Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SENDANG BANYU GETIH (Sendang Air Darah) (Part 1) - Desa Ini Dikutuk

Gemericik air seolah memanggil seseorang untuk mendekat ke dalam hutan.
Siapapun tidak akan menduga akan apa yang ia temukan.
Sebuah sendang dengan air berwarna hitam..


JEJAKMISTERI - Ada hal mengerikan yang tidak mereka sadari di sana, sebuah kenyataan bahwa sudah ada ratusan mayat terbaring di dasarnya..

Sendang Banyu Getih...

Prolog
Terlihat seorang pria berjalan memasuki rimbunya hutan yang hampir jarang sekali di jamah oleh manusia.
Wajah dan pakaianya begitu lusuh. Terlihat ruam di matanya bersama bekas luka dan darah yang menjadi riasan di sekitar pipinya.

Suara langkah kakinya berdampingan dengan sesuatu yang ia seret sambil tertatih. Isak tangis terdengar dari setiap langkah yang ia lalui. Namun seperti lembaran yang sudah mengerak, sudah tidak ada lagi air mata yang bisa menetes di pipinya.

Pria itu terhenti di sebuah sendang di tengah hutan. Entah dari mana sendang itu mendapatkan airnya, namun hitamnya warna permukaan sendang itu seharusnya membuat setiap manusia menjauhinya.

“Ini bayaran atas permintaanku” ucap pria itu seolah berbicara dengan sesuatu yang ada di sendang.
Tak ada jawaban apapun selain riak air yang tercipta dari pertemuan antara angin dan permukaan air hitam itu. Walau begitu, pria itu percaya ada yang mendengarkan ucapanya..

Tawa makhluk-makhluk itu hanya pria itu yang menangisi perbuatanya. Entah apapun alasanya, pertukaran sudah terjadi dan tidak bisa dibatalkan.

***

Intermezzo :
Di Beberapa daerah, warga masih mengkeramatkan beberapa Sendang yang memiliki berbagai kisah di belakangnya.

Tak jarang banyak warga yang mendatangi sendang tersebut untuk mencari peruntungan dengan dipandu oleh paranormal.




Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu tempat, tapi juga berbagai Sendang yang memiliki latar cerita mistis.

Bukanya menjauhi, orang-orang yang mengharapkan keuntungan dengan instan malah kerap kali mendatangi tempat seperti ini tanpa tahu konsekuensinya




Namun tak hanya selalu soal pesugihan atau pengasihan.
Beberapa sendang juga dipercaya bahwa airnya diyakini bisa menyembuhkan berbagai penyakit.

Apapun itu, semua memang diluar nalar manusia.




Dan kisah ini akan menceritakan salah satu dari sendang-sendang itu yang berada di salah satu tempat di Jawa Timur.

Semoga kisah ini bisa sedikit membuka mata kita untuk lebih bijaksana dalam menanggapi fenomena keberadaan Sendang Keramat di sekitar kita.




Part 1 - Desa ini Dikutuk

Sudah hampir lima tahun aku berpindah ke ibukota bersama dengan seluruh keluargaku. Semenjak Bapak mendapat penempatan kerja disana, hampir tidak ada alasan untuk kami sekeluarga untuk pulang kampung ke desa kelahiranku itu.

Desa Banyujiwo, itulah nama desaku. Sebuah desa yang terletak di selatan Jawa Timur. Bukan desa yang terkenal, namun desa ini sesekali masih menjadi tempat singgah bagi pelintas jalur antarkota yang melewati jalur selatan.

Saat ini aku masih menikmati pemandangan dari jendela bus yang kutumpangi. Sudah sangat jarang aku melihat jalan dengan jalur-jalur pegunungan yang dipenuhi pepohonan yang masih hijau.

Sayangnya jalur pegunungan yang penuh tikungan ini kadang membuat kepalaku sedikit tidak nyaman.

Bukanya tanpa alasan aku seorang diri memutuskan untuk kembali ke desa, salah satunya karena rasa rindu dengan teman-teman masa sekolahku.

Tapi yang terpenting sudah satu tahun ini hampir tidak ada kabar dari desa. Entah karena mereka semakin sibuk atau memang sudah lupa terhadap keluarga kami.

“Terminal-terminal!” teriak kernet bus yang memberi aba-aba untuk penumpang yang akan turun.

Akupun bersiap dengan menurunkan tasku dan berjalan ke pintu sisi depan bus.

