Danan & Cahyo (Part 4 END) - Takdir Dua Alam
Sebelum sempat menghilang, tubuh Ki Walang Lunggowo terbakar dengan api hitam. Ia berteriak dengan keras dan mengumpat. Sepertinya Jagad dan yang lain juga berhasil mengalahkan makhluk itu di sana.
JEJAKMISTERI - “Kalian sudah mengerti?”
Tiba-tiba terdengar suara Yai Kulambang yang semakin lemah. Kami berlari mendekati sosok itu sekali lagi.
“Gunakan cara yang sama untuk mengalahkan Raden Darwana, kalian harus mengalahkanya di dua alam.
Hal itu hanya bisa dilakukan bila ada seseorang yang bisa merubah kedua bola mataku dan memisahkanya di dua alam dimana dua sosok raden berada.” Jelas Yai Kulambang.
Kami mencoba mencerna semua perkataan yang diucapkan Yai Kulambang.
Sepertinya ia tidak mampu bertahan lebih lama lagi.
“Saya sudah hidup ratusan tahun untuk menjaga makam Trah Biryasono, sampaikan salamku pada mereka seandainya kalian bertemu mereka”
Itu adalah ucapan terakhi Yai Kulambang. Setelahnya nafasnya terhenti tanpa ada sedikitpun gerakan di tubuhnya.
Perkenalan kami memang sangat singkat, namun keberadaanya benar-benar membuka jalan untuk kami.
Aku berdoa seandainya saja kami diberi kesempatan untuk bertemu lagi sekedar untuk mengutarakan terima kasih.
***
Kami tidak punya banyak waktu. Kematian Ki Walang Lunggowo memancing seseorang keluar dari kediamanya.
Seorang pria dengan pakaian jaman dulu yang sudah lusuh. Wajahnya begitu aneh seolah berganti-ganti dengan wujud setan-setan dan manusia. Tapi yang paling mengerikan, aku merasakan kekuatan besar dari dalam tubuhnya.
“Kliwon, Wanasura..” Cahyo memberi isyarat kepada kedua temanya itu.
Sementara kami berhadapan dengan raden, kedua kera raksasa itu menghancurkan satu persatu arca dan mencari benda yang diceritakan oleh Yai Kulambang.
***
“Kakek itu bisa mati juga” ucap sosok itu.
Aku benar-benar tidak bisa menggambarkan apa yang kami rasakan saat sosok itu mendekat. Semua terasa aneh. hawa dingin, suara yang tidak nyaman, ancaman, dan rasa waswas kami rasakan saat di dekat orang itu.
Paklek bersiap dengan keris sukmageni di tanganya. Itu memberi isyarat kepada kami untuk mengerahkan semua yang kami miliki.
“Tidak ada waktu untuk berbicara, satu-persatu nyawa sudah berjatuhan” Nyi Sendang Rangu terlihat cemas.
Aku dan Cahyo segera menerjang ke arah Raden Darwana. Keris yang telah kubacakan mantra membentuk kilatan putih dan menghujam tubuh makhluk itu tepat di dadanya, tapi tak sedikitpun ujung kerisku yang mampu melukainya.
Cahyo juga menggunakan mantra penguat raga andalanya dan mendaratkan sebuah pukulan yang sia-sia. Mengetahui hal itu kami kembali mundur, namun Raden Darwana menangkap kedua lengan kami dan membanting kami ke tanah.
Suara tulang yang retak terdengar dari tubuh kami bersamaan darah yang bermuncratan dari mulut kami.
Geni baraloka Paklek menyala menyusul sabetan keris Sukmageni yang juga gagal menembus tubuh Raden Darwana.
Sementara itu Nyi Sendang Rangu membawa tubuhku dan Cahyo untuk memulihkan diri.
“Hati-hait Paklek! Mundur!” peringatku.
Paklek tidak bergeming, ia masih terus berusaha melukai Raden Darwana dengan berbagai cara.
Setidaknya Paklek lebih lihai dalam menghindari serangan Raden Darwana.
Mulai merasa terganggu, Raden Darwana menyelimuti dirinya dengan asap hitam yang membuat lengan Paklek Melepuh,
“Kliwon!”
Cahyo memerintahkan Kliwon untuk menarik tubuh Paklek menjauh dari Raden Darwana.
“Jangan Nekat Paklek!” ucap Cahyo.
Paklek mengatur nafas sembari mengobati luka dilenganya. Aku melihat seluruh arca sudah hancur dan beberapa benda sudah dikumpulkan sesuai yang diceritakan Yai Kulambang.
***
“Nyai, tolong lindungi kami dan benda ini..” pintaku sembari memberi isyarat kepada Cahyo dan Paklek untuk kembali menyerang.
Paklek membakar kami dengan Geni Baraloka sementara aku dan Cahyo sudah menaiki tubuh kliwon.
Sekuat tenaga aku meminta Cahyo melemparkan tubuhku untuk melemparkan tubuhku hingga cahaya putih dari keris ragasukma melesat ke arah Raden Darwana.
Walau sedikit, kali ini seranganku berhasil menggores bahu Raden Darwana.
Ia terusik dan mencoba menangkapku, namun Cahyo sudah berada di atasnya menghujamkan pukulan wanasura sekuat tenaga.
Raden Darwana terpuruk...
Rupanya Cahyo masih menggenggam pusaka bola mata yang dibuatkan Mbah Jiwo.
Sepertinya ada sesuatu dari kekuatan benda itu yang membuatnya berdampak terhadap Raden Darwana.
