Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Danan & Cahyo (Part 1) - Dongeng dari Alam Lain

Harus ada darah yang tertumpah untuk mengembalikan kembali Danan dan yang lain dari alam itu..


JEJAKMISTERI - Alkisah terdapat sebuah jaman dimana tanah Jawa masih bersatu dengan beberapa pulau yang berdampingan denganya. Suatu masa dimana alam ini masih dipenuhi oleh energi misterius yang tak kasat mata.

Lambat laun perkembangan peradaban mulai membuat manusia mengenal yang namanya kekuasaan, kehormatan, dan berharganya sumber daya.

Pertempuran terjadi dimana-mana hanya dengan alasan untuk saling menguasai dan menunjukkan kedigdayaan.

Pendekar, prajurit, rakyatpun akhirnya mulai memiliki alasanya sendiri untuk berperang.
Melindungi orang yang di sayang, membela yang lemah, mempertahankan tanah kelahiran, dan mungkin berbagai tujuan mulia lainya.

Namun mereka lupa, semua tujuan itu tercipta karena diatas mereka ada yang saling ingin berlomba untuk mendapat kekuasaan, kehormatan, dan memenuhi kebutuhan duniawinya.

Banyak dari mereka yang mencari kesaktian untuk bisa bertahan di tanah ini.

Saat itu, hal itu tidak mustahil. Masih ada beberapa orang terpilih yang mendapat berkah untuk berkomunikasi dengan para Batara yang menurunkan kesaktianya. Dengan ilmu kesaktian yang dimiliki mereka menjadi mahaguru yang menurunkan ilmu-ilmu ke para pengikutnya.

Tidak hanya kepada manusia, kesaktian yang didapatpun diturunkan ke berbagai pusaka yang dibuat oleh ahli pusaka, semua itu untuk menyamai senjata yang dimiliki para Batara.

Sampai suatu saat, perkembangan manusia, konflik di alam dewata, dan mulai berkurangnya energi ghaib di alam ini membuat jarak antara manusia dan Para Batara semakin menjauh.

Mahaguru dan penerus ilmunyapun mulai kehabisan umurnya, tapi sayangnya pertempuran malah semakin meluas.
Ilmu bela diri, militer pertahanan, tatanan kerajaan, dan ilmu pengetahuan mulai menjadi tulang punggung utama dalam perang.

Namun dibalik itu, ilmu klenik dan hal ghaib masih menjadi penentu sebuah kemenangan. Hal itu membuat orang-orang berlomba mendapatkan kesaktian untuk bisa membela kerajaanya.

Sepeninggal Para Batara, manusia kesulitan mencari cara untuk mempelajari ilmu baru yang lebih sakti dari lawanya. Hingga sampai terdengar kabar bahwa ada sebuah pusaka salah satu batara yang tertinggal di tanah ini.

***

“Ning kono ono makhluk sing luwih galak lan luwih kuat tinimbang kewan sing paling kuat ning donyo iki” (Di sana ada makhluk yang lebih buas dan lebih kuat dibanding hewan yang paling kuat di alam ini)

Cerita sang pengembara tua yang berkeliling dari desa dan desa untuk mendongeng.

“Alam kuwi ora terbatas ruang lan waktu. kawruh, kitab, lan macem-macem pusaka iso ditemokake ing kono”
(Alam itu tidak terbatas ruang dan waktu. Ilmu, kitab, dan berbagai pusaka bisa didapatkan di sana)

Kisah itu menyebar hingga ke berbagai penjuru. Hingga ditemukan sebuah reruntuhan candi yang menurut masyarakat jaman dulu merupakan tempat singgah salah satu Batara.

Para pendekar saling berlomba-lomba mencari pusaka yang dimaksud. Sampai akhirnya ada dua pendekar dari Trah Biryasono yang berhasil menemukan pusaka yang dimaksud dan mengalirkan energi dari alam itu.

Sayangnya pusaka itu mengikat kedua pendekar tersebut di alam mengerikan yang mereka temukan sendiri.

Semenjak itu alur peperangan semakin berubah. Dimulai dari salah satu kejadian.

Sebelum pertarungan adu senjata dimulai, tiba-tiba muncul bola api bernyawa yang menyerang kediaman panglima perang. Tak hanya itu, bahkan menurut cerita ada sebuah desa yang hilang dihabisi sosok besar yang disebut dengan nama ras buto.

Keberadaan sosok itu tak lain adalah perbuatan orang-orang yang mendapat kesaktian dan ingon yang mengerikan dari alam mengerikan itu. Sayangnya kebutaan akan kesaktian membuat mereka lupa akan bayaranya.

Apalagi makhluk yang mereka panggil akan tetap di alam ini bahkan hingga sang pemilik ilmu mati.
Kedua pendekar dari Trah Biryasono bisa bertahan di alam mengerikan itu dengan kesaktianya.

Mereka tetap mencari cara untuk keluar dari alam itu walau harus bertarung tanpa henti di sana.
Butuh waktu lama hingga mereka bisa menciptakan sebuah mantra untuk bisa kembali ke alam manusia.

