datang akan dokter, dukun, orang pintar atau apapun itu. Selama itu bisa membuat anak saya benar-benar sembuh dan sehat hingga ia bisa meneruskan masa depanya.
-Juwono
*****
Ada gambaran peta yang menunjukkan ke arah rumahnya. Sebenarnya Tiko cukup heran dengan surat ini, perbuatanya ini benar-benar beresiko. Bisa saja pengumuman ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang licik dan berniat jahat.
Badrun ikut membaca pengumuman itu dan memastikan lokasi yang dimaksud. Rupanya ia mengenali lokasi itu dengan mudah. Sebelum terlalu sore, Badrunpun mengajak Tiko menaiki motornya lagi dan berangkat menuju rumah Pak Juwono.
Sesuai dugaan Tiko, sudah ada beberapa orang di sana. Namun seolah tidak ingin terlihat mencolok, beberapa dari mereka memilih menunggu di tempat-tempat sekitar rumah Pak Juwono.
Ada yang bersemedi di bawah pohon, mengobrol dengan tetangga, hingga ada yang berputar-putar mengelilingi rumah Pak Yuwono seperti mencari petunjuk.
“Ayo Mas, mumpung Pak Juwononya ada di rumah” ajak Badrun.
“Tapi mas, yang lain aja pada menunggu di luar. Emang beliau mau menerima kita?” Tanya Tiko.
“Sudah, ikut saja mas..” balas Badrun dengan santai.
Tiko hanya mengikuti Badrun setelah ia memarkirkan motornya tak jauh dari rumah Pak Juwono.
Banyak mata memandang kami dengan sinis, namun Badrun masih tetap berjalan dengan santai.
“Kulo nuwun, Lek..” Panggil Badrun seolah ia sudah terbiasa dengan rumah itu.
Suara langkah kaki terdengar berjalan kearah keluar dengan ragu.
Seorang bapak mengintip sedikit sebelum akhirnya menghampiri Badrun.
“Eh Badrun, kowe kok iso ono ning kene?” (Eh Badrun, kamu kok bisa ada di sini?) Tanya bapak yang menyambut kami itu.
“Iyo Lek Ju, aku dapet kabar katanya Menur sakit. Maaf lek baru bisa jenguk” ucapnya.
“Iya nggak papa, terima kasih sudah nyempatin waktu. Kamu sama bapakmu?” Tanya Pak Juwono.
“Nggak Lek, belum sempet mampir rumah malah. Ini malah saya bareng sama teman saya. Saya bener-bener khawatir sama keadaan Menur.” Ucap Badrun sembari mengenalkan Tiko.
“Saya Tiko Pak” ucap Tiko memperkenalkan diri.
“Owalah.. ya sudah ayo masuk dulu. Mohon maaf ya, masih ada beberapa orang yang mengobati Menur, saya nemenin mereka sebentar” jawab Pak Juwono.
Merekapun masuk ke dalam rumah dan duduk di tempat yang dipersilahkan. Kamar Menur berada tepat di dekat ruang tamu. Dari kursi tamu, sedikit-sedikit mereka dapat melihat apa yang terjadi di kamar Menur.
Menur ternyata masih berumur belasan tahun, terlalu mengenaskan mengetahui seorang anak seumuranya mengalami bencana seperti ini.
Tiko memperhatikan seisi rumah Pak Juwono yang cukup mewah untuk sekelas rumah yang ada di desa.
Koleksi barang-barang antik seperti karpet kulit binatang dan guci-guci juga terlihat menghiasi isi rumah Pak Juwono.
“Pak Juwono paklekmu to?” Tanya Tiko sembari menyenggol lengan Badrun.
“Bukan, hanya saja Pak Juwono sering ke rumah bapak dulu. Jadi aku cukup dekat sama mereka.
Lagipula warga desa sini hampir setengahnya masih ada hubungan keluarga kok” balasnya.
Tiko mengangguk, penjelasanya memang cukup masuk akal. Tikopun sebenarnya masih ada hubungan darah walau jauh dengan orang-orang di desanya.
“Drun, diminum dulu ya. Bapak biar nemenin tamu-tamu dari jauh itu dulu” Ucap Mbok Tumi salah satu pembantu Pak Juwono yang juga sudah lama mengikuti tuanya itu.
“Iyo Mbok Tumi, matur nuwun” balas Badrun menerima dua gelas kopi yang disuguhkan pada mereka.
Sembari menunggu Pak Juwono merekapun menyaksikan apa yang terjadi di kamar Menur. Bau kemenyan tercium sangat pekat dari sana. Samar-samar terdengar juga suara-suara mantra berbahasa jawa kuno terdengar dibacakan oleh beberapa orang dari dalam sana.
“Khikhikhi... kowe ora iso. Khikhikhi...” (Kamu tidak bisa) terdengar suara wanita dengan suara yang aneh dari dalam kamar.
“Kowe ora iso misahke aku karo bocah iki” (Kamu tidak bisa memisahkanku dari anak ini)
Itu adalah suara yang berasal dari tubuh Menur. Ia seolah tidak terpengaruh oleh bacaan-bacaan dan ilmu yang digunakan oleh orang-orang sakti itu.
“Nek kowe nantang! Tak ladeni!” (Kalau kamu menantang! Saya ladeni!) Ucap orang dengan dandanan menyerupai dukun itu.
Iapun mengeluarkan sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Dengan abu yang ia lemparkan ke tungkunya, tiba-tiba muncul nyala api dari tempatnya membakar kemenyan.
Melihat kejadian itu seketika Tiko dan Badrun merinding.
Ia seolah merasakan udara di bangunan itu berubah semakin dingin bersamaan dengan suasana yang menjadi mencekam.
“Cring!”
Terdengar suara besi dari dalam kamar. Suara itu terdengar saat Menur berusaha pergi meninggalkan kamar untuk menjauh dari apa yang dukun itu lakukan.
“Gila! Menur dipasung Drun?” Tanya Tiko.