“Nek sampean wis ngroso ora penak, ndang lungo ninggalke tempat kuwi yo.. ojo kesuwen ning kono”
(Kalau kamu sudah merasa tidak enak, segera pergi tinggalkan tempat itu ya.. jangan terlalu lama di sana)

Tiba-tiba nenek yang duduk di kursi depan berbicara sembari menepuk pundakku.

“Ma..maksud mbah?” tanyaku.

Namun belum sempat berbicara lagi, bis sudah berhenti dan membukakan pintu untukku. Kernet buspun segera mempersilahkanku untuk turun bersama penumpang yang telah mengantri di belakang.

Aku masih penasaran dengan apa yang dimaksud oleh mbah itu. Tapi saat aku menoleh ke arah bis itu lagi, aku tidak bisa melihat keberadaanya di kursi depan tempat ia menepuk pundakku tadi.

Akupun tidak mau ambil pusing atas kejadian itu dan segera mencari angkutan umum untuk menuju ke desaku, desa Banyujiwo.
Perlu setengah jam perjalanan untuk bisa sampai di jalur menuju desa.

Tidak masalah, karena aku menikmati perjalanan itu sembari menikmati pemandangan kota yang nanti akan cukup sulit dijangkau bila sudah memasuki desa Banyujiwo. Pasalnya untuk sampai ke desa, aku masih harus menyambung dengan ojek dua kali tak yang bisa melewati jalur terjal.

Beruntung aku sampai saat hari masih siang, sudah ada beberapa tukang ojek yang bersiap mengantarku menunggu di ujung jalan setapak. Walau jalurnya sulit, tapi desa Banyujiwo tidak berdiri sendiri di tempat itu, ada beberapa desa lain yang bernasib sama dalam hal akses ke desa.

“Lha mase asli seko Banyujiwo to?” (Lha masnya asli dari desa Banyujiwo to?) Tukang ojek itu membuka pembicaraan.

“Iyo mas, nanging wis pirang taun ora mulih. Mbuh omahku saiki bentukane koyo opo” (Iya mas, tapi sudah berapa tahun tidak pulang. Nggak tahu rumahku sekarang bentuknya kayak apa).

“Tapi kalau masih ingat pulang itu sudah bagus lho, biasanya kalau sudah kenal gaya hidup ibukota sudah pada tidak mau lagi pulang ke sini” balasnya.

Perjalanan itu kami lalui sembari mengobrol hal-hal ringan agar perjalanan tidak terasa terlalu lama.
Menjelang maghrib, sampailah aku di gapura desa. Aku hampir tidak percaya pernah tinggal di desa ini selama belasan tahun.

Tulisan Nama desa masih belum berubah, hanya saja ada bekas hiasan-hiasan baru sisa-sisa dekorasi acara kemerdekaan.

“Matur nuwun yo mas” aku menyerahkan beberapa lembar uang untuk tukang ojek itu dan bersiap meninggalkanya.

“Mas..” tukang ojek itu memanggilku lagi.

Kali ini ia mengernyitkan dahinya seolah mengingat-ingat sesuatu.

“Masnya simpan nomor saya ya mas. Nanti kalau ada apa-apa telepon saya saja, biar saya jemput” ucapnya.

Sebenarnya aku mau menganggap ucapan itu sebagai promosi jasanya.

Tapi raut wajahnya terlihat bahwa bukan itu saja maksudnya.
“Memangnya ada apa mas?” tanyaku.
Tukang ojek itu berusaha mengingat sesuatu. Dari raut wajahnya sepertinya itu bukanlah hal yang baik.

“Beberapa bulan lalu saya pernah mengantar seseorang ke desa ini. Dia bukan warga desa Banyujiwo. Nah, pas menjelang tengah malam tiba-tiba dia menelpon saya berkali-kali dan meninggalkan pesan untuk dijemput” Tukang ojek itu memulai cerita.

“Terus mas?”

“Saya tidak mengangkatnya karena sudah ketiduran. Paginya saya telpon balik, nomornya sudah tidak aktif. Dan pas saya mengantar orang ke desa ini, saya tanyakan tentang orang itu namun sama sekali tidak ada petunjuk mengenai keberadaanya”

Aku mengernyitkan dahi mencoba mencerna cerita tukang ojek itu.

“Menghilang? Diculik atau bagaimana mas?” tanyaku.

“Ndak tahu, sampai sekarang masih menjadi misteri. Yowis saya pamit dulu ya mas, keburu gelap” balasnya.

