Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 30)


Kecepatan angin melebihi kecepatan semula. Aku makin waspada meski belum berhadapan langsung dengan bala tentara jin milik tiga dukun. Dari jauh aku langsung menakar-bakar kekuatan mereka. Jumlah mereka cukup banyak. Dan merekapun memiliki kekuatan berlapis.

Dalam hati aku mulai marah. Ternyata tiga dukun itu benar-benar serius menjarah di tanah Sumatera ini. Mereka sudah pamer kekuatan padaku. Kira-kira jarak beberapa mil lagi aku langsung melindungi kakek Adil dan nenek gunung. Aku turun dari tunggangan memilih angin saja yang membawaku. Kakek Adil dan kawan-kawannya kupagari dalam bola gaib yang telah kumatrai. Semoga para jin itu tidak bisa menembusnya. Kubisikkan pada kakek Adil untuk duduk timpu dan berzikir. Kulihat mereka bergerak dan mulai berzikir di dalam bola mantraku. Aku berharap zikir mereka akan menjadi pagar juga melindungi mereka dari niat para jahat jin yang akan aku hadapi.

Oh mereka dipimpin oleh leak. Makhluk asral yang paling ganas di antara mereka sudah berdiri di tengah dengan kepala saja dan perut terburai. Matanya merah menyala seperti api. Taringnya melebihi dagu. Rambutnya keras seperti ijuk. Rata-rata mereka membawa senjata. Kalau pun kelihatan tangan kosong tapi mereka punya senjata gaib di tangan, mata, dan perut mereka. Mereka seperti pasukan binatang buas yang kelaparan. Banyak juga di antara mereka pemakan tulang manusia, itu dapat kulihat dari kalung-kalung tengkorak manusia di leher mereka. Jahat sekali! Keinginan untuk memusnakan mereka semakin tinggi. Aku sudah membaca beberapa doa dan mantra. Raksasa di kakiku sudah berbisik menyatakan dirinya siap melawan para jin itu. Aku meminta kakek Adil untuk mensyahadatkan raksasa di kakiku terlebih dahulu. Sang raksasa tidak keberatan. Kudengar kakek berulang kali menuntun dan meluruskan syahadat sang Raksasa. Akhirnya lolos juga. Sang raksasa sekarang sudah memeluk agama.

Tubuh dan wajahnya seketika berubah menjadi bersih. Kulitnya semula kasar dan kotor berubah menjadi putih. Wajahnya tidak menyeramkan lagi. Kulemparkan cawat agar dia tutup auratnya. Ternyata suara kakek Andun mengingatkan agar raksasa itu diberikan celana setengah tiang. Akhirnya aku mengarahkan tangan lagi ke atas memunculkan celana yang dimaksud sesuai saran kakek Andun. Lalu kuberikan dengan raksasa. Sang Raksasa segera memakainya. Sekarang makhluk besar ini terlihat semakin gagah. Selanjutnya dia kembali menyusup ke betisku. Kuingatkan agar jangan ke luar sebelum kuminta. Dia patuh dan duduk semedi menikmati perubahan dalam dirinya.

“Paman Raksasa, ikuti zikir kakek Adil” bisikku. Sang raksasa mematuhi perintah yang kuinginkan. “Baik anakku sayang. Paman akan patuhi petunjukmu.” Ujarnya. Ada kekuatan lain ketika aku mendengar nada suaranya yang lembut dan menyebut “anakku sayang”. Cahaya putih membalur tubuhnya. Energi positif itu pertanda jiwanya bersih. Paman raksasa sungguh-sungguh ingin berubah. Aku bahagia dibuatnya. “Kita sudah dekat!” Teriakku. Kakek Adil dan rombongan makin khusuk berzikir. Aku melihat cahaya berlampis-lapis dari tubuh mereka. Aku yakin cahaya zikir itu mampu melindungi mereka jika pagar gaibku bisa ditembus oleh tiga dukun sakti dari seberang itu.

Angin sudah mulai memperlembut gerakkannya. Aura pasukan jin sudah terasa sangat panas. Aku mulai konsentrasi mawas diri agar segera tahu kalau ada serangan mendadak. Sebab aku tahu betul, bangsa jin ini selain memiliki kemampuan sihir juga sulit dikendalikan kalau dia sudah ngamuk. Kecuali jika mereka kalah dalam bertarung. Maka mereka menyerah. Itu pun tidak bisa seratus persen dipercaya. Masih perlu diuji kembali kesungguhannya. Demikian juga pesan kakek Njajau padaku. Berarti aku harus menaklukan mereka terlebih dahulu. “Jika akan membahayakanmu, langsung bunuh saja, Cucuku” Suara kakek Njajau. Aku mengiyakan. Aku kembali serius menatap pasukan jin itu. Aku bersyukur sekali ternyata aku selalu diawasi oleh kakek-kakekku. Semangatku makin membara. Langit nampak cerah. Bintang berkedip-kedip seakan ikut mengawasi aku malam ini. Aku mulai menghimpun kekuatan di tangan. Senjata sudah kusiapkan. Aku akan membuyarkan pasukan jin ini agar kekuatannya terpecah.

Belum terlalu dekat, Leak sudah mengeluarkan kekuatannya. Angin sudah mulai bekerjasama denganku. Rupanya Leak berusaha menakhlukkan anginku agar takhluk padanya. Aku kembali membaca mantra angin warisan leluhurku. Badai sudah mulai datang dengan gulungannya yang maha dasyat. Kuperintahkan menggulung pasukan jin di hadapanku. Angin dasyat mulai bekerja. Pasukan jin mulai melakukan perlawanan. Mereka ada yang tergulung dan terbanting, ada juga yang melawan dengan kekuatan senjata-senjata mereka. Leak mengeluarkan senjata apinya ke arahku. Sepertinya bangsa ini enggan untuk bermain-main denganku terlebih dahulu. Nampaknya Leak memang berniat hendak menewaskanku. Aku menolaknya dengan kekuatan angin dan hawa dingin untuk menetralisir hawa panas dari aura jahatnya. Ternyata senjataku tidak telalu berefeks pada Leak ini. Dia semakin mengamuk melihat pasukannya cerai berai dihantam badai.