“Sepertinya begitu, aku nggak nyangka kalau memang separah itu” Balas Badrun.
Menur terlihat ketakutan, ia berusaha merangkak keluar meninggalkan kamar untuk menjauhi dukun itu.
“To..tolong! Panass!” Teriak sosok dalam tubuh Menur.
Ia meronta dan merangkak keluar dengan wajah pucat dan tersiksa. Rambutnya terlihat acak-acakan dengan potongan yang tidak sempurna. Terlihat beberapa luka ditubuhnya yang mereka sendiri belum mengetahui penyebabnya.
“Hahaha.. pengecut! Kesini kamu!” Ucap dukun itu yang menarik rambut Menur dan menyeretnya ke dalam.
“Mbah.. jangan kasar mbah, dia anak saya” ucap Pak Juwono berusaha menahan dukun itu.
“Bapak diam saja dan saksikan dari jauh! Biar saya habisi setan ini di depan mata bapak!” Balas dukun itu.
Pak Juwono terlihat kebingungan, ia merasa kasihan dengan anaknya. Namun satu sisi ia ingin anaknya segera pulih dari keadaanya saat ini.
Tiko dan Badrun merasa tidak tega saat melihat mata Pak Juwono berkaca-kaca.
“Pati geni ngiket urip, ngobong jiwo ngelarung angkoro..”
Mantra itu diucapkan dukun itu dengan menggenggam sebilah keris dan menjambak Menur dari belakang.
Menur berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Wajahnya terlihat ketakutan. Walau begitu, mereka tahu dengan pasti itu bukanlah raut wajah Menur yang sebenarnya.
Dukun itu tidak omong kosong. Mantra yang ia ucapkan menggetarkan setiap kaca yang ada di rumah ini selah ilmunya bisa menghancurkan apa saja yang berada di sekitarnya.
“Panass!! Panass!! Aku kobong!” (Aku terbakar) teriak Menur tersiksa dengan mantra itu.
Ia meronta memukuli pintu, lantai, atau apapun yang bisa iya sentuh namun dukun itu seperti tidak berniat menyiksa Menur.
Tapi... dalam hitungan beberapa detik tiba-tiba Menur terdiam.
“Be..berhasil?” Tanya Pak Juwono.
Suasana di tempat itu menjadi hening beberapa saat. Namun perasaan aneh tetap menyelimuti kami yang berada di rumah ini.
Dukun itu tidak menjawab pertanyaan Pak Juwono. Ia tidak dapat memastikanya sebelum melihat langsung wajah Menur.
Tapi, tidak dengan Tiko dan Badrun. Dari posisinya saat ini, mereka melihat wajah Menur justru tersenyum dengan tertutup oleh rambutnya.
Ia menoleh ke arah dukun itu dengan wajah yang melecehkan.
“Ora ono sing luwih seko iki?” (Tidak ada yang lebih dari ini) Ledek Menur sembari mulai tertawa.
Dukun itu kesal dan mulai membaca berbagai mantra. Rumah besar ini semakin bergetar, aku merasakan hal-hal mengerikan mendekat ke tempat ini.
“Lho.. kowe malah nyeluk demit-demit liyane. Khikhikhi”
(Lho kamu malah memanggil setan-setan lainya) ucap Menur yang sama sekali tidak terganggu dengan mantra itu, sebaliknya kehadiran sosok lain mulai terasa di sekitar bangunan ini..
Dukun itu mulai berkeringat. Tiko dan Badrun mulai resah merasakan kehadiran makhluk lain yang berada di sekitar mereka.
“Tiko, bahaya ki.. aku merinding” ucap Badrun.
“Dari dateng aku juga udah merinding Drun” balas Tiko.
Sekelebat mereka melihat sosok-sosok yang mengintip dari jendela, dan di celah pintu seolah ada sosok tak kasat mata yang penasaran dengan keadaan di rumah ini.
Dukun yang sedari tadi menjambak Menur tiba-tiba terlihat aneh.
Matanya melotot, Ia seolah menahan sesuatu sampai kesakitan seperti itu.
Tak berlama berselang, tiba-tiba dukun itu memuntahkan darah dan berusaha keluar dari kamar Menur. Menur tidak membiarkanya, ia menarik tubuh dukun itu kembali.
Ia menjambaknya dan menghantamkanya ke dinding.
Pak Juwono dan beberapa anak buah dukun itu mencoba menahan Menur, namun semua percuma.
Dukun itu berusaha mengambil kesempatan itu untuk berlari tertatih ke luar rumah. Menur menolak dan menjatuhkan semua orang yang memeganginya. Dengan sekali gerakan, rantai yang mengikat Menur terlepas dari dinding. Iapun meninggalkan ayahnya dan mengejar dukun itu.
Tiko dan Badrun tidak punya nyali untuk menahan Menur, yang bisa mereka lakukan adalah segera berlari untuk membantu Pak Juwono.
“Menur? Tolong hentikan Menur!” perintah Pak Juwono.
“Iya Lek Ju, ayo kita susul” Tiko dan Badrun membantu Pak Juwono untuk ke depan, sementara dua anak buah dukun itu mengejar Menur.
Saat mereka sampai di luar, langit sudah mulai memerah. Suasana di tempat itu benar-benar membuat siapa saja yang menyaksikanya merasa merinding.
“Ampun! Ampun!!!” teriak dukun yang benar-benar menjadi ketakutan dengan sosok yang merasuki tubuh menur itu.
Menur tidak menghentikan apapun itu yang ia ingin lakukan. Ia hanya menatap dukun itu dan dukun itu terus kesakitan memuntahkan darah dari mulutnya.
Kedua anak buah dukun itu berhasil menangkap Menur namun Menur terus menatap dukun itu sambil menyeringai tanpa beranjak dari tempatnya.
“Dukun goblok, bisa kalah dari setan coro begini..”
