Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Danan & Cahyo (Part 2) - Jembatan Dua Alam

Danan dan yang lain berpapasan dengan sosok mengerikan yang pernah mereka lawan di alam manusia.

Sementara Pak Waja dan Mbah Jiwo berjuang melawan kutukan masa lalu Mbah Jiwo.

dan Nyai Jambrong masih...


JEJAKMISTERI - “Akhirnya kita tahu mengapa arca berwujud makhluk-makhluk aneh itu tidak pernah ditemukan sejarahnya, ternyata ada hubungnya dengan tempat ini” balas Paklek.
Selang beberapa lama tiba-tiba muncul getaran dari sekitar bangunan itu.

Ada bayangan hitam yang membentuk sebuah lingkaran. Bayangan itu semakin pekat hingga setelahnya muncul sesuatu yang terjatuh di altar sesembahan itu.

Manusia...

Tidak, itu adalah jasad wanita yang telah mati.

Ada lima jasad yang muncul di tempat pemujaan yang tersedia di sana. Kami sama sekali tidak membayangkan apa yang akan terjadi, tapi itu semua terjawab ketika sosok manusia itu keluar dari tempatnya tanpa sehelai benangpun ditubuhnya.
Menjijikkan..

Kami menahan rasa mual kami saat menyaksikan manusia itu menyetubuhi satu-persatu jasad yang ada di tempat itu.
“Ritual Tantra Kiri, tapi paklek belum pernah melihat yang semengerikan ini” gumam paklek.

Aku menoleh ke arah paklek, ia juga terlihat sedang menahan rasa jijiknya. Namun dibalik itu, pasti ada perasaan mengerikan dari hasil ritual ini.
“Nan.. sepertinya kita pernah melihat yang seperti ini?” ucap Cahyo.

Aku mencoba mencerna ucapan Cahyo. Dia benar, tidak mungkin kami lupa kejadian saat kami masih sekolah. Kejadian serupa terjadi di sebuah rumah di desa yang telah ditinggalkan oleh penghuninya sewaktu kami masih sekolah dulu.

“Pergi! Kita pergi dari sini!” Perintah Nyi Sendang Rangu tiba-tiba.
“Ada apa Nyi?” Tanya Cahyo bingung.
“Sudah nurut saja!” Balasku sembari menarik tubuh Cahyo.

Memang semenjak berada di alam ini petunjuk Nyi Sendang Rangulah yang bisa membuat kami bertahan hidup. Tapi kali ini wajahnya terlihat cemas.
Tak lama rasa penasaranku terjawab. Kekuatan besar yang mengerikan muncul dari tempat dimana manusia itu melakukan ritual.

Ada sesuatu yang mengganjal ingatanku. Tapi rupanya tak hanya aku, Cahyopun ikut terhenti dan menoleh sekilas ke tempat tadi.
“Danan.. suara raungan itu..” ucap Cahyo.
“Bener Jul, Suara tembang yang sumbang itu...”

Sepertinya paklek juga merasakan perasaan yang sama seperti kami, tapi paklek lebih memilih menarik kami dan memastikan kami menjauh dari tempat itu.
“Paklek... setan-setan itu” ucapku mencoba mengingatkan paklek.

“Diam! Jangan sampai kita berhadapan dengan makhluk-makhluk itu. Di alam manusia saja tidak ada cara untuk membunuh mereka, apalagi di alam ini” ucap Paklek.
Benar ucapan paklek, tapi biar bagaimanapun keberadaan makhluk itu sempat membawa mimpi buruk untuk kami.

Tangan Cahyopun terlihat menggenggam dengan keras menahan rasa kesalnya.
“Dadung gumotro... aku masih ingat namanya Nan” ucap Cahyo.
Mendengar nama itu seketikan Nyi sendang rangu terhenti.
“Nama itu? apa benar itu nama makhluk yang berada di sana?” tanya Nyi Sendang Rangu.

Aku mengangguk memastikan ingatanku juga sama dengan Cahyo.
“Pergi! Jangan berurusan dengan mereka!” wajah Nyi Sendang Rangu yang selama ini tidak pernah gentar dengan siapapun kini terlihat ragu.

Tapi aku khawatir, saat kami dipertemukan lagi. Aku takut bahwa ini adalah takdir bahwa kami harus menghadapinya tak lama lagi.

***

(Di desa Mbah Jiwo)
Sebuah gapura tua terpampang di hadapan Pak Waja dan Mbah Jiwo. Itu hanya gapura kayu lapuk yang bahkan nama desanyapun sudah tidak terbaca.

Bahkan butuh berjalan hampir satu jam dari gapura yang terletak di mulut hutan itu untuk mencapai tempat yang dituju Mbah Jiwo.

“Jadi ini tempatnya?” Tanya Pak Waja dengan wajah yang canggung.

“Iya Pak Waja, saat menginjakkan kaki di tempat ini semua orang pasti dapat merasakan dosa-dosa yang telah diperbuat oleh leluhur saya..” ucap Mbah Jiwo.

Pak Waja terlihat sedih, ia seperti merasakan sesuatu dari tempat itu.

lagipula tanpa kemampuanya saja semua yang terlihat di depan mata mereka berdua saat ini sudah dapat menggambarkan apa yang pernah terjadi di desa itu.
Saat ini hanya puing-puing rumah yang sudah tidak berbentuk yang ada di sana..