Aku hanya menggeleng mendengar cerita orang itu. Orang menghilang di desa ini? seumur-umur aku hidup di desa ini, aku belum pernah mendengar cerita tentang hal itu. Tapi, tidak ada salahnya aku menyimpan nomor orang itu untuk mengantarku pulang nanti.

***

“Mas Tiko?” tanya seorang pemuda yang kebetulan melihat kedatanganku sembari melintas.

“Eh.. i...iya, sebentar.. Pak Sukoco bukan?” tanyaku sembari mengingat-ingat wajah orang itu.

“Ealaah... suwi ora mrene nganti pangling aku” (Ealah.. lama nggak kesini sampai pangling kau) ucapnya sembari memperhatikanku dari ujung kaki ke ujung kepala.

“Ke rumah kan? Ayo saya antar. Tenang saja, rumahmu dirawat sama Mbah Sagimin kok, Jadi masih layak tinggal” lanjutnya.

“Eh iya Pak, matur nuwun yo.. kangen aku sama Pak Sukoco sama warga yang lain juga” balasku.
Pak Sukoco memang cukup dekat dengan keluargaku saat masih tinggal disini.

Selain sering membantu bapak mengurus kebunya dulu, Pak Sukoco juga paling bisa diandalkan untuk membantu bapak membereskan masalah rumah seperti genteng bocor dan sejenisnya.

Seingatku ia mempunyai seorang anak perempuan. Srintil namanya. Mungkin saat ini ia sudah sekolah di tingkat SMA.

Mengetahui kedatanganku, beberapa warga menyambutku dan menanyakan keadaan bapak dan ibu di ibukota.

Sementara itu Pak Sukoco membantu mencarikan Pak Sagimin yang memang dipercaya bapak untuk mengurus rumah keluarga kami.

“Ngapunten Mas Tiko, ngenteni suwi yo?” (Maaf Mas Tiko, nunggu lama ya?) ucap Mbah Sagimin yang tergesa-gesa membukakan pintu rumah untukku.

“Boten mbah, santai mawon. Kulo yo isih nostalgia, menikmati suasana ning deso iki meneh” (Nggak mbah, santai saja. Saya ya masih nostalgia menikmati suasana di desa ini lagi) Balasku.

Dia adalah Mbah Sagimin, orang kepercayaan bapak. Umurnya mungkin sudah lanjut, tapi keberadaanya masih sangat berarti buat desa.

Aku kembali ke rumah tempat tinggalku sejak kecil. Benar kata Pak Sukoco, rumah ini benar-benar terawat tidak seperti ditinggal selama lima tahun.

Setidaknya listrik masih menyala, setidaknya aku bisa menyalakan lampu untuk tidur nanti malam dan menonton televisi tabung yang kulihat masih rapi di lemarinya.

“Setiap malam selasa dan malam kamis saya tidur di sini Mas, anak-anak juga sering saya ajak mampir sambil bersih-bersih sesuai amanah bapak dulu” jelasnya.

“Iya mbah, matur nuwun. Saya jadi tidak usah repot beres-beres rumah dulu” balasku sembari tersenyum.

Aku cukup lega, kukira saat sampai di rumah aku akan disambut dengan tumpukan debu dan sarang laba-laba yang melintang. Namun berkat Mbah Sagimin, semua itu tidak terjadi.

“Sebenarnya kami yang berterima kasih Mas. Bapak sudah mengijinkan saya dan warga untuk menggarap tanah bapak. Bahkan bapak tidak meminta sedikitpun dari hasil garapanya.

Setidaknya saat ini hanya inilah yang bisa kami lakukan untuk balas budi” ucap Mbah Sagimin.

Aku tersenyum mendengar ucapan itu. Sebenarnya aku tahu bapak tidak berpikir sampai sejauh itu. Menurutnya lahan kebunya mungkin akan berguna untuk Mbah Sagimin dan yang lain daripada kosong dan dipenuhi tanaman liar.

Terlebih gaji bapak saat ini sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kami.

“Pokoknya saya tetep berterima kasih sama Mbah Sagimin.” Balasku.

“Sama satu lagi Mas..”

Mbah Sagimin seolah sedikit ragu untuk berbicara.

“Kenapa Mbah?”

“Ngapunten, saya malam ini ada urusan. Jadi tidak bisa menemani Mas Tiko tidur di rumah”
“Owalah, aku kira apa Mbah” balasku.

Sebenarnya memang ada sedikit rasa takut untuk tinggal sendirian di rumah yang sudah lama tidak kutempati.