Kali ini tiba-tiba muncul seorang kakek dengan pakaian jawa lusuh mendekat kearah Menur dan mengikatnya dengan tali yang telah ia bacakan mantra.
“Cuh!”
Tanpa rasa terusik, Menur malah meludahi kakek itu dan membuat kakek itu semakin marah. Mantranya membuat tali yang mengikat Menur terbakar secara ajaib. Tapi tetap saja Menur tidak takut. Sebaliknya wajah kakek tua yang terkena ludah Menur terasa begitu gatal.
“Gatal! Wajahku gatal!! Apa ini??!” teriaknya panik yang tak mampu menahan rasa gatal yang amat sangat itu.
Ia menggaruknya namun rasa gatalnya malah semakin menjadi. Bahkan wajahnya mulai berdarah dengan kuku-kukunya sendiri.
Para orang-orang sakti yang sedari tadi menunggu di luarpun terusik melihat kejadian itu. Mereka merasakan hal yang mengerikan merasuki Menur dan memutuskan untuk mengepungnya setidaknya itu mengurangi resiko yang akan mereka tanggung.
“Jangan... jangan sakiti anak saya!” Pinta Pak Juwono.
“Mundur pak, anak bapak sudah dirasuki iblis..” balas salah satu dari mereka.
Ia mengeluarkan cemeti yang panjang yang diserahkan oleh anak buahnya dan memukulkanya beberapa kali ke tanah.
“Mbah! Tidak harus seperti itu mbah!” Badrun berteriak mencoba menahan orang itu, namun sepertinya ia tidak berniat mendengarkan Badrun.
Seseorang lagi menggenggam benda seperti boneka kecil hitam dengan berbagai pusaka dari bagian tubuh hewan yang menggantung di kalungnya.
“Jenglot.. itu jenglot kan?” Tanya Tiko.
Tiko dan Badrun tidak menyangka di pelataran depan rumah Pak Juwono itu mereka melihat orang-orang, benda, dan sosok–sosok yang selama ini hanya ia dengarkan dari cerita mulut ke mulut.
Serangan cemeti orang sakti itu mengenai tubuh Menur dan membuatnya berteriak kesakitan. Pak Juwono berlari ke arah Menur untuk melindunginya, tapi anak buah orang-orang itu menahan Pak Juwono.
Menur yang semakin mengamuk mengejar orang itu dan menangkap cemetinya. Di sisi lain, dukun yang menggenggam jenglot itu membawa taring hewan buas dan menusukkanya di leher Menur.
Menur menggeram kesakitan, ia semakin marah.
“Khikhkhi... aku kesal.. mati saja kalian!” Ucap Menur yang sepertinya benar-benar merasakan kesakitan oleh serangan orang-orang sakti itu. Kali ini suara Menur berubah lagi, sepertinya memang ada beberapa sosok yang merasuki tubuh Menur.
Langitpun menjemput malamnya, bersamaan dengan itu mata Menur memutih. Mulutnya memuntahkan cairan hitam namun ia terus tertawa.
Seketika semua orang yang menyerangnya terjatuh. Mereka kesakitan dan meronta-ronta.
Mata mereka menghitam dengan cairan yang keluar dari setiap lubang di tubuhnya.
Bukan tanpa perlawanan, beberapa sosok bayangan muncul dari jenglot yang dukun itu pegang bersiap melawan, namun dalam sekejap sosok itu menghilang seolah takut dengan keberadaan Menur.
“Sudah Menur! Hentikan! Jangan bunuh siapapun!” pinta Pak Juwono.
Wajah Menur sudah penuh dengan emosi. Entah makhluk apa yang merasukinya. Tapi di tengah-tengah kejadian itu, tiba-tiba ada keris yang melayang dan menusuk bahu Menur.
Ia kesakitan, tapi sepertinya tusukan itu juga tidak terlalu dalam.
Mereka semua menoleh ke arah dimana keris itu berasal. Beberapa orang terlihat mendekat dengan ciri pakaian yang Tiko dan Badrun pernah ketahui sebelumnya.
Mereka adalah orang-orang sakti yang melihat pengumuman itu sebelum mereka.
“Kalau tidak bisa diusir, bunuh saja!” perintah salah satu pimpinan mereka.
Pak Juwono semakin ketakutan, ia memeluk menahan Menur dari belakang namun ia malah terpental jauh hingga terjatuh ke tanah.
Orang sakti itu terus menyerang Menur dengan kerisnya, beberapa dari mereka terpental namun tak jarang serangan itu sampai ke tubuh Menur dan membuat darah segar mengucur dari tubuhnya.
Sosok di dalam tubuh Menur tidak terima, ia semakin mengamuk hingga bebatuan di sekitar tempat itu melayang menghantam kepala orang-orang itu. Pertarungan sengitpun terjadi, dukun itu sepertinya juga bukan dukun yang bisa dianggap remeh.
Keris yang ia miliki berhasil melukai Menur hingga kewalahan. Tapi entah mengapa aku merasakan bau busuk yang kukenal tercium saat keris itu terayun.
“Ka...kalau Menur mati gimana Drun?” tanya Tiko.
“Lha! Mbuh Tik.. aku nggak pernah menghadapi kejadian seperti ini” balasnya.
Ada beberapa warga yang menyaksikan kejadian ini, tapi sebagian memilih pulang dan bersembunyi untuk melindungi diri.
Hasil adu ilmu mereka tidak dapat diduga, saat satu persatu anak buah dukun itu tumbang alur pertarunganpun berubah.
Menurpun kembali tertawa...
“Khekhekeh... rupanya keris ini kau dapat dari sendang itu” ucap sosok dalam tubuh Menur.
“Ti..tidak! Tidak mungkin! Kukorbankan anak buahku untuk mendapatkan kekuatan ini” ucap dukun yang mulai terpojok dengan sesuatu yang menahan gerakanya.
Menur menyeringai dengan mengerikan, ia merebut keris yang sempat menusuk pundaknya tadi dan menjilati darahnya.