Tapi tidak sedikit tulang belulang berserakan di tempat ini.
Di beberapa pohon masih terikat terngkorak kepala yang telah terpisah dari tubunya yang terjatuh. Siapapun yang melihat tempat itu saat ini pasti memahami..

Bukan sekedar pembunuhan yang terjadi di sana. Tapi pembantaian..
“Apa yang terjadi di sini Mbah Jiwo, saya tidak bisa membayangkan semengerikan apa saat itu. Bahkan saat ini teriakan-teriakan mereka terngiang-ngiang di telinga saya” tanya Pak Waja yang terlihat begitu terpukul.

Mbah Jiwo mengusap air matanya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi di tempat ini saat ia masih sangat kecil.
“Saya tidak tahu akar permasalahanya Pak Waja, semua terjadi begitu saja. Yang bisa kupastikan, ini semua adalah bunga dari ketamakan kami saat itu” jelas Mbah Jiwo.

Yang Mbah Jiwo tahu, berbagai kejadian terjadi antar kedua desa yang sebelumnya hidup berdampingan.
Desa Dawusetro dikuasai oleh leluhur Mbah Jiwo yang dikenal sebagai penempa pusaka terpandang.

Dan desa Kumolorandu dikuasai oleh warga yang mengasingkan diri dari peperangan saat itu.

Entah pertikaian bermula dari mana tapi di antara warga tersebar kabar bahwa Mpu dari desa Dawusetro dibunuh oleh salah satu keluarga di desa kumolorandu

Dengan keris yang ditempa oleh Mpu itu sendiri. Ada yang bilang itu adalah balas dendam, tapi tidak ada yang bisa membuktikan kebenaran atas insiden itu.
Mbah Jiwo masuk ke dalam desa sembari mendoakan satu persatu tulang belulang yang ia temui di desa itu.

“Ada yang bilang, leluhur saya membuat pusaka sakti dari tulang belulang anak kandung seseorang yang meminta dibuatkan pusaka. Entah sadar atau tidak orang itu menyetujuinya” Jelas Mbah Jiwo.
Pak Waja berusaha untuk tidak memotong cerita Mbah Jiwo.

“Mendengar hal itu, salah satu anggota keluarga lainya marah dan membunuh leluhur saya yang menempa pusaka itu. Iapun merampas kitab milik leluhur saya dan menyimpanya di desa Kumolorandu.

Sejak itulah leluhur saya tak henti-hentinya menyerang desa itu untuk merebut kembali kitab itu.”
Pak Waja menggeleng, ia merasa ada yang kurang dari cerita Mbah Jiwo.

“Ada kekuatan lain, aku merasakan ada kekuatan lain yang ikut campur dengan hal itu” ucap Pak Waja yang merasakan sisa-sisa residu kekuatan lain di beberapa sisi desa.

Mbah Jiwo mengangguk. Ia menceritakan bahwa untuk membalas serangan leluhurnya ada sebuah trah yang melakukan ritual terlarang.
Ia mempersembahakan enam buah kepala perempuan untuk mengikat perjanjian dengan sosok yang menyerupai dewi ular.

Dengan kekuatan sebesar itu dari kedua pihak, desa di tengah hutan ini menjadi medan perang. Makhluk-makhluk kiriman bermunculan memangsa anak kecil, ilmu-ilmu hitam saling menghabisi warga yang tidak berdosa..

Dan hanya sebagian kecil dari kedua desa yang bisa melarikan diri dari tragedi itu.
Pak Waja mendengarkan kisah Mbah Jiwo dengan emosi yang tidak beraturan. Jelas ia merasakan keberadaan roh-roh yang masih penasaran di sekitar desa ini.

Mereka berduapun berjalan ke sebuah bekas bangunan besar yang sudah ambruk. Tapi bukan tempat itu yang ia tuju. Ada kuburan yang tetap terlihat megah walau sudah dipenuhi tumbuhan-tumbuhan di sekitarnya.

“Kalau ada tempat teraman dimana kitab itu disembunyikan, itu pasti di tempat ini” ucap Mbah Jiwo.
Ia mencari beberapa benda dan menemukan cangkul yang sudah berkarat di salah satu sudut bangunan.

Mbah Jiwo membawa cangkul itu ke salah satu makam yang cukup megah dan menggalinya dengan hati-hati. Pak Waja mencoba mencari sesuatu untuk membantu Mbah Jiwo menggali. Tapi saat ia berpaling, tanpa sadar sudah ada seseorang yang memperhatikan mereka dari jauh.

“Ma..maaf, bapak siapa?” tanya Pak Waja pada sesorang yang memperhatikan mereka.

Orang itu tidak menjawab, tapi dari raut wajahnya terlihat amarah yang sangat jelas. Mungkin itu wajar, ia melihat seseorang membongkar makam di desanya. Itu bukanlah hal yang bisa dibenarkan.

“Pak Waja, seharusnya sudah tidak ada manusia yang tinggal di desa ini” ucap Mbah Jiwo yang segera menghentikan pekerjaanya dan menghampiri Pak Waja.
Benar saja, semakin lama mereka memperhatikan orang itu tiba-tiba hal aneh mulai terjadi.

Seketika langit menjadi gelap, tanaman-tanaman di seketar mereka menjadi kering dengan tanah yang digenangi darah.
“Mbah Jiwo, hati-hati..” peringat Pak Waja.

Saat itu tempat yang sebelumnya sudah mengerikanpun kini berubah semakin kelam. Angin dingin berhembus menyelimuti mereka berdua bersama suara-suara yang perlahan mendekat.