Merasa ada kemungkinan menang, kamipun terus menyerang Raden Darwana tanpa henti. Sedikit demi sedikit luka mulai menumpuk di tubuh Raden Darwana.
Tapi tanpa sadar luka ditubuh kami juga semakin banyak.
Tanpa sadar lengan kami mulai menghitam. Kami tidak sadar bahwa perlahan indra kami mulai menghilang dan kulit kami mulai membusuk.
Tidak ada alasan untuk menahan kekuatanku. Akupun menggenggam keris ragasukma di hadapanku dan membacakan mantra yang diturunkan oleh leluhurku.
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...
***
Hujan deras turun di bawah langit alam itu. Aku bersiap akan kedatangan sosok yang membawa amanah Eyang widarpa untuk bersatu dengan tubuhku. Setidaknya dengan kekuatanya ada kesempatan bagi kami untuk mengalahkan Raden Darwana.
Tapi... tepat sebelum aku melanjutkan mantra itu, tiba-tiba muncul sosok yang sama sekali belum pernah kulihat dari dalam hujan itu.
Eyang Widarpa?
Pendekar Daryana?
Bukan..
Ia mengenakan pakaian kerajaan...
***
(Di Alam Manusia)
“Nduk! Kamu kenapa Nduk??!” Teriak seorang ibu yang gagal menahan anaknya untuk melompat dari atap rumah.
Tubuh anak itu sudah penuh dengan luka, namun matanya terus melotot dan menyeringai. Ia berusaha untuk membunuh dirinya sekali lagi.
Di sisi lain terdapat keributan antar warga yang ingin melompat ke jurang dan sebagian yang mencoba menahan mereka.
“Tolong... siapa saja tolong!” tangisan putus asa terdengar dari warga Desa Kulon yang mati-matian menahan anggota keluarganya untuk tidak bunuh diri.
Malam itu terasa sangat mencekam dengan berbagai sosok mengerikan yang tertarik dengan kejadian itu.
Bola api beterbangan di langit-langit desa bersama dengan roh penasaran yang tertarik dengan darah yang berserakan di desa itu.
Beberapa pocong suruhan dukun ilmu hitam sudah menanti di setiap pepohonan menunggu untuk menikmati sisa tumbal yang mampu meningkatkan kesaktian mereka.
Sayangnya, kejadian ini bukan ulah dari segelintir makhluk tadi.
Seseorang yang duduk di salah satu batu besar di mulut hutan menikmati pemandangan itu sembari menunggu setan suruhanya membawa jasad yang telah kosong ke hadapanya saat itu.
“Raden Darwana!!!” Teriak Guntur yang tidak mampu menahan emosinya saat melihat tumpukan mayat di hadapan Raden Darwana.
Mendampingi muridnya, Nyai Jambrong segera menyerang Raden Darwana secara bersamaan.
Namun sayangnya makhluk itu bukanlah manusia biasa, bahkan tanpa ilmu hitampun Raden Darwana juga merupakan pendekar terlatih.
Dirga tidak lagi menahan kekuatanya, ia memanggil kekuatan empat wujud keris dasasukmanya dan menyerang Raden Darwana.
“Itu Nyawa manusia! Kau tidak pantas berbuat seperti ini!” Teriak Dirga sembari meneteskan air matanya.
Jagad membantunya dengan meminjam salah satu wujud keris dasasukma milik Dirga.
Pertarungan empat lawan satu itu hanya terlihat seperti pertarungan seorang dewasa melawan empat anak kecil. Hampir tidak ada satupun serangan mereka yang mengenai Raden Darwana.
“Kalian tahu kalau kalian bisa kubunuh kapan saja?” ancam Raden Darwana.
“Yang menentukan ajal kami bukan kau!” Teriak Guntur.
Walau begitu, mereka sadar benar bahwa Raden Darwana bisa saja menghabisi mereka saat ini. Namun setidaknya mereka harus menahan makhluk itu untuk membunuh lebih banyak lagi.
Pertarungan semakin sengit hingga melewati tengah malam. Tidak ada sama sekali senyuman di wajah nyai jambrong seperti sebelumnya.
“Aku tidak mampu membayangkan hukuman yang kudapat atas dosaku setelah mati, sebaiknya kau pikirkan apa yang akan kau hadapi setelah ajalmu nanti” ucap Nyai Jambrong.
Raden Darwana menoleh kepada nyai jambrong, ia menangkap tanganya dan membantingnya tepat dihadapanya.
“Itu hanya terjadi jika aku mati kan? Sama seperti kau yang akan mati Sekarang” Ucap Raden Darwana yang menyelimuti tanganya dengan asap hitam dan bersiap menembus tubuh Nyai Jambrong.
Namun sebelum itu terjadi, Guntur, Dirga, dan Jagad segera menyerang pangkal lengan Raden Darwana secara bersamaan hingga seranganya meleset.
Secepat mungkin Jagad menyelamatkan Nyai Jambrong dan membawanya menjauh untuk mengatur nafas sementara Dirga mengalihkan perhatian Raden Darwana dengan kerisnya.
“Dirga tidak akan bertahan lebih lama bila menggunakan ilmu itu terus terusan” ucap Jagad.
Nyai Jambrong berdiri dan membersihkan tubuhnya dari debu tanah.
“Bocah, kalau di pertarungan ini terjadi apa-apa denganku. Tolong jaga murid dan cucuku” ucap Nyai Jambrong.
Jagad menoleh kearah nenek tua itu, ia membaca firasat bahwa Nyai Jambrong akan melakukan sesuatu yang berbahaya.