“Khekheke.. anak buah yang kau korbangkan ingin kamu mati!” ucap Menur yang segera mencekik dukun itu. Iapun bersiap menghujamkan keris itu tanpa ampun.
Tiko dan Badrun menutup mata tak mampu melihat kejadian itu. Ia membayangkan akan ada darah yang bermuncratan lagi dari seorang dukun kehilangan nyawanya.
Tapi... dugaan mereka salah.
Ada seseorang yang menahan tangan Menur dari belakang. Seorang pemuda..
“Drun... kuwi sopo? Kok ora asing?” (Drun, itu siapa? Kok nggak asing?) tanya Tiko.
Badrun mencoba mengingat, dan benar ucapan Tiko. Penampilan orang itu tidak asing. Seorang pemuda dengan sandal jepit dan mengalungkan sarung di bahunya.
“Kuwi uwong sing mau ndelok papan pengumuman Tik”
(Itu orang yang melihat papan pengumuman Tik) Balas Badrun yang berhasil mengingat pemuda itu.
“Pak.. Pak Juwono nggak papa? biar diobati sama temen-temen dulu ya” tiba-tiba seseorang dengan wajah yang cukup bijak menghampiri kami bersama warga lain.
“Pak Karyo, kenapa bisa ada di sini? Orang itu siapa?” Tanya Pak Juwono.
“Itu teman saya, sudah Pak Juwono tenang dulu. Ayo pindah ke tempat yang aman..” ajak Pak Karyo.
Dari gelagat dan perbincangan warga, sepertinya Pak Karyo adalah salah satu orang penting di desa ini.
Setelah menyerahkan Pak Juwono pada Pak Karyo, Tiko dan Badrun kembali memalingkan perhatianya kepada Menur.
Orang itu memegang lengan Menur dan menahanya dengan mudah. Menur terus berusaha menyerang dukun itu untuk menghabisinya, namun tanganya tetap saja tertahan.
Tidak seperti dukun lainya, orang ini hanya berpakaian seperti warga desa biasa. Ia bahkan hanya mengenakan celana pendek dan nyaman dengan sarung yang terkalungkan di bahunya.
“Sudah, biar saya yang melindungi anak ini” ucap pemuda itu.
Mendengar kalimat itu Menurpun terdiam. Ia menoleh ke arah pemuda itu dan berbalik waspada.
“Sopo kowe?” (Siapa kamu) tanya Menur.
“Uwong apik” (Orang baik) balas pemuda itu singkat.
Menur tetap tidak peduli, ia masih saja menatapnya dengan matanya yang memutih dan mengutuk pemuda itu. Namun lantunan ayat suci pemuda itu seolah mengacaukan kutukan itu dan membuatnya seolah tidak berpengaruh.
Mendengar hal itu Menur gentar, ia mengambil jarak dari pemuda itu dan berteriak melengking dan menggema ke seluruh desa. Semua orang di tempat itu menutup telinga, namun bukan suara itu yang membuat mereka semua merasa was-was.
Asap hitam dan sosok makhluk yang besar muncul dari tubuh Menur.
Sontak seluruh orang pintar, warga desa dan seluruh orang yang ada ditempat itupun merinding dan tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Jadi itu yang merasuki Menur?” Tanya Badrun.
“Gila, setelah di desa semalam. Ini kedua kalinya aku melihat setan mas” ucap Tiko heran.
Namun tidak dengan pemuda bersarung itu..
Saat sosok besar itu muncul dengan mata merah menyala tiba-tiba terdengar suara raungan keras entah dari mana.
Yang mereka tahu suara itu tidak jauh dari posisi pemuda bersarung itu berada.
Menur mundur mendengar suara itu, entah mengapa ia merasa waspada dengan pemuda yang sebenarnya terlihat sangat sederhana itu.
“Tinggalkan anak itu, biar aku yang menjaganya” ucap pemuda itu sekali lagi.
“Kalian tidak bisa dipercaya” ucap sosok yang berada dalam tubuh Menur dengan wajah yang penuh emosi.
Pemuda itu mengibaskan sarungnya dan melemparakan beberapa benda yang terjatuh tepat di hadapan Menur.
Gulungan kertas, jerami yang diikat dengan mantra, tanah kuburan yang terbungkus kertas, serta beberapa jimat dengan bentuk yang mengerikan terjatuh di tanah.
“A..apa itu?” Pak Juwono kebingungan menyaksikan dari jauh benda yang dikeluarkan oleh pemuda itu.
Tiko dan Badrunpun langsung bisa menebak bahwa benda-benda itu membawa hal buruk untuk seseorang.
Jika mengikuti maksud perkataan pemuda itu, mungkin saja orang yang diincar itu adalah Menur.
Kali ini tatapan Menur berubah, ia menatap pemuda itu tidak lagi dengan amarah. Hawa dingin dan perasaan ancaman seketika menghilang dari sekitar mereka.
“Bila kau gagal melindungi anak ini, aku akan kembali lagi..” ucap sosok yang berada di dalam tubuh Menur.
Saat itu juga Menur terjatuh lemas di tanah. Pemuda itu mengangkat tubuh Menur dan membawanya masuk ke dalam rumah.
“Pak tolong rantai di kaki anak ini dilepas saja ya” ucap pemuda itu pada Pak Juwono.
“Ta..tapi?”
“Sudah pak, tenang.. dia sudah tidak apa-apa” balas pemuda itu.
“Namanya Menur Cahyo, ini Pak Juwono ayahnya” jelas Pak Karyo yang menemaninya masuk ke dalam rumah.
***
Setelah kejadian itu, dukun dan orang pintar yang telah kalah dari sosok Menurpun kembali ke tempat asalnya. Pak Karyo juga yang mengkomunikasikan akhir masalah ini pada mereka.
Walau begitu, sepertinya masih ada yang tinggal seolah mengharapkan kekalahan orang yang bernama Cahyo itu.
