Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Danan & Cahyo (Part 3) - Takdir Dua Alam

Dinginya embun pagi kali ini tidak seperti biasa. Bukan hanya udara pagi yang membuat suasana beberapa hari ini menjadi lebih dingin, tapi kepergian Paklek dan Cahyo cukup membuat suasana di rumah menjadi jauh berubah.


JEJAKMISTERI - “Kulonuwun.. permisi”

Terdengar suara seorang perempuan mengetuk pintu rumah Bulek dari luar. Bule yang masih memandangi masakanya merasa sedikit tidak asing dengan suara itu.

“Eh, Sekar.. kok mendadak?” Tanya Bulek yang cukup kaget melihat kehadiran Sekar di rumah itu.

“Hehe.. iya Bulek, kangen” balasnya singkat.

“Haduh, ayo masuk.. maaf rumahnya masih berantakan”

“Sini Sekar bantu beresin Bulek”

Bulek Tersenyum melihat kedatangan Sekar, namun dibalik itu Bulek masih merasa bingung untuk menjelaskan keberadaan Cahyo dan Paklek pada Sekar.

***

“Sudah nggak usah repot-repot, Bulek udah masak sayur asem. Makan dulu yuk temenin Bulek. Sekar nginep kan?” Ajak Bulek.

“Iya donk Bulek, tenang Sekar ga bakal ngerepotin lagi kayak dulu” balasnya.

Bulek sedikit mengingat kejadian saat Cahyo menyelamatkan Sekar saat tragedi Gending alas mayit. Saat itu Sekar datang dalam keadaan linglung dan masih sulit untuk berkomunikasi.

“Wah... menu doyananya Cahyo nih, sayur asem ikan asin!” Sekar terlihat bersemangat sembari membantu menghidangkan lauk ke meja makan.

“Iya Sekar.. Sayangnya orangnya belum bisa pulang” ucap Bulek dengan nada sedih.

“Sudah nggak papa Bulek, Cahyo pasti baik-baik saja. Sekar nggak khawatir kok sama Cahyo dan Paklek..” hibur Sekar sembari mengambilkan lauk untuk Bulek.

Bulek menatap Sekar, ia terlihat begitu tegar.

Sepertinya Sekar juga sudah mengetahui tentang keadaan Paklek dan Cahyo sekarang.

“Sekar lebih khawatir sama Bulek, tinggal sendirian itu nggak enak. Kalau boleh, Sekar nemenin Bulek di sini ya sampai Mas Cahyo pulang” pinta Sekar.

Bulek tersenyum mendengar niat baik Sekar. Jelas kehadiran Sekar hari ini merubah suasana rumah ini menjadi lebih berbeda.

***

“Eh Bulek.. sendirian aja?” Tanya seorang ibu yang berpapasan dengan Bulek di pasar.

“Nggak bu, ada yang nemenin kok” balas Bulek sembari memilih sayuran di salah satu lapak.

“Wah Paklek udah pulang? Akhirnya ya Bulek. Jarang sekali Paklek pergi selama ini” balas ibu itu.

“Belum, Paklek belum pulang Bu..” balas Bulek.

Tak berapa lama Sekar datang menghampiri Bulek dengan membawa beberapa bumbu masakan yang baru saja ia beli di sisi lain pasar.

“Ini Sekar, Calonya si Cahyo” Bulek mengenalkan Sekar pada tetangganya itu.

“Wah.. Calonya Cahyo? Cantik ya! Bisa-bisanya itu bocah bandel begitu dapet calon seayu ini..” balas ibu itu.

Sekar menyubit Bulek dan seketika menjadi salah tingkah dengan perkenalan itu.

Awalnya ia ingin protes, tapi saat melihat Bulek tersenyum menikmati perbincangan itu iapun mengurunkan niatnya.

“Ih Bulek, Sekar malu tau...” ucap Sekar sembari perjalanan pulang.

“Rapopo Sekar, Ben Cahyo kaget pas mengko mulih ditakoke ibu sakkampung” (Nggak papa Sekar, biar Cahyo kaget pas pulang nanti ditanyain ibu sekampung) Balas Bulek sembil tertawa kecil.
Sekar ikut tertawa, ternyata Bulek juga punya sifat iseng juga.

Lambat laun warga desapun semakin mengenal Sekar. Bulek juga sangat terbantu dengan keberadaan Sekar di rumah.

Suatu ketika Bulek melihat Sekar menari di pendopo belakang rumah tempat biasa Paklek dan Cahyo berkumpul.

Awalnya Bulek merasa khawatir kalau itu ada hubunganya dengan kutukan yang menyerang desanya dulu. Tapi ternyata Bulek Salah.

Kekhawatiranya pudar setelah melihat raut wajah Sekar yang menari dengan senyum mengikuti alunan nada yang ia setel dari radio tape milik Cahyo.

“Bulek baru tahu kamu bisa nari” ucap Bulek mencoba menegur Sekar yang baru selesai dengan tarianya.

“Eh Bulek, jadi malu” balas Sekar.

“Tapi tarianmu bagus lho, Bulek sampe pangling”
Sekar mematikan tapenya dan merapikan aksesoris yang iya kenakan.

"Iya Bulek, Sekar juga nggak mau kalah dari Mas Cahyo. Sekar harus bisa ngalahin trauma Sekar. Tarian korban kutukan Gending Alas Mayit itu nggak boleh terus menghantui Sekar” balasnya.

Bulek tersenyum dan menghela nafasnya. Ia merasa saat ini semua orang di dekatnya sedang berusaha untuk menjadi sosok yang lebih baik.
Sekarpun mengajak Bulek untuk ke tengah mengikuti gerakan Sekar meliuk-liuk di pendopo itu.

Awalnya Bulek canggung, namun sepertinya mereka berdua menikmati alunan musik itu dan tak henti-hentinya tertawa menertawakan keasikan mereka.

Di bawah bulan purnama malam itu, tidak lagi tarian mengerikan yang terjadi seperti saat dulu. Saat ini purnama menjadi saksi kebahagiaan dalam tarian mereka yang hanya bisa dinikmati oleh mereka berdua.

***

(Desa Kandimaya...)

“Pelan-pelan saja Nyai, bentar lagi kita sampai kok” ucap Naya menemani Nyai Kirana mendaki bukit batu.

“Iya Naya, maaf ya malah jadi ngerepotin kamu..” balas Nyai Kirana.

“Ngerepotin apa Nyai, justru Naya seneng diajak ke sini. Pemandanganya indah, hutan-hutan di sini juga masih hijau” jawab Naya dengan wajah sumringah.

Nyai Kirana menatap Naya dengan tersenyum seperti sedang senang menatap wajah anak perempuanya sendiri.

“Panggil Ibu aja ya Naya, jangan panggil Nyai..” Ucap Nyai Kirana sembari mengelus kepala Naya.
“Eh..“ sontak wajah Naya terlihat canggung.

“Udah, nurut aja... ayo lanjut lagi” ucap Nyai Kirana tanpa memberi kesempatan Naya untuk menjawab.

“Baik Nyai.. eh Ibu” balas Naya yang tak mampu menyembunyikan senyumnya.