“Jangan nekad Nyai!” teriak jagad.
Namun Nyai Jambrong sudah melesat dengan cepat menuju Raden Darwana, ia berlari dengan langkah seolah melayang di atas udara.
“Guntur! Perhatikan ini!” Teriak Nyai Jambrong.
Sebuah tendangan mematikan mendarat di wajah Raden Darwana dan membuatnya terpukul mundur.
“Ada jurus-jurus bela diri di alam ini yang tidak kalah kuat dengan ilmu hitam” jelasnya pada guntur.
Samar-samar kami melihat pukulan Nyai jambrong menyerupai mulut harimau putih. Bahkan setiap pukulanya menyambung bertubi-tubi seperti bayangan serigala.
“Ilmu apa itu Mbah?” tanya Guntur yang kagum dengan serangan Nyai Jambrong.
“Saat kamu sudah menyelesaikan dasarmu, tingkat selanjutnya adalah menemukan bentuk jurusmu. Semua ini harus kau temukan sendiri” ucap nyai jambrong.
Guntur masih kagum melihat serangan Nyai jambrong, namun ekspresinya berubah saat mengetahui kekhawatiran Jagad.
Tidak seperti sebelumnya, Nyai Jambrong menerima semua serangan yang mengarah kepadanya untuk kembali menyerang
Guntur mengumpulkan tenaganya, kali ini ia membacakan sebuah ajian dan melesat.
Bukan ke arah Raden Darwana, melainkan ke arah Nyai Jambrong dan membawanya menjauh dari Raden Darwana.
“Bocah Goblok! Jangan ikut campur!” Teriak Nyai Jambrong.
Guntur tidak menjawab, ia memanggul tubuh nyai jambrong dan membawanya ke tempat yang aman dari serangan Raden Darwana.
Tepat saat menurunkan Nyai jambrong, guntur tersadar dengan seluruh baju nyai jambrong yang sudah penuh dengan darah.
“Cukup Mbah, sisanya serahkan pada kami..” ucap Guntur.
Nyai Jambrong tidak terima, ia bersiap berdiri kembali namun ia terjatuh. Ia tidak sadar satu kakinya telah patah.
“Mundur guntur, jangan ada yang mati..” Pinta Nyai Jambrong.
“Salah mbah, kalau kita mundur akan lebih banyak yang mati..”
“Tapi jangan kamu cucuku..”
***
Guntur mengusap air matanya tak mampu menatap tubuh gurunya yang mengenaskan itu.
“Hehe.. nggak mungkin donk murid pendekar Nyai Jambrong mati semudah itu” ucap Guntur sembari memaksakan tawanya sebelum meninggalkan tubuh Nyai Jambrong untuk kembali ke pertarungan.
***
“Jagad!”
Terdengar suara seseorang dari gelapnya hutan itu. Jagad mengenali bahwa itu adalah suara Mbah Jiwo. Ia menatap ke arah asal suara itu dan menemukan Mbah Jiwo bersama Pak Waja.
“Mbah Jiwo.. apa yang terjadi?”
Jagad terlihat khawatir dengan keadaan Mbah Jiwo. Ia terlihat semakin kurus, kulitnya menghitam dengan wajahnya yang pucat.
Pak Waja yang mengikuti Mbah Jiwo segera menghampiri Jagad.
“Gunakan waktu kalian, harus ada yang menjaga anak-anak itu” ucap Pak Waja yang segera mengambil wujud Rangda dan menyusul Guntur dan Dirga.
***
“Saya sudah mendengar dari Mbok Sar tentang kemampuan istimewamu..”
Jagad masih belum mengerti tentang apa yang dimaksud Mbah Jiwo.
“Sambara Penghancur Pusaka, ternyata aku pernah mendengarnya” tambah Mbah Jiwo.
Menurut Mbah Jiwo dulu ada seorang pendekar dari trah sambara yang mendalami ilmu pusaka hingga titik puncak.
Orang itu mampu memaksimalkan kemampuan pusaka yang ia gunakan.
Sekilas orang itu tidak menonjol seperti pendekar-pendekar dari trahnya. Namun saat ada lawan yang hampir mustahil untuk dihadapi, dialah yang akan maju ke garis depan.
Semakin hebat pusaka yang digunakan, semakin kuat juga serangan yang dapat ia lakukan. Sayangnya setelahnya pusaka itu akan hancur setelah daya hidupnya digunakan oleh pendekar itu.
“Maksud Mbah Jiwo, saya mewarisi ilmu dari orang itu?” Tanya Jagad bingung.
Sekilas Jagad memang selalu mengingat semua pusaka miliknya. Mulai dari pusaka biasa hingga pusaka keramat seperti Keris Benggolo Lanang, semua hancur tak bersisa.
Mbah Jiwo mengangguk dan menjejerkan lima pusaka dalam berbagai bentuk.
“Setiap batu ini memiliki kemampuan untuk melukai kedua wujud Raden Darwana baik di alam ini maupun di Jagad Segoro demit. Kerahkan semua kekuatanmu pada pusaka ini..”
Jagad masih tidak percaya dengan apa yang diceritakan oleh Mbah Jiwo.
Iapun mengambil sebuah batu berwarna merah darah, meneteskan darahnya dalam genggamanya, dan membacakan Ajian Watu Geni pada pusaka itu.
Menyadari adanya kekuatan besar dari arah Jagad, Pak Waja dalam Wujud Rangda membuka jalan untuk serangan Jagad.