Tapi seharusnya aku bisa mengatasi masalah itu.
“Besok pasti saya temani mas, tapi tolong sebisa mungkin menjelang tengah malam Mas Tiko jangan keluar rumah ya..” ucap Mbah Sagimin dengan wajah serius.

“Saya memang tidak ada rencana keluar tengah malam mbah, tapi memang ada apa mbah?”

“Ti..tidak, pokoknya apapun yang terjadi menjelang tengah malam nanti tolong jangan keluar dari rumah. Saya pastikan rumah ini aman” Ucapnya lagi.

Tingkah laku mbah sagimin benar-benar mencurigakan. Tapi karena aku berpikir tidak ada rencana apapun malam ini, akupun mengiyakan ucapan Mbah Sagimin.

Iapun memasukkan rantang yang ia bawa dan menggelarnya di meja makan.

“Di rumah lagi masak seadanya Mas Tiko, sayur bayem sama tempe. Besok biar saya motong ayam. Sudah lama kan nggak ngerasain opor buatan istri saya?” ucap Mbah Sagimin.

“Wah.. terima kasih Mbah, nggak usah repot-repot.”

“Mboten repot kok mas, kulo sing seneng kedatengan Mas Tiko. Pokoke Monggo disekecake, kulo pamit riyen.”
(Nggak repot kok mas, saya yang senang kedatengan Mas Tiko. Pokoknya silahkan dinikmati, saya pamit dulu)

Aku menghantarkan Mbah Sagimin keluar rumah dan kembali masuk ke dalam untuk menikmati makanan yang dibawakan oleh Mbah Sagimin. Tidak menyangkal, sedari tadi suara perutku juga sudah mendayu-dayu mengharapkan ada yang bisa membungkamnya.

***

Suara rintik hujan sedikit mengganggu tidurku. Walaupun tidak deras namun beberapa kali suara getaran jendela terdengar dari angin yang berhembus membangunkanku.
Aku masih terus berusaha menutup mata untuk melanjutkan tidur, namun entah mengapa terasa begitu sulit untuk kembali terlelap.

“Dharrr!!”

Suara petir menggelegar berhasil mengagetkanku hingga terduduk. Seketika jantungku berdetak begitu kencang dan memaksaku untuk mengatur nafasku.

“Mas...”

Samar-samar aku mendengar ada suara seorang anak perempuan yang memanggil. Tapi ini sudah tengah malam, mana mungkin ada suara anak perempuan di sekitar sini?

***

“Mas tolong...”
Kali ini suara itu terdengar bersamaan dengan tangisan.

Suaranya terdengar lirih seolah benar-benar meminta pertolongan.
Aku yang penasaran segera beranjak dari kasurku dan mencari asal suara itu.

“Khikhikhi...”
Terdengar suara anak perempuan lagi. Tapi kali ini ia tertawa kecil.

Tak lama setelahnya terdengar suara langkah kaki yang berlari kecil.
“Siapa itu?” teriakku memastikan, namun sama sekali tidak ada jawaban.

Aku beberapa kali mencari asal suara-suara itu tapi nihil. Merasa cukup lelah, akupun memutuskan untuk kembali ke kamar.

***

“Mas....”

Kali ini terdengar sangat jelas. Suara itu berasal dari luar jendela.
Akupun membatalkan niatku kembali ke kamar dan berbelok ke arah jendela ruang tengah dimana asal suara itu berada. Aku menempelkan telingaku memastikan apakah masih ada suara?

Kali ini telingaku benar, terdengar suara tangisan dari sisi luar jendela.
Dengan segera aku membuka jendela kayu itu dengan susah payah. Engselnya sudah berkarat hingga aku harus menggoyangkan beberapa kali hingga daun jendela itu bisa terbuka.

***

Seorang anak perempuan berambut panjang berdiri beberapa meter di hadapanku. Ia mengenakan daster putih yang sudah sangat lusuh dan basah. Anehnya sebagian kulitnya menghitam dan samar-samar aku mencium bau yang tidak enak.

“Kowe sopo dek? Kok iso ono ning kene?” (Kamu siapa dik? kok bisa ada di sini?) tanyaku penasaran.

Anak perempuan itu tidak menatapku, ia hanya berdiri merunduk menutupi wajahnya dengan rambutnya dibawah rintikan hujan sembari terisak.

“Dek..” aku memastikan sekali lagi.

Tiba-tiba anak perempuan itu berhenti menangis. Perlahan ia mulai menatapku, namun ada yang aneh. Samar-samar aku melihat anak wanita itu menyeringai.
Saat itu juga tubuhku merinding merespon senyumanya.

Naluriku seolah menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan anak perempuan itu.
Akupun mundur dan bersiap menutup jendela untuk pergi, namun anak itu malah berjalan perlahan untuk mendekat.

Hawa dingin yang menyelimutiku seolah memerintahkanku untuk meninggalkan wanita itu untuk pergi. Namun sebelum itu terjadi, perlahan terdengar suara kegaduhan mendekat ke arah sini.

“Brakk!”
Sebuah benda melayang disusul dengan cairan yang bermuncratan ke wajahku.

Aku mengusapnya perlahan dan mendapati bahwa cairan itu adalah darah.
Sontak aku menoleh ke arah benda itu dilemparkan.
Sebuah kapak melayang menghantam kepala anak perempuan itu. Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Seorang anak perempuan dengan kapak menancap di kepalanya.

“Aaa... aaarrghh”
Aku panik! Namun setelahnya terdengar suara seseorang berlari menyusul arah kapak itu.

“Jangan keluar dari rumah itu!” Teriaknya.
Aku mengenal suaranya. Itu adalah Mbah Sagimin. Ia menatapku dengan mata serius dan kembali menyusul anak perempuan itu.

“Mbah! Apa-apaan ini?” tanyaku.
Ia tidak menjawab, sebaliknya pemandangan mengerikan kembali terlihat dihadapanku.

Anak perempuan itu bangkit berdiri!
“Khikhihkhi.....“

Ia tertawa... Anak perempuan itu berdiri dengan kepala yang tertancap kapak sambil tertawa! Tapi Mbah Sagimin tidak menunggu lama. Ia mengambil lagi kapak di kepala anak perempuan itu dan membelah tubuhnya berkali kali.

“Mbah! Sudah mbah! Sudah!!” teriakku yang tidak mampu melihat pemandangan itu.
Setelah memastikan anak wanita itu tidak bergerak, Mbah Sagimin menyeret tubuh anak perempuan itu dan meninggalkan rumah.

“Mbah! Apa maksud ini semua?” Aku memaksanya menjawab, namun sepertinya ia tidak berniat menjelaskan.

Dengan terpaksa aku berlari ke arah pintu rumah, dan bermaksud menyusulnya.

“Sudah kubilang! Jangan tinggalkan rumah.

Mereka tidak akan memasuki rumah itu” teriak Mbah Sagimin dengan wajah beringas, sangat berbeda dengan tadi.

“Nggak Mbah... pokoknya jela...”

Belum sempat menyelesaikan kata-kataku tiba-tiba terlihat beberapa anak perempuan berbaju kumal dengan tubuh yang seolah membusuk berlarian memasuki desa. Mereka terlihat seolah ingin menikmati suatu permainan.

“Paaakk! Tolong pak!!” terdengar suara seorang ibu yang berteriak keluar rumahnya. Ia keluar dengan sesosok anak perempuan lainya yang menggigiti tubuhnya dengan beringas hingga beberapa bagian tubuh ibu itu terluka cukup parah.

Mbah Sagimin yang melihat hal itu segera menghampiri ibu itu. Dan melempar kembali kapaknya ke anak perempuan itu. Pemandangan mengerikan terjadi kembali dihadapanku.

Aku menoleh ke arah anak-anak wanita yang memasuki desa tadi.

Mereka sudah berhadapan dengan warga desa lain yang juga membawa kapak, alat pemukul, pisau, dan semua benda yang bisa dijadikan senjata.
Hal yang sama dilakukan oleh warga desa kepada anak-anak perempuan itu.

Mereka dibantai dengan sadis oleh warga desa, namun anehnya anak-anak aneh itu masih bergerak mencoba meronta dengan kondisi itu.
Suara tawa anak wanita terdengar dari seluruh penjuru desa.

Namun suara itu segera menghilang saat kepala makhluk-makhluk itu bisa dipisahkan oleh warga desa.

“Gerobaknya sudah di Gapura!” Teriak salah seorang pemuda yang berlari dari arah gapura..
“Fajri?”

Aku melihat pemuda yang wajahnya tidak asing untukku. Dia seperti teman sekolahku dulu.

“Fajri! Kamu Fajri kan?” Aku berlari meninggalkan rumah dan menghampiri pemuda itu.

“Eh... lho! Tiko? Kok?” Fajri terlihat bingung dengan keberadaanku.

“Apa maksudnya ini Jri? Anak perempuan ini siapa?” tanyaku yang tidak sabar menginginkan penjelasan.

Fajri masih merasa canggung denganku, sementara itu Mbah Sagimin menghampiriku sembari membawa jasad anak perempuan yang sudah ia habisi.

“Mas Tiko! Masuk kerumah, saya sudah meminta orang untuk memasang perlindungan di rumah itu” ucapn Mbah Sagimin.

Aku menggeleng, saat ini sudah ada banyak warga desa yang keluar. Aku harus bisa memastikan apa yang terjadi saat ini.

“Nggak Mbah! Ini semua apa? Anak-anak perempuan ini siapa?” Tanyaku.

Mbah Sagimin meletakkan jasad anak-anak perempuan itu di gerobak di gapura. Beberapa warga menyusulnya sembari bersiaga akan kedatangan sesuatu yang lain.

“Sudah Tik, nanti aku jelasin. Kamu berlindung saja dulu. Biar kami ngurusin makhluk-makhluk ini” ucap Fajri.

Aku tidak puas, dan berharap penjelasan saat ini juga.

“Sudah penuh Fajri! Bawa dulu ke sana...” ucap Pak Sukoco yang ternyata juga ikut melakukan hal serupa.

Kali ini ia tidak seramah tadi sore, ia hanya melirikku sebentar dan kembali membantu warga lain.

“Jri! Tolong Jri.. Jelasin ke aku!” paksaku.

“Aaarghh.. ya sudah, ikut aku! Itu di gerobak ada linggis, pegang buat jaga-jaga” ucap Fajri.

Akupun menuruti perintahnya untuk mengambil linggis diantara beberapa jasad anak perempuan yang terbaring seperti bangkai di gerobak yang dibawa Fajri.
Gila.. baunya benar-benar menjijikkan, bau itu seperti bau daging yang sudah sangat membusuk.

Di tengah rintikan hujan aku dan fajri mendorong sebuah gerobak yang ukuranya tidak biasa ke arah hutan. Aku menebak, gerobak ini sengaja dibuat untuk hal seperti ini.

"Jasad ini mau dibawa kemana Jri? Dikubur?” Tanyaku.

“Kubur? Nggak Tik. Kami pernah mencoba mengubur mereka, tapi malam berikutnya mereka kembali lagi ke desa” Jelas Fajri.

Sontak aku menoleh kearahnya.

“Kembali? Maksudnya jasad-jasad ini hidup lagi?” Tanyaku.

Fajri mengangguk, kali ini ia benar-benar berniat menjelaskan kepadaku.

“Kejadian dimulai sekitar dua tahun yang lalu. Kami warga desa sampai saat ini belum tahu apa penyebabnya dan mengapa bisa seperti ini” ucapnya.

Menurut Fajri, sekitar dua tahun yang lalu tiba-tiba ada anak-anak seperti ini yang mendatangi desa. Anehnya mereka terlihat mengenakan baju yang sudah sobek dan kulit yang menghitam. Terlebih mereka membawa bau busuk.

Di tengah malam mereka memasuki rumah ke rumah dan menyerang siapapun saat mereka terlelap. Ada yang digigit hingga telinganya putus, ada yang dagingnya terkoyak, ada yang bola matanya hampir tercungkil, dan yang paling banyak besoknya banyak warga yang terserang penyakit.

Di malam itu warga menangkap makhluk-makhluk berwujud anak kecil itu dan mengikatnya. Anehnya saat matahari subuh mulai bersinar anak-anak perempuan itu mati. Mereka seperti jasad yang sudah membusuk sangat lama.

Warga memutuskan untuk mengubur jasad itu di pinggir hutan. Mereka pikir masalah sudah selesai saat itu. Tapi ternyata mereka salah.

Di malam berikutnya, hujan turun dengan deras. Hal yang tidak bisa dipercaya terjadi lagi saat itu.

Anak-anak ini bangkit dari kuburnya dan kembali ke desa di tengah derasnya hujan.
Sekali lagi malam mengerikan terjadi di desa Banyujiwo. Ada beberapa warga yang menjadi korban, salah satunya adalah Anak pak Sukoco.. Srintil.

Ia meninggal dengan mengenaskan saat Pak Sukoco sedang membantu warga lain menangkap makhluk-makhluk ini. Srintil meninggal di rumahnya dengan tubuh yang tercabik cabik, dan kepalanya yang menghilang.

Esoknya Warga segera mencari bantuan orang-orang pintar untuk menangani masalah ini, namun hampir tidak ada satupun yang bisa mengatasi. Sampai ada salah satu orang pintar yang mendapat petunjuk.
Jasad-jasad ini harus dibuang di Sendang Banyu Getih yang berada di dalam hutan.

