Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SOSOK DIBALIK RAGA MBAH BUYUT


Mbah Buyut,
Beliau yang sudah bertahun-tahun sakit dan tidak bisa terbangun dari ranjangnya tiba-tiba berdiri dihadapanku dengan tatapan yang mengerikan.
“Iki udu omahku, aku kudu mulih ning omahku... Punden Puthuk”

(Ini bukan rumahku, aku harus kembali ke rumahku.. Punden Puthuk)
Ucapnya dengan suara yang berat, sama sekali tidak seperti suara seorang nenek yang berumur 98 tahun.
Punden Puthuk, tempat apa itu?

Apa yang pernah terjadi di sana sehingga Mbah Buyut terus tersiksa dengan sosok yang tak henti-hentinya merasuki dirinya untuk kembali ke tempat itu?

***

Jawa timur 2016,

JEJAKMISTERI - Dia adalah Mbah Ginah, kami memanggilnya Mbah Yut. Seorang nenek tertua di desa kami yang saat ini berusia kurang lebih sembilan puluh delapan tahun.
Sama seperti nenek pada umumnya, beliau berbadan kecil, kurus dan sedikit bongkok.

Beliau tinggal sendiri di rumahnya. Tapi, ada dua orang anaknya tinggal berdampingan dengan Mbah Yut di rumah yang berbeda. Merekalah yang selama ini selalu mengurus Mbah Yut bersama warga desa yang peduli.

Beberapa tahun yang lalu, sekitar di tahun 2014 Mbah Yut jatuh sakit.

Dari diagnosanya beliau sakit tua layaknya orang lanjut usia pada umumnya. Sejak saat itu beliau jadi susah beraktivitas, bahkan untuk berjalanpun beliau harus menggunakan tongkat.

Semenjak itu Mbah Yut semakin perlu diperhatikan.

Untuk kebutuhan hidup, kedua anak Mbah Yut selalu memperhatikan mulai dari makan hingga keperluan lainya.

Dan Saya adalah Rini..
Saya tetangga yang tinggal di sebelah rumah Mbah Yut. Ada cerita yang cukup bikin merinding dan membuat seluruh desa menjadi heboh kala itu.

Satu tahun semenjak Mbah Yut sakit, mulai ada keanehan akan penyakit yang dialami Mbah Yut. Awalnya, saya dan sekeluarga merasa terganggu dengan keberadaan Mbah Yut saat kejadian itu.

Bukan tanpa alasan, pasalnya setiap malam Jumat hingga Jumat siang menjelang sholat Jumat Mbah Yut selalu menangis. Nangisnya terdengar sangat pilu seperti orang yang kesakitan.
Dan yang kadang membuat bulu kuduk ini merinding, nggak jarang Mbah Yut sering berteriak..

“Panas! Tolong! Aku ojo dipasung ning kene.. Awakku kobong, tulungono aku! Aku didadung ning nduwur gedhek!”
(Panas! Tolong! Aku jangan dipasung disini.. Badanku terbakar! Tolong aku! Tolong saya ditali diatas bilik bambu!)

Hampir setiap malam jumat beliau pasti kumat dan berteriak mengatakan hal itu. Namun ternyata semakin lama teriakan itu tidak hanya terjadi setiap malam Jumat. Semakin lama, setiap malam Mbah Yut nangis sambil berteriak seperti itu.

Kebetulan kamar saya dekat sama rumah Mbah Yut, jadi saya selalu mendengar teriakan Mbah Yut setiap kali dia kambuh.
Nah, masalahnya aku merasa ada sesuatu yang menurutku tidak wajar.

Setiap Mbah Yut kambuh dan berteriak, entah mengapa aku merasakan ada sesuatu yang mengerikan dari arah teriakan itu. Saya tidak pernah bisa tidur sendiri saat itu hingga saya memilih untuk tidur bareng bapak, ibu, dan adek.

Kami sekeluarga memiliki kebiasaan kalau setiap Ba’da Maghrib sepulang Sholat, kami selalu main ke rumah Mbah Yut. Biasanya kami jenguk beliau sekaligus nemenin Mbah Yut dan anak cucunya juga.