“Mas Badrun kok bisa sampai di sini?” Tanya Pak Karyo.
“Niatnya mau jenguk Menur pak, sambil ada keperluan sedikit. Tapi lebih baik dibahas nanti” jawab Badrun
“Bapak gimana kabarnya? Masih narik?” Tanya Pak Karyo.
“Masih pak, sudah saya kirim uang tiap bulan dan saya minta istirahat tapi bapak masih bersikeras ingin tetap narik angkot” jelas Badrun.
Mendengar cerita itu Tiko menoleh ke arah Badrun. Ia baru tahu kalau ayah Badrun seorang supir angkutan umum. Tiko jadi sedikit salut denganya, walau hanya berprofesi sebagai tukang ojek, ia tidak pernah melupakan kewajiban kepada orang tuanya.
“Nggak papa Drun, kalau nggak narik, bapakmu mau disuruh apa? Kasian kalau bengong aja di rumah” jawab Pak Karyo.
“Iya juga, tapi saksenenge bapak wae wis. Sing penting Pak Karyo bantu sering-sering ngobrol sama bapak, nek ono opo-opo kasi tahu saya”
(Iya sesenengnya bapak saja, yang penting Pak Karyo tolong bantu sering ngobrol sama bapak, kalau ada apa-apa kasih tahu saya)
ucap Badrun.
“Ya Jelas donk, pak Mardi kan temen saya. Makanya kamu tenang saja.
Buat Pak Mardi, yang penting kamu makan kenyang dan hidup bahagia walau milih untuk tinggal cukup jauh” balas Pak Karyo.
Badrun sedikit menghela nafas sambil tersenyum mendengar ucapan Pak Karyo itu.
Ia sadar ayahnya sangat sayang padanya, tapi mendengar itu dari bibir orang lain membuat Badrun merasa sedikit berbeda.
Sembari sedikit mengobrol, mereka mulai mendengar ayat-ayat suci terlantun di kamar Menur.
Tidak hanya Cahyo, terdengar juga Pak Juwono melantunkan ayat yang sama walau masih terbata-bata. Sepertinya mas Cahyo mengajari pak Menur ayat-ayat itu yang mungkin bisa berguna untuk menjaga Menur.
“Mas Cahyo itu dukun dari mana Pak Karyo?” Tanya Tiko penasaran dengan orang yang mengalahkan Menur tadi.
“Heh, ngawur kamu! Mas Cahyo bukan dukun!” ucap Pak Karyo.
“Lah terus berarti dia apa? Kok bisa dukun-dukun yang terlihat sakti mandraguna itu gagal menolong Menur, sedangkan mas Cahyo bisa?” tanya Badrun.
Sebelum Pak Karyo menjawab terdengar langkah kaki dari kamar Menur.
“Saya tidak bisa, kuasa Tuhanlah yang menolong Menur. Kesalahan dukun-dukun tadi, mereka hanya mengandalkan kesaktian dan dirinya sehingga tidak memahami masalah sebenarnya yang dialami Menur”
Mas Cahyo muncul sembari menepuk pundak Badrun untuk menjelaskan itu semua.
“Berarti mas Cahyo bukan dukun?” Tanyaku Tiko langsung di hadapanya.
“Bukan, dukun itu kan kalau sudah jadi profesi. Kalau saya membantu sebisanya saja” jelas Cahyo.
Pak Juwono selesai mengobati luka-luka Menur dan segera keluar menemui kami. Ia dengan begitu hormatnya menyambut Pak Karyo dan Cahyo.
Beberapa suguhan hangat dikeluarkan oleh Mbok Tumi. Dengan sigap Cahyo mengambil singkong goreng dan segelas teh hangat yang disajikan dihadapan mereka.
“Ngapunten yo Pak Juwono, selak keluwen” (Mohon maaf ya Pak Juwono, keburu laper) Ijin Cahyo dengan santai.
“Iya mas... iya, makan yang banyak. Mbok Tumi juga sedang memasak sayur, makan malam di sini ya” ajak Pak Juwono.
Di momen itulah mereka saling memperkenalkan diri. Pak Juwono benar-benar penasaran dengan kehadiran Cahyo.
Bagaimana bisa dukun-dukun sakti tidak bisa mengalahkan makhluk yang merasuki tubuh Menur, tapi Mas Cahyo bisa?
“Saya tidak mengalahkan makhluk itu pak, wong makhluk itu mencoba menjaga Menur” balas mas Cahyo.
“Menjaga Menur? Maksud masnya apa? Makhluk itu sudah merasuki Menur bertahun-tahun lho” Pak Juwono tidak percaya.
Cahyo mengambil sekali lagi singkong goreng dihadapanya dan menghabiskanya sebelum kembali siap bercerita.
“Menur itu anak baik, dia juga punya teman yang tak kalah baik sejak kecil. Namun sayangnya temanya itu tak kasat mata” jelas Cahyo.
Pak Juwono tidak mengerti, tapi ia masih berharap mendengar penjelasan dari Cahyo.
“Sebelumnya, saya memeriksa keadaan rumah ini dan apapun yang berhubungan dengan Menur. Sangat ada hal mencurigakan, salah satunya tujuh benda aneh yang ada disekitar rumah ini. Benda itu sengaja diletakkan seseorang untuk menyakiti Menur”
“Maksudnya benda yang mas Cahyo jatuhkan di luar tadi?” tanya Tiko.
“Benar.. kalau kalian melihat benda seperti itu lebih baik segera bacakan doa dan dibakar” jawab Cahyo.
Cahyo menjelaskan, ada beberapa sosok yang merasuki Menur. Salah satunya sosok jahat kiriman seseorang dan salah satunya sosok yang mencoba menjaga Menur.
Pak Juwono masih terlihat khawatir. Kalau ucapan Cahyo benar, berarti ada orang yang berniat mencelakai Menur.