“Anak kecil, sebenarnya aku malas berurusan denganmu. Gurumulah yang harus kemari. Menghina betul! Orok disuruh melawan Raja” Ujarnya sembari menyemburkan api dari matanya. Aku masih bertahan menghindar. Melihat ususnya yang tergantung, hati, dan jantungnya membuatku jijik. Namun setelah kuawasi, ternyata organ tubunya juga senjata andalannya. Aku segera meluncur ke bawah usus tergantung itu. Dengan cepat kupapas dengan pedang dari tangan kiriku. Putus!!! Lalu secepat kilat kucacah agar lebur. Aku terperanga. Ternyata tidak juga berpengaruh. Jantung, hati, ususnya tumbuh kembali. Oh! Ilmu apa yang dimiliki makhluk satu ini? Aku berpikir sejenak untuk menakhlukannya. Sementara melihat aku heran si Leak tertawa dengan mulut berdarah. Dari jauh pengawalnya meleparkan tubuh seorang bayi yang masih merah. Leak langsung membuka mulut dan mengunyahnya.

“Tuhan, bayi manusiakah?” Oh! Ternyata orok, bayi manusia yang belum terlalu utuh bentuknya dikunyahnya begitu saja. Naluriku mengatakan itu bayi-bayi aborsi yang dibuang oleh manusia sembarangan. Menjijikan sekali! Lalu beberapa tulang dikunyanya juga dengan lahap. Dari aromanya itu tulang jenazah. Tulang orang mati! Rupanya apa yang dimakannya memberi energi baru untuknya.

Akhirnya aku tidak mau berlama-lama membuang waktu untuk berpikir. Kuputar tubuhku, kupusatkan bebagai macam kekuatan termasuk menghimpun hawa dingin untuk melawan semburan api dari matanya. Makhluk ini harus mati. Aku mulai bergerak ke sana ke mari mengeluarkan kemampuan yang kumiliki. Aku mulai mengeluarkan senjata cambuk pemberian kakek Pekik Nyaring. Baru satu gerakan, cambuk sudah mengeluarkan kilatan api seperti petir. Apalagi kalau ditambah dengan energi yang kumiliki pikirku.

“Maaf paman Leak, aura membunuhmu jahat sekali. Maafkan jika aku terpaksa memusnakanmu” Ujarku sembari mempersiapkan penyerangan. Leak tertawa lepas sembari menyerang dengan kekuatan ilmu batinnya. Aku tahu nada tertawanya menyedot energi lawan. Aku segera melawannya dengan cahaya biru di telapak tanganku. Benturan terjadi. Aku melihat warna hitam mengepul akibatnya benturan itu. Energi Leak mampu dimusnakan oleh cahaya biruku. Namun tak urung tanganku terasa kesemutan akibat benturan keras itu. Aku mulai memainkan cambukku. Kuarahkan setengahnya ke wajah Leak. Dia menghindar. Gerakannya gesit sekali. Sementara pasukannya yang digulung angin badaiku masih tetap kewalahan memertahakan diri. Untuk sesaat aku merasa aman mereka tidak bisa membantu Leak menyerangku. Serangan makin kutingkatkan. Cambukku seperti cahaya perisai ketika kulakukan gerakan berputar. Sehingga tidak sedikitpun cela untuk lawan menyentuh tubuhku. Sementara kilatan apinya siap melukai lawan. Hanya percikannya saja bisa menewaskan apa lagi jika kena sambaran apinya.

Aku bersyukur di beri senjata maha dasyat ini. Sambil terus mendekati Leak kekuatan sejata tetap kutingkatkan. Aku melihat Leak sedikit mundur. Aku semakin mendesaknya agar dia tidak punya kesempatan untuk melakukan perlawanan dengan ilmu gaibnya yang sulit diterka. Oh, sekarang aku melihat Leak berubah menjadi beberapa. Mereka berputar mengelilingiku dengan cepat sehingga sulit bagiku menghitung jumlahnya. Melihat itu, cambuk kuputar ke atas. Kebutan anginnya mampu membuyarkan leak-leak jelmaan. Percikan dan kilatan api cambukku mengenai salah satu mereka. Dia menjerit lalu lenyap. Bau hangus segera menyebar.

“Huuuggghhrrr” Leak menggeram melihat bayangannya hangus terbakar. Lidahnya berubah menjadi api yang menjilat ke sana ke mari. Angin yang kudorong untuk menolak sambarannya tak berfungsi apa-apa. Kekuatan yang dimilikinya luar biasa. Berkali-kali jilatan apinya kudorong namun malah membesar dan melebar. Boro-boro berbalik ke wajahnya, malah tambah memecahkan panasnya.

Ternyata Leak ini selain memiliki lidah api, juga memiliki kemampuan menjadikan ususnya yang terburai untuk mengikat tubuh lawan. Usus itu bisa menjerat lawan lalu memakanannya. Berkali-kali pula serangan usus dan lidah apinya bekerja bersamaan menyerangku. Sambil masih menghindar ke sana kemari aku mencoba alih strategi. Cambukku masih kumainkan untuk melawan lidah apinya. Aku harus kombinasikan kekuatan lain untuk melawan kekuatan Leak jahat ini. Sekarang rambutnya ikut menyerang. Rambutnya yang mirip ijuk itu seperti anak panah menusuk cepat namun tidak lepas dari busurny. Luar biasa!

“Hiaaaaat!! Up! Up!” Aku keluarkan kekuatan angin dan bola dingin untuk menolak sekaligus menghancurkan kekuatan Leak. Sementara cambukku kuubah menjadi ujung tali yang hidup, lilitannya ternyata mampu mengikat rambut ijuknya. Aku tidak membuang kesempatan. Melihat rambutnya terikat ujung cambukku, kutarik sekuat-kuatnya. Semburan apinya kuhantam dengan dorongan gelombang dingin. Akibatnya lidah apinya seketika beku meski tidak lama. “Ciiiiiiaaaat!!” Aku mengahantam kepala Leak yang terikat diujung cambukku. Dan “Brak!!” rambutnya tercabut dari kulit kepala. Leak menjerit sesaat. Rambutnya langsung kuremuk dengan kekuatan api pula. Seketika bau hangus memenuhi udara malam ini. Remukan rambut ijuk Leak seperti serbuk api terbang kemana-mana. Leak tampak lucu dengan tampilan barunya. Botak dan berdarah!