Jagadpun lari mendekat sembari melemparkan pusaka yang telah ia rasuki dengan tenaganya.
Batu yang besarnya tak lebih dari sebuah genggaman tangan itu berubah menjadi merah menyala dengan cahaya seperti lava yang menyala semakin besar.
Benar saja, tepat saat batu itu mendarat di tubuh Raden Darwana sebagian tubuhnya terbakar. Serangan itu melukainya cukup dalam.
“Manusia brengsek!!” Raden Darwana mulai terlihat cemas.
Akhirnya mereka mengetahui cara mengalahkan makhluk mengerikan itu.
“Pusaka hitam, akhirnya kalian juga menggunakan pusaka dari tubuh Biryasono untuk melawanku” ucap Raden Darwana.
Ia segera mengincar Jagad, namun Pak Waja menahanya dengan seluruh kekuatan yang ia miliki.
“Mbah Jiwo? Apa itu benar? Pusaka itu...” Jagad terlihat tidak setuju dengan pusaka yang dibuat oleh Mbah Jiwo menggunakan jasad manusia itu.
“Aku mempunyai pilihan membuat pusaka untuk memulangkan Danan dan yang lain, atau untuk mengalahkan Makhluk itu, dan aku sudah memilih...” Ucap Mbah Jiwo.
“Tapi mbah, senjata dari jasad manusia?”
Jagad terlihat bingung namun Mbah Jiwo terlihat tidak ingin menjawab apapun tentang itu.
“Sekarang semua pilihan ada di tanganmu..” ucap Mbah Jiwo.
Jagad terlihat ragu, tapi nyawa teman-temanya dan warga desa sedang ada di ujung tanduk.
Jagad mengambil keempat batu sisanya. Ia membulatkan tekadnya dan berdoa memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa seandainya pilihanya salah.
“Tidak akan terjadi hal yang sama!” Raden Darwana tiba-tiba sudah berada di belakang Jagad dan bersiap menyerangnya.
Tepat saat tanganya hampir menembus tubuh mas jagad, tiba-tiba tubuhnya menghilang dan muncul dari sisi lain hutan itu bersama sebuah batu yang membara menyerang Raden Darwana.
“Arrrggh!! Tidak mungkin kesaktianku dikalahkan dengan hal receh seperti itu!” Teriak Raden Darwana.
“Nyawa yang tertanam di pusaka itu sama sekali bukan hal Receh!” Balas Mbah Jiwo sembari memanggil Ki Mahesa Ombo untuk membantu pertarungan mereka.
Dengan tubuh yang mulai terluka, Raden Darwana memenuhi seluruh hutan di sekitarnya dengan asap hitam.
Guntur dan Dirga mulai kesulitan dengan asap yang membawa racun itu.
Melihat kedua bocah itu mulai tumbang Raden Darwana segera menggunakan kesempatan itu untuk menghabisi Guntur dan Dirga, tapi tiba-tiba sekali lagi tubuhnya meledak dengan serangan Jagad.
Dengan tubuh yang semakin melemah, kini serangan Ki Mahesa Ombo berhasil membuatnya terpental.
“Pastikan seranganmu menghabisi makhluk itu! Tubuhnya akan pulih bila tidak habis sepenuhnya” teriak Mbah Jiwo.
Jagad tidak ingin mengambil resiko. Kali ini ia menggenggam sisa kedua batu itu di tanganya dan membacakan mantra yang sama.
Darahnya dan Ajian Watu Geni bersatu membakar pusaka batu itu hingga merah menyala. Bahkan lengan Jagadpun kesulitan menahan tenaga pusaka itu.
“Ja..Jangan!! Aku pergi!! Aku tidak akan mengganggu kalian!” Raden Darwana terlihat ketakutan.
Namun saat berbalik ke belakang ia melihat wajah seorang nenek tua yang tertawa dan bersiap menyerangnya.
“Kekekehkehke... Sekarang kau takut mati?” Ucap Nyai Jambrong sembari menggunakan sisa kekuatanya untuk menendang tubuh Raden Darwana hingga terpental ke arah jagad.
Kedua pusaka itu dilemparkan bersamaan hingga berbenturan dengan tubuh Raden Darwana.
Sebuah ledakan besar menciptakan angin yang berhembus ke seluruh penjuru hutan. Melihat serangan itu seluruh setan yang menyaksikan dari desa memilih untuk melarikan diri dari tempat itu.
***
Saat angin mulai tenang, terlihat tubuh gosong Raden Darwana yang terbujur kaku.
“Selesai?”
Ucap mas jagad yang terjatuh terbaring di tanah dengan luka bakar di kedua lenganya.
Nyai jambrong kembali terjatuh tak berdaya sementara guntur dan Dirga sudah kehabisan tenaganya. Pak Waja segera menghampiri Mbah Jiwo dan Jagad.
Luka mereka benar-benar bisa menghilangkan nyawa mereka.
“Tidak…” Mbah Jiwo terlihat panik.
Pak Waja menoleh ke arah Mbah Jiwo mempertanyakan maksudnya.
“Tubuhnya tidak hancur, tidak mungkin!”
Mbah Jiwo memaksakan dirinya untuk berdiri dan memeriksa Jasad Raden Darwana. Tubuhnya sudah hitam legam seperti jasad yang terbakar, namun entah mengapa Mbah Jiwo panik.
“Ma..maksud Mbah Jiwo apa? Dia sudah mati kan?” tanya Pak Waja.
“Aku gagal...” ucap Mbah Jiwo.