“Tunggu mas Cahyo, berarti ada yang berniat jahat terhadap Menur? Walaupun Menur sudah pulih ada kemungkinan lagi Menur akan celaka?” Tanya Pak Juwono.
“Betul Pak Juwono, maka itu saya masih di sini. Masih ada yang harus saya lakukan” ucap Cahyo.
“Apa? Apa itu mas?” tanya Pak Juwono.
“Ngentekno singkong goreng Mbok Tumi Pak! Ueenak tenan iki”
(Ngehabisin singkong goreng Mbok Tumi pak, enak banget ini) Ucap Cahyo dengan wajah polos sembari mencomot kembali singkong goreng hangat yang ada di hadapanya.
Sontak wajah Pak Juwono terlihat bingung. Berbeda dengan Pak Karyo yang mulai tertawa.
“Cahyo.. Cahyo, nggak beda jauh sama pakleknya. Pak Bimo juga seneng banget sama singkong goreng di desa sini lho” ucap Pak Karyo.
Cahyo berganti bercerita bahwa sebenarnya Pak Karyo sudah menghubungi kawanya Bimo sejak beberapa bulan lalu, namun beliau tidak ada kabar selama beberapa bulan termasuk dengan Cahyo. Baru saat ini Cahyo bisa ke tempat ini.
“Nah.. untung paklek nggak ikut, bisa jadi adu sandal di sini cuma gara-gara rebutan singkong goreng” balas Cahyo.
“Rebutan opo? masih banyak kok di dapur. Kalau kurang Mbok masakin lagi” tiba-tiba Mbok Tumi dan beberapa pembantu Pak Juwono datang lagi dengan membawa lauk yang sudah siap untuk dinikmati oleh mereka.
“Sudah, Pak Juwono tidak usah khawatir. Mungkin maksud Cahyo biar kita tenang dulu. Nikmati makanan yang ada supaya fisik kita juga pulih” ucap Pak Karyo.
Pak Juwonopun mengangguk, sepertinya ia mulai mengerti maksud Cahyo.
Setidaknya selama Cahyo berada di rumah ini, ia tidak perlu khawatir.
Mengetahui kondisi Menur sudah mulai tenang, Mbok Tumi meminta ijin Pak Juwono untuk membersihkan tubuh Menur dan mengganti bajunya.
Selama menikmati masakan Mbok Tumi, perbincangan-perbincangan santai terjadi diantara mereka. Mulai dari nasib dukun dukun tadi, hingga keadaan desa di sekitar tempat ini.
“Pak...”
Terlihat seorang perempuan berdiri di depan pintu dengan pakaian daster yang anggun.
“Me..Menur?” Pak Juwono tidak bisa mempercayai apa yang ia lihat. Semenjak kerasukan, ia tidak ingat kembali kapan terakhir Menur memanggil dirinya.
“Menur kamu sudah sehat?” Tanya Pak Juwono.
Menur menggeleng, Pak Juwonopun khawatir.
“Menur laper..”
Mendengar ucapan itu tersenyumlah mereka yang ada di ruangan itu. Cahyo segera bergeser dari tempatnya dan mengambilkan piring untuk diserahkan ke Pak Juwono.
“Sini Menur! Sambelnya Mbok Tumi Juwara! Kamu pasti kangen to?” Ucap Cahyo.
Menur segera mengambil piring yang diberikan ayahnya dan mengambil nasi dari ceting yang berada dihadapan mereka.
Semua orang takjub melihat perubahan Menur. Ia memakan dengan lahap dan mencoba hampir semua lauk yang ada di meja itu.
Hampir semua orang di tempat itu terdiam melihat kelakuan Menur. Tinggal Cahyo dan Menurlah yang terlihat menikmati makanan dengan lahap di sana.
“Mas, iki Menur tenanan wis mari opo makin kesurupan to? kok mangane koyo kesetanan?”
(Mas ini Menur beneran sudah sembuh atau semakin kesurupan sih? Kok makanya kayak kesetanan?) tanya Badrun yang heran dengan tingkah Menur. Bahkan piring di tangan Badrunpun tidak lagi tersentuh saking penasaranya dengan tingkah Menur.
“Hus, ora lucu Drun.. heran yo, tapi seneng aku ngeliatnya” (Hus, nggak lucu Drun.. heran ya, tapi aku seneng ngeliatnya) Balas Tiko.
Pak Karyo menggeleng melihat tingkah Menur dan Cahyo. Tapi ada satu hal yang membuatnya tersenyum.
Pak Juwono dan Mbok Tumi hampir tak berkedip menatap Menur dengan mata yang berkaca-kaca.
“Enak to?” Tanya Cahyo pada Menur.
“Jelas mas, masakan Mbok Tumi tuh legendaris! terbaik di desa” balas Menur.
“Kamu musti mampir ke Klaten tempat mas, masakan bulek juga nggak kalah dari Mbok Tumi”
“Tenan yo mas, bapak pernah janji mau ngajak Menur ke prambanan. Nanti Menur mampir..”
“Tak tungguin nur.. ajak Mbok Tumi sekalian biar adu ilmu antara bulek sama Mbok Tumi”
“Ealah mas, juru dapur disamain sama dukun piye to?”
Perbincangan kedua orang itu berhasil membuat suasana di rumah itu berubah. Masakan Mbok Tumipun habis tak bersisa. Tiko melihat pemandangan yang tidak pernah ia sangka saat membantu membereskan peralatan makan di dapur.
Mbok Tumi menitikkan air mata menahan rasa harunya melihat kepulihan Menur. Mungkin bagi Mbok Tumi yang sudah bekerja puluhan tahun di tempat Pak Juwono, Menur sudah seperti anaknya sendiri.
“Matur nuwun ya mbok, masakanya enak” ucapku sembari meletakkan piring-piring kotor itu di dapur dan segera meninggalkan tempat itu tanpa niat mengganggun waktunya.
***
“Lantas apa Menur akan kumat lagi mas Cahyo?” tanya Pak Juwono yang masih menyimpan kekhawatiran.