Sayangnya ada resiko yang harus mereka tanggung, darah mereka dan keturunanya akan terikat dengan alam itu. Itu mengakibatkan kesadaran mereka terkadang masih kembali ke sana.
Tapi mereka tidak punya pilihan lain.

Kondisi itu lebih baik dibandingkan kesadaran mereka terenggut oleh alam itu dan menjadi salah satu dedemit yang berkeliaran di sana.
Sayangnya, ternyata salah satu pendekar berkehendak beda.

Ia tidak bersedia untuk kembali dan memilih untuk terus mencari kesaktian dan kedigdayaan di alam itu. Ia melarikan diri hingga tidak dapat ditemukan.
Mantra itu berhasil. Oleh keraton kedua pendekar itu diberi gelar oleh kerajaan.

Pendekar yang kembali dikenal dengan naman Raden Cokro Biryasono dan pendekar yang tinggal di alam itu dikenal dengan nama Randen Darwana Biryasono.
Raden Cokro dengan kemampuan yang ia dapat berhasil menjadi orang penting di kerajaan.

Namun ia segera tersadar bahwa ilmunya membawa kerusakan sehingga ia memimpin trahnya untuk menyingkir dari peperangan dan menjadi rakyat biasa.

Sampai beberapa puluh tahun kemudian, saudara jauh Raden Cokro memberi kabar bahwa ia melihat sosok yang ia kenal.

Raden Cokro memeriksa kabar itu dan benar, ia menemukan sosok saudaranya Raden Darwana di salah satu hutan. Anehnya, penampilan Raden Darwana sama sekali tidak bertambah tua.

Belum sempat menghampirinya, sosok Raden Darwana sesekali menghilang dan muncul seolah masih berusaha untuk berada di alam ini dengan sepenuhnya. Kejadian itu memberikan firasat buruk pada Raden Cokro.

Pasalnya, hidup puluhan tahun di alam yang dipenuhi makhluk tak berperikemanusiaan dan penuh dengan kebiadaban sangat mungkin merubah jiwa seseorang.

Raden Cokropun mulai menceritakan tentang kengerian alam itu kepada masyarakat agar mereka menjauh dari segala sesuatu yang berhubungan dengan alam itu.

Sebuah alam dimana tak terbatas ruang dan waktu, alam dimana sosok demit dan makhluk tak kasat mata berasal, sebuah alam yang memiliki kesadaranya sendiri..
Jagad Segoro Demit…

***

Pak Waja meletakkan gulungan serat lontar yang ia bacakan ke meja dan menunjukkan ke yang lainya. Sebuah gulungan yang ditulis dengan aksara kawi yang ia dapatkan dari seseorang kepercayaanya.

“Ini beneran kitab Pakde? Kok ceritanya hampir tidak masuk akal ya?” Tanya Egar yang setengah percaya dengan cerita yang terdapat di gulungan itu.

“Ini karya sastra kuno. Terkadang di jaman dulu untuk menyampaikan sebuah ilmu atau fakta harus melalui pendekatan karya sastra seperti ini” Jelas Pak Waja.

Jagad, Dirga, dan Mbah Jiwo mendekat melihat benda itu.

“Ya, kalau kita nggak ngalamin sendiri dulu mungkin kita juga nggak akan percaya dan terus menganggap kisah ini hanyalah dongeng” ucap Dirga.

“Benar.. belum tentu kisah yang tertulis di gulungan ini sepenuhnya karangan. Seperti Ilmu pengleakan, hal itu sama seperti yang tertulis di sini. Itu adalah ilmu yang diturunakan oleh Batari Durga” Jelas Pak Waja pada Egar.

Jagad beberapa kali mengecek beberapa aksara dan goresan-goresan gambar kuno yang tak dapat terlihat dengan jelas di sana.

“Selain itu ada petunjuk apa lagi pak tentang Jagad Segoro Demit? pasti pak waja punya petunjuk yang lebih dari kisah ini kan?” Tanya Jagad.

Pak Waja menghela nafas. Ia membuka sebuah gulungan lagi yang sepertinya masih satu kesatuan dengan yang sebelumnya. Hanya saja tulisanya lebih acak dengan beberapa goresan gambar.

Dari gulungan itu Pak Waja menjelaskan bahwa untuk berhubungan dengan Jagad Segoro demit ada beberapa cara.

Pertama terbukanya gerbang secara alamiah setiap beberapa ratus tahun, yang artinya tidak mungkin mereka untuk menunggu hal itu terjadi.

Kedua dengan membuka paksa seperti yang dilakukan Nyi Sendang Rangu dan Jagad. Sayangnya hal itu beresiko masuknya berbagai entitas dari Jagad segoro demit ke alam ini.

“Ada satu cara lagi, cara untuk memindahkan mereka saja tanpa membawa apapun dari alam itu” ucap Pak Waja.

Mendengar ucapan itu muncul harapan di wajah mereka.
“Ada sebuah mantra untuk melakukanya, sebuah mantra yang hanya bisa digunakan oleh salah satu trah yang bernama Trah Biryasono..” Jelas Pak Waja.

“Berarti kita tinggal mencari orang dari trah itu saja kan pak?” Tanya Dirga.