Belum sempat menanyakan lebih lanjut, tiba-tiba muncul cahaya merah dari setiap urat nadi Raden Darwana.
Tubuhnya yang sudah menghitam perlahan kembali pulih. Ada kekuatan yang merasuki dirinya entah dari mana.
“Ini kekuatan dari Jagad Segoro Demit...” Ucap Jagad.
Raden Darwana kembali berdiri ia belum dapat berbicara dengan tenggorokanya yang belum utuh. Namun ia terlihat begitu marah dan menghampiri jagad perlahan dengan kakinya yang mulai pulih.
Tidak ada lagi yang sanggup bertarung dengan Raden Darwana di tempat itu.
Bahkan untuk berjalan saja mereka kesulitan.
Mbah Jiwo menghadang Raden Darwana sebelum mencapai Jagad, sementara Pak Waja berusaha mengobati lengan jagad sebelum lukanya membunuhnya.
“Mbah Jiwo! Jangan!” Teriak Pak Waja.
Tidak tahu apa yang bisa Mbah Jiwo lakukan. Di hadapanya kini terpampang wajah tak berbentuk dari Raden Darwana yang sebentar lagi kekuatanya akan pulih.
“Mati...” dengan suara yang mulai terbentuk,
Raden Darwana mengancam Mbah Jiwo dan bersiap menusukkan lenganya ke tubuh Mbah Jiwo.
Tapi sebelum itu sempat terjadi, tiba-tiba muncul kilatan dari salah satu sisi hutan...
Bersamaan dengan itu melayang sebuah keris yang bersinar putih menyala menebas tangan Raden Darwana.
***
“Keris Ragasukma?”
Jagad bereaksi melihat keris itu.
Samar-samar muncul api putih menyelimuti tubuh mereka satu persatu. Secara perlahan luka mereka mulai tertutup.
“Paklek? ini Geni baraloka Paklek?” ucap Dirga bingung.
Beberapa kilatan muncul hingga sebuah retakan dimensi muncul di dekat mereka.
“Wanasura!!!”
Terdengar suara Cahyo berteriak bersama terpentalnya sosok yang tidak asing.
Raden Darwana...
“Tu..tunggu! Apa maksudnya ini? Raden Darwana ada dua?” Tanya Guntur.
“Maaf teman-teman, musuh kita masih ada satu lagi..” ucap Cahyo yang melintas keluar dari retakan dimensi itu.
“Mbah Jiwo, ini sisa peninggalan anggota tubuh Trah Biryasono yang berada di Jagad segoro demit. Tolong sekali lagi ubah benda ini menjadi pusaka”
Ucap Danan mengantarkan beberapa benda aneh ke hadapan Mbah Jiwo.
“Dirga, ada yang ingin bertemu denganmu..” ucap Paklek.
Dirgapun berdiri dan menghadap ke retakan dimensi itu.
Sosok Raden Darwana yang datang tidak diam dan bersiap menyerang kembali namun Danan dan Cahyo tidak membiarkan makhluk itu mengganggu Dirga.
“Jadi inikah penerusku?” tanya seseorang dari dalam gerbang itu.
“Penerus? Maksud Bapak?” Tanya Dirga.
“Beliau adalah Prabu Arya Darmawijaya, murid dari mahaguru sekaligus Raja sahabat leluhur kami Patih Widarpa” jelas Paklek.
Mendengar itu Dirga mulai kagum dan memilik banyak pertanyaan.
“Eyang? Benar eyang leluhur saya?” ucapnya.
Sosok itu mengangguk, ia mendekatkan tanganya ke arah kepala Dirga seolah memberi restu.
“Waktuku tidak banyak, hanya restuku yang dapat kuberikan padamu saat ini. Kamu akan menemukan jalan untuk menemukan seluruh ilmuku” ucap Prabu Arya.
Dirga menatap ke arah sosok itu, sepertinya Prabu arya menahan luka yang cukup fatal.
“Para penerus Widarpa, kutitipkan cucuku.. masih ada sekelompok pengacau kerajaanku yang harus kuurus di alam itu” ucap Prabu Arya yang segera kembali ke dalam retakan dimensi itu.
“Eyang! Terima kasih! Aku akan ceritakan tentang eyang ke abah” ucap Dirga.
Sosok itu pergi sembari tersenyum. Bersamaan dengan itu Nyi Sendang Rangu muncul dari dalam gerbang dan membasahi kami semua dengan hujanya.
***
“Hahaha... aku tidak menyangka nenek moyangmu memiliki ilmu untuk melintasi Jagad Segoro Demit” ucap Danan Pada Dirga.
“Siapa sangka, mantra yang dibuat eyang widarpa bisa memanggil prabu arya yang terjebak di alam itu” Tambah Cahyo.
Dirga tersenyum melihat Danan dan Cahyo kembali dalam keadaan utuh.
“Mungkin karena pemilik awal keris ragasukma adalah Prabu Arya Darmawijaya. Abah pernah cerita soal itu” Tebak Dirga.
***
“Jangan banyak ngoceh, Sekarang musuh kalian ada dua” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Lha kopinya durung tekan to Nyi? Kalem sik to..“ (Lha kopinya belum dateng kan nyi kalem dulu donk..) Ledek Cahyo.
“Kopi gundulmu!” teriak Paklek sembari melemparkan sandalnya.
Dihadapan mereka kini berdiri dua sosok Raden Darwana.
Entah bagaimana cara mereka bisa seperti itu, yang pasti mereka sudah bersiap menghabisi kami.