“Sialan! Kurang ajar kau anak kecil. Akan kumakan dirimu!” Ancamnya. Meski rambutnya telah tercabut, sepertinya tidak mengurangi kekuatan yang dimilikinya. Justru dia semakin terlihat liar dan ganas. Bahkan beberapa kali ususnya nyaris mencederaiku. Api di matanya makin berkilat-kilat. Konsentrasinya sedikit buyar kala mendengar anak buahnya menjerit ketika mereka di aduk-aduk oleh angin badaiku. Mantra anginku kutingkatkan, lalu kutangkap semua jin yang bergulung itu, kusimpan mereka di ujung jariku. Sementara energi mereka kusedot hingga habis. Demi melihat itu Leak semakin marah. Serangannya sudah tidak terkontrol lagi. Ngamuk ke sana ke mari. Suara jeritan mengaum seperti ratusan harimau marah memenuhi alam malam ini. Jika saja ini didengar oleh manusia, pasti mereka menyangka kiamat telah tiba.

“Bagaimana paman Leak? Belum akan menyerah” ujarku. Sebenarnya dalam keadaan dia kacau seperti ini aku bisa saja menghantamnya dan menewaskannya. Tapi aku sengaja menghambat sejenak. Siapa tahu bisa diajak kompromi. Aku melihat dia semakin lemah ketika anak buahnya kutangkap. Energinya ikut tersedot pula olehku. Tiba-tiba dengan cepat dia melilitkan ususnya ke seluruh kepalanya, lalu dengan satu jeritan keras kepalanya diremuknya tiba-tiba. Aku tak sempat menghalanginya. Leak bunuh diri, tewas seketika.

Tiba-tiba langit yang gelap seperti mengeluarkan bara. Sejenak bumi terang benderang dan berguncang. Aku melihat bola api terbang ke sana ke mari lalu lenyap di ketinggian. Kekuatan Leak lenyap melarikan diri entah kemana. Aku menarik nafas lega. Tak henti aku mengucapkan kata syukur. Aku takjub dengan kemampuan yang kumiliki. Dalam hati aku berpikir, bagaimana jika Bapak dan Ibuku tahu jika gadis kecilnya tengah berhadapan dengan makhluk asral entah di hutan mana. Tengah malam buta lagi. Bumi terlihat kembali hening. Beberapa kayu besar tumbang gara-gara dorongan angin badaiku dan hantaman Leak. Kakek Adil mengusap wajahnya sembari berucap Alhamdulilah. Mereka masih berada dalam lingkaran gaibku. Aku duduk sejenak. Memulihkan semua kekuatan dalam tubuhku yang sempat terkuras. Kuatur penafasan serileks mungkin. Kuhimpun kembali tenagaku. Aku berusaha menerapi diriku sendiri. Dan uf!! Aku baru sadar kalau punggungku sakit. Bahkan bajuku terlihat koyak. Aku langsung menempelkan tangan mencoba menerapi sendiri. Pelan-pelan aku melihat hawa hitam seperti asap keluar dari pori-poriku. Hawa racun keluar dan menyatu dengan udara. Kuhimpun, lalu kugenggam selanjutnya kusedot dengan telapak tanganku. Kumusnakan. Aku segera bangkit, dan kembali memanggil angin.

Kali ini kembali aku meminta angin untuk membawa kami secepatnya ke perbatasan. Aku berdoa semoga tidak ada lagi hambatan di jalan. Panggar gaib yang melingkar kakek Adil dan teman-temannya kulepas terlebih dahulu. Kami pun meluncur secepatnya. Dalam waktu singkat, kami sudah sampai. Aku merasakan aura yang berbeda, segera kutajamkan instingku. Aku membuat garis perbatasan lalu memagarinya Terlebih dahulu. Selanjutnya kubagi diriku menjadi enam sosok, lalu kuperintahkan menyebar hingga ujung perbatasan untuk menghimpun nenek gunung-nenek gunung masing-masing lalu memagarinya agar para nenek gunung tidak terpengaruh mantra tiga dukun yang memabukkan itu. Enam sosok diriku kubekali dengan senjata masing-masing. Mereka sudah menyebar dan bekerja cepat sekali. Para nenek gunung mereka kumpulkan dengan cepat. Lalu dengan sigap mereka kipagar dengan pagar gaib. “Maafkan nenek gunung, saya terpaksa melakukan ini untuk melindungi kalian dari gendam dukun seberang itu. Berdiamlah di dalam sini untuk sementara. Aku akan menjaga kalian.” ujar salah satu aku di hadapan puluhan nenek gunung yang sempat dihimpunnya. Aku yang lain pun melakukan hal yang sama. Mereka masing-masing telah menangkapi nenek gunung lalu mengurungnya.

Beberapa nenek gunung ada yang memberontak. Aku segera membantu menotoknya.

“Diam! Aku sedang bekerja untuk menolong kalian!” Bentakku.

“Kalian tidak ingin ditangkapi oleh orang seberang itu bukan? Mereka adalah para dukun yang mampu menundukkan kalian tanpa kalian sadari. Dan malam ini mereka kembali datang untuk menangkap kalian. Kalau kalian mampu melawannya mengapa sampai lima saudara kalian berhasil mereka bawa menyeberang sampai ke pulau Jawa? Entah bagaimana nasib saudara kita di sana. Tidak ada yang tahu!” Ujarku dengan nada tinggi. Akhirnya semua diam dan menunduk. Ternyata banyak juga mereka ini yang liar tidak patuh dengan aturan rimba. Entah apa sebabnya. Boleh jadi mereka ini ada yang telah terusir dari kelompoknya karena melakukan kesalahan dan sebagainya. Sehingga kelakuan mereka kasar dan buas sulit dikendalikan. Aku lega setelah melihat enam kelompok nenek gunung dari tempat-tempat terpisah sepanjang perbatasan yang dijaga oleh pecahan tubuhku. Masing-masing sudah dipagari agar mereka terhindar dari pengaruh negatif dukun yang hendak menakhlukan mereka. Melihat semuanya aman-aman saja aku kembali fokus pada perbatasan.

Waktu sudah mendekati tengah malam. Aku sudah melihat gerak-gerik para dukun. Dari jauh kulihat rombongan sudah mulai bergerak menuju perbatasan. Kendaraan mereka berhenti di pinggir hutan belantara, selanjutnya mereka berjalan masuk hutan dengan berbagai perlengkapan. Tak kurang lima belas orang rombongan itu seperti semut beriringn masuk hutan. Aku melihat yang berjalan paling depan seorang lelaki berpakian hitam seperti pendekar. Sepertinya dialah yang memimpin rombongan. Penciumannya sangat tajam. Dia mengetahui jejak para nenek gunung. Dia mirip kompas yang mengarahkan radar titik-titik nenek gunung berada. Melihat gelagat itu, ketika rombongan sudah masuk hutan aku mendekati kendaraan-kendaraan mereka. Benar, di antara kendaraan ini ada yang berbau nenek gunung. Nampaknya kendaraan-kendaraan ini dijadikan untuk mengangkut saudara-saudaraku nenek gunung.

Aku segera melakukan aksi. Kuraibkan kendaraan ini dari pandangan. Lalu kuminta raksasa dalam betisku ke luar untuk memindahkan kendaraan ini satu-satu. Akhirnya semua kendaraan dipindahkan paman raksasa ke dalam rimba, tempat yang sulit dan tidak mungkin kendaraan itu bisa ke luar hutan. Aku tersenyum sendiri membayangkan rombongan itu celingukan mencari kendaraan mereka yang raib. Selanjutnya kuminta pohon untuk tumbuh serentak memenuhi bagian tanah yang lapang ini dengan pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu bergerak membentuk formasi acak sehingga tanah lapang yang semula terang benderang berubah menjadi belantara dan gelap. Aku berterimakasih pada pohon-pohon dan rumput yang membantuku. Jalan setapak yang biasa dilalui para pemburu itu pun mereka tutup dengan tumbuhan-tumbuhan baru sehingga tidak terlihat lagi jika jalan tikus ini menjadi jalan manusia-manusia seraka itu. Setelah semuanya beres aku kembali ke perbatasan menunggu pasukan pemburu dan dukun. Mereka akan melakukan ritual terlebih dahulu di tempat yang mereka anggap paling ramai, tempat para nenek gunung melintas.

Aku buat aroma palsu nenek gunung untuk mengelabui penciuman para dukun agar mereka tidak sampai persis ke perbatasan yang sudah kupagar. Biarlah perasaan mereka saja seolah sudah sampai di lokasi sasaran. Secara kasat mata, manusia akan melihat ada lima belas sosok orang yang berjalan beriringan. Tapi jika dilihat dari mata batin, pengawal para dukun itu banyak sekali dari bangsa jin. Untuk membuang sepi kuajak paman raksasa yang bersemayam di betisku ngobrol perihal bangsanya.

“Paman Raksasa, lihatlah pasukan yang datang ada dari bangsamu” Ujarku.

“Iya, dari berbagi macam jenis. Kebanyakan mereka jin dari laut” Jawabnya.

“Apa bedanya Jin itu dengan paman? Ada bedanya ya jin laut dengan jin gunung atau jin hutan?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Yang beda hanya tempat tinggal saja sih. Tapi jin laut ini lebih sombong dari jin dari gunung. Mereka menganggap diri merekalah yang paling berkuasa. Di antara mereka ada juga jin dari seberang. itu ada jin dari India. Ilmunya tinggi.” Kata Paman Raksasa lagi. Aku tersenyum mendengar pernyataan paman Raksasa. Meski kata paman Raksasa mereka berilmu tinggi, tetap saja bisa kukelabui dengan aroma nenek gunung. Mereka juga tidak tahu kalau kendaraan mereka sudah kami pindahkan ke dalam rimba.

Aku duduk santai diujung ranting pohon yang paling tinggi sembari menatap gerak-gerik pasukan lawan. Kakek Adil dan rombongannya ada di perbatasan tak jauh dengan pagar gaibku. Wajah mereka nampak tegang. Meski berkali-kali aku katakan santai saja. Namun karena mereka pernah berhadapan langsung dengan para pemburu ini, secara emosional mereka masih sangat marah. Aku telah mencoba memberikan kekuatan pada kakek Adil dan nenek gunung lainnya agar mereka tidak terpengaruh dengan gendam para dukun. Aku merasakan detak jantung mereka berpacu lebih cepat. Kucoba menatralisir semuanya agar energi mereka tidak hilang sia-sia. Hutan belantara ini seolah-olah turut khusuk mendengarkan obrolan kami berdua. Mereka akan menjadi saksi peristiwa malam ini.

Dari atas pohon aku memerhatikan gerak-gerak mereka. Berkali-kali aku pindah posisi untuk memastikan kekutan mereka. Langkah mereka sangat gesit. Mereka semakin dekat. Berjalan tengah malam, melintas di hutan belantara sepertinya tidak menghambat langkah mereka. Mereka seperti memiliki mata batin lebih tajam dari mata biasa. Rata-rata mereka tidak ada yang kesulitan berjalan meski gelap. Lampu sorot yang mereka bawa bergoyang-goyang. Bayangan mereka seperti ikut hidup bergerak-gerak di daun dan ranting. Suara burung hantu dan satwa lainnya yang merasa terusik dengan kehadiran rombongan ini sedikit gelisah dan ribut. Aku mencoba menenangkan mereka.

Tak lama berselang hutan kembali sunyi. Hanya suara rombongan itu saja yang setengah berbisik. Melihat gerak-gerik mereka, nampak sekali jika mereka adalah orang-orang profesional dan sudah hafal hutan ini. Aku mencoba mendeteksi senjata mereka. Hmmm…rata-rata mereka dibekali dengan sejata api. Ada yang laras pendek, ada juga yang berlaras panjang. Bahkan ada yang membawa senjata rakitan yang biasa disebut ‘kecepek’. Senjata api yang paling jahat karena sekali tembakan maka beberapa puluru yang mengenai sasaran akan menyebar. Bayangkan saja kalau mengenai manusia atau nenek gunung. Taruhannya, mati berderai. Tubuh akan hancur lebur dibuatnya. Aku mengubah perasaan mereka seakan sudah sampai di perbatasan tujuan.

Pasukan itu memang sudah dekat dan siap-siap hendak berhenti. Aku sudah mulai berdiri. Mataku tajam mengawasi gerak-gerik mereka. Ada tandu, ada jaring, ada sajen untuk ritual. Sang dukun membentangkan kain hitam dibantu oleh beberapa orang. Formasi mereka segi tiga. Duduk paling depan dukun yang mempunyai ketajaman mencium aroma nenek gunung. Aku tingkatkan aroma nenek gunung di sekitar mereka. Dalam hati aku senyum-senyum sendiri melihat kebodohan mereka. Ternyata tiga dukun ini tidak bisa membedakan mana aroma nenek gunung yang asli, mana aroma nenek gunung buatan. Para jin pengikut mereka juga nampak bodoh, manut saja. Mereka sebagian nampak menitikan air liur kala melihat kembang tujuh rupa yang di bawa si dukun. Sementara dukun-dukun mempersiapkan ritualnya, aku terus mengawasi senjata api para pemburu ini. Ternyata mereka juga bawa panah. Panah bius! Peluru mereka juga selain timah panas ada peluru bius. Aku berpikir bagaimana caranya agar alat itu tidak berfungsi. Aku berpindah posisi. Kalau tadi aku berada di hadapan mereka sekarang aku pindah posisi di belakang mereka. Aku berharap mereka tidak mengetahui gerakanku. Kulakukan gerakan sehalus angin. Meski jin sekalipun tidak menyadari aku bekerja. Kumantrai halimun untuk menggaibkan semuanya. Aku tidak paham dengan pistol ini. Bagaimana kalau aku salah pegang tiba-tiba meledak? Bisa gawat misiku.

Akhirnya aku segera ambil tindakan. Alat ini akan aku musnakan sebelum meledak. Satu-satu moncong senjata itu aku bengkokan. Bahkan lubang pelurunya aku kempetkan agar tidak berfungsi. Begitu juga dengan panahnya. Ujung panah yang berbius kupatahkan. Tangkai busurnya, kubuat lembek. Sudah menggeledah senjata api dan panah mereka akhirnya aku kembali pindah ke hadapan mereka. Para jin pengikut tiga dukun sudah duduk manis. Sesekali kulihat lidah mereka ke luar. Mereka lapar! Aku segera membuat ruang di belakang mereka. Para jin kutarik diam-diam. Kusuguhkan makanan sesui dengan keinginan mereka. Mereka seperti angin tersedot ke dalam ruanganku dan berpesta pora sekenyang-kenyangnya. Berkali-kali kuikat ruangan itu dengan pagar gaibku. Mereka tidak menyadari kalau kukurung dalam ruangan. Bahkan dukun -dukun itu tidak tahu kalau jinnya sudah kutaklukan. Yang mengelilingi mereka hanyalah bayangan para jin yang semula duduk rapi mengelilingi.

Dukun yang menjadi pemimpin pasukan ini telah membaca mantra-mantra. Entah mantra apa yang disebutnya sungguh aku tidak paham. Aku membaca arah angin mantranya. Oh rupanya mereka tengah memanggil leluhur-leluhur mereka yang rata-rata telah sepuh untuk minta izin melaksanakan ilmu warisannya itu. Para leluhur mereka berdatangan. Semua menatapku. Aku memberi hormat pada mereka. Kusapa mereka dengan salam. Tiga dukun belum juga mengetahui keberadaanku. Aku masih mempertahankan persembunyian gaibku. Hanya leluhur-leluhur mereka yang memiliki ilmu tinggi saja mengetahui sosok halusku. Beliau membalas salamku dengan mengangguk dan sedikit menunduk. Aku berharap beliau berkenan membatalkan ritual muridnya. Tapi percuma saja, sesajen yang dihidangkan tidak bisa mereka tolak. Mereka berkata-kata, namun aku tidak paham maknanya.

“Dia mengucapkan salam padamu. Dan salut padamu, Selasih. Ilmu yang kau miliki sangat tinggi dan sempurna. Dirinya saja nyaris tidak melihat wujudmu saking lembut dan halusnya. Hanya orang-orang yang ajiannya tinggi saja bisa berinteraksi denganmu. Beliau minta izin cucunya melaksanakan ritual di sini.” Paman raksasa tiba-tiba menjadi penerjemah. Sejenak aku mengangguk kecil. Aku tahu mereka adalah para petapa yang berdiam di gunung-gunun dan sebagian di dasar laut. Rambut, brewok, kumis, dan alis semuanya panjang dan tak terurus. Wajah mereka rata-rata tirus dan kurus.

“Paman, apa mereka tidak tahu bahasa Indonesia ? Agar aku bisa berinteraksi dengan mereka” Ujarku. “Nampaknya mereka tidak bisa, Selasih” Kata paman Raksasa lagi.

“Aku bisa membuat mereka berbicara menggunakan bahasa Indonesia, Paman. Akan kupaksa mereka. Hiaaaaat…hiaat..hiiiaat!!” Secepat kilat kutotok leher mereka serentak, menyentuh pita suaranya agar bisa berbahasa Indonesia.

“Maaf atas kelancangan saya kakek, saya menganggap sangat perlu untuk berinteraksi dengan kakek-kakek semua. Hentikan penangkapan saudara-saudaraku di tanah sumatera ini. Kakek-kakek telah membantu tiga dukun jahat ini bukan? Mereka adalah murid-murid para kakek? Aku tahu, kakek penganut ilmu hitam yang selalu mereka elukan, sembah, dan banggakan” Ujarku.

Melihat gelagatnya, para leluhur ini tetap hendak membantu para muridnya. Mereka datang justru akan memberikan dukungan dan kekuatan.

“Nduk, meski beberapa pasukan cucuku telah kau musnakan, bahkan telah kau kurung bala tentaranya, tapi semua tidak akan mengurangi niat kami. Kami telah datang jauh dari seberang. Tidak ingin pulang berhampa tangan. Saya akui kehebatanmu. Anak kecil, Kamu cerdas! Berani bekerja sendiri. Nyalihmu sangat tinggi. Saran kakek, lebih baik kamu pulang, bermain dengan kawan-kawan sebayamu. Bahaya larut malam ada di hutan seperti ini” Ujarnya mulai meremehkan aku.

“Tidak!! Kakek jangan berlembut-lembut padaku. Kalianlah yang harus angkat kaki dari tanah Sumatera ini.” Tantangku.

“Artinya, kita harus bertarung anak kecil. Jangan ajak kakek bermain-main, Nduk. Bahaya untukmu” Ujarnya lagi.

Aku mulai naik darah. Para sesepuh ini sama saja dengan tiga dukun Muridnya. Berhati jahat! “Baik, kalau begitu, aku yang akan mengusir para kakek dari sini. Maafkan kelancanganku! Hiiiiiaaaat!!!” Aku mulai memainkan satu jurus untuk memancing mereka. Nampak para sepuh ini sangat meremehkan aku. Aku tahu mereka semua sakti-sakti. Ada yang apabila tubuhnya di cacah, ketika menyentuh tanah bisa hidup lagi, ada yang bisa menghidupkan dan mematikan matahari, ada yang bisa mendatangkan hujan, angin dan badai. Ada yang bisa mengangkat gunung, laut, dan entah apalagi.

“Mbah Suko, urus denganmu anak kecil ini. Kalau panjenengam bisa, ambilah, bawalah ke lereng gunung Salak” Ujarnya.

Oo..rupanya namanya mbah Suko lelaki kurus bermata cekung ini. Mulutnya tak henti menggigit-gigit ranting. Mendengar diperintahkan untuk berhadapan denganku, nampaknya beliau maju dengan agak malas-malasan. Matanya mengecil menatapku. Melihat gayanya yang sombong, kubusungkan dada. Kukepit tanganku. Apalagi dia melenggang seakan dialah yang paling gagah sambil membetulkan ikat kepala. Dalam hati aku bisa menilai. Meski penampilannya kecil kumel tapi beliau ini hebat juga. Ikat kepalanya adalah senjata pamungkas. Gelang di tangannya bisa menjadi ular naga. Tulang yang dimilikinya sama kerasnya seperti besi. Dan panau yang tumbuh di pipi dan tangannya, rupanya racun yang sangat berbahaya.

“Sini main-main denganku? Mau berapa lama kamu main, Nduk? Tak layani!” Ujarnya memasang kuda-kuda. Aku mulai menunduk memerhatikan gerakannya. Aku terperanga, ternyata lelaki ini tidak hanya memiliki dua tangan. Aku melihat ada sepuluh tangan yang bergerak. Dua kasat mata, empat pasang tak kasat mata. Di alam gaib, ada gaib lagi. Aku tersenyum sendiri. Sama halnya ketika di dalam mimpi ada mimpi. Dan aku pernah mengalaminya. Wow! Gerakan tangannya saja mengeluarkan angin. Padahal baru gerakan biasa? Aku belum melihat beliau mengeluarkan tenaga dalam sepenuhnya. Apalagi jika beliau mengeluarkan tenaga dalam? Pasti akan lebih dasyat! Aku senang dapat lawan seperti ini. Bukan seperti pasukan coro-coro itu. “Huf! Huf! Huf!” Aku mengangkat ke dua tanganku ke atas, lalu menyilang. Kulihat kakek Adil sambil berdiri menatapku di perbatasan pagar gaibku. “Hati-hati, Cung” Bisiknya. Aku mengangguk lembut. Beberapa kekuatan telah kuhimpun jadi satu. Aku serius ingin memberi pelajaran pada satu orang ini dulu. Biar yang lainnya tidak menganggapku remeh. Dan aku serius ingin mengusir mereka dari tanah Sumatera ini.

Kulihat mbah Suko menunggu aku menyerangnya. Aku mulai dengan langkah kutau untuk mengelabui pandangannya. Dan Plak!!! Aku memukul punggungnya dengan menambahkan sedikit tenaga dalam. Lalu memelintir tangan gaibnya hingga berderak. Satu tangannya berhasil kupatahkan. Kulihat wajahnya kaget, pucat seketika. Mungkin dia tidak menyangka akan mendapatkan seranganku yang tiba-tiba. Aku mundur beberapa langkah untuk melakukan serangan selanjutnya. Mbah Suko mulai agak serius sembari menahan sakit. Melihat leluhur yang lain menertawakannya, mbah Suko semakin naik darah. Wajahnya merah padam. Rambutnya yang semula lepek tiba-tiba berubah tegang. Tangannya yang tinggal sembilan mulai bekerja. Beberapa senjata rahasia kulihat sudah berada di tangan gaibnya. Aku semakin waspada. Tiba-tiba mbah Suko duduk split dengan kaki mengembang. Tangannya mengarah ke atas dengan kepala mendongak. Dalam suasana duduk seperti itu mbah Suko menyerangku dengan senjata rahasia. Dengan sekali gerakan aku berhasil menghindar serangannya yang bertubi-tubi. Payung gaibku tiba-tiba saja muncul memgbang dan terbang melindungiku.

Kali ini aku melakukan strategi lain. Aku ingin membuatnya lumpuh. Sudah kupelajari kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Meski aku tetap harus hati-hati dengan berbagai kemungkinan. Jika bukan orang yang memiliki kemampuan tinggi tidak mungkin dengan cara split seperti itu dia mampu melakukan penyerangan dasyat pada lawan. Belum sempat aku berpikir panjang, aku terkejut ketika ada dua tangan menarik kakiku. Aku segera mengubah diriku selembut angin. Sehingga dengan mudah aku melepaskan diri dari cengkraman tangannya. Ternyata tangan mbah Suko sangat cepat bergerak dari bawah tanah. Aku terheran-heran, ada juga ilmu seperti ini? Tangannya bisa menyusup ke bawah tanah. Ini baru dua tangan. Bagaimana jika sembilan tagannya itu yang bekerja? Apa mbah Suko tidak mirip ubur-ubur?

Aku kembali menjajakan kaki ke tanah. Berharap tangan-tangan itu kembali menyusup. Benar saja, ini ilmu ubur-ubur. Delapan tangan mbah Suko bergerak cepat sekali. Aku segera melompat sembari menarik selendangku, delapan tangan itu kupukul dengan ujung selendang. DuaaaRR!!! Benturan keras terjadi. Dari delapan tangan kulihat ada empat yang terkulai dan gosong. Ternyata dari belakang para sesepuh itu ada yang hendak membantu mbah Suko. Mereka mencoba membokongku dari atas. Aku mengetahuinya kebetulan selendangku sedang berayun ke atas. Tiba-tiba ada benturan. Dalam hati aku menggerutu. Kurang ajar!! Para tua bangka ini ternyata suka main keroyok diam-diam. Aku meningkatkan kewaspadaan. Ini baru satu. Bisa jadi semuanya akan membantu mbah Suko. Sambil terus menghimpun kekuataan, aku mercoba menyedot energi para sepuh yang mereka transfer pada mbah Suko. Akibatnya mbah Suko makin lemas. Dalam situasi genting seperti itu, ternyata tidak membuat mbah Suko lumpuh. Dia bangkit lalu mengayunkan kedua tangannya. Tiba-tiba ada senjata lembing sekaligus tongkat yang berayun di udara. Sejenak aku terperanga. Lelaki sepuh ini seperti memiliki kekuatan ganda. Angin dari lembingnya sangat kencang. Kekuatan yang ditimbulkannya bisa menumbangkan apa saja. Aku akan lawan dengan angin pula. “Badaiii” aku berteriak kencang. Seketika angin bergemuruh menyerang kebutan lembing mbah Suko. Dua kekuatan angin beradu di udara, sama-sama saling menggulung dan mengaduk. Suaranya menderu. Kadang berdetar seperti guruh dan petir. Percikan api menghias langit belantara yang gelap.