“Sulit untuk mencari siapa yang mengirim teluh dan ilmu hitam itu kepada Menur. Cara paling mudah adalah memancingnya?” ucap Cahyo.
Cahyo menceritakan bahwa ia sudah mengirim balik sosok makhluk yang mencoba menyakiti Menur ke pengirimnya.
Ketika gagal mendapatkan Menur, makhluk itu akan meminta nyawa pengirimnya sebagai gantinya.
Kalau rencana Cahyo berhasil, orang itu akan datang ke tempat ini sebelum tengah malam.
“Masalah besarnya baru dimulai malam ini, bisa saja orang itu mengerahkan semua ilmunya karena saat ini nyawanya terancam oleh peliharaanya sendiri” jelas Cahyo.
Penjelasan itu membuat seluruh orang yang mendengar menjadi was-was, namun raut wajah Cahyo yang terlihat tenang seolah membuat mereka merasa tidak ada yang perlu di khawatirkan.
“Pak Juwono, Mas Cahyo.. saya ijin mengikuti masalah ini sampai selesai ya. Sebenarnya tujuan saya di sini juga untuk mencari cara menyelamatkan desa saya” Tiko akhirnya mengutarakan tujuanya kepada Pak Juwono dan Mas Cahyo.
Sepertinya ia juga sudah percaya dengan kemampuan mas Cahyo.
“Masalah? Apa itu serupa dengan masalah Menur?” Tanya Pak Juwono.
Tiko mengangguk,
“Saya akan ceritakan nanti pak, saat ini kita fokus ke masalah Menur dulu saja. Entah mengapa saya merasa masalah ini juga berhubungan. Terutama semenjak roh di tubuh Menur mengetahui soal keris yang didapat dari sebuah sendang..” ucap Tiko.
Mendengar cerita itu Cahyopun menoleh. Sepertinya ia mulai menyadari masalah yang dialami Tiko bukan masalah sembarangan. Tapi ia setuju bahwa yang terpenting adalah masalah Menur yang ada di hadapan mereka saat ini.
***
Ucapan Cahyo menjadi kenyataan, menjelang tengah malam tiba-tiba mereka merasakan sesuatu yang mengusik mereka. Badrun dan Tiko yang hampir tertidur tiba-tiba terjaga dengan perasaan yang mengganggu mereka.
Cahyo, Pak Juwono, dan yang lainya memutuskan untuk keluar memastikan apa yang menantinya di depan rumahnya.
Benar saja, seorang kakek tua sudah berdiri tak jauh dari rumah Pak Juwono. Kakek itu menanti mereka dengan wajah penuh amarah.
Tubuh kakek itu terlihat aneh. Sebagian kulit wajah, tangan dan, kakinya menghitam secara tidak wajar. Itu seperti yang terjadi pada tubuh Menur sebelum ia pulih.
“Bocah tengik! Dadi kowe sing melu campur urusanku?!”
(Bocak tengik! Jadi kamu yang ikut campur urusanku?!) Teriak kakek itu.
Menur yang mendengar teriakan itu segera keluar memastikan siapa yang selama ini mencoba mencelakainya.
Saat melihat kakek itu, tiba-tiba Menur menutup mulutnya seolah tidak percaya.
“Kenapa Menur? Kamu kenal kakek itu?” Tanya Cahyo.
Menur menggeleng, namun ia sepertinya ingat akan sesuatu.
“Menur ingat, Menur hanya bertemu sekali dengan mbah itu sewaktu nyekar kuburan ibu. Tapi Menur sama sekali tidak tahu siapa dia” jelasnya.
Pak Juwono mengernyitkan dahi mendengar cerita Menur.
“Apa maumu dari Menur!” teriak Pak Juwono.
Kakek itu tersenyum dan semakin tertawa.
“Khekhekeh... Menur kuwi mirip cucuku, aku kangen. Aku mung pingin Menur iso dadi cucuku”
(Menur itu seperti cucuku, aku kangen. Aku hanya ingin Menur menjadi cucuku) Balas kakek itu.
“Ngapusi!” (Bohong!) Cahyo membantahnya. Iapun keluar dari rumah dan menghampiri kakek itu.
“Tatapanmu bukan tatapan seorang kakek yang sayang dengan cucunya, itu tatapan nafsu!” bantah Cahyo.
Kakek itu tertawa, sepertinya ia juga tidak membantah ucapan Cahyo. Pak Juwono dan Menur kaget mengetahui kenyataan itu.
“Biadab kau! Dia masih anak kecil!” teriak Pak Juwono.
“Tidak hanya Menur kan? Di sini banyak roh anak perempuan yang menanti agar kau menerima hukumanmu” ucap Cahyo.
Kakek itu melirik ke arah sekelilingnya. Memang sedari tadi Cahyo sudah sadar akan keberadaan roh anak perempuan, namun mereka hanya memandang dari jauh tanpa mendekat ke arah kakek itu.
“Ojo sombong kowe!! Demit sing mbok balekno wis tak pateni. Saiki Menur musti tak gowo”
(Jangan sombong kamu! Setan yang kamu kembalikan sudah saya habisi. Saat ini Menur pasti aku bawa) ucapnya.
Tidak asal bicara. Tiba-tiba Menur berteriak memegangi kepalanya, sesuatu kembali mencoba merasukinya.
“Menur!” Pak Juwono mulai kembali panik.
“Pak, masih ingat ayat-ayat suci yang saya ajari tadi?” Tanya Cahyo.
Pak Juwono mengangguk.
“Bacakan terus selama saya menghadapi dukun cabul itu, Menur tidak akan celaka selama mendengar ayat-ayat itu” ucap Cahyo.
Pak Juwonopun mengerti. Ia membawa Menur masuk sembari membacakan ayat-ayat suci dan doa yang diajarkan Cahyo.
Mbok Tumi, dan Pak Karyopun mengikuti bacaan Pak Juwono dan Menurpun berangsur-angsur kembali tenang.