“Dadung Gumotro...“
sosok Raden Darwana yang terbakar memanggil sosok makhluk yang menyatu dengan dirinya.
Seketika tubuhnya berubah menjadi sebesar pohon dengan kepala yang hampir sebesar setengah badanya.
Raden Darwana dalam wujud manusia menaiki sosok itu dan menyatu denganya. Iapun segera mengamuk dan bersiap melahap Cahyo.
“Hehe.. di bawah hujan Nyi Sendang Bawel, Wanasura bisa muncul!” ucap Cahyo sembari memanggil kedua kawanya itu.
Pertarungan dua sosok raksasa seketika mengoyak hutan di pinggir desa kulon.
Walau kekuatan wanasura dan Kliwon bisa menahan tubuh Dadung Gumotro, tapi ilmu sihir Nyai Wasihan dan racun Ular kembar dapat dengan mudah melumpuhkan Wanasura dan Kliwon.
“Danan...” Mbah Jiwo memanggil Danan.
Ia meminjam keris ragasukma dan menggabungkan darah dari salah satu trah Briyasono ke dalam kerisnya.
“Guntur..”
Sebuah pisau yang terbuat dari logam dan tulang dari Trah Biryasono diberikan kepada Guntur.
“Jagad..”
Kedua batu putih yang terbuat dari tulang tubuh Trah Biryasono diberikan kepada jagad, dan ia segera mengerti harus melakukan apa terhadap benda itu.
Paklek meneteskan darahnya pada keris sukmageni miliknya. Saat itu juga darahnya terbakar dan menetes ke tubuh jagad.
“Aku akan memulihkan lukamu, jangan menahan diri sedikitpun” ucap Paklek.
Melihat Cahyo yang mulai kerepotan Guntur dan Danan melaju ke medan perang dengan pusaka pemberian Mbah Jiwo.
Cahyo melempar tubuh Danan hingga meluncur dengan cepat melukai tubuh Raden Darwana, tepat setelah mendarat Danan segera memisahkan sukmanya dan menghujamkan keris ragasukma ke jantung Dadung Gumotro.
Makhluk itu terjatuh dan Guntur segera mengincar titik vital Dadung Gumotro dan menusukkan pisau tulang itu ke lehernya.
“Berhasil... seranganku bisa melukainya” ucap Guntur heran.
“Jangan senang dulu, kita masih harus memberi waktu untuk mas jagad” balas Cahyo.
Pertarungan sengit terjadi menumbangkan pohon di sekitar tempat itu.
Dua raksasa kera yang bergulat dengan Dadung Gumotro..
Kilatan cahaya putih bersliweran dari keris yang dibawa oleh roh Danan..
Keris Dirga terlihat melayang layang menahan serangan..
Dan seorang bocah yang dengan tenang mengalihkan perhatian setan itu hanya berbekal ilmu beladirinya dan sebuah pisau...
“Khekehkeh... cepat sekali bocah-bocah itu tumbuh besar” ucap Nyai Jambrong yang mendekat ke arah Paklek dan mengambil posisi nyaman untuk menonton.
“Kelak merekalah yang akan membangun jaman ini Nyai..” ucap Mbah Jiwo yang setengah mati mempertahankan kesadaranya.
“Aku siap Mas Bimo..” ucap jagad pada Paklek.
Sekali lagi ajian watugeni melayang bersama pusaka buatan Mbah Jiwo.
Serangan itu mengenai dengan telak tubuh Dadung Gumotro yang menemus hingga tubuh Raden Darwana.
Kekuatan ledakanya berkali-kali lipat dibanding pusaka sebelumnya. Bahkan tubuh Dadung Gumotro meledak menjadi beberapa bagian.
Danan dan yang lain terus menyibukkan Raden Darwana, namun sepertinya makhluk itu sudah bersiap untuk melarikan diri.
Jagad tidak ingin melewatkan kesempatanya, ia segera melempar pusaka terakhir di tanganya itu ke arah tubuh Raden Darwana yang sudah Sekarat.
“Khekheke... aku tidak akan mati”
Saat itu tiba-tiba Raden Darwana menghilang dan berubah menjadi asap hitam. Ia benar-benar menghilang dari pandangan kami.
“Brengsek! Dia kabur!” Teriak Cahyo panik, tapi tidak dengan jagad.
“Jangan lupa.. aku paling ahli soal lintas dimensi dibanding kalian” ucap Jagad.
Seketika pusaka yang ia lemparkan menghilang dan meledak tak jauh dari salah satu sisi hutan.
“Ggaararararrggh....”
Suara teriakan Raden Darwana terdengar dari tempat itu. Rupanya Jagad mengirim seranganya ke sisi alam dimana Raden Darwana melarikan diri.
Kami semua menghampiri tempat itu dan memastikan Raden Darwana benar-benar sudah tidak berdaya.
“Apa dia akan pulih lagi?” Tanya Dirga.
Paklek menggeleng.
“Ia tidak lagi dapat menarik kekuatan dari alam jagad segoro demit” Jelas Paklek.
***
“To..tolong! Aku tidak mau mati!” teriak Raden Darwana.
Tidak satupun dari kami yang membalas perkataanya.
Dengan serangan dari pusaka Trah Biryasono kini kekuatan setan yang menyatu pada dirinya telah sirna.
Kini tubuhnya hanyalah tubuh manusia biasa. Dengan kondisi luka separah itu iapun mati setelah meronta-ronta ketakutan dengan ajalnya.