Ada lagi kebiasaan Mbah Yut yang menurutku tidak biasa. Beliau kalau tidur bisa tiga sampai empat hari tidak terbangun, dan ketika sudah terbangun, beliau bisa tiga sampai empat hari juga tidak tidur.

Beliau benar-benar terjaga, buatku itu adalah suatu kebiasaan yang menurutku sangat tidak masuk akal.
Nah, saat Mbah Yut terbangun itulah Mbah Yut sering kambuh nangis dan teriak-teriak seperti yang saya ceritakan tadi.

Hal itu terjadi selama bertahun-tahun tanpa adanya perubahan. Bahkan anak dan menantunya harus bergantian untuk berjaga dan rela meninggalkan pekerjaanya demi menjaga Mbah Yut.

Saat ini sudah bertahun-tahun Mbah Yut ada dalam kondisi itu. Semakin lama fisik Mbah Yut juga semakin lemah. Bahkan untuk makanpun Mbah Yut harus disuapi dan benar-benar tidak bisa apa-apa.

Tapi, tetap saja Mbah Yut masih sering kambuh berteriak-teriak terutama setiap malam jumat.
Suatu ketika di malam jumat, bapak-bapak di lingkungan saya sedang mengadakan kegiatan yasinan di masjid. Sebenarnya itu adalah kegiatan rutin.

Dan waktu itu Bapak saya dan anak laki-laki yang lain juga ikut yasinan. Alhasil yang nungguin di rumah Mbah Yut itu hanya kami para wanita. Saya, adikku Yati, ibu, mbah uti, bersama anak dan menantu Mbah Yut.

Sambil menunggu, kami menonton televisi bersama yang lain. Tapi tiba, tiba Yati berbicara dengan nada yang bergetar.
"Mbak, Ibu.. itu Mbah Yut” tanya Yati.

“Iya Ti, Mbah Yut di kamar.” Balas ibu masih fokus dengan film yang ia tonton.

Tidak seperti ibu, aku penasaran dengan perkataan Yati.

“Mbah Yut sudah sembuh? Kok bisa berdiri sendiri?” Tanya Yati.

Seketika aku menoleh ke arah yang di tuju Yati. Benar ucapanya apa yang kulihat benar-benar tidak masuk akal.

Mbah Yut tiba-tiba duduk sendiri dan berdiri..

Seketika kami semua kaget dan takut. Jelas saja, selama ini Mbah Yut sudah bertahun-tahun tidak bisa berdiri dan hanya terbaring di kasur. Sedangkan kali ini, beliau bisa berdiri seperti orang sehat.

Satu lagi, Mbah Yut berbicara dengan kata-kata yang aneh.

“Aku arep mulih, iki udu omahku” (Aku mau pulang, ini bukan rumahku)

Kami semua merinding, tidak ada yang berani mendekati mbah selain ibu.

“Hei! Mpun ngawur! Bade mantuk ten pundi? Niki lho daleme njenengan piyambak! (Heh, jangan ngawur! Mau pulang kemana? Ini lho rumah mbah sendiri!)” terur ibu.
“Iki udu omahku” (Ini bukan rumahku) Mbah Yut masih tetap dengan ucapanya.

“Omahku neng adoh kono, neng punden puthuk kono. Iki udu omahku!” (Rumahku di tempat yang jauh! Di punden puthuk sana. Ini bukan rumahku!)
Selama ini ibu memang termasuk seseorang yang peka dengan hal-hal yang berhubungan dengan ghaib.

Iapun memegang tangan Mbah Yut sembari menatap tajam matanya.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Mbah Yut berteriak dengan suara yang berbeda. Suaranya terdengar berat seperti suara laki laki.
Terlihat amarah di wajah Mbah Yut.

“Kowe Bocah dek ingi sore, ojo wani-wani mliliki aku!” (Kamu anak kemaren sore! Jangan berani-berani melototin saya) Ancam Mbah Yut dengan suara yang mengerikan.
Saat itu ibu segera meminta tolong menantunya Mbah Yut yang bernama Mbah Nimas untuk memegangi tanganya.