Perlahan satu persatu muncul sosok yang memenuhi desa tersebut dengan wajah pucat dan kondisi yang mengerikan. Ada yang seluruh tubuhnya gosong seolah terbakar api, hingga sosok dengan tubuh yang tidak lengkap.

“Kami sudah menanti kedatanganmu! Dendam kami harus terbalaskan agar kami tenang” ucap salah satu dari makhluk itu.
Mbah Jiwo memperhatikan beberapa sosok yang muncul. Cara berpakaian..

Ciri-ciri tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka adalah warga desa tempat Mbah Jiwo tinggal dulu.
“Mereka mengincar saya..” ucap Mbah Jiwo.
“Memangnya siapa mereka mbah?” Tanya Pak Waja.

“Mereka adalah warga desa yang mati secara tidak wajar oleh serangan ilmu hitam leluhur Saya. Mereka ingin membalas darah mereka yang tertumpah” Jelas Mbah Jiwo.
Tanpa sadar tiba-tiba Mbah Jiwo terjatuh oleh sepasang tangan yang menarik tubuhnya dari dalam tanah.

Pak Waja segera menolongnya dan membantu Mbah Jiwo kembali berdiri. Sayangnya keadaan semakin diluar kendali.
Satu persatu jasad manusia terbangun dari tanah tempat mereka berpijak saat ini. Itu adalah jasad manusia yang dikuburkan dengan tidak sempurna.

Pak Waja membacakan mantra yang ia mengerti untuk menenangkan sosok-sosok itu, beberapa dari makhluk warga desa itu bisa lenyap namun yang tersisa masih sangat banyak.
“Siluman yang kalian kirim telah membunuh anakku”

Teriak sosok setan berwujud ibu yang mencoba mencekek Mbah Jiwo.
“Apa salah istri saya hingga kau bakar sampai tak bersisa” satu lagi roh seorang pria yang wajahnya terbelah mencoba menyerang Mbah Jiwo.

Mbah Jiwo tidak melawan, ia terlihat ragu dengan apa yang akan ia lakukan. Pak Waja yang sadar dengan keadaan Mbah Jiwo segera mengambil sikap.
Ia mengambil sebuah cawan kuningan dari tas kainya dan membancakan mantra sembari beberapa kali mendengtinkan cawan itu.

Suara itu menggema hingga ke seluruh hutan.
Seluruh makhluk yang ada dihutan itu terlihat kesakitan sementara langit samar-samar seperti pecah dan kembali seperti semula. Secepat mungkin Pak Waja menarik Mbah Jiwo kembali ke arah mereka datang.

“Lari! Tidak ada yang bisa kita perbuat!” Perintah Pak Waja.
Mbah Jiwo mengikuti perintah Pak Waja, namun sesekali ia masih menoleh ke arah makhluk-makhluk itu.
Setelah berlari cukup jauh, suasana hutan berubah seperti sebelumnya.

Sosok yang menyerang merekapun menghilang. Saat merasakan keadaan sudah mulai aman, merekapun berhenti dan memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon.
“Maafkan saya Waja, ada perasaan bersalah yang membuat saya tidak mampu melawan mereka” ucap Mbah Jiwo.

“Sudah tidak usah dipikirkan Mbah, untuk itulah saya ikut mendampingi Mbah Jiwo..” balas Pak Waja.
Merekapun menarik nafas sejenak dan meminum air perbekalan yang mereka bawa.

Terlihat Mbah Jiwo tidak pernah menyangka kalau ia akan menghadapi sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya seperti ini.
“Mungkin saya bisa mengambil kesimpulan mbah” ucap Pak Waja.
“Maksudnya?”

“Ini semua adalah tentang keputusan Mbah Jiwo. Pertama apakah Mbah Jiwo tega dengan sosok-sosok korban leluhur Mbah Jiwo? Dan kalaupun iya, yang kedua apa Mbah Jiwo akan menggunakan kitab terlarang itu? semua keputusan itu tentang Mbah Jiwo” Jelas Pak Waja.

Mbah Jiwo benar-benar memikirkan ucapan Pak Waja. Ia tahu benar kedua itu adalah dilema dari permasalahanya.
Ia berdiri menatap desa itu dari kejauhan mencoba membayangkan semua kemungkinan dari keputusan yang akan ia ambil.

“Waja, bila saya mengambil kitab itu dengan paksa dan menggunakanya, apa saya juga akan menjadi setan seperti leluhur saya?” tanya Mbah Jiwo.
Pak Waja ikut berdiri dan berjalan ke sisi Mbah Jiwo.

“Di ajaran yang saya dalami, hitam dan putih akan selalu ada dan akan saling menyeimbangkan. Untuk mencapai titik ini entah sudah berapa dosa yang telah saya perbuat.
Saya yakin Mbah Jiwo sudah ditakdirakan untuk mengambil keputusan yang tepat.” Ucap Pak Waja.

Mbah Jiwo kembali menarik nafasnya dan meneguhkan hatinya. Bersamaan dengan itu ia merasakan telefon genggamnya bergetar. Iapun mengeluarkanya dari tas dan memandangnya.
Ada sebuah pesan tertulis di layarnya.

***

“Mbah? Lagi nggak di rumah ya? Jaga kesehatan ya.. Obat rematiknya jangan lupa diminum. Rumah sudah kami beresin, kalau sudah pulang info ke kami ya
–Ismi, Dimas, Rumi”

Sontak mata Mbah Jiwo berkaca-kaca ia memasukkan telepon genggamnya kembali menarik nafas dalam dalam.