***

Cukup lama perjalanan yang mereka lakukan untuk mencapai tempat yang mereka tuju.
Sebuah makam di atas bukit batu.

Tertulis nama seseorang yang penting untuk Nyai Kirana dan Danan di sana.

Bisma Sambara...

Seseorang yang pernah menyelamatkan Ayah Naya sewaktu kecil dan juga Ayah dari seseorang yang sangat Naya sayangi.

Terlihat seekor burung jalak kecil sedang hinggap di atas batu nisan itu. Sepertinya sarangnya juga tidak jauh dari tempat mereka berada.

“Mas.. ngapunten yo Kirana bar iso mrene meneh”

(Mas maaf ya, Kirana baru bisa kesini lagi) Gumam nyai kirana sembari membersihkan makam suaminya itu.
Naya menatap tingkah laku Nyai Kirana yang menurutnya terlihat romantis walau sosok lelaki yang ia sayangi sudah tidak ada lagi di sisinya.

“Kirana ditemenin sama Naya, calonya Danan.. nggak nyangka ya kalau Danan juga nyantolnya sama sinden?” Lanjutnya lagi.

“Ibuk, jangan gitu.. Naya Malu” ucap Naya sambil sedikit menyenggol lengan Nyai Kirana.

Nyai Kirana malah semakin tertawa melihat tingkah Naya. Di atas bukit batu itu Nyai Kirana bercerita banyak tentang Danan, ayahnya, dan tempat itu.

“Tempat ini tidak akan seindah ini kalau tidak dijaga oleh sosok yang luar biasa” ucap Nyai Kirana.

Naya sepertinya sudah bisa menebak sosok yang dimaksud oleh Nyai Kirana dari cerita yang pernah diceritakan Danan.

“Namanya Buto Lireng..“

Naya benar-benar antusias mendengar kisah pertarungan antara Ayah Danan dan Buto lireng hingga mereka berdua menjadi bersahabat.

Bahkan Nyai Kirana sempat cemburu saat suaminya itu meminta dimakamkan di atas bukit batu dibanding dekat dengan keluarganya.

“Yang sabar ya bu, ada berkahnya juga... jadi tiap ngunjungin bapak kita bisa melihat pemandangan sebagus ini” ucap Naya.

“Iyo nduk, Bapaknya Danan memang susah ditebak” balas Nyai Kirana.

“Sama persis sama anaknya” Naya membalas sambil sedikit mengingat setiap wajah Danan saat bersama denganya.

***

Entah berapa lama mereka bercengkerama di tempat itu sembari menikmati udara segar dan pemandangan yang membuat mereka merasa nyaman.

Seolah-olah seluruh serangga hutan, burung-burung, dan seluruh alam di hutan sekitar Bukit batu menyambut kedatangan mereka.

“Mas, bantu jaga Danan dari sana ya.. Kirana sama Naya cuma bisa menitip doa dan menanti dengan sabar. Tapi.. kami tau, Danan dan yang lain pasti akan kembali dengan selamat” ucap Nyai Kirana.

Naya tahu dengan betul, dibalik wajah kuat Nyai Kirana tersimpan rasa khawatir yang mendalam atas anaknya itu.
Sebelum memutuskan untuk pulang, Nyai Kirana menyanyikan sebuah tembang dengan suara yang merdu diatas bukit batu itu.

Naya tahu dengan jelas bahwa itu adalah tembang yang sangat disukai ayah Danan semasa ia hidup.

Nayapun mengimbangi suara Nyai Kirana dan membiarkan suara mereka berdua menghibur siapapun yang mendengar di atas bukit batu itu.

Entah itu hewan hutan, dedaunan yang jatuh, rimbunya pepohonan, ataupun hanya seekor burung jalak yang setia mendengarkan dari atas batu nisan itu.

***

(Di Puing-puing desa Kumolorandu)

Tepat saat Mbah Jiwo dan Pak Waja kembali ke desa itu seluruh suasana kembali mencekam. Langit kembali terlihat menghitam dengan puluhan makhluk memantau mereka dari kejauhan.

“Mbah Jiwo..” Pak Waja yang khawatir mencoba memastikan keadaanya.
“Tenang Pak Waja, saya sudah memutuskan apa yang harus saya lakukan” Balas Mbah Jiwo.
Pak Waja sekali lagi memastikan raut wajah Mbah Jiwo, kali ini ia yakin bahwa tidak ada keraguan di wajahnya.

Ia kembali mendatangi sebuah makam di belakang rumah. Bersamaan dengan itu sosok makhluk menyerupai jasad warga yang sudah membusuk mengepung mereka.
Mbah Jiwo tidak beranjak sama sekali dari tempatnya.

Ia terus menggali makam itu bahkan walau berbagai makhluk menjijikkan itu mengerubuti tubuhnya, mencakarnya, dan menghalanginya.

“Mbah Jiwo! Jangan nekad!” Teriak Pak Waja.

Mbah Jiwo tidak bergeming dan terus melakukan tujuanya itu. Anehnya memang makhluk-makhluk itu hanya menyerang Mbah Jiwo.

Pak Waja tidak ingin lengah, sedari tadi ia memang sudah merasakan niat jahat lain di tempat ini. Sesekali ia membacakan doa untuk memulihkan Mbah Jiwo sekaligus mencari asal kecurigaanya.

Ada sesuatu yang membuat Pak Waja merasa tidak nyaman. Sementara Mbah Jiwo masih berusaha mengambil kitab itu, Pak Wajapun mengeluarkan pusaka mangkuk kuninganya dan mendentingkan suaranya ke seluruh penjuru hutan.

Benar saja, tepat saat suara itu menggema berbagai sosok ular terlihat sedang memantau mereka dari setiap pohon di hutan itu.
Pak Waja memutuskan untuk tidak memberitahu hal itu kepada Mbah Jiwo dan memilih menghadapi ular jadi-jadian itu seorang diri.

Dengan beberapa mantra Pak Waja berhasil membakar puluhan ular yang mencoba mengincar mereka, namun hal itu membangkitkan amarah sosok dibalik keberadaan makhluk-makhluk itu.

“Khikhikhi... manusia-manusia brengsek! Seharusnya kalian tidak mengambil kitab itu dan mati saja” terdengar suara perempuan tua menggema ke seluruh hutan.
Pak Waja kembali membaca mantranya seolah untuk mebuka tabir yang menyelimuti tempat ini.

Gila.. rupanya seluruh desa Kumolorandu saat ini berada dalam lilitan ular besar dengan tubuh perempuan. Makhluk itu benar-benar besar, bahkan tubuh perempuanyapun hampir setinggi rumah.
“Siluman ular, sebaiknya kau meninggalkan tempat ini” perintah Pak Waja.

Siluman ular itu menatap Pak Waja, sepertinya ia juga tahu bahwa Pak Waja bukanlah manusia biasa yang bisa ia ancam begitu saja.
“Orang itu harus mempertanggung jawabkan darah yang ditumpahkan oleh leluhurnya, kau tidak berhak ikut campur” ucap siluman ular itu.

Pak Waja benar-benar tidak ingin menggubris ucapan siluman ular itu. Sebaliknya ia membacakan sebuah mantra yang menciptakan batas berupa api yang membakar perbatasan desa.
“Urusan Mbah Jiwo dengan warga desa itu, bukan siluman seperti kau” ucap Pak Waja dengan tegas.

“Orang-orang itu mengabdi kepadaku! Orang itu juga urusanku” siluman itu masih tidak ingin menyerah.
Pak Waja sekali lagi tidak menggubrisnya dan berpaling ke arah Mbah Jiwo untuk memulihkanya lukanya walau sedikit.

Apa yang Pak Waja lihat saat itu adalah pemandangan yang mungkin tidak pernah ia lihat lagi.
Seorang Mbah Jiwo, dengan darah, keringat, dan air mata bercucuran menggali makam itu dengan menahan semua serangan dan umpatan setan-setan di sekitarnya.

Semua rasa bersalah yang diturunkan oleh leluhurnya ia terima seorang diri di tempat itu.
“Tidak akan kubiarkan kau mati di tempat ini Mbah Jiwo”
Itu adalah ucapan Pak Waja sekaligus janji yang ia ucapkan di tempat itu.

Siluman ular itu terus mengawasi mereka berdua. Ia sadar ada sesuatu dari Pak Waja yang membuatnya tidak bisa mengalahkanya begitu saja.
Dengan seluruh tenaga dan kekuatan yang Mbah Jiwo kerahkan, akhirnya cangkulnya berhasil menyentuh sebuah benda yang cukup keras.

Sebuah peti tua yang anehnya tidak rusak sama sekali walau sudah dikubur selama beratus-ratus tahun.
“Kamu tidak berhak atas benda itu!”
“Berapa nyawa lagi yang akan kau korbankan saat menggunakan kitab itu”
“Dosamu tidak akan terampuni lagi setelah ini..”

“Benda itu adalah darah dan nyawa anak-anak dan keluarga kami..”
Berbagai ucapan diucapkan oleh sosok mayat-mayat warga itu yang masih berusaha menghentikan Mbah Jiwo.

Tapi mata Mbah Jiwo tetap terlihat tegar. Tidak ada satupun ucapan makhluk itu yang menggetarkan keteguhan jiwanya.
Sayangnya bukan hanya hal itu yang harus dihadapi olehnya. Tepat saat meninggalkan makam, seekor ular raksasa sudah menunggunya diatas sebuah pohon besar.

Ular itu membuka mulutnya lebar-lebar dan bersiap menerkam Mbah Jiwo.
“Jangan pedulikan ular itu” ucap Pak Waja.
Benar saja, tepat saat akan menerkam Mbah Jiwo tiba-tiba ular itu terbakar oleh mantra yang dibacakan Pak Waja.

“Terima kasih Waja..“ Balas Mbah Jiwo yang masih berusaha menahan sakit dari serangan mayat-mayat itu.
Siluman ular yang sedari tadi memperhatikan dari jauh itu akhirnya tersenyum saat melihat Mbah Jiwo membawa benda yang ia dapatkan dari makam.

Ia mendekat ke arah Mbah Jiwo dan melesat dengan cepat.
Dengan sekejap kotak itu sudah berada di tanganya dengan tubuhnya yang melilit Mbah Jiwo yang dalam keadaan lemah.
“Aku sudah bilang, jangan ganggu kami!”

Wajah Pak Waja terlihat memerah padam, tubuhnya seolah terbakar menjadi bola api dan berubah dalam wujud Rangda.
Dengan sekejap ia melahap setengah tubuh manusia ular itu hingga darah hitam mengalir dari sisi tubuh yang tersisa.

Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik sampai ia kembali ke wujud manusia lagi dan membawa kotak itu kembali kepada Pak Waja.
Sialnya, rupanya siluman ular itu tidak sendiri. Dari dalam tanah muncul ular hitam yang menjelma menjadi pria hitam bersisik.

Sambil mengendap-ngendap makhluk itu membuka mulutnya lebar lebar mencoba menggigit Pak Waja dan mencengkramnya dengan kukunya yang tajam.
Namun sebelum itu terjadi tiba-tiba muncul sosok makhluk berkepala kerbau menarik tubuh siluman ular itu.

Ia membenturkan kepala makhluk itu ke pohon, memukulinya hingga tidak berdaya dan merobek tubuhnya menjadi beberapa bagian.
“Terima kasih Ki Mahesa Ombo” Ucap Pak Waja.

Tepat setelah kedua siluman ular itu mati, seluruh arwah penasaran berwujud mayat yang mengerubungi Mbah Jiwo terhenti. Mereka seperti terlepas dari ikatan makhluk yang membelenggunya di tempat itu.

***

“Jadi mereka terjebak oleh perjanjian dengan sosok siluman-siluman itu?” Tanya Pak Waja.
Mbah Jiwo mengangguk..
“Seandainya bukan karena perbuatan leluhur saya, mungkin mereka tidak akan membuat perjanjian dengan makhluk itu”

“Tidak semata-mata karena itu mbah, semua yang terjadi di masa lalu karena hasutan makhluk makhluk itu.” Balas Pak Waja.
Mbah Jiwo menghela nafas, saat ini ia hanya ingin memandang kedepan menjaga orang-orang yang disayanginya.

Tepat saat mereka meninggalkan desa, hutanpun kembali seperti semula, sosok-sosok jasad warga desa mulai menghilang. Sepertinya mereka sudah tidak terikat oleh siluman itu lagi.
Mbah Jiwo kembali menoleh ke desa itu sejenak dan mendekat kearah roh-roh itu.

“Dimas dan Rumi.. mereka adalah cucu-cucu kalian. Saat ini mereka cucuku juga. Saya berjanji akan menjaga mereka dengan nyawa saya.
Bukan sekedar untuk menebus dosa, tapi karena saya menyayangi mereka dengan tulus”

Ucapan Mbah Jiwo mengantar kepergian roh-roh yang sudah terlepas dari makhluk yang mengikatnya itu. Tapi tidak hanya roh itu, sepertinya Mbah Jiwopun mulai terlepas dari beban atas dosa-dosa yang selama ini menghantuinya.

***

(Di Pemakaman Trah Biryasono..)

Sebuah celah kecil menuntun Dirga, Guntur, Jagad, Mbok Sar dan Nyai Jambrong ke sebuah pemakaman yang sangat tidak biasa.
Ada pohon-pohon yang tumbuh di dalam menjulang hingga keluar goa, sementara makam-makam itu terjajar rapi di dalam.

Tidak seperti di jalur masuk tadi, tempat ini sedikit terang dengan cahaya bulan yang masuk dari atas.
Walaupun langit-langintnya terbuka, mereka yakin jalur di luar hampir tidak bisa dilalui oleh manusia dengan mudah.
“Raden Darwana...”

Mbok Sar mengucapkan nama yang sepertinya sudah lama tidak ia dengar. Ia ingin memastikan siapakah laki-laki yang berdiri di tengah makam dengan kekuatan yang mengerikan itu.
Mendengar ucapan Mbok Sar, pria itupun menoleh ke arah kami.

Aneh.. ada yang sangat aneh dari tubuhnya, Terutama wajahnya. Wajahnya terkadang seperti berubah menjadi makhluk menyeramkan dan kadang seperti manusia. Mereka semua menduga bahwa orang itu sendiri mungkin tidak dapat mengendalikan hal itu.

“Tidak usah, seluruh saripati dari jasad-jasad yang ada di sini sudah lebih dari cukup. Jangan sia-siakan nyawamu cucuku” ucap sosok yang dipanggil dengan nama Raden Darwana oleh Mbok Sar itu.

“Cucu? Aku sama sekali tidak merasa ada hubungan darah dengan iblis sepertimu...” bantah Mbok Sar.
Raden Darwana tidak mempedulikan ucapan Mbok Sar. Sebaliknya ia menghancurkan salah satu makam di tempat itu dengan tangan kosong.

Tanganya menggenggam sebuah tengkorak yang terkubur di makam itu, menghancurkanya dan membuangnya.
Ia terus memasukan tanganya seolah mencari sesuatu yang berada di dalam makam.
“Hentikan!”

Mbok Sar terlihat kesal atas perlakuan Raden Darwana terhadap jasad-jasad yang telah terkubur di tempat itu. Nyai Jambrong menahan Mbok Sar untuk mendekat, ia tahu dengan jelas bahwa yang berada di hadapanya bukanlah makhluk biasa.

Perkiraan mereka benar.. Raden Darwana tidak sendirian. Saat mata mereka menyapu ke sekeliling goa, samar-samar terlihat dengan jelas beberapa sosok memantau mereka dari kejauahan.

Ada satu yang menarik perhatian Nyai Jambrong. Seorang kakek tua berambut putih panjang dengan kulit yang sudah membusuk. Tubuhnya hanya tertutup sehelai kain yang sudah lusuh.
Satu persatu Raden Darwana merogoh puluhan makam di tempat itu sembari mencari dengan hati-hati.

Tulang belulang dan bagian tubuh yang membusuk berserakan dari perbuatan Raden Darwana itu.
Lambat laun Mbok Sarpun tak mampu menahan emosi melihat jasad leluhur-leluhurnya diperlakukan seperti sampah oleh Raden Darwana.
“Mbok.. matanya Mbok Sar!”

Tiba-tiba Guntur berteriak saat melihat tetesan darah dari mata Mbok Sar yang mengalir di pipinya.
“Sudah kubilang! Jangan nekad!” Teriak Nyai Jambrong yang dengan kasarnya menjauhkan Mbok Sar dari tempat itu.

Rupanya sedaritadi Mbok Sar mencoba menyerang Raden Darwana dengan ilmunya, namun Mbok Sar kalah telak.
Mengetahui mengerikanya kemampuan Raden Darwana. Jagad bersama Nyai Jambrong mencoba menghentikan ritual yang dilakukan oleh Raden Darwana.

Jagad mengeluarkan sebuah keris dari tasnya dan membacakan sebuah doa. Ada kekuatan merah menyala dari celah warangkanya saat Jagad menarik keris itu keluar.
Jagad mengincar dengan benar posisi jantung Raden Darwana dan menghujamkan kerisnya itu, namun dengan sebuah gerakan Raden Darwana dapat menghindari serangan itu.

Di sisi satunya, Nyai Jambrong sudah bersiap mendaratkan kakinya di wajah Raden Darwana, namun sama saja. Tidak ada satupun serangan dari mereka yang mengenai sosok itu.

“Ki Walang Lunggono.. urus mereka”
Raden Darwana sama sekali tidak mempedulikan Nyai Jambrong dan Jagad. Ia hanya fokus mencari benda dari berbagai makam ya ada di sana.

Sebaliknya, kali ini sosok kakek menjijikkan yang dipanggil Ki Walang Lunggono itu sudah menghadang kami.
Jagad tidak ingin mengulur waktu lagi. Ia menyerang kakek itu bersama dengan nyai jambrong. Namun tiba-tiba tubuh mereka terhenti dengan sendirinya.

***

“Khekehke... nek kowe isih nom, musti tak jak njoged” (Khekhekeh... kalau kamu masih muda, pasti sudah aku ajak nari)
Ki Walang Lunggono meledek Nyai Jambrong yang sekuat tenaga berusaha menggerakkan dirinya.

Sementara itu Ki Walang Lunggono menari-nari dengan aneh seolah mempermainkan kami.
“Dirga!” Jagad berteriak memberi isyarat pada Dirga.

Tak berapa lama sebuah keris pusaka melayang menyerang ke arah Ki Walang Lunggono. Ia dapat menghindar dengan mudah, namun kakek itu tidak sadar bahwa ada sebuah keris lagi yang melayang menyerang kakinya.
“Bocah busuk...”

Merasa kesal dengan serangan Dirga, Ki Walang Lunggonopun mengejar sosok Dirga yang masih berusaha mendengalikan kerisnya. Dengan sigap Guntur menarik sarungnya dan mengibaskanya menghalangi pandangan kakek itu.

Tepat saat sampai di tempat Dirga, Kakek itu tidak menemui sosok yang melukainya itu.
“Aku ora sudi joged karo kirik!” (aku tidak sudi menari dengan anjing) ucap nyai Jambrong yang muncul di posisi Dirga.

Ia segera mendaratkan sebuah pukulan dari tanganya yang terikat sebuah tasbih. Kakek itu terpental, namun mereka tahu itu tidak fatal.
Saat mereka ingin kembali menyerang, tiba-tiba goa itu diselimuti dengan kekuatan yang menakutkan.

Mereka semua menoleh ke arah pemilik kekuatan itu.
Sekali lagi pemandangan mengerikan terlihat di hadapan mereka.
Raden Darwana menggenggam bola mata yang masih utuh yang ia dapat dari salah satu makam, ia memakanya tanpa tersisa.

Tak hanya itu, ada telinga, jari tangan, bagian yang tidak terbayangkan dari jasad di makam itu ia makan hingga habis.
“Rupanya ada bagian tubuh dari jasad itu yang tidak bisa membusuk” ucap Nyai Jambrong.
“Maksud nyai?” Tanya Jagad.

“Ada aliran di Tantra Kiri yang menggunakan bagian tubuh jasad manusia untuk mencapai kesempurnaan ilmunya. Lebih dari itu, jasad-jasad ini memiliki bagian tubuh yang hidup di dua alam dan tidak bisa membusuk.

Jika ritualnya berhasil, orang itu bisa kapan saja menggunakan kekuatan dari Jagad Segoro Demit” Jelas Nyai Jambrong.
“Maksudnya, Raden Darwana bisa terhubung dengan energi tak terbatas dari Jagad Segoro Demit?” Tanya Guntur.

“Benar.. itu salah satu cara yang ditawarkan padaku masih menganut ilmu hitam” Jelas Nyai Jambrong.
Mengetahui hal itu, sontak kami berempat menyerang Raden Darwana secara bersamaan. Tapi sekali lagi kami gagal..

Tubuh kami terhenti dengan mantra yang dinyanyikan Ki Walang Lunggowo.
“Hahaha..? hanya butuh seratus nyawa lagi”
Gumam Raden Darwana yang wujudnya tiba-tiba berubah menjadi hitam dan menghilang di balik bayangan.

Samar-samar merekapun merasakan kepergian sosok Raden Darwana.
“Dia kabur Nyai..” teriak Guntur.
“Kabur? Kowe kabeh ora pantes ngadhepi Raden. Kowe mung peparingane Raden kon dadi tumbalku“ (Kabur? Kalian yang sama sekali tidak pantas berhadapan dengan Raden.
Kalian hanya hadiah dari Raden untuk menjadi tumbalku.)

Benar saja, tak lama setelah kepergian Raden tiba-tiba tidak ada satupun dari mereka yang dapat bergerak. Mata mereka memerah dengan darah yang memaksa keluar dari setiap rongga di tubuh mereka.

“Demit sialan!” Teriak Dirga sembari menyerang Ki Walang Lunggowo dengan memerintahkan kerisnya, sayangnya kali ini makhluk itu bisa menghindarinya dengan mudah sembari menari memainkan langkahnya.

Tidak ada sedikitpun dari tarianya yang indah, ia hanya memutar sendi-sendinya dan memamerkan bagian busuk dari tubuhnya.
“Dirga, cukup!” teriak mas Jagad.
“Tapi mas..”

“Iya Dirga, wajahmu pucat.. fokus baca doa buat menangkal kutukan Ki Walang itu!” ucap Guntur yang sadar bahwa Dirga bisa saja kehilangan kesadaranya.
Selain karena kehabisan darah, jurus yang digunakan Dirga juga sayang membebani dirinya.

Tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi selain berusaha berusaha menahan kutukan Ki Walang Lunggono dengan Doa-doa dan ajian yang mereka bisa. Sayangnya itu hanya berhasil untuk mengulur waktu saja.

Ada sesuatu yang sepertinya Jagad rencanakan. Mulutnya membisikan sebuah mantra yang membuat kerisnya semakin menyala merah.
“Percuma saja bocah goblok, jurusmu itu tidak akan mampu melukaiku..” Ledek Ki Walang Lunggowo.

Jagad tidak gentar, tapi sepertinya ia juga menyadari akan hal itu. Jurus yang ia gunakan belum tentu bisa berhasil, namun setidaknya ia tidak ingin pasrah begitu saja mati di tempat ini.
“Ajian Watu Geni..”

Keris Jagad menyala bagaikan batu api, ia sekuat tenaga mengarahkan ujung kerisnya ke arah Ki Walang Lunggowo dan melontarkan cahaya merah seberti batu api ke tubuh kakek itu.
Dengan percaya diri Ki Walang Lunggowo bersiap menghindari serangan itu..
Tapi... ada yang aneh.

Ki Walang lunggawa tidak bergerak, malah sebaliknya ia menghentikan gerakanya seolah kesakitan di salah satu sisinya.
“Be..berhasil?” tanya Guntur.
“Bukan.. itu bukan kekuatanku” ucap Jagad.

Aneh, Tubuh Ki Walang Lunggowo terkoyak-koyak tanpa ada satupun dari mereka yang menyerang. Mereka semuapun mulai bisa menguasai tubuhnya kembali.
“Jagad... serang lagi! Kali ini gunakan darahmu di pusaka itu”

Tiba-tiba terdengar suara Mbok Sar yang memaksa masuk kembali ke dalam ruangan itu.
Jagad terlihat ragu, ia tidak mengerti. Seharusnya darahnya tidak akan berpengaruh terhadap pusaka itu.

“Jangan bingung, Danan sedang menghadapi tubuh asli kakek setan itu!” perintah Mbok Sar.
Ki Walang Lunggowo tersadar akan bahayanya serangan berikutnya, iapun memaksa dirinya untuk menerjang Jagad.
“Guntur.. giliranmu” perintah Nyai Jambrong.

Sebuah batu gunung di lemparkan oleh guntur ke arah kakek itu, namun dapat dihindarkan dengan mudah. Guntur sudah mengetahui itu dan menyusul dengan melepaskan sebuah tendangan kepada kakek itu.

“Mati saja kau bocah!” Ki Walang Lunggowo memutuskan untuk menghabisi guntur dengan kuku kukunya yang menghitam.
Sebelum serangan itu mengenai guntur, sesuatu menghantam kepala kakek itu dan membuat seranganya meleset.

“Rasain kakek peyot! kalau Mas jagad punya jurus Ajian Watu Geni, yang ini namanya Ajian Watu Sirah!” ledek guntur yang berhasil mengalihkan perhatian Ki Walang lunggono dan mendaratkan tendangan ke tubuhnya hingga terpental.

Ada Nyai Jambrong yang sudah menunggu kakek itu di belakangnya dan mendaratkan tendangan yang mengerikan di punggung Ki Walang Lunggowo.
“Krakkk!”
Terdengar seperti suara tulang yang patah dari tubuh kakek itu.
“Sekarang!” Perintah Nyai Jambrong.

Benar saja, Keris yang digenggam jagad berubah menjadi merah padam seperti sebuah keris yang baru saja selesai ditempa.
“Ajian Watu Geni Getih Abang...” Bisik Jagad mempersiapkan mentalnya.
“Ganti lagi nama jurusnya?” Tanya Guntur.

“Berisik! Terserah dia yang punya jurus” balas Nyai Jambrong.
Ki Walang Lunggono benar-benar ingin menghindar. Tapi ada sesuatu yang terus melukai tubuhnya dari sisi alam lain.
Dalam hitungan detik, keris Jagad mengoyak tubuh Ki Walang Lunggono.

Iapun tidak ingin melepaskan kesempatan itu dan memisahkan setiap bagian setan itu agar tidak berdaya.
Sayangnya keris yang Jagad gunakan tidak mampu menahan ajian itu dan pecah berkeping-keping.

“Aku akan kembali pulih dan menghabisi kalian dengan lebih mengerikan!” ancam Ki Walang Lunggono.
Namun ancamanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Api hitam tiba-tiba muncul membakar tubuh-tubuhnya.
“Tidak!! Apa ini!!!??!”

“I..itu jurus Paklek?” ucap Guntur yang berusaha memulihkan dirinya.
Mbok Sar terlihat mengangguk. Ia melemparkan sedikit air ke sebuah kubangan dan menunjukkan apa yang terjadi di alam Jagad Segoro Demit.

***

“Keempat makhluk lainya sudah menyatu dengan tubuh Raden!” Teriak Danan.

***

“Raden? Bukanya raden baru saja pergi meninggalkan goa ini untuk mencari tumbal?” Tanya Dirga.

Pemandangan di dalam genangan air itu menunjukkan keberadaan jasad Ki Walang Lunggono yang sama persis dengan yang barusan mereka kalahkan.
“Makhluk itu ada dua?” Guntur juga bingung.
Nyai Jambrong mendekat dan memperhatikan apa yang terlihat di sana.

Di hadapan Danan dan Cahyo terlihat sosok seseorang yang sama persis dengan Raden Darwana tadi.
“Jadi begitu...” ucap Nyai Jambrong.
“Begitu apa Mbah?” Tanya Guntur.
“Tubuh dan sukma mereka terbagi di dua alam, ini merepotkan..” Jelas Nyai Jambrong.