Pak Waja menggeleng..

“Tidak semudah itu, orang yang membacakan mantra itu harus mengorbankan darah dan nyawanya untuk menukar dirinya” Jelas Pak Waja.
Seketika raut wajah mereka berubah.

“Sudah Pasti Danan dan yang lain tidak akan terima dengan cara ini” ucap Mbah Jiwo.

Mereka setuju, namun sepertinya Pak Waja tidak mendapat petunjuk lain selain itu. mereka mencoba mencari petunjuk dari gulungan dan memikirkan berbagai cara, namun sepertinya mereka tidak menemui sebuah ujung hingga akhirnya Mbah Jiwo mencoba berbicara lagi.

***

“Leluhur saya merupakan pengrajin pusaka yang berlumuran darah..” ucap mbah Jiwo.
“Maksud Mbah Jiwo?” Tanya Pak Waja.

“Ada satu ilmu terlarang dari leluhur saya yang mungkin bisa berguna, namun itu tabu dilakukan di jaman ini” Jelas Mbah Jiwo.

“Ilmu terlarang? Kok kedengeranya serem” sahut Dirga.
Mbah Jiwo bercerita bahwa leluhurnya memiliki sebuah kitab terlarang. Sebuah ilmu yang bisa membuat sang mpu penempa pusaka bisa membuat pusaka dari tulang belulang maupun organ tubuh manusia.

“Nggak Mbah... mbah sendiri yang bilang, kalau Danan dan yang lain pasti juga nggak setuju” potong Jagad.

“Saya tidak pernah bilang bahwa itu manusia hidup..” ucap Mbah Jiwo.

Mendengar perkataan itu merekapun berpikir.

“Maksudnya Mbah Jiwo ingin membuat pusaka dari jasad salah satu anggota Trah Biryasono? Pusaka yang bisa mengeluarkan mereka bertiga dari Jagad Segoro Demit?” Tanya Pak Waja.

Mbah Jiwo mengangguk dengan ragu. Merekapun terdiam cukup lama. Benar ucapan Mbah Jiwo, hal seperti ini sangat tabu untuk dilakukan. Entah itu benar atau salah mereka masih belum dapat memutuskan.

“Sebentar Pakde, intinya kan kuncinya ada di orang-orang dari Trah Biryasono. Kenapa kita nggak nyari mereka dulu.. mungkin setelah bertemu kita bisa memutuskan untuk melakukan apa nanti” ucap Egar.

“Benar ucapan Mas Egar, kita pikirin di sini juga gak bakal nemu kan?” ucap Dirga.
“Halah gaya kamu, sekarang ngomongnya udah kayak orang gede” ledek Jagad sambil mengacak-acak rambut Dirga.
“Iya benar, tapi kita harus mencari petunjuk mengenai Trah itu dulu” ucap Pak Waja.

Mbah Jiwo masih termenung, entah mengapa ia masih merasa harus menggunakan ilmu terlarang itu.
“Aku tahu orang pertama yang mungkin bisa di tanya” ucap Dirga.

“Siapa?” tanya Jagad.

“Yang udah hidup ratusan tahun lah, siapa lagi kalau bukan Nyai Jambrong”

“Halah, bilang aja kamu mau ketemu sama Guntur..” balas Jagad.

“Hehe... sekalian, tapi nggak salah kan?”
Pak Waja dan Mbah Jiwo mengangguk seolah setuju dengan usulan Dirga, namun sepertinya Mbah Jiwo punya pemikiran lain.

“Mungkin kita akan berpisah jalan, saya akan mencoba mencari kitab leluhur saya itu dulu sementara kalian mencari informasi dari Nyai Jambrong” ucap Mbah Jiwo.
Jagad dan Dirga setuju, namun tidak dengan Pak Waja. Sepertinya ia merasakan perjalanan Mbah Jiwo akan menempuh bahaya.

“Mas Jagad, Dirga... kalau kalian saja yang menemui Nyai Jambrong bagaimana? Biar saya menemani Mbah Jiwo” ucap Pak Waja.

“Aman Pak.. nggak masalah, saya juga merasa perjalanan Mbah Jiwo akan lebih berbahaya” Balas Jagad seolah mendapat firasat yang sama.

Mbah Jiwo sempat menolak, namun sepertinya ia memikirkan resiko yang akan ia hadapi juga nanti. Terlebih jaman dulu leluhurnya juga sudah menghabisi banyak nyawa untuk bersekutu dengan sosok ghaib. Apa saja bisa terjadi saat ia ke tempat dimana keluarganya dulu tinggal.

***

Siang itu juga merekapun meninggalkan desa Rangitaru, sebuah desa terpencil di sosok timur pulau jawa tempat dimana Egar dan Pak Waja tinggal saat ini.

Saat ini desa itulah yang terdekat dengan tempat dimana gerbang Jagad segoro demit pernah terbuka di sebuah hutan, sekaligus tempat terdekat dengan pulau dewata.

***

(Sudut pandang Dirga)

Langit menghabiskan merahnya dan menghantar kami ke gelapnya malam di sebuah desa. Sebuah desa yang asri yang dikelilingi hutan di beberapa sisinya.