Dukun itu membacakan mantra hingga muncul bola api di atas tubuhnya.
“Butuh satu nyawa untuk memanggil banaspati sebesar itu, kau sudah gila?” ucap Cahyo.
“Bukan urusanmu”
Kakek itupun melontarkan api itu untuk menyerang Cahyo, tapi Cahyo tidak gentar.
Dengan segenggam gumpalan tanah ia membacakan doa dan melemparkanya ke sisi yang jauh.
Banaspati itupun mengikuti arah tanah itu dan menyerangnya hingga menciptakan sebuah ledakan.
Cahyo semakin mendekat, namun dukun itupun juga sudah menyiapkan hal yang lain. Ada bayangan hitam di belakang dukun itu. Makhluk besar bermata merah dengan bulu yang basah.
“Khekehke... saiki kowe mesti tak pateni” (Khekehkeh.. sekarang kamu pasti mati) ucapnya.
Kali ini langkah Cahyo terhenti. Tiba-tiba tubuhnya terangkat seolah tercekik bayangan hitam yang ingin membanting tubuhnya.
“Wana... sura”
Suara raungan hewan buas terdengar meraung dihadapan dukun itu. Sontak sosok bayangan yang mencekik Cahyopun gentar. Ia segera membanting Cahyo namun Cahyo bisa mendarat dengan selamat berkat kekuatan wanasura yang merasukinya.
Cahyo tidak berniat mengurusi setan yang dipanggil dukun itu. Ia lebih memilih menendang Kakek itu sekuat tenaga hingga terpental.
“Brengsek!”
“Kali ini apa? Setan rawa?” Tanya Cahyo.
Dukun itu terlihat kesal ketika mengetahui seseuatu yang ia bawa tidak dapat menyaingi Cahyo.
“Habisi bocah ini! Tumbal itu kuserahkan agar kau bisa membunuh bocah itu!” teriak dukun itu memerintahkan setan itu.
“Tumbal lagi?”
Serangan makhluk itu kembali mencoba menangkap Cahyo. Namun kali ini Cahyo terlihat kesal.
“Wanasura! Pulangkan setan ini ke tempatnya!” Perintah Cahyo.
Seketika kedua lengan Cahyo terlihat berbeda seolah semakin kekar dengan roh wanasura yang merasukinya. Ia menghantam setan itu bertubi-tubi. Dukun itu tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Tidak! Tidak mungkin! Istriku sudah kutukarkan agar mendapatkan kekuatan setan itu!” tangis dukun itu.
Cahyo yang mendengarkanya semakin kesal, hingga ia membacakan mantra untuk melepaskan ikatan setan itu dari sang dukun.
Ada sebuah benda yang ia ambil dari tubuh setan itu sebelum akhirnya setan itu menghilang dari hadapan mereka.
“Edan, demit semengerikan itu bisa kalah begitu saja” ucap Badrun kagum.
Badrun dan Tiko tidak menyangka hal-hal mengerikan yang dibawa oleh dukun itu bisa selesai tanpa membutuhkan waktu lama oleh Cahyo.
Akhirnya dukun itupun putus asa, ia tidak berniat melakukan perlawanan apapun lagi. Sepertinya ia tidak punya cara lagi untuk melawan Cahyo.
Cahyo menghampirinya dan menyerahkan benda yang ia ambil dari tubuh setan itu.
Sebuah tengkorak manusia..
“Ini istrimu? Kamu tega menumbalkan orang yang mendampingimu hingga tua hanya demi memenuhi nafsumu?”
Cahyo menari baju dukun itu dan terlihat ingin menghajarnya. Sebelum itu terjadi, tangis dukun itu meledak seolah memberi tahu Cahyo akan rasa penyesalanya.
“Ada cara lain untuk mendapatkan apa yang kau inginkan tanpa memberikan tumbal” ucap Cahyo sebelum meninggalkan dukun itu.
“Apa itu?” tanya dukun itu.
“Do’a ..”
Cahyo segera menjatuhkan dukun itu dan berpaling meninggalkannya yang masih menangisi tengkorak istrinya. Pengaruh setan dan nafsu telah menutup hati dukun itu dan membuatnya tidak menyadari bahwa ada seseorang yang seharusnya ia jaga dan menyayanginya semasa hidupnya.
Ia justru menjadikanya sebagai tumbal untuk mengejar nafsunya.
“Sendang Banyu Getih..”
Tiba-tiba dukun itu mengucapkan sesuatu.
Cahyopun berhenti dan menoleh ke arah dukun tua itu.
“Ada sesuatu yang jahat dari sendang itu yang mempengaruhi saya. Kau bisa mendapatkan apapun sesuai dengan apa yang kau persembahkan” dukun itu berkata dengan penuh penyesalan.
“Jangan sampai ada orang lain yang bernasib seperti saya...”
Sebelum Dukun itu melanjutkan pembicaraanya tiba-tiba terlihat sebuah keris melayang menghujam jantungnya. Sebuah cepeti melilit lehernya dan taring hewan buas melayang menusuk bagian tubuh dukun itu.
Dengan sebuah tarikan, cemeti itu memisahkan kepala dukun itu dari tubuhnya.
Cahyo kaget dengan kejadian itu. Ia yang tidak sempat bertindak untuk menolong dukun itupun merasa geram.
“Keluar !” Teriak Cahyo.
Ada beberapa bayangan dari arah serangan itu. Cahyo tahu dengan jelas bahwa ini adalah ulah dukun-dukun yang sebelumnya gagal mengalahkan sosok di dalam tubuh Menur.
“Kami tidak ada urusan denganmu, itu hanyalah hukuman atas perbuatan dedemit suruhanya pada kami tadi” ucap salah satu dari mereka yang segera meninggalkan tempat ini.
Cahyo tidak sempat mengejar mereka. Ia hanya bisa mendoakan jasad dukun tadi dan menguburkanya dengan layak.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya