Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Mistis Keturunan Prabu Brawijaya 5 Mendaki Gunung Lawu (Part 2 END)


JEJAKMISTERI - Karena mendapati Sal dengan kelakuan aneh dan tak biasa, Umar pun mencoba untuk mendampinginya. Perhatiannya tidak pernah terlepas dari sahabatnya itu, hingga kemudian sampailah mereka di Pos Tiga beberapa menit setelah rombongan sampai terlebih dahulu.

Sebagai anak baru dalam urusan pendakian, Umar merasa khawatir dengan sikap Sal. Ia ragu apakah kawannya itu bisa kuat sampai puncak. Umar memang dikenal mudah sekali merasa panik, namun kali ini ia meyakini ada sesuatu yang tidak beres dengan sahabatnya. Ia pun berencana untuk melaporkan kondisi Sal pada Faras, ketua mapala yang mereka ikuti.

“Sal, tunggu ya. Jangan kemana-mana, pokoke tunggu,” perintah Umar pada Sal sambil menunjuk bongkahan kayu untuk diduduki.
“Ojo lungo nek aku durung rene meneh!” Umar meminta Sal untuk menunggunya.
(Jangan pergi kalau aku belum kesini lagi!)

Umar pun mencari Faras, ia meminta untuk bisa singgah lebih lama di Pos Tiga ini atau malah sekalian bermalam saja dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Melihat angin malam yang berhembus begitu kencang, sebagian rombongan memutuskan untuk melanjutkan pendakian keesokan harinya. Sebagian lagi memutuskan untuk tetap melanjutkan pendakian dan membuat tenda di Pos Lima, karena Pos Tiga ini tidak terlalu luas dan dikhawatirkan jika membangun tenda terlalu banyak di sini akan mengganggu jalur pendaki lain.

Umar menceritakan kondisi Sal pada Faras, pria berambut gondrong tersebut menduga jika sahabatnya ini sedang mengalami “gangguan”. Namun Faras tidak yakin jika Sal mengalami gangguan mistis. Menurut analisanya, Sal hanya kelelahan dan tidak tahan dengan suhu dingin di ketinggian Gunung Lawu sehingga membuatnya linglung. Terlebih karena perjalanan menuju Pos Tiga ini memiliki medan treking yang sangat menanjak.

Sambil membawa perlengkapan medis, mereka pun kemudian mencari Sal untuk memastikan kondisinya. Faras dan Umar mendatangi bangku bongkahan kayu tempat Sal duduk saat sejenak ditinggal oleh Umar.

Namun Sal tidak ada.

“Lho, endi bocahe?” tanya Faras
(Lho, mana anaknya?)

“Mau tak kon nunggu kene Mas, jajal mungkin nang gardu,”
(Tadi aku suruh nunggu sini Mas, coba mungkin dia ada di gardu)

Faras dan Umar pun kemudian mengitari Pos Tiga dan mencari Sal. Setiap orang mereka tanyai, namun hasilnya nihil.

Sal menghilang.

***

Sal resmi dinyatakan hilang. Selama dua hari Tim SAR yang ada di Gunung Lawu dibantu dengan beberapa komunitas pecinta alam mencari keberadaannya. Mulai dari titik terakhir ia terlihat hingga ke jalur pendakian lainnya, namun tidak membuahkan hasil.

Segala upaya masih terus dilakukan. Beruntung, pada hari ke tiga, pria berusia 20 tahun ini akhirnya ditemukan. Sal ditemukan oleh Tim SAR di dasar jurang sedalam tujuh meter di sekitar puncak Gunung Lawu. Entah apa yang bisa membawanya ke sana, namun secara ajaib lelaki berambut cepak ini ditemukan dalam kondisi masih bernyawa. Hanya saja ia mengalami luka di bagian pelipis karena terbentur batu saat terjatuh.

Keberuntungan masih berpihak padanya, meskipun saat itu ia tidak sadarkan diri.

***
***

“Sal...., rene, Sal....,” suara perempuan itu terus memenuhi isi kepala Sal. Hingga akhirnya ia kalah oleh rasa penasaran dan mengikutinya.

Sal bangkit dari bongkahan kayu tempat ia duduk. Kakinya melangkah mendekati sumber suara perempuan tersebut.
Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat sesosok perempuan muda menghampirinya, rupanya sosok yang Sal lihat sebelumnya.

“Ayo melu aku, Sal..”
(Ayo ikut denganku Sal)

Sal mengangguk.

Seolah terhipnotis, Sal pun mengikuti perempuan berparas ayu itu. Hingga kemudian ia membawa Sal memasuki dimensi lain.

Pemandangan yang dilihat oleh Sal sangat berbeda. Ia tidak lagi melihat hutan, semak belukar, ataupun bebatuan yang terjal. Sal seolah berada dalam sebuah padepokan yang begitu asing. Ia melihat beberapa rumah berupa gubuk yang terbuat dari kayu, lengkap dengan penghuninya. Orang-orang yang ia lihat pun tidak tampak seperti biasa. Ekspresi wajah mereka begitu dingin, sehingga membuatnya merinding.

“Ora usah wedi, Cah bagus,” kata perempuan ayu tersebut.
(Tidak usah takut, anak tampan)

Perempuan itu membawa Sal melewati sebuah gerbang kayu yang penuh ukiran dan begitu tinggi. Gerbang tersebut menghubungkan padepokan penduduk yang ia lihat dan membawa mereka memasuki sebuah kerajaan yang begitu megah.

“Ayo Sal, mlebu,” kata perempuan itu.
(Ayo Sal masuk)

Perempuan tersebut mempersilakan Sal memasuki sebuah bangunan yang begitu besar, membawanya menemui “seseorang” yang ingin bertemu dengannya; seperti yang ia bilang sebelumnya. Hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan keadaan kerajaan dimensi lain yang sedang Sal masuki: megah.

“Rene, Cah Bagus. Ora usah wedi,”
(Kesinilah, anak tampan, jangan takut)

Di hadapannya, Sal melihat sosok lelaki yang sangat gagah dan duduk di atas sebuah singgasana. Lelaki itu menyuruh Sal untuk medekatinya.
Sosok itu duduk di atas sebuah singgasana yang tidak biasa, seolah menunjukkan jika ia memiliki tahta dan kekuasaan. Bahkan perempuan bewajah ayu yang membawanya ke tempat asing itu melakukan sembah sujud padanya. Sepertinya sosok ini bukanlah sosok biasa, pikir Sal dalam hati. Wajahnya sangat rupawan, badannya gagah, dan pakaiannya pun seperti seorang raja Jawa kuno. Namun Sal tidak mengenali siapa sosok yang sedang ada di hadapannya itu.

“Aku ngundang kowe rene amergo ono sing arep tak titipke marang awakmu, cah bagus. Babagan Bapakmu, Jumantara,” kata pria itu
(Aku mengundangmu kemari karena ada yang ingin aku titipkan kepadamu, anak tampan. Tentang ayahmu, Jumantara)

Sal kaget mendengar nama ayahnya disebut. Seketika ia ingat jika ayahnya memang sering berkunjung ke Gunung Lawu namun ia tidak mengerti apa alasan di baliknya.

“Panjenengan sinten? Wonten menopo kaliyan Bapak kula?”
(Anda siapa? Ada apa dengan bapak saya?)

Rupanya lelaki itu merupakan salah satu penunggu Gunung Lawu, titisan dari raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya V yang moksa di gunung ini.

Ia kemudian menceritakan pada Sal mengenai silsilah raja Majapahit, hingga kemudian Sal mendengar nama ayahnya disebut kembali. Rupanya, darah salah satu kerajaan terbesar di nusantara tersebut masih mengalir dalam diri ayahnya. Ayahnya adalah keturunan jauh dari Majapahit, pun diberi amanah dan tugas khusus untuk meruwat sebuah kerajaan yang kini tak kasat mata yang ada di Gunung Lawu itu.

Jumantara, Ayah Sal, rutin mengunjungi Gunung Lawu setahun sekali untuk melakukan ritual keselamatan. Ritual tersebut bukan ditujukan untuk dirinya dan keluarganya saja, namun juga bagi kesejahteraan masyarakat Jawa dan orang-orang yang berada di sekitar Gunung Lawu.
Jika Jumantara adalah salah satu keturunan jauh dari Majapahit, maka dalam diri Sal juga mengalir darah bangsawan tersebut, dan bisa dikatakan jika dirinya adalah penerus Jumantara. Karena dalam suku Jawa meyakini jika nasab seseorang diturunkan pada anak. Namun Sal masih tidak mengerti apa kaitannya ini semua dengan dirinya.

“Sal,”

Lelaki gagah berbadan tegap itu mendekati Sal. Ia kemudian menempelkan telapak tangannya di atas kelopak mata Sal. Matanya kemudian terpejam, seketika Sal merasakan hawa dingin merasuki tubuhnya, namun juga terdapat rasa hangat seolah terdapat sebuah energi yang dihantarkan dari telapak tangan itu.

Ia masih tidak mengerti apa yang dilakukan oleh sosok bertubuh gagah itu.

“Iki tinggalanku, tulung dijaga lan ojo sembrono,”
(Ini titipanku, tolong dijaga dan jangan main-main)

Lelaki itu kemudian mengangkat tangannya yang menempel pada kelopak mata Sal yang terpejam. Rupanya, sosok itu membuka mata batin Sal. Sal pun mulai memahami apa yang dimaksud oleh pria tersebut, seiring dengan terbukanya mata batinnya. Ia kemudian bisa “melihat” semuanya.