***
Pak Waja yang masih memiliki tenaga membantu warga Desa Kulon yang masih bisa diselamatkan. Sementara kami berusaha mengatur nafas dan mengembalikan tenaga kami.
“Nyi.. jangan hentikan hujanya ya. Adem..” ucap Cahyo yang menikmati rintikan hujan Nyi Sendang Rangu.
“Iya Nyi, air dan udara di alam kita memang yang terbaik” Tambah Danan.
Nyi Sendang Rangu tidak menjawab dan hanya terdiam menatap rintikan hujanya.
“Kok diam saja nyi? Apa masih ada yang salah?” Tanya Danan yang mulai merasa khawatir.
Nyi Sendang Rangu hanya menggeleng dan menengok ke arah Cahyo.
“Sengaja, biar kalian nggak manggil saya Nyi sendang Bawel lagi” balasnya dengan tatapan yang tajam.
Sontak Danan dan Cahyo saling bertatapan.
Danan segera menyenggol tubuh Cahyo menyalahkanya atas ‘ngambek’nya Nyi Sendang Rangu.
Paklek mendekat ke arah Mbah Jiwo, ia merasakan bahwa Mbah Jiwo menanggung beban yang sanga berat.
Berurusan dengan jasad manusia benar benar hal yang mengerikan, dan ia dipaksa untuk melakukan hal itu.
“Mbah Jiwo, setelah kejadian ini sepertinya saya ingin mendaftarkan diri sebagai donor organ.
Siapa tahu setiap bagian tubuh saya masih bisa berguna untuk orang lain setelah saya meninggal nanti” ucap Paklek.
Mbah Jiwo hanya menoleh ke arah Paklek sembari tersenyum. Walau ucapanya aneh, tapi setidaknya Mbah Jiwo mengerti maksud baik Paklek.
“Mbah.. nanti sampai rumah ajarin aku cara lari di udara kayak tadi” ucap Guntur pada nyai jambrong.
“Khekehkeh... yang penting kamu jangan kabur!” balas nyai jambrong.
***
Hujan mulai reda bersama dengan kembalinya sedikit demi sedikit tenaga mereka. Cahaya matahari pagi itu menembus dedaunan hutan dan memaksa mereka untuk kembali.
Mereka mengantarkan kembali Mbok Sar ke keluarganya. Kini tidak ada lagi yang akan mengincar keturunan mereka. Namun entah mengapa Danan masih merasakan ada sesuatu yang misterius dari Trah Biryasono.
“Setidaknya kita tahu kalau Mbok Sar orang baik, jadi seharusnya ia bisa menjaga Trah Biryasono untuk di jalan yang benar” wejang Paklek menenangkan pikiran Danan.
Kini saatnya mereka semua untuk kembali. Ada sebuah kewajiban yang harus mereka lakukan.
Sebuah kewajiban sederhana yang sangat bermakna untuk mereka yang menanti mereka.
Sebuah kewajiban untuk berkata.. “Aku pulang...”
***
EPILOG
Bulek kembali ke dapur setelah puas menonton Sekar berlatih menari. Entah mengapa ia merasakan ada keanehan di rumahnya.
“Heh! Kucing!! Kurang ajar!!!”
Teriak Bulek dari dalam rumah. Sekar yang mendengar ucapan itu segera menyusul masuk ke dalam.
“Kenapa Bulek? Ada kucing masuk?” tanya Sekar.
Ia melihat meja sudah berantakan dengan lauk yang sudah menghilang dari tempatnya.
Bulek membereskan meja dan peralatan makan di dapur sembari sedikit mengeluh. Namun Sekar memilih untuk keluar memastikan kemana kucing itu pergi.
Ia merasa khawatir, terlebih ia mendengar suara dari teras rumah.
“Puancen uenakk Paklek! nggak kayak buah-buahan yang dicariin kliwon di sana”
“Wah jelas, kalau tadi kita ngomong-ngomong pasti disuruh mandi dulu atau bersih-bersih dulu”
Sekar menggeleng melihat tingkah laku dua orang manusia dan seekor kera yang menikmati makan dengan lahap lesehan di teras rumah.
“Buleeeeek! Mau liat kucingnya ngga?” Teriak Sekar.
Cahyo dan Paklekpun kaget melihat Sekar yang sedang memandang mereka dari pintu rumah.
“Eh, dek Sekar.. kapan dateng?” Tanya Cahyo yang wajahnya memerah menahan malu.
Bulek segera keluar dan melihat apa yang ditunjukkan Sekar.
Tidak ada satupun kata keluar dari mulut Bulek. Ia hanya melihat suaminya tersenyum meringis sembari menikmati masakanya.
Mereka tahu mata Bulek berkaca-kaca menyambut kedatangan mereka. Sontak Bulek kembali masuk dan membawa ceting penuh berisi nasi dan teko yang berisi air teh.
“Arep mangan kok ra ngejak-ngejak. Bulek yo luwe..” (Mau makan kok nggak ngajak-ngajak, Bulek juga laper) ucapnya sembari menahan air mata.
Sekar tak mampu menahan tangisnya saat melihat pemandangan itu.
Alhasil malam itu pemandangan aneh terpampang di rumah Bulek dimana mereka semua menikmati makan malam di teras rumah dengan alakadarnya.
Namun bagi Bulek dan Sekar itu adalah makan malam ternikmat dimana mereka bisa kembali bersama tanpa rasa khawatir yang menghantui mereka sebelumnya.