Ada satu tempat pemakaman baru yang cukup menarik perhatianku, namun seorang kakek di sana menatapku seolah melarangku untuk memperhatikan tempat itu lebih jauh lagi.

Desa Wadirejo...

Sekilas terlihat tidak ada yang istimewa dengan desa ini. Hanya sebuah desa padat penduduk yang mulai berkembang. Namun tak disangka desa ini juga menyimpan berbagai kisah yang sulit dipercaya.

Salah satunya tentang keberadaan sosok seorang Nenek yang telah hidup selama ratusan tahun.. Nyai Jambrong.
Awalnya aku mengira kami akan tiba di desa dengan keadaan yang cukup sepi. Namun ternyata kami salah.

Cukup banyak warga sedang berkumpul sembari membawa kentongan dan benda-benda pembuat suara.

“Ngapunten mas, ini ada apa ya? Kok rame-rame?” tanya Mas Jagad pada salah seorang warga di sana.

“Eh, masnya pendatang ya? Kayak baru liat..” balas orang itu.

“Iya, saya Dirga.. ini pakde saya Mas Jagad. Kebetulan kami mau mampir ke rumah Guntur” ucapku.

“Owalah... koncone Guntur to? (Owalah, temanya Guntur to?) Itu orangnya di sana..” Balasnya.

Aku melihat beberapa orang sedang berkumpul dan diantaranya sedang mengerumuni Guntur.

“Piye to Tur, mbok dibantu... iki anake Mbok Parsih lho, kok kowe tegel men?” (Gimana to tur, tolong dibantu... ini anaknya Mbok Parsih lho, kok kamu tega sekali?) Ucap salah seorang warga yang seolah menyudutkan Guntur.

“Ora ngono Pak, nek jenenge wong ilang ki njaluk tulunge karo polisi. Dudu bocah sing kerjaane mung ngingu wedus koyo aku ngene” (Nggak begitu pak, kalau namanya orang hilang itu minta tolongnya sama polisi. Bukan anak kecil yang kerjaanya cuma pelihara sapi seperti saya ini..) Balas Guntur.

“Kan kamu tahu sendiri Tur, anak itu hilangnya tidak wajar.. pasti ulah demit” seorang warga lagi mulai meyakinakan Guntur.

Aku mendekat ke arah mereka dan melambaikan tangan ke arah Guntur.

“Dirga? Mas Jagad?” Guntur terlihat tersenyum menemukan kami.

“Ngapunten pak, Bu! Kulo pamit... enek konco adoh sing teko” (Maaf Pak, Bu! Saya pamit.. ada teman jauh yang datang) Teriak Guntur yang segera menghampiri kami dan menarik tangan kami untuk segera pergi.

“Lha Tur!! Malah kabur Piye to?” Keluh seorang warga.

“Tenang! Nanti anak Mbok Parsih pasti selamat..” Teriak Guntur.

Kami segera pergi mengikuti arahan Guntur menuju ke sebuah rumah. Aku menduga itu adalah rumah Guntur.

“Bu... temen-temen Guntur dateng” teriaknya sembari masuk ke rumah.

Tak lama setelah teriakan itu tiba-tiba seorang wanita keluar menyambut kami.

“Ealah Guntur, temanya mau dateng nggak bilang-bilang. Mbok belum nyiapin apa-apa” ucapnya.

“Waduh nggak usah repot-repot bu, kita cuma pengen mampir ngobrol kok” balas Mas Jagad.

“Iya Bu, nggak usah repot-repot... di ijinin mampir aja sudah seneng kok” tambahku.

Kamipun memulai perbincangan singkat dengan memperkenalkan diri sementara Guntur memasukan barang bawaanya ke dalam rumah dan keluar dengan membawa singkong goreng.

“Nginep kan Dirga? Ada kamar kosong kok di belakang” ucap Guntur.

Aku saling menatap dengan Mas Jagad, sebenarnya kami memang belum merencanakan akan menginap di mana.

“Sudah nginep saja, jarang banget lho Guntur kedatangan temanya...” ucap ibu Guntur.

Setelah berpikir beberapa saat, kamipun memutuskan untuk menginap di rumah Guntur. Terlebih lagi kami masih penasaran tentang keberadaan anak hilang yang sempat membuat warga desa ramai tadi.

“Tadi itu ramai-ramai kenapa Tur? Bener ada anak hilang?” Tanyaku pada Guntur.

Guntur malah mengambil singkong goreng di hadapan kami dan makan dengan santainya.

“Halah, masalah biasa.. besok pasti juga sudah ketemu anaknya” ucap Guntur.

Mas Jagad sedari tadi terlihat menerawang sesuatu. Sepertinya ia juga sudah merasa ada yang janggal.

“Eh, Dirga.. Mas Jagad itu pakdemu kan?” Tanya Guntur.
“Iya, kenapa Tur?”
“Kok manggilnya mas to? kan nggak sopan?” wajah Guntur terlihat penasaran.
“Pakdeku itu kelewat kreatif kok, katanya minta dipanggil mas saja biar nggak susah cari jodoh” Balasku.