Nyai Jambrong bercerita bahwa ada sosok yang paling didewakan saat peperangan jaman kerajaan dulu. Mereka adalah sosok demit yang memiliki ilmu ini.
Saat demit ini dikalahkan ia tidak akan mati dan terus memulihkan dirinya selama ia masih hidup di alam lain.

Terlebih di Jagad Segoro Demit makhluk-makhluk itu memiliki energi yang cukup dari alam itu.
“Berarti kita bisa menang tadi karna mas Danan juga mengalahkan Ki Walang Lunggono di alam sana?” Tanya Dirga.
Nyai Jambrong mengangguk.

“Sudah tidak usah banyak bicara! Kalian kejar Raden Darwana.. Ratusan warga di kampung kulon terlihat mengamuk. Mereka kesurupan” Perintah Mbok Sar yang setengah mati menggunakan ilmu cenayangnya untuk mengetahui keberadaan Raden Darwana.

“Ayo mbok! Kita pergi!” Guntur mencoba membantu Mbok Sar, tapi ia menolak.
“Saya akan menuntun kalian dari tempat ini, harus ada yang menyambungkan kalian dengan Danan saat bertarung” Ucap Mbok Sar.

Nyai Jambrong menolak, ia segera berusaha menggendong Mbok Sar namun Mbok Sar melawanya dengan memukul kepalanya.
“Ora usah mekso.. kowe sing paling ngerti kahanan saiki!” (Tidak usah memaksa.. kamu yang paling tahu kondisi saat ini)

“Tapi yo ra mungkin tak tinggal kowe neng kene dewean” (Tapi ya nggak mungkin aku tinggal kamu di sini sendirian) balas Nyai Jambrong.
“Aku ora dewean” (Aku tidak sendiran) ucap Mbok Sar.
“Aku di sini bersama leluhurku...”

Melihat kebulatan tekad itu Nyai Jambrongpun memutuskan untuk mengikuti perintah Mbok Sar.
“Eling! Kowe musti tak jemput!” (Ingat! Kamu pasti aku jemput!) ucap Nyai Jambrong.

Merekapun bersiap untuk meninggalkan goa itu. Namun sebelum keluar, tiba-tiba Mbok Sar memanggil sekali lagi.
“Jagad Putra Sambara... Itu namamu kan?”
Jagad terhenti dan menoleh ke arah Mbok Sar.
“Iya mbok, ada apa dengan nama saya?”

“Kamu juga salah satu yang terpilih di Trahmu, kamu juga tidak lebih lemah dari Danan dan Bimo” ucap Mbok Sar dengan kata-kata yang mengambang.
Jagad berjalan mendekati Mbok Sar, namun mbok memberi tanda untuk menahanya.

“Penghancur pusaka.. itu gelarmu, aku tidak tahu lebih dari itu. Kenali leluhurmu lebih dalam untuk mencari tahu..” ucap Mbok Sar.
Jagad tidak puas, ia ingin kembali pada Mbok Sar namun Nyai Jambrong menariknya.

“Dia sudah bilang, dia tidak tahu lebih dari itu..” ucap Nyai Jambrong sembari menggiring mereka semua keluar dari goa itu.
Saat itu langit terlihat gelap menyembunyikan cahaya purnamanya. Ada rasa merinding yang membuat mereka berempat menoleh ke arah yang sama.

“Desa kulon... Cepat mas Jagad! Banyak yang mati di sana” ucap Dirga yang jantungnya seolah merasa teriris saat merasakan hawa mengerikan dari arah itu.
Merekapun sekuat tenaga meninggalkan hutan menuju tempat itu.

***

Dari dalam kegelapan muncul dua orang di belakang Mbok Sar.
“Sepertinya mereka sudah meninggalkan hutan..” ucap Pak Waja menghampiri Mbok Sar.
“Memangnya apa masalahnya bila mereka melihat apa yang akan kalian lakukan?” tanya Mbok Sar.

“Kami hanya tidak ingin mereka berpikir untuk melakukan apa yang akan kami lakukan ini kelak” Jawab Mbah Jiwo dengan menggenggam buku hitam di tanganya.
Mbok Sar mengehela nafas melihat tatapan sayu Pak Waja dan Mbah Jiwo.

“Ritual ini hanya bisa dilakukan oleh pendosa seperti kami..” ucap Pak Waja sembari menghampiri beberapa makam.

“Lakukan apa yang kalian butuhkan dari tempat ini.. bila jasad leluhurku tidak cukup, jangan ragu untuk menggunakan jasadku...” ucap Mbok Sar sembari mengambil posisi duduk bersila dihadapan sebuah genangan air.

***

(Sudut pandang Danan..)

Angin berhembus di padang pasir yang kami lewati. Saat ini aku masih memikirkan keadaan Jagad dan yang lain yang berusaha mengeluarkan kami dari alam ini.

“Nyi.. kenapa berhenti?” Tanya Cahyo yang melihat Nyi Sendang Rangu sesekali terhenti menoleh ke arah bangunan-bangunan misterius tadi.
“Tidak.. kita lanjut jalan saja” ucap Nyi Sendang Rangu.

Nyi Sendang Rangu berjalan melewati kami, tapi kali ini kami tidak menyusulnya. Iapun menoleh ke arah kami.
“Kita harus menghadapinya kan Nyi?” tanyaku.

“Bodoh itu sama saja bunuh diri!” ucap Nyi Sendang Rangu yang kembali berpaling untuk berangkat, tapi kami tidak bergerak sama sekali.

“Apa yang Jagad dan yang lain lakukan tidak lagi hanya tentang menyelamatkan kita kan Nyi? Kami tahu rencana mereka membawa mereka ke bahaya yang lebih besar” tambah Paklek.
Nyi Sendang Rangu yang mengerti kerasnya hati kamipun terhenti.

Ia mengibaskan selendangnya dan membuat kabut. Samar-samar ada bayangan Jagad, Dirga, Nyai Jambrong, dan Guntur yang sedang bertarung di mulut goa.
“Nenek cenayang itu masih mencoba menghubungkan inderanya denganku.

Pencarian mereka akan mempertemukan mereka dengan sosok yang disebut Raden Darwana itu” jelas Nyi Sendang Rangu.
“Tidak mungkin.. Jangan-jangan Raden Darwana itu sudah berhasil hidup di dua alam?” tanya Paklek.

Nyi Sendang Rangu mengangguk. Sepertinya ia mendapat penglihatan dari Mbok Sar.
Mendengar penjelasan itu, sontak tanpa berbicara kami semua menaiki tubuh Wanasura dan kliwon untuk kembali ke puing bangunan misterius itu.

“Lawan kalian kali ini diluar kemampuan kalian” Peringat Nyi Sendang Rangu
“Tidak ada yang sempurna selain Tuhan, aku percaya kita pasti akan menemukan kelemahan dari makhluk itu” ucapku.

Secepat mungkin kami kembali ke tempat mengerikan itu. Ada sebuah bangunan yang memancarkan hal mengerikan dari dalamnya.
Kamipun segera melompat ke arah komplek bangunan itu untuk mencari tahu apa yang terjadi di sana.

Tepat saat berada di tengah-tengah wilayah itu penciuaman kami terganggu dengan bau mayat menyengat dimana-mana.
“Ini seperti dulu Nan” ucap Cahyo yang mengingat kejadian di Omah Kandang Mayit dulu.