“Semoga keputusan saya tepat..” ucap Mbah Jiwo sembari kembali berjalan ke arah desa itu.
Pak Waja terlihat tersenyum dan mengikuti langkahnya dari belakang.

***

(Sudut pandang Dirga…)

Sebuah cerita yang sulit dipercaya terdengar dari seorang nenek yang berasal dari Trah Biryasono. Ia memperkenalkan diri dengan nama Kanjeng Sarwinah Biryasono.

“Kanjeng Sarwinah benar-benar pernah bertemu dengan Mas Cahyo bertahun-tahun yang lalu?” Tanya Guntur.
“Kalau kalian panggil saja saya Mbok Sar. Tidak hanya Cahyo. Saya juga bertemu Danan dan Pakleknya.” Jelas Mbok Sar.

Ia menceritakan tentang hal yang sulit dipercaya. Saat itu ia hampir mati untuk menjadi tumbal ritual sosok dukun nenek tua di pabrik gula. Kelima saudaranya sudah mati, namun Cahyo menemukan Mbok Sar dan menolongnya.

“Dengan mantra yang kuketahui dan darah dari jasad saudara saya, kamipun mengembalikan iblis-iblis itu ke tempat asalnya. Seharusnya saya juga ikut terbawa ke alam itu, tapi entah mengapa hal itu tidak terjadi.” Jelas Mbok Sar.

“Khekhekhe... kuwi mergo kowe isih nduwe utang karo aku” (Khekehkehe... itu karena kamu masih punya hutang sama aku) Ledek Nyai Jambrong.
“Kalau benar utangmu nggak bakal saya bayar..” Balas Mbok Sar.

“Tapi sejak saat itu saya mencoba mencari penyebab hal itu. Setidaknya untuk mengantisipasi bila ada kejadian serupa kami tidak harus mengorbankan nyawa” tambahnya.

Mendengar ucapan itu kamipun menjadi semangat.

“Berarti ada cara untuk mengembalikan Mas Cahyo dan yang lain tanpa harus mengorbankan nyawa keluarga Mbok Sar?” Tanya Guntur semangat.

Mbok Sar menggeleng.

“Memang ada caranya, tapi belum tentu bisa kita lakukan” jawab Mbok Sar.

Sontak wajah kecewa kembali terpampang diantara kami, tapi tidak dengan Nyai Jambrong. Ia terus menatap Mbok Sar seolah mengetahui masih ada hal lain yang diketahui Mbok Sar.

“Khikhi... dasar nenek tua, sudah ceritakan saja rencanamu” ucap Nyai Jambrong.

“Kau itu nenek peyot tidak sabaran, setidaknya biar anak-anak muda ini berpikir dulu” balas Mbok Sar.
Mengetahui rencananya dibongkar oleh Nyai Jambrong, Mbok Sarpun menceritakan sesuatu yang sepertinya memang disiapkan untuk kedatangan kami.

“Trah Biryasono sudah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Saat kembalinya Raden Cokro dari Jagad Segoro Demit ia terus meminta keturunanya untuk mencari cara agar bisa menghapuskan kutukan ini” cerita Mbok Sar.

Semakin dalam, ia bercerita bahwa leluhur keluarga Briyasono sempat menemukan beberapa keturunan khusus yang lahir setiap rabu kliwon. Beberapa dari mereka dirasakan tidak terikat dengan Jagad Segoro Demit, namun mereka masih bisa menghubungkan kedua alam ini.

Hanya saja tubuhnya tidak akan ikut terbawa ke sana.
“Lantas dimana orang itu Mbok Sar?” tanya Mas Jagad.
Mbok Sar menghela nafas sepertinya ia bersiap menerima rasa kecewa kami.

“Sudah lebih dari tiga keturunan tidak ada yang lahir pada weton itu” ucap Mbok Sar.

“Mbok Sar sendiri?” Tanya Mas Jagad.
“Bukan, yang terjadi pada saya bukanlah hal yang wajar” jawabnya.
Aku masih terus memperhatikan cerita Mbok Sar. Pasti ada alasan ia menceritakan hal itu pada kami.

“Tapi leluhur saya sudah bersiap. Mereka membuat pemakaman khusus untuk anggota keluarga yang lahir pada Rabu Kliwon. Memang ada keanehan terhadap jasad mereka, mungkin saja hal itu bisa berguna bila dipertemukan dengan sesuatu yang sedang diambil oleh teman kalian”

Jelas Mbok Sar.
Teman? Dari ucapan Mbok Sar aku tergambar tentang Mbah Jiwo dan Pak Waja yang mencari kitab terlarang milik leluhur Mbah Jiwo.

“Kenapa Mbok Sar bisa tahu tentang itu semua?” tanya Guntur.

“Khekheke... dia itu cenayang. Jangan dinilai dilihat penampilanya saja” ucap Nyai Jambrong.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita langsung ke pemakaman saja? Mungkin kita bisa mendapat petunjuk” Ajak Mas Jagad.

Mbok Sar menatap Mas Jagad, ia tidak langsung menjawab dan malah berdiri dari tempat duduknya.

“Pemakaman itu sudah seperti harta karun bagi beberapa dukun, saat kesana kalian pasti akan berhadapan dengan berbagai hal yang mengerikan.

Mereka mencoba menembus pelindung yang dibuat oleh leleuhur kami. Bahkan sudah berpuluh-puluh tahun tidak ada keluarga kami yang berani ke sana” Jelas Mbok Sar.
Ia berjalan kembali sembari membawa sebuah tempayan air.