Seketika wajah Guntur tertawa sembari menatap ke arah Mas Jagad.
“Owalah... biar gampang kalau mau modus ya? Paham-paham..” ucap Guntur.
“Dirga, mulutnya itu... tolong dikondisikan. Ada harga diri yang dipertaruhkan di sini” ucap Mas Jagad.

Perbincangan itu memulai perbincangan-perbincangan ringan mulai dari kisah pertemuan Guntur dengan Mas Cahyo hingga mengingat kembali pertempuran yang kami alami sebelumnya.

Cukup lama kami menikmati suguhan dari ibu Guntur sambil mengobrol hingga akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di malam itu. Mungkin kurang sopan bila berkunjung ke kediaman Nyai Jambrong di malam-malam seperti ini.

Kami pamit untuk tidur setelah perbincangan seru malam itu. Tapi setelah sampai kamar ternyata Mas Jagad mulai terlihat serius.
“Kenapa mas? Kok kayaknya ada yang serius” Tanyaku.

“Anak yang tadi Dirga, dia diculik wewe gombel.. mungkin agak malam Mas tinggal sebentar ya” ucap Mas Jagad.
“Ya aku ikut sekalian saja, daripada kepikiran” balasku.
Mas Jagad setuju, kamipun beristirahat sebentar sampai merasa orang-orang rumah sudah terlelap.

Tepat menjelang tengah malam, aku dan Mas Jagad bersiap untuk keluar rumah. Keadaan di rumah cukup sepi, dan kami berhati-hati agar tidak membangungkan Guntur dan ibunya.

***

Sesuai petunjuk Mas Jagad, kamipun berlari menuju ke sisi hutan yang mengarah ke sebuah hutan bambu. Sekilas tidak terlihat apapun di sana, tapi aku tahu dengan pasti Mas Jagad tahu kemana kami harus mencari.

Semakin dalam kami masuk samar-samar terdengar suara dari salah satu sisi hutan. Suara tangisan anak kecil terdengar diantara suara lainya.
“Itu mas.. disitu” ucapku.

Kami berlari ke arah suara itu dan menemukan sesosok makhluk yang memang sering diperbincangkan sejak jaman aku kecil.
Makhluk berbadan besar dengan rambut menjuntai hingga ke tanah, wajahnya begitu mengerikan dengan gigi yang hampir didominasi dengan taring.

Yang membuatku merasa tidak nyaman saat melihat payudaranya menggelambir panjang hingga ke kaki.
“Bener Mas Jagad, Wewe Gombel.. kita kesana” ucapku.
Belum sempat berlari, tiba-tiba Mas Jagad menahanku. Ia memintaku memperhatiakan apa yang terjadi di hadapan kami.

Sudah ada seseorang di sana..
Ada seorang anak muda seumuranku yang menutupi wajahnya dengan sarung sedang berusaha mengusir Wewe gombel itu dengan beberapa benda dari tasnya.

Wewe gombel itu tidak terima, namun orang itu berhasil menghindari serangan-serangan makhluk itu dengan mudah dan sesekali memberinya pelajaran.
“Itu? Guntur kan Mas Jagad?” Tanyaku.
Mas Jagad mengangguk sembari memintaku untuk mengecilkan suara.

Aku tahu dengan jelas, ilmu bela diri yang digunakan oleh orang itu sama persis seperti yang digunakan Guntur.
Kami memperhatikan sejenak apa yang terjadi di sana.

Setelah mengetahui Guntur tidak mendapat kesulitan, kamipun memutuskan untuk kembali ke rumah tanpa memberi tahu kedatangan kami pada Guntur.
“Dia pasti punya alasan sendiri ketika menolak permintaan warga desa dan menangani hal ini sendirian” ucap Mas Jagad.

Aku menoleh ke arah pertarungan mereka sejenak. Entah mengapa saat itu aku merasa Guntur cukup keren dengan entah apapun niatnya itu.

***

Kisah pagi ini dimulai dengan lauk opor yang dimasak oleh ibu Guntur. Gunturpun makan dengan lahap seolah tidak terjadi kejadian apapun semalam.
“Dirga sama Mas Jagad kenal sama Guntur di mana? Kok bisa jauh-jauh dari jawa barat sampai ke sini?” Tanya ibu Guntur.

“Oh itu bu.. waktu itu kami sempet kerepotan waktu berurusan sama..”

Klontangg!!!

Seketika sebuah centong sayur terjatuh dan menghentikanku bercerita.

“Hehe maaf, itu bu.. Sekolah Dirga pernah bikin lomba olahraga antar sekolah. Jadi ketemu di sana” ucap Guntur sembari memberikan isyarat mata padaku.

Aku menganggukkan kepalaku, sepertinya aku mengerti maksudnya. Guntur tidak mau ibunya tahu kalau dia terlibat dengan hal-hal berbahaya.

Tok... tok... tok...

“Kulo nuwun... Guntur, di rumah nggak?” terdengar suara seorang perempuan dari luar.