Aku ikut memegang kakinya. Di sebelah kami semua ada mbah uti yang berdoa sebisa beliau dengan harapan bisa menenangkan Mbah Yut.
Entah apa yang dipikirkan oleh Mbah Nimas, tiba-tiba dia berlari ke belakang dan mengambil air comberan.

Ia membawa ke hadapan Mbah Yut sembari berteriak.
“Awakmu ngalih opo tak cekoki banyu peceren iki!” (Kamu keluar! Atau aku cekoki air comberan ini)

Aku sama sekali tidak menyangka cara itu akan berhasil, dan ternyata Mbah Yut juga masih terus memberontak sampai Mbah Nimas mengguyur air comberan itu ke tubuh Mbah Yut.
Dan benar saja, anehnya Mbah Yut langsung bisa tenang.

Aku, ibu, dan mbah uti juga terkejut dengan kejadian itu. Bagaimana bisa seseorang yang kesurupan bisa sadar hanya dengan disiram air comberan? Apalagi air itu benar-benar bau.

Tapi kata Mbah Nimas, kalau Mbah Yut kumat satu-satunya cara yang biasa dilakukan adalah hal itu. Menyiramnya dengan air comberan.

***

Suatu saat, di malam jumat yang lain kami mampir lagi ke rumah Mbah Yut. Saat itu kebetulan saya tidak bisa ikut ke rumah Mbah Yut karena sedang dikejar deadline hingga terpaksa di rumah sendiran.

Dari dalam rumah, saya mendengar suara Mbah Yut kambuh lagi. Dia nangis sambil berteriak seperti biasa. Sebenarnya saya sudah terbiasa dengan hal itu dan tidak terlalu menggubrisnya. Sampai akhirnya Ibu manggil saya dengan berteriak dari rumah Mbah Yut.

“Nduk! Tolong jemput Mbah Fari !” Teriak Ibu.
Mbah Fari adalah anak Mbah Yut. Pada jam itu Mbah Fari sedang Yasinan. Katanya mereka yang di rumah Mbah Yut sudah kewalahan. Didoakan hingga cara terakhir disiram air comberanpun tidak mempan.

Dengan segera aku berlari menghampiri Mbah Fari yang masih mengaji. Aku menceritakan kejadian di rumah Mbah Yut hingga akhirnya Mbah Fari mengajak salah seorang sesepuh desa dan Pak Kyai untuk ikut serta.

Benar saja, bergitu sampai di rumah kami melihat keadaan rumah Mbah Yut sudah berantakan. Barang-barang berserakan di mana-mana.
Terlihat ibu dan Mbah Nimas tengah menghalangi pintu keluar untuk menghalangi Mbahyut yang masih marah dan memaksa untuk pulang.

Saat itu Yati dan mbah uti sudah disuruh pulang karena keadaan sudah benar-benar berbahaya.
Seketika saat melihat keadaan itu mbah Fari, sesepuh desa, dan Pak Kyai masuk ke rumah dan segera menahan Mbah Yut.

“Siapa kamu! Apa maumu!” Tanya Pak Kyai yang telah sempan membacakan doa sebelumnya.
Jawaban Mbah Yut tetap sama, ia menatap Pak Kyai dan berkata dengan suara yang berat.
“Aku arep mulih nang Punden Puthuk, iki dudu omahku” (Aku mau pulang ke Punden uthuk, ini bukan rumahku)

Dengan berbagai cara mereka mencoba menahan Mbah Yut bahkan hingga dipasung. Namun mereka masih saja kalah tenaga dan bahkan terpental hingga kebelakang.
Memang sulit dipercaya, tapi saat itu aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dan masih ada saksi yang lain juga.

“Mbah Fari! Tunggu di luar dan ikuti aba-aba saya!” tiba-tiba Pak Kyai memerintah Mbah Fari seolah memiliki suatu rencana.
Pak Kyaipun membacakan sebuah doa dan melepaskan pasungan di kaki Mbah Yut.