Dalam benak Sal kemudian muncul bayangan Ayahnya yang sedang mendaki Lawu dan melakukan sebuah ritual. Ia pun melihat ayahnya juga berjumpa dengan pria yang sedang ia jumpai saat ini. Kemudian mereka berdua dikelilingi oleh makhluk-makhluk yang mengerikan; seperti sosok perempuan dengan lidah yang menjulur panjang, genderuwo, perempuan dengan wajah yang rusak, siluman monyet, dan masih banyak lagi. Mereka semua mengelilingi ayah Sal yang terlihat sedang menabur bunga dan meletakkan beberapa singkong bakar. Sekumpulan makhluk tersebut pun berebut bunga yang ditabur oleh Jumantara dan menggrayanginya. Ayah Sal kemudian membakar dupa dan mengucap serangkaian persembahan doa.

Kini Sal mengerti kenapa ayahnya kerap singgah ke Gunung Lawu. Ia seolah bisa merasakan kemarahan dari makhluk-makhluk yang mengelilingi ayahnya apabila ia tidak datang kemari. Rupanya, pria berusia 45 tahun tersebut selalu memberi “Sesajen” atau makanan untuk para makhluk penunggu Gunung Lawu agar tidak marah dan mengamuk di Pulau Jawa.

Jauh dalam hati Sal, ia merasakan perasaan Ayahnya yang sebenarnya enggan untuk melakukan hal ini. Namun Jumantara, ayah Sal, sudah terlanjur terjerumus dalam “tradisi” yang mengalir dalam darahnya, tradisi “memberi makanan” pada mereka yang tidak kasat mata agar tidak berkeliaran mengganggu manusia.

“Saiki giliranmu, Le,” ucap lelaki itu pada Sal.
(Sekarang giliranmu, nak)

“Mulih o nang omahmu. Kowe pengganti Jumantara, yen bapakmu wis ngadep Sing Kuasa,”
(Pulanglah ke rumahmu. Kamu adalah pengganti Jumantara, apabila bapakmu sudah menghadap Yang Mahakuasa)

“Pasar Bubrah ora bakal ono yen manungsa ora golek gegara lan tradisi iku tetep kudu dilakoni, Sal. Dewe ora bakal tekan dunyane manungsa menawi ora ono maksud. Elingono,”
(Pasar Bubrah nggak akan ada kalau manusia nggak mencari gara-gara, dan tradisi itu tetap harus dilakukan, Sal. Kami tidak akan sampai ke dunia manusia jika tidak ada maksud yang akan disampaikan. Ingat itu.)

Sal mengangguk. Kemudian Sal “dipulangkan” oleh lelaki tersebut dan seketika ditemukan oleh rombongan Tim SAR yang sedang berupaya mencainya.

***

Namun Sal tidak mengerti mengapa dirinya diharuskan untuk melanjutkan tradisi tersebut, sementara saat itu masih ada ayahnya yang bisa melakukan hal itu. Apakah ia akan dijadikan tumbal? Hanya itu yang terlintas di kepalanya.

Rupanya, tiga tahun berselang dari peristiwa itu, Jumantara meninggal dunia karena kecelakaan yang ia alami. Seolah bisa membaca tanda berakhirnya hayat hidup Jumantara, penunggu Lawu pun meminta seseorang untuk menggantikan perannya tersebut.

Sosok titisan raja terakhir Majapahit tersebut pun mengetahui jika Jumantara memiliki seorang anak lelaki yang dinilai bisa menggantikan perannya. Namun ayah Sal tidak dengan gamblang menyampaikan hal ini pada anaknya jika ia adalah seorang “pewaris”, karena ia tidak ingin menjerumuskan anaknya dalam sebuah tradisi yang harus dijalani.

Jumantara mau menjadikan anaknya sebagai penerus dengan catatan Sal harus mengunjungi Gunung Lawu atas keinginannya sendiri. Karenanya, ia selalu menceritakan keagungan gunung ini pada anaknya namun tidak sedikit pun pernah mengajak Sal untuk mendaki bersama.

***

Tahun 2019.
Tujuh tahun setelah peristiwa hilang di Gunung Lawu pada tahun 2012 tersebut, kini Sal semakin sadar jika dirinya bukanlah “orang biasa”. Ia diberikan sebuah amanat yang harus ia jaga.

Sal, yang di dalam tubuhnya masih mengalir darah Majapahit, harus “menjaga” Jawa agar tetap aman dan terhindar dari amukan para makhluk Gunung Lawu dengan cara rutin menyambanginya dan melakukan serangkaian ritual; yang juga kerap dilakukan oleh ayahnya. Terlebih setelah tiga tahun berlalu ayahnya meninggal, semuanya seolah dilimpahkan kepadanya.

Mata batin Sal yang sudah dibuka oleh titisan raja di Gunung Lawu tersebut pun membuatnya lebih peka. Sal bisa menembus dimensi lain yang berbeda, bahkan mengetahui masa depan dan masa lalu seseorang. Namun jika ia sembrono dengan kemampuannya tersebut, Sal pun akan mendapatkan sebuah “hukuman".

---===SEKIAN===---

*****
Sebelumnya
close