“Mungkin lebih mengerikan..” Balasku sembari menatap ke beberapa patung arca yang wujudnya tidak asing bagi kami.

***

Kami berhati-hati memasuki wilayah itu, sudah jelas banyak yang mengintai kami dari kejauhan namun sepertinya mereka tidak bermaksud mendekat tanpa adanya perintah.

Samar-samar terdengar suara nafas yang berat dari salah satu celah di sisi puing bangunan. Kliwon yang kembali ke wujud kera kecilnya tiba-tiba berlari menuju ke arah itu.
“Kliwon! Mau kemana?” panggil Cahyo.
Kami tidak punya pilihan selain mengikuti Kliwon.

Di alam ini, hampir setiap gerak-gerik kliwon pasti memiliki maksud.
Kliwon berlari menuju celah-celah reruntuhan, ia seolah memberi isyarat kepada kami untuk menyingkirkan batu-batu itu.

Ada sesuatu di tempat itu. Suara nafas yang berat terdengar semakin jelas. Ada sosok yang terbaring di tempat itu, tubuhnya tampak mengerikan. Ia terbaring dengan berbagai luka yang seharusnya sudah membuat makhluk itu mati.

“Grrr..“ makhluk itu waspada dengan kedatangan kami, namun sepertinya kliwon mampu menenangkanya.
“Itu makhluk apa Paklek?” Tanyaku.
“Mbuh Nan, tapi kalau Kliwon sampai berani mendekat mungkin saja bukan makhluk jahat” ucap Paklek.

***

“Kalian? Bagaimana manusia bisa ada di alam ini?” ucap makhluk itu.
“Kami tersesat, Njenengan siapa? Kenapa bisa luka separah ini?” Tanya Cahyo sembari menjemput kliwon.

“Kalau kalian tidak ada urusan, sebaiknya kalian segera tinggalkan tempat ini. Kalian pasti mati bila Raden dan anak buahnya menemukan kalian” ucap makhluk itu.
Kliwon melompat ke arah Paklek seolah memintanya untuk memulihkan sosok itu.

Paklek mengerti dan mencoba membantunya.
Ada cahaya dari Geni baraloka Paklek yang menerangi ruangan itu. Saat ini baru terlihat jelas, dia adalah makhluk menyerupai manusia yang tingginya hampir tiga meter.

Sebagian tubuhnya tertutup bulu dengan beberapa pusaka tersemat di bagian tubuhnya.
“Percuma, pusaka yang menopang hidup saya sudah diambil. Saya tetap akan mati” ucap makhluk itu.
Memang benar, Geni Baraloka Paklek bisa menutup luka makhluk itu.

Tetapi ada yang aneh, energi kehidupan makhluk itu tetap tidak kembali.
“Ma..maksudnya apa? Bagaimana bisa?” Tanya Paklek.

Nyi Sendang Rangu mendekat, ia menatap sosok makhluk itu.
“Dia bukan makhluk hidup biasa, dia adalah pusaka yang diberi kehidupan untuk sebuah misi.
Saat inti pusakanya diambil atau rusak ia akan mati” jelas Nyi Sendang Rangu.

Aku dan Cahyo saling menatap, baru kali ini aku dan Cahyo melihat pusaka hidup dalam arti yang sebenarnya.

Melihat kemampuan Paklek dan keberadaan Nyi Sendang Rangu, sepertinya makhluk itu memutuskan untuk berbicara sesuatu.
“Saya Yai Kulambang yang ditugaskan menjaga goa makam Trah Biryasono.
Saya ditarik ke alam ini, ada setan tua bernama Ki Walang Lunggowo yang menghabisi saya dan mengambil inti pusaka saya” jelasnya sembari menunjuk ke salah satu arca berwujud kakek tua.

“Untuk apa? Apa ada hubunganya dengan Raden Darwana?” tanyaku.

Yai Kulambang segera menoleh ke arahku saat menyebut nama itu. Firasatku benar, sepertinya keberadaanya juga ada hubunganya dengan musuh yang akan kami hadapi nanti.
“Apa kalian ke tempat ini dengan tujuan itu?” Tanya Yai Kulambang.

Kami mengangguk, secara singkat kami menceritakan tentang keadaan kami dan yang lain di alam manusia. Walaupun mustahil, resiko yang kami ambil sebanding dengan nyawa manusia yang dipertaruhkan.

“Setelah ini saya akan mati, tapi ada satu hal yang mungkin berguna untuk kalian” ucap Yai Kulambang.
Kami mendengarkan dengan seksama apa yang ingin ia sampaikan.
Ada lima titisan batara yang digambarkan oleh arca di tempat ini.

Raden Darwana berusaha memiliki semua kekuatan dari kelima makhluk itu.
Untuk menyatu dengan nyai wasihan, ia harus melakukan ritual senggama dengan jenazah manusia perempuan
Untuk menyatu dengan Dadung Gumotro, ia harus memakan sejumlah bagian tubuh dari jasad manusia cacat.

Untuk menyatu dengan Ular kembar Welang Turuh dan Weling Turuh ia harus mengganti kulit di tubuhnya dengan kulit jasad manusia yang masih tersisa setelah seratus hari.
Untuk menyatu dengan Ki Walang Lunggowo ia harus menukar jantungnya dengan jantung jasad titisan Batara.

Untuk melakukan semua itu Raden Darwana harus melintasi dua alam untuk mengumpulkan tumbalnya dan melakukan ritualnya.
“Saat ini ia sudah bersatu dengan keempat sosok selain Ki Walang Lunggowo. Saya tidak bisa menggambarkan kekuatanya saat ini” jelas Yai Kulambang.

“Pasti ada alasan mengapa ia tidak mendapatkan kekuatan Ki Walang Lunggono?” tanyaku.
Yai Kulambang kembali menjelasakan bahwa tidak ada Jantung titisan batara yang bisa didapatkan.

Walau begitu, dengan semua kekuatan yang Raden miliki ia bisa membuat Ki Walang Lunggono patuh padanya.
“Bila benar raden sekuat itu, apa benar ia tidak terkalahkan?” tanya Cahyo.
Yai Kulambang menggeleng.

“Ada bagian jasad kelima Trah Biryasono yang masih tersisa di alam ini, semuanya tersimpan di setiap patung arca. Bentuknya bisa serpihan tulang, tetesan darah, atau apapun.. mereka sengaja meninggalkanya saat mengembalikan makhluk-makhluk itu ke alam ini.

Jadikan itu semua benda yang bisa melepaskan kekuatan Raden Darwana.” Jelas Yai Kulambang.
Aku menatap ke arah setiap arca itu, dari awal aku sudah menduga bahwa patung itu adalah buatan manusia.

Mungkin saja mereka adalah orang-orang Trah Biryasono yang menyelamatkan kerajaan dulu.
“Ada satu lagi...” ucap yai Kulambang.
Kami bersiap mendengarkanya namun entah mengapa aku merasakan hal mengerikan mendekat ke arah kami.

***

“Khekhekhe.... Aku tertipu...”