Seperti dugaan semua orang yang ada di sana, Mbah Yut segera berlari menuju keluar rumah.
“Mbah Fari! Sekarang!”
Pak Kyai memberi aba-aba kepada Mbah Fari untuk menangkap Mbah Yut.

Tepat saat Mbah Yut keluar dari pintu rumah dan tertangkap oleh Mbah Fari tiba-tiba Mbah Yut kembali tenang dan tidak berdaya seperti sebelumnya.
Kejadian malam itu benar-benar membekas di kepalaku.

Sebuah kejadian yang sangat tidak masuk akal dan membuatku semakin merasa penasaran dengan apa yang terjadi dengan Mbah Yut.
Sayangnya, kejadian itu bukanlah akhir dari masalah yang dialami Mbah Yut.

Keadaan Mbah Yut semakin mengenaskan. Ia semakin sering kambuh dan kesurupan, bahkan saat tidurpun kaki Mbah Yut harus diikat ke kaki Mbah Fari dan Mbah Nimas.
Pasalnya, sempat kejadian pada saat Mbah Yut tidur ia kembali kambuh dan mencoba untuk melarikan diri lagi.

Anggota keluarga yang semakin khawatirpun mencoba mencari pertolongan dari berbagai pihak. Mulai dari pertolongan medis, orang pintar, kyai dari berbagai kota bahkan luar daerah. Sayangnya masih tidak ada solusi dari mereka.

Ada yang bilang Mbah Yut ketempelan leluhur beliau, ada pula yang bilang Mbah Yut ketempelan anak beliau yang sempat keguguran dulu. Bahkan ada yang bilang Mbah Yut harus melakukan suatu syarat untuk di selesaikan. Entah saya tidak mengerti dengan itu semua.

Ada lagi yang lebih nyeleneh, ada seorang yang menurutku lebih pantas disebut dukun. Anak Mbah Yut yang di luar kota mencarikan dukun ini, menurut dukun itu rumah Mbah Yut dikirim sesuatu seperti santet.

Dukun itu melakukan ritual di rumah Mbah Yut. Ia juga membawa sebuah telur, ditempelkan ke tubuh Mbah Yut sambil membaca mantra. Telur itu dipecahkan dan ada jarum karatan di dalamnya.

“Mbah Yut ini disantet di bagian perutnya, saat kambuh perutnya akan membesar” ucap dukun itu.
Saat itu kami semua yang menyaksikan hanya mengiyakan saja, padahal kami tahu dengan jelas bahwa yang dukun itu katakan tidak terjadi.

Saya juga tidak tahu itu jarum dari mana, bahkan beberapa dari kami ada yang menertawakan dukun itu. Dukun itu juga menanam banyak sesajen di rumah Mbah Yut. Dan sialnya entah mengapa intensitas kambuhnya Mbah Yut jadi semakin sering.

Nah, Rumah kami terletak di daerah pegunungan. Di depan daerah rumah kami adalah sawah dengan model terasering yang berundak-undak. Nah, selisih tinggi antar petak itu lumayan tinggi, paling rendah satu meter dan yang paling dalam bisa hingga empat meter.

Semakin kebawah akan semakin curam, dan sawah di depan kami ada sampai empat undakan. Sekat antara sawah satu dan lainya dibatasi dengan sungai kecil. Ada jembatan bambu yang dibuat di sana, tapi untuk melewatinya juga cukup sulit.

Untuk melewati jembatan itu harus benar-benar menjaga keseimbangan. Kalau sampai jatuh hampir dapat dipastikan bisa kesleo atau bahkan patah tulang dengan curamnya sungai.

Setelah sungai kecil ada kebun tebu seluas tiga hektar yang bentuknya seperti lembah. Jadi kalau diurutkan :
Sawah atas yang berundak, nyebrang sungai, kebun tebu, dan sawah berundak lagi di bawah.

***

“Nduk di luar hujan?” Tanya ibu.
“Iya buk, udah dari jam sebelas siang tadi.” Balasku.
Saat itu hari sudah mulai malam. Memang kalau dari dalam tidak terasa kalau di luar sendang hujan.