Guntur berdiri membantu membawakanya mendekat ke arah kami bersama satu buah jrigen yang berisi air.

“Ini buat apa mbok?” tanya Guntur

“Selain itu hal tadi, ada juga yang ingin kutunjukkan dulu kepada kalian sebelum kita pergi” tambah Mbok Sar.

Ia meletakkan tempayan itu ditengah-tengah kami dan menuangkan air dari jrigen itu ke tempayan. Beberapa rupa kembang ia masukkan ke dalamnya dan dibiarkan mengambang. Ia menggigit jarinya sendiri dan meneteskan darahnya ke tempat itu.

“Tadi saya cerita, kalau ada trah kami yang bisa mengendalikan kesadaran kami di Jagad Alam Ghaib. Sayangnya walau begitu, kami hanya merasakan keberadaan kami di sana dan tidak bisa melakukan apapun.
Tapi saya melihat ada sosok dewi sendang yang melindungi teman-teman kalian.

Sayapun mencari air dari sendang itu, semoga saja ini berhasil” ucapnya.
Aku mulai bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Mbok Sar. Semoga saja itu benar.
Ada beberapa mantra panjang yang ia bacakan. Ucapan mantranya ia bacakan sembari meneteskan darah pada air.

Anehnya darah itu membentuk sebuah aksara yang mengambang di air itu.
Saat itu suasana di ruangan berubah menjadi berbeda. Entah aku tidak dapat merasakan apakah ini baik atau buruk, Tapi aku tahu pasti ada perubahan di dalam air di tempayan itu.

Air yang sebelumnya memantulkan wajah kami kini mulai berubah menunjukkan sebuah tempat menyerupai padang pasir. Bersamaan dengan perubahan itu Mbok Sar menjadi terdiam seolah tubuhnya tidak memiliki kesadaran kembali.

***

“Nyi, kenapa berhenti?” samar-samar terdengar suara Mas Cahyo dari arah tempayan.
“Saya merasakan sesuatu... tunggu sebentar” kali ini suara Nyi Sendang Rangu yang terdengar.

***

Kami semua melihat pantulan keberadaan Mas Danan dan yang lainya dari tempayan itu. Mereka semua terlihat kumal dengan pakaian yang mulai lusuh.
“Mas Danan!” Teriakku mencoba memanggil namun sepertinya mereka tidak bisa mendengar.

“Hanya suaraku yang bisa terdengar oleh mereka” ucap Mbok Sar tiba-tiba.
Tapi kali ini suaranya berasal dari arah tempayan itu. Sepertinya itu adalah kesadaran Mbok Sar yang sudah berpindah ke Jagad Segoro Demit. Bayanganya terlihat dari air yang mengambang-ngambang di sana.

“Siapa kamu? Mengapa aku merasakan keberadaan air sendangku?” Tanya Nyi Sendang Rangu dengan Waspada.
“Sabar Nyi.. saya hanya ingin menunjukkan keadaan kalian kepada mereka yang khawatir. Ada dua anak kecil, seorang pria, dan seorang nenek tua peyot yang bersamaku saat ini” ucap Mbok Sar.

“Dua anak kecil? pasti Guntur sama Dirga?” Potong Mas Cahyo.
“Khekhe... betul nak, sayangnya hanya kesadaran saya yang ada di sini. Bertahanlah sebentar, kami sudah dapat petunjuk untuk mengembalikan kalian” balas Mbok Sar.

Cukup lama perbincangan itu terjadi. Paklek, Mas Cahyo, dan Mas Danan hampir tidak percaya bahwa Mbok Sar adalah seorang nenek yang ia tolong bertahun-tahun yang lalu.
Lewat Mbok Sar kami juga menceritakan rencana kami untuk mengembalikan mereka.

Seperti yang kami duga, mereka menentang dengan keras bila harus menukar kembalinya mereka dengan nyawa orang lain.
“Mbok.. kalau ingat tentang kejadian dulu, dukun nenek itu memiliki sosok tuan yang dipanggil dengan sebutan ‘Raden’.

Dari simbol yang muncul saat ritual di pabrik gula, saya merasa itu ada hubunganya dengan sosok ‘Raden’ yang pernah kami lihat saat masih sekolah dulu” Mas Danan sepertinya mencoba mencari petunjuk dari Mbok Sar.

Mata Mbok Sar terlihat mengernyit mencoba memahami maksud mas Danan.
“Di tempat ini kami melihat lima bangunan menyerupai candi. Saat di sana kami merasakan keberadaan makhluk yang kami lawan di pabrik gula itu.

Ada juga sosok manusia yang bentuk tubuhnya mirip dengan sosok ‘Raden’ yang kami lihat” Jelas Mas Danan.
Entah mengapa wajah Mbok Sar seketika terlihat serius. Ia menatap penuh ke arah mas Danan.

“Jangan! Jangan sekali-kali kalian dekati orang itu! Kalian pasti mati!” teriak Mbok Sar.
“Ma..maksud Mbok?” Tanya Cahyo.
Aku melihat tubuh Mbok Sar, nafasnya terlihat semakin kencang seolah cemas dengan sesuatu.
“Dia sudah muncul?” gumam Mbok Sar.

“Dia? Memangnya dia siapa Mbok?” Tanya Paklek.
Mbok Sar menceritakan tentang cerita yang hampir sama dengan yang kubaca di serat lontar Pak Waja. Jika dugaanya benar, sosok Raden itu adalah leluhurnya yang memilih jalur hitam.