***
Suara merdu membuka sebuah pementasan wayang di Desa Kandimaya. Acara pementasan dalam rangkaian sedekah bumi di desa Kandimaya selalu dinanti-nanti bahkan oleh warga di desa sekitarnya.
Ada yang istimewa dalam penampilan kali ini. Ki Daru baya kembali melakukan pementasan bersama dengan kelompok Ki Joyo Talun. Jelas saja saat matahari mulai terbenam warga sudah mulai datang berebut tempat ternyaman untuk menonton acara ini.
Tak lupa pedagang kacang dan jagung rebus sudah bersiap di berbagai sudut untuk memastikan penonton mendapatkan kudapan terbaik untuk menonton pementasan wayang.
Lakon Semar Mbangun Khayangan berhasil membuat penonton terpukau saat itu.
Apalagi suara indah Nyai Kirana yang ditemani oleh Naya ikut menghiasi suasana panggung itu.
“Makasi ya bu, Naya seneng bisa manggung lagi” bisik Naya di sela-sela penampilanya.
“Kowe ngomong opo to nduk? ibu sing seneng kowe gelem ngancani ibu manggung” (Kamu ngomong apa to nak? Ibu yang seneng kamu mau menemani ibu manggung) balas Nyai Kirana.
Malam itu terasa membahagiakan bagi Naya, beberapa kali ia menoleh ke arah teman-temanya yang memainkan gamelan dan melihat wajah bahagia mereka. Sudah lama sekali mereka tidak merasakan panggung sebesar ini sejak wafatnya Ki Joyo Talun.
Tapi rupanya tak hanya itu..
Tuhan punya hadiah yang lebih untuk seorang Naya di malam itu.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba datang seorang pemuda yang menatapnya dari posisi terbelakang penonton. Ia terus berdiri di sana tanpa memutuskan untuk mencari tempat untuk duduk.
Naya merasa mengenal sosok itu. Semakin ia menatapnya, jantungnya terasa berdegup semakin kencang.
“Bu... i..itu..” bisik Naya dengan sedikit ragu.
Tidak seperti Naya, Nyai kirana dengan yakin mengangguk mengenali siapa sosok yang menatap mereka dari jauh.
Sontak mata Naya berkaca-kaca. Ia menunggu dengan sabar hingga Dalang menyelesaikan adegan ceritanya. Tepat saat acara memasuki jeda, Naya segera berdiri meninggalkan tempatnya dan berlari meninggalkan panggung.
Saat itu Danan sudah menunggu di sisi panggung dengan membawa tasnya yang sudah lusuh.
Tak ada sepatah katapun diantara mereka. Naya hanya berlari ke arah Danan dan membiarkanya menceritakan semua kerinduanya dengan air matanya yang membasahi pundak Danan.
“Maafin mas ya...” ucap Danan.
Naya menggeleng, menurutnya tidak ada yang perlu dimaafkan dari kepergian Danan.
Dari atas panggung Nyai Kirana menyambut kedatangan Danan. Namun ia tahu, Naya lebih membutuhkan kehadiran Danan dibanding dirinya.
“Naya nggak cengeng selama mas pergi... Naya juga terus belajar dan nemenin ibu... Naya juga mastiin Ibu nggak kesepian selama mas pergi... Naya nepatin janji Naya” ucapnya sembari menangis.
“Jadi Sekarang mas harus ngijinin Naya nangis sampai puas...” tambahnya lagi.
Danan meletakkan tasnya dan memeluk Naya dengan erat. Ia tahu bahwa Naya sudah berusaha dengan keras untuk terlihat kuat diantara teman-temanya.
Melihat hal itu Nyai kiranapun memutuskan untuk turun dan menghibur Naya.
“Bu, Danan pulang... maaf sudah bikin ibu khawatir” ucap Danan.
“Nggak kok Nan, ibu juga terimakasih... kamu udah ngebawain Naya buat nemenin ibu supaya nggak sedih mikirin kamu terus” Balas Nyai kirana sembari mengelus rambut Naya.
Danan menarik nafas lega, sepertinya ibunya bisa menerima Naya dengan baik.
“Oh iya ibu, Danan lupa ngenalin... ini Naya calonya Danan” ucap Danan sembari tersenyum meledek.
Naya melepas pelukanya dan memukul dada Danan.
“Nggak lucu... telat, udah kenalan sendiri” ucap Naya dengan wajah lucunya.
Kini gantian Nyai kirana yang mengusap kepala Danan sembari menertawakan tingkahnya. Ia memang selalu malu untuk menunjukkan rasa rindunya pada anaknya, namun kali ini Danan sangat mengerti.
Iapun meraih tubuh ibunya dan memeluknya dengan erat.
Suara gamelan kembali terdengar seolah menandakan pementasan akan kembali dimulai.
“Mas Danan nonton sampai selesai ya...” ucap Naya.
Danan mengangguk. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah bunga cempaka putih yang entah ia petik dari mana.
“Nyanyi yang bagus ya, Mas siap dengerin sampai pagi” ucap Danan sembari menyematkan bunga itu di telinga Naya dan mengecup keningnya.
--Tamat--
Akhirnya Tamaat! terima kasih buat temen-temen yang sudah mengikuti cerita ini hingga akhir.
Semoga cerita ini juga bisa memberi kesan tersendiri terhadap teman-teman.
Seperti biasa, minta tolong tinggalin komen ya.. buat amunisi saya untuk nulis cerita-cerita berikutnya.
mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung. Mohon dianggap sebagai hiburan saja.
Dan yang udah ga sabar nunggu cerita baru minggu depan, dengan judul :