Orang sini menyebutnya “Hujan mendung putih” dimana tetesan hujan hanya berupa rintik-rintik dan awet.
“Bapak nggak Yasinan?” Tanya Ibu pada bapak yang masih tenang di rumah padahal hari ini malam jumat.
“Nggak Buk, lagi libur.. ngga ada yang dateng” balas Bapak.

“Owalah, kita mampir rumah Mbah Yut ga?” Tanya Ibu.
Kami semua saling menatap saling menunjukkan rasa malas sambil menonton televisi. Kamipun sepakat untuk tidak nemenin Mbah Yut.

Saat hari semakin larut tiba-tiba bapak nyeletuk, “Tumben ya, Mbah Yut malam jumat begini tenang-tenang aja. Biasanya jam segini sudah mulai kambuh?"
“Iyo pak, mungkin lumayan bisa tenang” balasku sembari masih menikmati menonton televisi bersama yang lain.

Aku ingat sekali, hari itu kamis Legi. Awalnya kami serumah senang karena tidak mendengar suara berisik seperti biasanya dan saat kami intip ke luar kondisi di rumah Mbah Yut juga adem ayem.
Tapi ketenangan itu rupanya hanya berlangsung sebentar..

Tepat pukul sembilan kami semua selesai menonton televisi dan masuk ke kamar masing-masing. Kami sudah yakin akan bisa tidur dengan nyenyak apalagi kamarku yang paling berdekatan dengan rumah Mbah Yut. Tapi ternyata tidak..
“Tok..tok…tok..”

Terdengar suara ketukan pintu di rumah kami malam itu. Aku menoleh ke arah jam dinding, saat ini jam setengah satu malam.
Aku yang merasa aneh hanya membiarkan saja tanpa berani membuka. Tapi semakin lama terdengar suara orang berteriak memanggil.

“Pak! Tolong pak... Mbah Yut nggak ada”
Itu adalah suara Mbah Fari.
Sontak kami semua keluar dan panik.
“Innalilahi wa inna ilaihi rojiun” ucap kami sekeluarga saat membukakan pintu untuk Mbah Fari.
“Nggak Pak, Mbah Yut nggak meninggal.. Mbah Yut hilang” Jela Mbah Fari.

Kamipun bingung dan meminta penjelasan Mbah Fari.
“Sekitar jam dua belas tadi saya terbangun untuk ke kamar mandi, jadi saya melepakan ikatan kaki saya ke Mbah Yut.. dan pas kembali tiba-tiba Mbah Yut sudah tidak ada” jelas Mbah Fari.

“Mbah Nimas? Bukanya Mbah Nimas juga tidur sama Mbah Yut?” Tanya ibu.
“Nah itu.. tiba-tiba ikatan di kaki Mbah Nimas juga terlepas, diapun tidak sadar” jawab Mbah Fari.

Mbah Fari juga sudah membangunkan Mbah Nimas, mereka mencari hingga pekarangan, kandang, kamar mandi dan sekitar rumah. Sayangnya keberadaan Mbah Yut sama sekali tidak ditemukan.

Hujan turun semakin deras, kamipun membantu Mbah Fari membangunkan tetangga untuk membantu mencari Mbah Yut.
Seluruh pria dalam satu RT membantu kami untuk mencari Mbah Yut mulai dari yang tua hingga yang masih muda.

Pak Rtpun mengatur warga untuk membentuk beberapa kelompok pencarian.
Pencarian dilakukan ke seluruh tempat yang mungkin didatangi Mbah Yut. Mulai dari petak sawah, menelusuri sungai, hutan bambu, pekarangan warga sembari menabuh kentongan & memanggil Mbah Yut.

Di tengah hujan deras itu para pemuda dan bapak-bapak mencari hingga berjam-jam sampai ke ujung kampung namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Mbah Yut.
Bahkan ada beberapa tempat mencurigakan yang sampai diperiksa tiga kali dengan senter namun tetap tidak ada petunjuk.

Pencarian itu terus dilakukan oleh warga bahkan hingga terdengar tarhim subuh. Saat itu warga sudah kebingungan setelah lebih dari empat jam mencari keberadaan Mbah Yut di bawah hujan deras.