***

“Hiaaaat! Hap!Hap! Hap!” Suaraku gegap gempita mengisi belantara malam ini. Senjata rahasia mbah Suko mampu kutangkap dengan menjepitnya di antara jempol kaki kiri, kaki kanan, dan kedua pahaku. Lalu aku berputar secepatnya mengembalikan senjata itu ke mbah Suko. Crasss!! Salah satu benda itu menembus dada kirinya. Mata mbah Suko terbelalak seketika. Untuk kedua kalinya mbah Suko ditertawakan oleh kawan-kawannya.

Heran! Tak ada darah. Mbah Suko mundur beberapa langkah lalu dadanya diusapnya. Beliau mencoba mengobati dirinya sendiri. Aku memanfaatkan situasi untuk menotoknya sesuai niatku melumpuhkannya. Dan Brukk!!!! Tubuhku terhempas di semak-semak. Lagi-lagi aku di serang dari belakang. Rupanya salah satu leluhur dukun ini membantu mbah Suko dengan cara melawan totokanku. Tenaganya kuat sekali. Aku terlempar lalu terhempas.

Aku bangkit secepatnya. Kutatap gerakan para sesepuh. Hmm…mereka diam-diam membantu mbah Suko yang sudah terluka sejak awal. Aku kembali memasang kuda-kuda. Sekarang aku tidak fokus pada mbah Suko lagi. Tapi manusia yang dihadapanku ini semua harus diwaspadai. “Sini, biar aku saja mengajak bermain anak kecil ini. Kamu ini licin kayak belut, Nduk. Gurumu siapa?” Lelaki yang kelihatan berwibawah, berpakaian serba putih di selempang seperti biksu. Rambut dan jenggotnya serba putih. Hanya matanya saja terlihat hitam dan kecil. “Tidak perlu tahu aku murid siapa kakek. Siapapun kakek, tidak usah ikut-ikutan mengacak-acak tanah Sumatera ini. Apalagi membantu menakhlukan raja rimba-raja rimba hutan kami. Pulanglah! Kembalilah petapa di laut, di situ tempat kakek yang paling tepat. Bukan di perbukitan seperti ini” Ujarku.

Aku tahu, kakek di hadapanku ini adalah seorang petapa dari laut sisi timur Jawa. Meski pakaiannya mirip seorang Desi, tapi beliau sering membantu bangsa manusia untuk medapatkan berbagai macam hal yang berkaitan dengan kemampuan dan kekayaan. Entah apa yang diperoleh orang tua ini. Sementara dirinya sibuk betapa memperdalam ilmunya. Apakah hanya ingin dikatakan sakti dan terkenal di kalangan gaib dan sesama paranormal. Entahlah!

Mendengar perkataanku, sang kakek tertawa sampai tubuhnya bergoyang-goyang. “Ulat nangka, kecil-kecil kamu tahu aktifitasku ya. Seumur hidup baru kali ini aku menemukan ulat nangka kecil ulet dan licin. Apalagi kalau kamu jadi muridku, jangankan angin, Nduk, laut pun bisa kamu bendung.” Ujarnya. Aku agak tersinggung juga disebutnya ulat nangka. Sialan! Aku langsung memanggil badai dari Samudera Hindia. Akan kuaduk ilmu membendung laut yang diucapkannya tadi. Seperti apa sih?

“Baik kakek, akan kuajak kakek untuk bermain.” Ujarku sembari berkelebat ke sana kemari menggulung badai untuk menggempurnya. Laut yang dibentangkannya segera kugulung dengan badai yang kudatangakan dari Samudera Hindia. Dua kekuatan bertarung sama kuat.

“Laut! Kau tak akan bergelombang tanpa angin dan badaiku. Diam kau!!” Seketika lautan ilmu si kakek putih ini berhenti bergejolak. Yang ada hanya anginku bergemuruh seperti hendak menggulung semua yang ada di sekitar sini. Kulihat rambut dan pakaian kakek putih melambai-lambai. Aku tahu beliau terkejut melihat badai yang kudatangkan dari Samudera Hindia. “Hai!! Ulat nangka! Dari mana kau dapatkan ilmu badai ini? Apa hubunganmu dengan Pekik Nyaring ha!” Matanya sedikit terbelalak.

Aku tidak kehabisan akal. Aku ingin tahu siapa lelaki ini sebenarnya. Mengapa dia kenal dengan kakek leluhurku.

“Untuk apa kau mau tahu darimana aku dapatkan ilmu badai ini Kakek putih. Tidak perlu juga Kekek tahu apa hubunganku dengan Pekik Nyaring. Mengapa? Jiwa Kakek agak bergetar melihat badaiku?” Aku sengaja menaikan nadaku. Wajah sang Kakek tidak bisa disembunyikan. Dia masih berpikir tentang badai dan Pekik Nyaring.

“Tunggu dulu ulat nagka! Kamu murid Pekik Nyaringkah?”. Suaranya agak lembut. Aku benci sekali mendengar sapaannya. Masih saja beliau menyebut aku ulat nangka. Enak saja!

“Tidak penting juga Kakek tahu siapa aku. Silakan pulang ke laut. Sebelum aku marah!” Jawabku tidak sopan. Aku sudah tidak sabar. Apalagi kakek ini telah mengurung hutan ini dengan lengkung langit dengan maksud membatasi ruang gerakku. Akan kupecahkan lengkung langitnya dengan angin dan halilintar.

Aku mengangkat tangan setinggi-tinggi. Sebelum sang Kakek sempat apa-apa, aku hantamkan badai dan petir dari tangan kiri dan kananku. Aku kaget sendiri. Aku tidak tahu kekuatan yang kumiliki bisa membuat lengkung langit kakek putih jadi pecah seperti pecikan air sampai tinggi sekali. Ketika ada kesempatan lain, secepat kilat tanganku menotok beberapa titik tubuh mbah Suko yang sedang duduk bersandar. Berhasil!! Aku memagarinya segera agar tidak ada satupun orang yang menolongnya. Jika ada yang berani menolongnya berarti akan berhadapan denganku. Akan kuserang siapapun dia.