“Eh, Arum.. masuk Rum!” teriak Ibu Guntur seolah sudah sangat kenal dengan perempuan itu.
“Sini, ikut sarapan... mumpung ada temenya Guntur juga” ucap Ibu Guntur.
“Wah makasi bu, mau nganter ini aja.. ibu bikin kue cucur lumayan banyak” Ucap Arum.

“Owalah makasi nduk, nanti tolong bawain opor buat ibu juga ya..” balas Ibu Guntur.

Arumpun mengiyakan, Sepertinya Guntur juga sudah pernah menceritakan sedikit banyak tentang kami. Ia menatap Guntur seolah memberi suatu isyarat.

“Ya sudah, Arum nunggu di belakang ya bu.. nengokin si Juned” ucap arum.

Aku dan Mas Jagad saling bertatapan..

“Juned, kambingku... udah ga usah bingung” ucap Guntur yang membaca kebingungan kami.

Kamipun tidak jadi bertanya dan menyelesaikan sarapan pagi kami.

***

“Kowe ki piye to Tur? Anake Mbok Parsih hilang kok ora gelem bantu?” (Kamu tuh gimana sih Tur? Anaknya Mbok Parsih hilang kok nggak mau ngebantu?) ucap Arum dengan sedikit kesal, Sepertinya ia tahu kalau sebenarnya Guntur bisa membantu.

“Emoh.. males, wedi aku” (Nggak... males, takut aku) ucap Guntur sembari memberi makan Juned.

***

Merasa penasaran, aku dan Mas Jagadpun ikut bergabung dengan perbincangan mereka.

“Emang kenapa to Arum? Anaknya Mbok Parsih kenapa?” Tanya Mas Jagad pura-pura tidak mengerti.

“Iya Mas, ada anak di desa ini yang sudah dua malam menghilang. Warga sudah mencarinya ke seluruh desa tapi nggak ketemu..” jelas Arum.

“Terus hubunganya sama Guntur apa?” balas Mas Jagad.

Arum menoleh ke arah Guntur dengan muka cemas. Sepertinya ia benar-benar khawatir dengan anak itu.

“Harusnya Guntur bisa bantu, tapi...”

Belum sempat menyelesaikan ucapanya, Mas Jagad mengusap-ngusap kepala Arum dan memintanya untuk tenang.

“Tau nggak Rum, nggak semua jagoan itu pake seragam atau jubah bagus lho...“ ucap Mas Jagad.

“Kadang ada yang Cuma pake sarung..” timpalku sambil menahan senyum melihat kejadian semalam.

Arum terlihat bingung mendengar ucapan kami. Tapi kebingungan Arum mendadak berubah ketika terdengar suara beberapa orang warga yang berteriak memecah pagi itu.

“Anaknya Mbok Parsih sudah pulang!” teriaknya.

Sontak Arum yang khawatir segera menoleh ke jalan dan penasaran dengan berita itu.

“Sudah samperin saja ke rumah Mbok Parsih biar tau dengan jelas keadaan anaknya” ucap Mas Jagad.

Arumpun segera pamit pergi setelah mengacak-acak rambut Guntur dan memasang muka meledek pada Guntur.

Mas Jagad hanya menggeleng melihat kelakuan anak-anak muda yang sepertinya ingin bergegas untuk dewasa itu.

***

Matahari sudah meletakkan posisinya tepat diatas kami. Namun semua cahayanya terhalang oleh sebuah pohon besar yang rindang dimana terdapat sebuah rumah tua di bawahnya.

“Kulo nuwun...” Aku mengetuk pintu rumah dengan perlahan.

Ini adalah rumah Nyai Jambrong. Sosok Nenek yang sudah berumur ratusan tahun dan pernah menguasai ilmu rawarontek.
“Sopo?”

“Saya Nyai, Dirga sama Mas Jagad”
Mendengar suaraku terdengar suara seseorang melangkah mendekat.

Aku bersiap mendekat ke arah pintu, namun Guntur malah menarikku menjauh.

“Awas...”

“Awas Kenapa Tur?”
Belum sempat mendapatkan jawaban dari Guntur, tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas dan mendarat tepat di hadapan pintu.

“Khekehkehe... Kudune ojo mbok tarik bocah kuwi” (Khekehkeh... harusnya jangan kamu tarik anak itu) ucap Nyai Jambrong sambil tertawa.
Aku masih berusaha menahan kagetku yang melihat seorang Nenek mendarat tepat di hadapanku.

“Nyai, ngagetin aja..” ucapku.

“Khekehke... ayo masuk, anggap saja rumah saya”

“Tak anggep sarang demit wae piye mbah?” Ledek Guntur.

Nyai Jambrong tidak berpaling, sebaliknya ia menendang sandalnya ke salah satu dinding dan memantul melayang tepat ke kepala Guntur.

“Cangkemu kuwi lho..” (mulutmu itu lho) Ucap Nyai Jambrong.

“Keno meneh...” (Kena lagi) balas Guntur sembari mengusap-ngusap kepalanya.

Aku sedikit tersenyum melihat tingkah mereka. Aku tidak pernah menyangka bisa ada hubungan seperti ini antara seorang anak muda dengan seorang Nenek yang sudah berumur ratusan tahun itu.