Saat itu warga memutuskan untuk melaksanakan sholat subuh di masjid sembari berdoa agar Mbah Yut segera ditemukan dalam kondisi apapun.

Setelah itu Pak Kyai dan Pak RT memutuskan agar pencarian Mbah Yut dilanjutkan ketika matahari sudah muncul agar lebih mudah dan tidak berbahaya untuk warga.
Sambil menunggu matahari terbit, kami semua kembali berkumpul di rumah Mbah Fari.

Kami menunggu dengan cemas dan khawatir tentang keadaan Mbah Yut.

***

“Mbah Yut! Mbah Yut ketemu! Wonge ning kene! Sek urip!!” (Mbah Yut! Mbah Yut ketemu! Orangnya di sini! Masih hidup)

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari seseorang yang masuk ke dalam rumah. Sontak seluruh warga segera mengikuti orang itu menuju tempat dimana Mbah Yut berada.
Aku tidak mungkin lupa.. malam itu kondisi hujan sangat deras.

Tapi yang terlihat di hadapan kami benar-benar tidak dapat dipercaya.
Mbah Yut tergeletang di tengah ladang tebu dengan dikerubuti semut rangrang dalam keadaan kering. Anehnya, tidak ada sedikitpun goresan luka dari daun tebu atau apapun di sana di tubuh Mbah Yut.

Warga bergidik ngeri saat melihat Mbah Yut menyeringai tersenyum saat ditemukan. Walau begitu warga yang menghampiri tetap memaksa untuk mengangkat tubuhnya menaiki motor. Tepat ketika sudah meninggalkan ladang tebu itu Mbah Yut kembali jatuh tak berdaya lagi.

“Pak, nggak mungkin kan Mbah Yut bisa ke tengah ladang tebu ini sendirian? Ini jauh banget lho dari rumah” tanyaku pada bapak.

“Bapak juga nggak ngerti Nduk, berarti kan harusnya Mbah Yut harus lewat pinggiran tebing dan nyebrang jembatan bambu? Bener-bener aneh” balas bapak yang juga tidak mengerti.
Walau kembali dalam tubuh lemah, tapi Mbah Yut masih tersadar.

“Mbah Yut, mbahe kenopo to mbah? Kok iso ning kebon tebu kono?” tanya Pak RT mencari tahu apa yang terjadi.
Mbah Yut menjawab dengat tatapan yang lemah.
“Aku mambengi dijak bapak numpak becak ndelok ludruk” (Aku semalam diajak bapak naik becak nonton ludruk)

Bapak yang dimaksud Mbah Yut adalah almarhum suaminya yang sudah lama meninggal.
Jelas seluruh warga terheran-heran mendengar jawaban Mbah Yut yang seperti itu.

Namun karena sudah memastikan Mbah Yut sudah tenang, kami dan seluruh wargapun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

***

Kejadian hilangnya Mbah Yut saat itu benar-benar membuat satu desa bingung. Apalagi semenjak kejadian itu kesehatan Mbah Yut Semakin menurun hingga tidak bisa berbuat apa-apa selain terbaring di ranjang.
Setelah kejadian itu juga mulai terdengar cerita-cerita aneh.

Ada beberapa bapak-bapak yang bertugas untuk Ronda. Saat mereka melewati rumah Mbah Yut mereka melihat sosok kakek-kakek duduk di teras rumah Mbah Yut terdiam tanpa melakukan apapun.

Saat selesai berkeliling dan ingin menyapa kakek itu, anehnya kakek itu sudah menghilang tanpa jejak. Hal ini terjadi beberapa kali dan disaksikan oleh beberapa orang yang melakukan ronda.

Mengetahui kejadian itu, akupun mencoba mencari tahu sebenarnya ada apa dengan Mbah Yut sampai ada banyak kejadian aneh tentangnya.

“Ada ritual pesugihan yang pernah dilakukan Mbah Yut bersama almarhum suaminya” Mbah Uti mencoba menceritakan apa yang ia tahu padaku.