Ia memilih untuk tinggal di jagad segoro demit dan kembali setelah semua ilmunya sempurna.
“Saat ilmunya sempurna, jangankan kelima titisan batara itu. Ia bahkan bisa memanggil makhluk apapun dari alam itu ke alam kita.” Jelas Mbok Sar.

“Raden Darwana Biryasono..” ucap Mas Jagad mencoba mengingat-ingat nama yang tertulis di serat lontar.
“Tolong bilang ke Mas Jagad dan yang lainya, Raden itu penganut ilmu tantra kiri.. saat melihat seseorang dengan ilmu itu kalian juga harus menjauh.

Aku dan Cahyo yakin dia orang yang sama dengan yang kami lihat dulu” ucap mas Danan mencoba memperingatkan kami.
Tak lama setelah ucapan itu perlahan air di tempayan menjadi kusam. Kesadaran Mbok Sarpun mulai kembali ke tubuhnya.

Saat itu Mbok Sar terlihat lemah dengan wajahnya yang pucat. Mungkin saja hal ini terjadi setiap Mbok Sar kesadaranya mulai kembali.
“Ki..kita harus cepat,” ucap Mbok Sar.
“Kenapa jadi buru-buru mbok?” Tanya Guntur.

Tanpa menunggu jawaban, Nyai Jambrong segera membuka lebar pintu rumah dan bersiap untuk keluar.
“Kalau Raden mulai kembali, ia pasti juga mengincar sesuatu di makam itu. Dan bila dia mendapatkanya, yang terjadi akan semakin mengerikan” jelas Mbok Sar.

Kamipun mengikuti perintah Mbok Sar untuk keluar dan mengikuti petunjuknya. Terlihat sudah ada beberapa keranda yang sepertinya berisi jenazah anggota keluarga Biryasono yang dibunuh kemarin.

“Kanjeng, mau kemana? Mereka yang membunuh saudara kita mungkin masih berada di sekitar sini” ucap salah satu abdi Mbok Sar.
“Sudah kalian tenang saja, orang-orang ini lebih mampu melindungi saya daripada kalian. Kalian tolong jaga Murni, jangan sampai traumanya berkepanjangan” Perintah Mbok Sar.

Abdi itu menoleh ke arah kami sebentar dan memilih percaya dengan ucapan Mbok Sar.
“Baik Kanjeng.. perintah saya terima” ucapnya yang segera meninggalkan kami.

Tidak ada yang salah dari ucapan abdi tersebut. Dari sinipun aku sudah merasakan ada yang mengintai kami dari jauh. Akupun sadar, ada sesuatu yang membuat mereka tidak bergerak menyerang kami. Itu pasti karena keberadaan Nyai Jambrong di dekat kami.

***

Mobil Mas Jagad hanya mampu mengantar kami sampai ke sebuah mulut hutan. Tempat yang dimaksud oleh Mbok Sar ternyata jauh lebih dalam dari yang kami kira. Walau begitu, entah mengapa Mbok Sar tetap terburu-buru melangkah ke dalam hutan.

Walau terlihat tidak akur, aku sempat melihat Nyai Jambrong menyalurkan tenaga ke Mbok Sar agar ia bisa berjalan lebih cepat. Aku benar-benar penasaran dengan hubungan kedua nenek tua ini.

Setelah melewati hutan-hutan yang lebat. Kami terhenti tepat dihadapan sebuah pintu goa yang menurutku cukup kecil. Mungkin hanya sebesar dua orang dewasa. Entah bagaimana isinya.

“Mbok, jangan bilang makam itu ada di dalam goa?” Tanya Guntur panik.

“Kalau takut tunggu saja di luar sambil main kelereng” Ledek Nyai Jambrog.
“E..enak saja, mana mungkin Guntur takut. Artinya kan kita harus cari sesuatu yang bisa jadi penerangan” balas Guntur.

Aku tahu, Guntur sepertinya juga cukup takut masuk ke dalam goa gelap itu. Apalagi itu adalah tempat keramat yang diincar banyak dukun jahat. Sebenarnya aku juga sama, hanya saja aku tidak seberani Guntur untuk berbicara.

“Ayo kita masuk Mbok” ajak Mas Jagad.

“Tahan.. jangan sembarangan” ucap Mbok Sar.
Baru saja mengucapkan kata-kata itu tiba-tiba tercium bau amis mengelilingi kami semua. Kami mencari arah bau itu yang ternyata berasal dari sosok tak kasat mata yang baru saja keluar dari Goa itu.

“Setan brengsek! Kemana Yai Kulambang penjaga goa ini?” Teriak Mbok Sar pada sosok yang baru saja menunjukkan wujudnya pada kami.
Makhluk hitam besar dengan tiga kali tubuh manusia biasa. Bau mayat tercium dari seluruh tubuhnya. Rambut dan bulu di tubuhnya menutupi

“Mundur, dia bukan demit biasa. Ada pusaka kuno di dada dan pergelanganya” peringat Mas Jagad.

“Buto lemah itu sudah mati, sekarang Raden yang menguasai tempat ini, aku Yai Bayuwono yang menggantikanya” ucap makhluk itu.

Mbok Sar terlihat panik, ia melihat ke arah sekeliling seolah mencari sosok Yai Kulambang yang kuduga adalah pelindung wilayah ini.
“Nyai.. to..tolong Nyai” pinta Mbok Sar pada Nyai Jambrong.