“Saya kira Nyai orangnya nyeremin dan selalu serius. Nggak nyangka aslinya begini” ucap Mas Jagad.

“Itu kan sekarang mas, nggak tahu aja dulu waktu baru bangkit dari jembangan keramat. Duh.. demit-demit satu alas aja kalah serem” ledek Guntur lagi.

Nyai Jambrong menoleh ke arah Guntur, tapi sayangnya kali ini Guntur sudah lebih siap sehingga Nyai Jambrong memilih untuk menahan dirinya untuk memberi Guntur pelajaran.

***

“Ya sudah, ada urusan apa kalian kemari? Pasti ada hubunganya dengan dua bocah itu kan?” Tanya Nyai Jambrong.

Kami mengangguk dan segera menceritakan tentang isi serat yang dipelajari oleh pak waja. Nyai Jambrong sepertinya tidak kaget mengenai kisah tentang Jagad Segoro Demit.

Tapi dia sedikit berpikir saat mengetahui ada cara lain yang berhubungan dengan Trah Biryasono.

“Kalian yakin trah itu bisa menghubungkan dengan Jagad Segoro Demit?” Tanya Nyai Jambrong.

“Justru karena kami belum tahu kami memutuskan untuk bertanya langsung dengan mereka” Jelas Mas Jagad.

Nyai Jambrong sedikit bercerita. Ia memang pernah mengetahui tentang Trah itu.

Ada segelintir orang sakti yang memang mengincar mereka untuk mendapatkan kekuatan dari Jagad Segoro Demit dulu. Itulah yang menyebabkan Trah Biryasono menghilangkan keberadaanya.

“Terus gimana Nyai, apa kita benar-benar tidak bisa menemukan mereka?” Tanyaku.

Nyai Jambrong menatapku dan Mas Jagad seolah memastikan sesuatu.

“Bisa..”

Iapun bergegas masuk ke dalam rumah dan keluar dengan membawa sebuah kotak kayu di hadapan kami.

“Apa ini mbah? Benda ini bisa menuntun kita bertemu dengan orang-orang dari trah itu?” Tanya Guntur.

Nyai Jambrong hanya menggeleng sembari membuka kotak itu dengan perlahan.

“Ora, masalahe aku musti nganggo jarik sing ngendi nek arep nemoni de’en” (Nggak, malahnya aku harus pakai kain yang mana kalau mau ketemu mereka)

Sontak kami bertiga menahan kesal melihat kelakukan Nenek tua ini. Tapi kabar baiknya berarti Nyai Jambrong mengetahui cara untuk bertemu dengan trah Biryasono.

***

Dengan mobil pickup Mas Jagad kami berangkat menuju sebuah tempat sesuai arahan Nyai Jambrong. Tentunya setelah diterjemahkan oleh Guntur.
Nyai Jambrong duduk di depan sementara aku dan Guntur di bak belakang.

Sepanjang perjalanan kami saling berbagi cerita, tapi hampir setengah dari cerita Guntur adalah tentang Arum. Sepertinya aku dapat menyimpulan sesuatu dari sikap mereka berdua.

Dalam beberapa jam perjalanan, kami sampai di sebuah rumah yang mungkin lebih pantas disebut sanggar.

Dengan sopan kami memberi salam dan memanggil pemilik rumah tersebut. Sayangnya tidak ada jawaban sama sekali dari dalam rumah.

“Nyai.. benar ini rumahnya?” Tanya Guntur.

“Kalau tidak di sini, saya tidak tahu lagi dimana harus mencari mereka” ucap Nyai Jambrong.

Kami menunggu cukup lama hingga matahari hampir terbenam namun tidak ada satupun tanda-tanda ada seseorang yang akan keluar menemui kami.

Sampai saat kami mulai putus asa dan bersiap untuk pulang, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam rumah.
“Aaaaarggghhhh!!” “Tolong!!”

Mengetahui hal itu kami memaksa masuk dengan melompati gerbang hingga menemukan sebuah rumah besar di tengah pekarangan. Kami mendengar suara tangisan seorang perempuan yang terdengar dari rumah tersebut.

“Mbak!!! Ada apa mbak? Bukaa!” Teriak Mas Jagad. Sayangnya perempuan itu tidak menjawab, ia hanya terus menangis tak menghiraukan teriakan kami.

“Minggir..” ucap Nyai Jambrong.
Kali ini wajahnya seketika berubah serius seolah merasakan sesuatu.

Dengan tanganya yang ia tahan di belakang ia sedikit berlari dan menendang pintu kayu besar di rumah itu hingga terbuka.

Tidak... ini tidak seperti yang kita bayangakan.
Saat ini pemandangan mengerikan terlihat tepat di hadapan kami.

Ada beberapa sosok manusia yang digantung terbalik di keempat sudut langit-langit rumah. Mereka sudah pucat tidak bernyawa dengan luka menganga di lehernya. Darah mereka menetes dari luka itu dan menggenangi lantai kayu disana.

Ada seorang wanita dengan wajah ketakutan hanya menangis sembari melihat keempat sosok yang tergantung di sana.