Cerita Fajri terhenti tepat saat kami tiba di sebuah sendang yang berada di tengah hutan. Sendang dengan air yang berwarna hitam pekat yang menyatu dengan akar-akar pohon kering. Aku mencium bau menyengat dari sendang ini.

“Ini yang dimaksud Sendang Banyu Getih?” Tanyaku.

Fajri mengangguk, ia mendekatkan gerobaknya ke pinggir sendang itu dan bersiap menghanyutkan jasad jasad anak perempuan tadi ke dalam sendang. Aku mencoba membantu sebisaku. Bau dari jasad-jasad dan sendang ini benar-benar membuatku merasa mual.

“Kalau memang sudah pernah melakukan itu, kenapa anak-anak ini bisa kembali lagi ke desa?” Tanyaku.

“Aku nggak tahu Tik, tapi makhluk-makhluk itu kembali bangkit tiap malam-malam tertentu. Sesepuh desa seperti Mbah Sagimin yang mengerti hitunganya.” Ucapnya.

Aku masih benar-benar tidak percaya dengan semua cerita ini. Setelah menghanyutkan semua jasad ke sendang itu, kamipun kembali ke desa. Kami berpapasan dengan sebuah gerobak lagi yang dibawa warga desa lain yang juga berisi jasad serupa, sepertinya tidak cukup satu gerobak saja untuk membawa jasad anak-anak yang menyerang desa ini.
Saat sampai di desa, aku menyaksikan wajah warga desa yang lelah bercampur bingung.

Akupun tidak ingin menambah beban mereka dan memilih untuk kembali ke rumah dan berbicara dengan mereka besok.

“Sesok tak mampir Tik, kowe musti akeh sing arep ditakokke”
(Besok tak mampir Tik, kamu pasti banyak yang mau ditanyakan) ucap Fajri.

Aku mengangguk dan kembali masuk ke dalam rumah. Tidak ada yang ingin kulakukan lagi saat itu selain membersihkan diri dan kembali tidur. Mungkin saja bila besok ada yang mengatakan kejadian malam ini adalah mimpi, aku akan percaya.

***

“Desa ini dikutuk...”
Mbah Sagimin membuka pembicaraan dengan sebuah kalimat yang seketika membuatku merinding.

Fajri juga hadir di sini bersama Pak Sukoco. Mereka sengaja ingin menjelaskan ini semua kepadaku pagi ini.

“Maksud Mbah Sagimin? Dikutuk bagaimana?” Tanyaku.

Mbah Sagimin menggeleng, sepertinya ia juga tidak mengetahui penyebab kutukan itu. Sama seperti yang Fajri ceritakan semalam.

“Tidak ada yang tahu Mas Tiko, selama dua tahun ini kami hanya bertahan dari hal-hal seperti semalam tanpa tahu penyebabnya dan tanpa tahu cara menyelesaikanya” Jelas Mbah Sagimin.

“Tanggapan orang pintar selalu berbeda-beda. Ada yang bilang ada warga desa yang melakukan pesugihan, ada yang bilang warga desa melanggar tabu... ah mbuh mas” tambah Pak Sukoco.

Fajri tidak berniat menambahkan, sebaliknya ia hanya menyeruput kopi hitam yang baru saja dibuatkan oleh Mbah Sagimin.

“Sudah lapor polisi?”

“Justru polisi yang pertama kali kami hubungi saat desa ini diserang. Namun mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa.” Ucap Mbah Sagimin.

Memang masuk diakal, tidak mungkin seorang polisi melakukan hal sebrutal yang dilakukan warga desa kemarin. Bahkan bila ada polisi, mungkin warga desalah yang akan ditangkap.

“O iya pak sukoco, saya turut berbela sungkawa ya atas kepergian Srintil” ucapku.

“Terima kasih Mas Tiko, maaf saya tidak berani untuk cerita” balasnya.

Perbincangan pagi itu menceritakan hampir semua yang sudah diceritakan oleh Fajri kemarin.

Menurut mereka, saat ini sudah ada orang pintar yang membantu menangkal serangan makhluk itu namun hanya beberapa rumah yang bisa terlindung karna syarat yang dibutuhkan cukup sulit. Tapi menurutku hal itu bukanlah solusi jangka panjang.

Siangnya, akupun memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada bapak.

***

“Sendang Banyu Getih? Bapak tidak pernah menyangka warga desa akan ke tempat itu lagi” ucap bapak heran.