Terdengar suara kakek tua mendekat kearah kami. Aku mengenal suara itu, begitu juga Cahyo dan Paklek.
“Paklek, setan itu...” ucap Cahyo.
“Benar, dia kakek tua yang dulu hampir membunuh kita di pabrik gula” balas Paklek.

Ada yang aneh di wajah Nyi Sendang Rangu, ia beberapa kali menatap tetesan air yang melayang di sekitarnya.
“Tidak mungkin... makhluk itu..” Nyi Sendang Rangu memastikan sekali lagi.
“Makhluk itu juga sedang bertarung dengan Jagad dan yang lainya di alam manusia”

Tunggu, apa maksudnya ini? apa ada dua sosok Ki Walang Lunggowo?
“Khekehkehke... jangan samakan kami dengan makhluk rendahan seperti kalian, dengan kekuatan raden saat ini. Aku bisa berada di dua alam sekaligus.. khekehkeh” teriaknya.

Tanpa kami sadari tiba-tiba sosok kakek itu sudah berada di dekat yai kulambang. Sontak kliwon berubah ke wujud kera raksasa dan mengusirnya, namun kakek itu terlihat tidak gentar.

Setiap serangan Kliwon tidak ada yang berhasil mengenai kakek itu, sebaliknya kliwon terlihat kesakitan dengan darah yang mengalir dari setiap tubang di wajahnya.
“Kliwon! Mundur!” Perintah Cahyo yang bergantian menyerang kakek itu, namun sayangnya tubuhnya terhenti.

Ada mantra mengerikan di sekitar kakek itu.
“Inti pusakamu hanya mampu memberikan daya hidup, tapi ada sesuatu yang lebih berharga dari itu kan?” ucap Ki Walang Lunggowo.
Yai Kulambang terlihat panik, ia mencoba menjauh dari Ki Walang Lunggowo.

“Jangan! Jangan sampai makhluk itu mendapatkan bola mata saya! Itu satu-satunya peninggalan Raden Cokro untuk menghentikan Raden Darwana” teriak Yai Kulambang panik.
Seketika itu juga kami mendekat menyerang Ki Walang Lunggowo.

Berat... begitu berat, setiap mendekat ke arahanya tubuh kami seolah terhenti dengan rasa sakit yang ingin meledak. Bahkan Nyi Sendang Rangupun tidak bisa menahan semua kutukan di sekitar Ki Walang Lunggowo.

Tapi... tepat saat kakek tua itu berhasil mendekati Yai Kulambang, tiba-tiba muncul kilatan bersama sosok bayangan hitam yang mendekati Yai Kulambang.
“Maafkan saya..”
Samar-samar terdengar suara yang kami kenal dari arah bayangan itu.

***

Sosok itu semakin terlihat jelas, dengan tangan kosong ia mencungkil kedua bola mata Yai Kulambang dengan sadisnya.
“Mbah Jiwo! Itu Mbah Jiwo!” teriak Cahyo.
Kami semua menoleh dan menyaksikan apa yang dilakukan olehnya.

“Mbah! Apa maksudnya ini? dia bukan makhluk jahat” Teriakku.
Mbah Jiwo tidak membalas, sebaliknya ia malah terjatuh dan memuntahkan darah.

Walau begitu ia tidak menghentikan ritualnya dan dengan tangan kosong meleburkan kedua bola mata itu bersama batuan ditanganya hingga menjadi dua buah batu bulat.
“Tidak ada waktu menjelaskan, ini bukan lagi tentang mengembalikan kalian dari alam ini.

Ada ratusan nyawa yang bergantung dengan nyawa kalian. Termasuk nyawa Dirga dan yang lain” Teriak Mbah Jiwo sembari melemparkan salah satu pusaka yang ia buat dari mata Yai Kulambang.
“Apa ini Mbah?” tanyaku.

“Biar aku yang menjelaskan! Pergi selamatkan dirimu!” teriak Yai Kulambang pada Mbah Jiwo.
Aku tidak menyangka Yai kulambang akan mengatakan hal itu pada seseorang yang telah mencungkil kedua bola matanya.
“Dan... terima kasih” ucapnya Yai Kulambang yang semakin lemah.

Ki Walang Lunggowo tidak berniat melepaskan Mbah Jiwo, sedari tadi ia mencoba menyerangnya namun ada kekuatan tak kasat mata yang melindungi Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo berjalan tertatih menuju kilatan tempatnya datang. Kami hendak membantunya namun Paklek menahanku.

“Sudah ada yang menjaganya” ucap Paklek.
Benar saja, samar-samar aku melihat sosok rangda yang tengah mempertahankan mati-matian celah itu. Serangan Ki Walang Lunggowo tertahan oleh kekuatan Pak Waja yang menjaganya dari balik celah itu.

“Teman kalian sedang dalam bahaya! Aku melihatnya dari mataku yang dibawa oleh temanmu” Yai Kulambang memperingatkan.
“Apa yang harus kami lakukan?” Saat itu juga kami panik dan bingung.

“Serang kakek brengsek itu dengan pusaka yang dibuat dari bola mataku!” Perintah Yai Kulambang.
Aku terlihat bingung, tapi tidak dengan Cahyo. Ia segera merebut batu bulat itu.
“Wanasura! Kembali!”

Cahyo memerintahkan Wanasura kembali ke tubuhnya. Ia memperkuat lenganya dengan kekuatan wanasura dan menghantam Ki Walang Lunggowo sekuat-kuatnya.
Berhasil...
Serangan Cahyo berhasil membuat setan kakek itu terpental dan memuntahkan darahnya.
“Bocah Brengsek!”

Ki Walang Lunggowo merapalkan kutukan di sekitarnya. Ia menari dengan aneh dan setiap Cahyo mendekat, Cahyo selalu terpental dengan rasa sakit yang seketika muncul di tubuhnya.

“Terus Jul!” teriak Paklek sembari membakar tubuh Cahyo dengan geni baraloka untuk meringankan luka ia dapat dari kutukan kakek itu.
Kliwon tidak tinggal diam, tanpa sadar ia sudah berada jauh di arca berbentuk Ki Walang Lunggowo dan menghancurkanya.
“Monyet sialan!”

Kliwon kembali ke tubuh kecilnya dan menemukan sebuah serpihan tulang belulang manusia di dalam arca itu.
Tanpa sadar tiba-tiba Ki Walang lunggowo memuntahkan darah hitam sekali lagi. Aku menduga bahwa Jagad dan yang lain juga sedang melawan dari sisi lain.

Aku membacakan sebuah mantra pada Keris Ragasukma yang kini ada di genggamanku. Sebuah kilatan putih menyelimutinya dan sekuat tenaga aku melemparkan kerisku hingga melubangi tubuhnya.

Sebelum sempat memulihkan diri Cahyo menghantamkan Ki Walang Lunggowo bertubi-tubi dengan kekuatan wanasura.
“Akan kubalas kalian nanti! Akan kuhabisi dulu teman kalian di alam sana!” ancam Ki Walang lunggowo yang tubuhnya mulai menghilang sebagian.

Namun Paklek tidak tinggal diam, menorehkan sisi hitam keris sukma geni pada tubuh ki walang lunggawa berkali kali dan membacakan sebuah mantra.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close