***

“Keluar.. kamu juga sudah tiba kan?” tiba-tiba Nyai Jambrong berbicara dengan seseorang yang tidak ketahui keberadaanya.

Dari salah satu gelapnya sudut ruangan itu tiba-tiba muncul sosok Nenek dengan wajah yang lebih tua dari Nyai Jambrong. Ia berjalan tertatih dengan tongkat di tanganya.

“Si...siapa itu?” Teriakku.

Guntur mencoba menghampiri itu, namun Nyai Jambrong menarik bajunya dan menahanya.

“Saya tidak pernah menyangka seorang Nyai Jambrong yang akan menginjakkan kaki di tempat ini” ucap Nenek itu.

“Sudah tidak usah bertele-tele, apa maksud semua ini?” Tanya Nyai Jambrong dengan tegas.

***

“Kami terlambat datang, saat ini trah kami tengah diburu” jelas Nenek itu.
Tunggu, Kami? Berarti masih ada orang lain yang datang bersama Nenek itu di tempat ini?

“Berarti empat jasad ini bukan perbuatan Nenek?” Tanyaku memastikan.

Nenek itu menggeleng, wajah sedih mulai terlihat dari dirinya.

“Mereka anggota keluarga saya. Ini perbuatan orang-orang biadab yang memburu darah kami” jelasnya.

Dari reaksi Nyai Jambrong sepertinya ucapan Nenek itu benar.

Sebenarnya aku masih penasaran dengan seorang perempuan yang masih menangis di ujung ruangan namun Nenek itu malah menyuruh kami untuk mengikutinya.

“Biar cucu saya yang mengurusnya, kalian ikuti saya..” ucapnya.

Kami mengikutinya ke sebuah bagian rumah yang lebih nyaman untuk berbicara. Tepat setelah meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang memasuki ruangan tadi. Sepertinya mereka segera menolong perempuan itu dan jasad yang tergantung.

“Darah murni trah Biryasono hanya tinggal dimiliki beberapa orang. Bahkan mereka yang melindungi saya harus menjaga jarak mencegah ada yang menyusup diantara kami” jelasnya.

Sekeramat itukah Trah Biryasono? Apa merubah nama saja tidak cukup untuk menyembunyikan keberadaan mereka?

“Maaf Nek, tapi tujuan kami ke sini...” Aku mencoba menjelaskan, tapi Nenek itu malah memotong ucapanku.

“Sudah, tidak usah dijelaskan.. saya sudah tahu maksud kalian” ucap Nenek itu.

“Ma..maksud Nenek?” Guntur semakin bingung.
Nenek itu menarik nafasnya sebentar. Samar-samar terlihat senyuman di bibirnya.

“Saya sudah bertemu mereka, tenang saja mereka baik-baik saja di alam sana” ucap Nenek itu.

“Nenek? Nenek ketemu mas Danan dan mas Cahyo? Bagaimana bisa?” tanyaku.

Nenek itu bercerita, Trah Biryasono masih dikutuk hingga sekarang.

Dibalik alam sadarnya, kadang kesadaran mereka bisa berpindah ke alam Jagad Segoro Demit. Ada yang terjadi secara mendadak, ada juga yang sudah bisa mengendalikanya.
Mendengar itu kami berempatpun merasa lega.

“Kita cari cara untuk menyelamatkan dua bocah itu, terlebih saya juga berhutang budi dengan mereka. Mereka pernah menyelamatkan nyawa saya bertahun-tahun yang lalu” ucap Nenek itu.

Mendengar ucapan itu, Nyai Jambrong hanya tertawa terkekeh menertawakan takdir ini. Nenek itupun ikut tertawa, namun kami tahu kejadian yang menimpa keluarganya benar-benar menjadi masalah untuknya.

“Mas Jagad, Mungkin kita bisa mencoba membantu Nenek menghadapi orang-orang yang memburu Trahnya mas?” tanyaku pada Mas Jagad.

Mas Jagad mengangguk, tapi ia berpikir keras. Sepertinya ia juga sudah merasa bahwa yang mengincar Trah Biryasono bukan lawan biasa.

“Apa dia sudah bergerak?” tanya Nyai Jambrong.
Nenek itu mengangguk.

“Mbah, memangnya dia itu siapa?” Tanya Guntur.

“Leluhur Trah Biryasono.. sosok yang terjebak di Jagad Segoro Demit, Raden Darwana Biryasono.” Balas Nyai Jambrong dengan tanganya yang mulai berkeringat.

Leluhur? Terjebak di Jagad segoro demit? Seandainya ia bisa selamat, ilmunya pasti sudah tidak karuan. Apa benar kami harus bertarung dengan hal-hal mengerikan seperti kemarin lagi. Padahal niat kami hanya menyelamatkan Mas Danan dan Mas Cahyo, tidak lebih.

***

“Satu hal yang ingin kutanyakan padamu Nyai” Ucap Nenek itu pada Nyai Jambrong.

“Tanyakan saja”

“Jarikmu apik, tukune ning endi? Aku yo arep nduwe” (Kain Jarikmu bagus, belinya di mana? Aku juga mau punya)

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close