Nyai Jambrongpun melangkah ke depan mengarah ke makhluk yang mengaku bernama Yai Bayuwono itu.

“Arrggh.. koe utang meneh karo aku” ucap Nyai Jambrong yang segera berlari menerjang ke arah makhluk itu.
Ia melilitkan butiran kalung di tanganya sembari membacakan mantra.

Melihat hal itu, Gunturpun mengikatkan sarungnya dan mengikuti Nyai Jambrong dari belakang.
Guntur mencoba menyerang kaki makhluk itu yang sebesar tubuhnya. Sayangnya seranganya tidak cukup kuat untuk menggoyahkanya.

Tapi berbeda dengan Nyai Jambrong, dengan sekali pukulan makhluk itu terpukul mundur.
“Aku tidak punya waktu berurusan dengan kalian” teriak setan itu yang segera memukulkan tanganya ke arah Nyai Jambrong.

Tapi seperti yang kami duga, Nyai Jambrong mampu menghindari serangan itu dengan mudah. Sayangnya bukan itu masalah utamanya.
Bau menyengat tercium dari pusaka yang terletak di dada makhluk itu. Baunya semakin menjijikkan hingga membuat kami tidak bisa bernafas.
“Bahaya!”

Mas Jagad memasuki pertempuran, ia membacakan ajian pelindung muksa pangreksa yang menghindarkan kami dari ilmu pusaka makhluk itu. Namun ternyata itu tidak berdampak banyak.
“Sudah kalian mati saja, aku malas meladeni kalian” ucap makhluk itu.

Tanpa bisa mengatur nafasnya Nyai Jambrong terlihat semakin lemah. Mas Jagad kembali ke arahku sebentar dan membisikkan sesuatu.

Sementara itu Guntur menutupi wajahnya dengan sarung dan beberapa kali melompat ke arah pohon dan bersiap melancarkan sebuah tendangan yang ia selimuti dengan ilmu kebatinan.
“Guntur Jangan!”

Aku tahu itu adalah perbuatan bodoh. Makhluk itu sadar dengan keberadaan Guntur dan bersiap membantingnya dengan pukulanya.
Tapi... aneh.
Saat makhluk itu bersiap untuk berdiri, tiba-tiba ia terjatuh. Kaki makhluk itu tidak bisa bergerak.

Sementara itu tendangan Guntur berhasil membuat makhluk itu memuntahkan darah hitam dari mulutnya tepat setelah tendangan Guntur mendarat di belakan kepalanya.
“Apa ini! bocah brengsek!”

Aku melihat kaki makhluk itu terlilit oleh benda menyerupai lidi yang dibuat dengan batang daun lontar. Aku memang pernah mendengarnya bahwa benda itu bisa melukai sosok ghaib, tapi aku tidak pernah membayangkan menggunakanya seperti ini.

“Satu kosong ya mbah” ucap Guntur pada Nyai Jambrong.

“Jangan sombong bocah, dia bangun lagi..” balas Nyai Jambrong.
Yai Bayuwono kembali berdiri dan bersiap membala serangan Guntur. Namun dengan sedikit gerakan Guntur mampu menghindarinya setipis mungkin.

Ilmu bela diri itu persis seperti yang kulihat saat bertarung bersamanya dulu.
“Ayo Dirga..” ucap Mas Jagad.
Sesuai aba-abanya, aku mengeluarkan keris Dasasukma dan bersiap menyerang makhluk itu.

Seolah menyadari kemampuan pusakaku makhluk itu mulai mengincarku dan melancarkan sebuah pukulan.
Aku tak bergeming dan terus menerjang Yai Bayuwono sementara Mas Jagad memgalihkan arah pukulan makhluk itu dengan seranganya.

Merasa mulai terancam, makhluk itu menggunakan pusakanya lagi. Kali ini asap hitam mengelilingi kami. Ada rasa sakit yang menyengat saat asap itu mulai menyentuh kulit kami.

“Kupastikan jasad kalian akan menjadi tumbal untuk kebangkitan pasukanku” ucap yai Bayuwono yang segera mengibaskan asap itu ke arah kami.

Tapi belum sempat ia melakukanya, tiba-tiba asap itu menghilang bersama kedua wujud Keris Dasasukmaku yang beradu dengan kedua pusaka Yai Bayuwono dan menghancurkanya.
“Prak!!”
Suara retakkan menggema bersama hilangnya bau busuk dan asap hitam yang menyerang kami.

“Brengsek! Sialan kalian!” makhluk itu semakin mengamuk menyerang kami.
Namun tiba-tiba sebuah tendangan mendarat tepat di kepala makhluk itu dan membuatnya terkapar ke tanah.

“Raja bangsa buto saja kuhadapi, apalagi setan bongsor seperti kamu. Tanpa pusaka, kau tidak lebih kuat dari buto alas” ucap Nyai Jambrong yang berhasil menaklukan makhluk itu.

Benar saja, tanpa pusaka serangan Nyai Jambrong berhasil membuat makhluk itu terkapar di tanah.

“Jangan urusi makhluk itu, kita harus segera masuk..” ucap Nyai Jambrong.
Entah, mengapa aku merasa Yai Bayuwono merasa ketakutan saat kami pergi ke dalam goa.

“Tolong kanjeng, tolong saya... tanpa pusaka itu setan-setan kiriman dukun-dukun itu pasti akan membalas dendam kepada saya!”
Tiba-tiba Yai Bayuwono memohon ampun kepada kanjeng. Ia merasa ketakutan sembari menatap ke berbagai arah di hutan ini.