“Iya pak. Menurut orang pintar yang membantu warga, hanya cara itu yang bisa menahan makhluk-makhluk itu” balasku.

Bapak terdengar menghela nafas. Dari suaranya ia sepertinya juga tidak menyangka akan mendengar berita seperti ini dariku.

“Tapi keadaan warga desa bagaimana? Mbah Sagimin? Pak Sukoco? Temen-temenmu?” Tanya bapak.

“Baik pak, tapi anak Pak Sukoco juga jadi korban tahun lalu. Si Srintil..” jawabku.

Bapak cukup kaget mendengar kabar itu. Pasalnya saat masih tinggal di sini, Srintil kecil sering main ke rumah dan bermain dengan bapak dan ibu.

“Kita harus bantu warga desa Le, coba kalau kamu ada kenalan orang yang bisa membantu.

Bapak juga sambil mencari informasi dari sini. Kalau masalah bayaran nanti bapak siapin” ucap bapak.

Aku cukup senang mendengar reaksi bapak. Tapi seperti cerita Mbah Sagimin tadi, sudah banyak orang pintar yang ke sana namun masih saja gagal.

Apa aku dan bapak bisa mencarikan orang yang bisa menyelesaikan kutukan di desa ini?

***

“Mas mau coba ke desa Bonomulyo ga? Di kota sebelah” ucap tukang ojek yang mengantarku kemarin.

Ia memang sengaja kuhubungi untuk mengantarku ke kota untuk mencari informasi tentang kejadian semalam ke polisi setempat. Namun benar ucapan warga desa, mereka seperti pura-pura tidak tahu dengan kejadian itu.

“Bonomulyo? Ada orang pintar di sana?” Tanyaku sembari menyeruput kopi di warung kopi rekomendasi dari tukang ojek itu.

“Bukan mas, di sana sedang ada kejadian yang nggak kalah serem. Ada anak seorang juragan kaya yang kerasukan bertahun-tahun” ucapnya.

Aku bergidik ngeri mendengar cerita itu.

“Terus hubunganya apa?”

“Nah.. juragan ini seperti sedang membuat sayembara. Mereka mengumpulkan orang pintar, pemuka agama, dukun, atau apapun yang bisa menyembuhkan anaknya. Nggak main-manin hadiahnya sawah lima hektar” jelasnya.

Aku mulai mengerti maksudnya, mungkin bila bisa menangani masalah anak juragan itu, bisa saja dia juga bisa mengangani permasalahan di desa Banyujiwo ini.

“Kayaknya nggak ada salahnya dicoba, lha masnya mau nganterin ga?” Tanyaku.

“Lha nek aku siap tok to mas, sing penting bensin pite mbek supire aman” (Lha kalau aku siap donk mas, yang penting bensin motor sama supirnya aman) Jawabnya.

“Tenang mas, kalau itu saya juga ngerti. Terus daritadi kita ngobrol penjang lebar, padahal saya aja belum tahu nama masnya” ucapku.

“Hehe.. panggil aja Mas Badrun. Tenang saja, kalau ke Bonomulyo nanti bisa numpang nginep di rumah bapak saya. Sekalian pulang kampung” balasnya.

“Owalah.. ada udang dibalik rempeyek to”

“Haha, nggak gitu mas kan sekalian. Seandainya masalah di desa itu bisa benar-benar bisa tuntas saya juga seneng mas.

Warga desa juga sudah banyak yang curhat ke saya. Kadang saya ikut sedih, tiap beberapa bulan pasti ada yang meninggal dengan tidak wajar.

Selama ini saya bertanya kepada warga Banyujiwo, namun mereka tidak pernah menceritakan dengan jelas. Entah karena malu akan keadaan desanya atau memang sedih untuk menceritakan lebih dalam.

Baru dari masnya ini saya dapet cerita jelas tentang keadaan desa Banyujiwo” jelasnya.

Aku menghela nafas mendengar ucapan Badrun saat itu. Bahkan dia yang tinggal tak jauh dari desa saja tidak tahu secara jelas tentang kutukan di desaku.

Mungkin saja bila aku baru datang hari ini, warga desa akan menyembunyikan tentang kutukan desa itu juga padaku.

Hari itu kuputuskan untuk meninggalkan desa Banyujiwo sementara. Semoga saja dengan mendatangi desa Bonomulyo aku bisa mendapatkan jalan untuk menyelamatkan desaku dari kutukan mengerikan itu.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close