“Punden puthuk.. itu adalah tempat sakral yang berada tidak jauh dari desa kita..” tambah Mbah Uti.

“Itu tempat apa Mbah Uti? Memangnya Mbah Yut ngapain di sana?” tanyaku penasaran.

Mbah Yut menghela nafas seolah berusaha mengingat apa yang terjadi di masa lalu.

“Dulu Mbah Yut itu orang nggak punya. Beliau bersama Almarhum suaminya akhirnya memutukan untuk melakukan ritual pesugihan di Punden Puthuk.

Memang tidak main-main. Setelah melakukan ritual itu tak lama Mbah Yut dan Almarhum suaminya menjadi kaya dan menjadi juragan tanah dalam waktu singkat” Cerita mbah uti.
Aku memperhatikan ceritanya benar-benar. Rasa penasaranku sangat tidak terbendung kali ini.

“Dulu rumah Mbah Yut ini dihias serba hijau. Mulai dari gorden, taplak meja, kelambu, sprei, dan semua ornamen rumahnya berwarna hijau.
Yang mengerikan lagi, saat beberapa anak dan cucunya yang ada di dalam kandungan meninggal, beberapa orang yang mengerti mengatakan bahwa mereka dijadikan tumbal oleh Mbah Yut dan Almarhum suaminya.”
Cerita mbah uti saat itu benar-benar membuatku merinding. Demi kekayaan Mbah Yut sampai tega mengorbankan janinya dan janin cucunya yang belum lahir.

“Kalau mbah uti ingat dulu, almarhum suami Mbah Yut juga kesulitan meninggal saat sakratul maut. Siksaanya begitu berat” lanjut Mbah uti dengan wajah yang memelas mengingat kejadian itu.

“Saat itu sesepuh desa meminta disembelihkan kambing kendit yang berwarna putih hitam putih. Kambing itu di sembelih di Punden Puthuk tempat Mbah Yut dan Almarhum suaminya melakukan pemujaan.

Sesepuh desa menceritakan saat ia menyembelih kambing itu di sana ia dibantu oleh banyak sosok. Konon kabarnya, sosok-sosok itu adalah para tumbal yang rohnya disandra di sana”

Aku hampir tidak percaya dengan cerita Mbah Uti itu, namun apa yang terjadi tentang Mbah Yut membuat semua cerita Mbah Uti menjadi masuk akal.
Di tahun 2018 saya dipindah tugaskan di luar kota hingga lama tidak mendengar kabar tentang Mbah Yut.

Saat-saat itu aku teringat saat kecil saat Mbah Yut masih menempati rumah joglo yang memiliki tiga kamar berjajar. Aku selalu ingat bahwa kami dan orang lain dilarang untuk memasuki kamar tengah di rumah itu.

Pernah sesekali kamar itu terbuka dan beberapa kami sempat melihat apa yang ada di dalam.
Sepasang keris tersimpan di sana bersama sesajen pisang raja serta bunga-bunga.

Tak hanya itu, setiap malam jumat biasanya Mbah Yut dan Almarhum suaminya juga menyiapkan kopi pahit, sirih buat nginang, dan rokok yang bungkusnya kulit jagung.
Pernah sesekali aku iseng masuk ke dalam dan Mbah Yut marah besar kepadaku.

Terkadang aku penasaran dengan keadaan Mbah Yut dan menanyakannya pada orang rumah.
Baru akhirnya di akhir desember 2018 saya diceritakan bahwa Mbah Yut sudah berpulang setelah dilakukan ritual yang sama seperti Almarhum suaminya.

Ritual penyembelihan Kambing Kendit itu lagi di sebuah tempat sakral. Sebuah tempat dimana semua tragedi yang dialami Mbah Yut bermula. Sebuah tempat dimana mereka berdua melakukan pemujaan. Sebuah tempat yang disebut dengan nama

Punden Puthuk…

TAMAT

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini, Seluruh nama sudah disamarkan sedemikian rupa.

Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung. Mohon dianggap sebagai hiburan saja.

Sekali lagi terima kasih untuk @Feburavy yang sudah bersedia berbagi cerita ini 🙏

close