Benar juga, sedari tadi memang sudah banyak yang mengincar kami. sosok-sosok mengerikan terlihat dari berbagai sisi hutan mengincar Yai Bayuwono.

“Demit sialan! Berani-beraninya!” ucap Nyai Jambrong kesal.
Mbok Sar menahan Nyai Jambrong dan mendekat ke arah Yai Buwono.

“Setelah ini aku akan memasang kembali pelindung di goa ini, kalau kau bisa berjanji satu hal mungkin kau kubiarkan masuk” ucap Mbok Sar.
“Mbok.. yang bener?” ucapku tidak terima.
Mas Jagad menahanku, sepertinya ia mempercayai keputusan Mbok Sar.

“Apa itu kanjeng? Asal saya bisa hidup akan saya patuhi” ucap Yai Bayuwono.
“Setelah ini, kau harus membawa Yai Kulambang kembali ke tempat ini. Bila tidak bisa kau harus menggantikanya menjaga goa ini sampai akhir hayatmu” Perintah Mbok Sar.

Menurutku, ucapan itu adalah sebuah pengikat. Seandainya setan itu sudah membunuh sosok Yai Kulambang sudah pasti pilihanya hanyalah menjaga goa ini sampai akhir hayatnya.

Yai Bayuwono terdiam mendengar syarat itu. Namun Mbok Sar tidak mempedulikanya dan berpaling masuk ke dalam goa.
“Saya bersedia Kanjeng, saya berjanji..” ucap makhluk itu.

Ada sebuah mantra yang dibacakan oleh Mbok Sar. Selain pelindung goa ada sebuah asap yang menutupi mulut goa.
“Sumpahmu terikat saat aku melewati asap itu” ucap Mbok Sar.
Kamipun segera pergi meninggalkan Yai Bayuwono.

Aku menoleh ke arah makhluk itu dan menyaksikan ia sedang menerima kemungkinan terbaik yang bisa ia dapat setelah memasuki goa ini.

***

“Apa Mbok Sar yakin?” Tanyaku yang bingung dengan keputusan Mbok Sar.
Ia malah mendekat ke sebelahku dan mengusap kepalaku.

“Makhluk itu adalah abdi trah Biryasono, ia dibawah kuasa Raden Darwana. Lagipula mengurungnya di goa ini lebih baik daripada mengambil resiko dia lolos berkeliaran diluar sana” jelas Mbok Sar.
Mendengar penjelasanya akupun mulai mengerti.

Semakin berjalan ke dalam cahaya matahari semakin tak mampu menjangkau ke dalam. Guntur terlihat sibuk mencoba menyalakan kayu kering yang ia cari dari luar.
“Gak gitu cara bikin obor” ucap Mas Jagad menghampiri Guntur.

Iapun mengambil sapu tangan di tasnya dan melilitkanya di kayu itu. ia membakar kain itu, memecahkan koreknya dan membiarakan minyak didalamnya membasahi kain itu hingga api berhasil membakar kayu yang dibawa Guntur.

“Nih.. pelan-pelan biasain matamu ya, api begini ga akan tahan lama” ucap Mas Jagad.
“Matur nuwun Mas Jagad” Terlihat wajah Guntur terlihat lega. Sepertinya ia masih tidak terbiasa dengan tempat gelap.

Aku mendekat ke arahnya untuk mencari penerangan. Tak lama tanpa sadar kamipun sampai di sebuah celah batu yang bertuliskan aksara jawa.
Jelas kami merasakan ada sesuatu yang mengerikan di dalam.

Kami tidak dapat menggambarkan apa itu, yang pasti itu adalah sesuatu yang berbahaya.
Ada yang aneh dengan Mas Jagad. Disaat kami ketakutan ia malah tersenyum membaca tulisan aksara jawa di batu itu.

“Mas, kok ketawa? Emangnya itu tulisan apa?” Tanyaku yang memang kurang mengerti aksara jawa.
“Satu masalah kita terselesaikan Dirga” ucap Mas Jagad.
“Sudah kubilang, ini semua sudah ditakdirkan” ucap Mbok Sar.

Guntur mendekatkan obornya ke batu itu dan mencoba membacanya sendiri.
“Artinya apa tur?” Tanyaku.
“Kurang lebih ini pesan, dan bekas darah di dinding itu adalah persetujuan mereka” ucap Guntur.
“Aku masih nggak ngerti, isi pesanya apa?” tanyaku.

Guntur membacanya dengan seksama pesan pendek itu dan mencoba menjelaskanya padaku.

“Apabila jasad kami yang telah mati bisa berguna untuk mereka yang hidup, itu adalah penghargaan tertinggi”

“Kurang lebih itu isinya Dirga” ucap Guntur.

Aku mengerti, dengan adanya pesan ini mungkin saja Mbah Jiwo lebih tenang untuk membuat pusaka yang memang dibutuhkan untuk menyelamatkan Mas Danan dan yang lain.
Aku menoleh ke arah Mas Jagad dan semakin bersemangat.

Tetapi ia malah memegang kepalaku dan menolehkanya ke arah dalam celah gua itu.
“Jangan senang dulu, kita harus mencari cara untuk menghadapi siapapun yang ada di dalam” ucap Mas Jagad.

[BERSAMBUNG]

"Dirga dan Jagad berada dalam bahaya, namun Danan dan yang lain masih belum mendapatkan cara untuk keluar dari Jagad segoro Demit..."


*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close