Tubuh mbah Suko terlihat tegang dan kaku seperti pantung. Beliau berusaha mengeluarkan ajian-ajian untuk melepaskan totokanku. Tapi tidak berhasil. Manteraku telah kubuat berlapis membalut tubuhnya. Sesepuh yang lain terbelalak. Mereka tidak menyangka secepat itu aku melakukan totokan dan pengurungan. Mereka tidak sempat untuk bertindak membantu mbah Suko. Tiba-tiba aku melihat mantra tiga dukun sudah mulai membumbung. Mereka nyaris tidak tahu jika di sekitar mereka telah terjadi pertarungan dasyat dan leluhur mereka telah lumpuh satu. Dengan satu gebrakan, ritual mereka kuhantam dengan angin halilintar. Duar!!! Sajen sang dukun hangus terbakar. Semua berantakan. Bahkan sang dukun yang sedang duduk khusuk sambil memegang keris pusaka ikut terpental. Yang lain pun demikian bahkan ada yang jatuh pingsan Tiba-tiba keris yang dipegang si dukun melesat ke atas. Dengan cepat aku meluncur lalu menyambarnya. Rupanya kakek Putih ikut melayang hendak menangkap keris itu. Kakek putih kalah cepat denganku. Keris telah kupegang lebih dulu dan kuayunkan ke arahnya. Beliau menghindar, namun tak urung ujung keris telah mengoyak pakainnya.

Kain putih yang koyak berubah jadi hitam. Keris beracun!! Kakek putih terkesiap. Wajah putihnya makin pucat. Beliau juga tidak menyangka jika akan mendapatkan seranganku secepat itu. Aku kembali hinggap di ujung ranting. Sang keris sudah di tanganku. Energinya sangat kuat. Beberapa kali aku merasakan keris memberontak hampir lepas. Kucoba menyedot dan menetralisirnya segera. Setelah terasa netral, keris kuremuk hingga jadi debu. Kuhamburkan segera agar menyatu dengan tanah. Mata kakek putih makin terbelalak. Sesepuh lainnya mulai serius menghadapiku. Aku berhasil menarik perhatian mereka. Sekarang mereka tidak menganggapku remeh lagi. Aku meyakinkan mereka jika aku bukan anak kecil yang masih doyan bermain. Tapi aku adalah anak kecil yang patut mereka perhitungkan. Lalu mereka kembali ke pulau Jawa sebelum aku berniat membunuh mereka.

Huuuuf!!! Aku melompat ke atas ranting sebelahnya. Berdiri di ujungnya sambil menatap para sepuh.

“Bagaimana kakek-kakek yang terhormat. Masih punya nyalih? Masih juga enggan pulang ke daerah asal kalian? Pulanglah sebelum kupaksa.” Ujarku. Kulihat mereka berniat menyerangku. Hhmm…mereka hendak mengeroyokku lagi rupanya. Sebelum mereka bertindak kukerahkan kekuatan batinku. Kulempar kakek Suko yang masih terkurung kembali ke asalnya di lereng gunung salak. Pasukan sesepuh makin tercengang.

“Anak ini bukan ulat nangka Kang Mas, tapi anak iblis” Ujar kakek berbaju hitam yang dari tadi memerhatikanku dengan mata elangnya. Dess!!! pukulanku dari jauh persis mengenai bibirnya. Bibir itu pecah!

“Tua bangka, jaga mulutmu. Justru kalianlah yang iblis!” Ingin rasanya aku meremuk mulutnya. Giginya yang hitam nampak nyengir menahan sakit. Diusapnya darah yang mengalir dengan ujung lengan baju.

Pelan-pelan kutiupkan angin yang bisa membuat mata lawan terasa perih. Rata-rata mereka berusaha melawan dengan kekuatan batinnya. Mereka berniat menangkapku, bahkan membunuhku. “Ulat nangka ini bagianku, Elang. Aku ingin tahu dari mana dia mendapatkan ilmu badainya.” Ujar kakek putih menatap kakek berbaju hitam.

“Aku juga ingin menangkapnya kang mas. Mulutku telah dibuatnya berdarah. Dan adik sepupuku dilemparnya tak berdaya. Dosanya lebih banyak padaku.” Mereka berdua mulai berdebat.

“Hei! Kakek-kakek bau tanah, kalianlah yang akan kutangkap lalu aku kembalikan ke daerah asal kalian masing-masing seperti mbah Suko yang songong itu!” Ujarku lantang.

Sementara masih berhadapan dengan beberapa orang sepuh ini, sekilas aku melihat tiga dukun terbengong-bengong menatap ritual mereka buyar. Mereka mencari-cari darimana sumber bencana yang meluluhlantakan ritual mereka. Apalagi dukun pertama itu. Wajahnya persis seperti kambing ompong ketika menatap tangannya kosong tidak memegang senjata lagi. Puluhan hari beliau itikaf dan semedi untuk mendapatkan senjata dasyat itu. Berbagai rangkain ritual beliau lakukan. Hari ini hilang sia-sia. Wajahnya nampak cemas. Szzzzz….!

Halus sekali aku mendengar suara mendesis ke arahku. Senjata gaib! Aku segera berpaling ke arah suara. Aku berpindah ke sana kemari dengan kecepatan tinggi untuk menghindari serangan gaib sesepuh yang lainnya. Mereka jadi bingung memfokuskan kemampuan mereka karena tidak bisa memastikan posisiku. Aku bersuara kadang ke hilir kadang ke hulu padahal suaranku tidak sama dengan posisi tubuhku. Kadang aku bersuara di samping kanan mereka padahal aku ada di sebelah kiri. Demikian sebaliknya, aku bersuara di sebelah kanan, tapi sebenarnya aku ada di sebelah kiri mereka. Saat seperti ini sebenarnya aku dengan mudah menyerang mereka. Tapi aku sengaja ingin menjajal ilmu para betapa ini.

Demikian para sesepuh ini kupermainkan. Sehingga serangan dan senjata mereka selalu mengenai ruang kosong. Tapi meski sudah sepuh mereka hebat-hebat. Tenaga mereka seperti tidak terkuras samasekali. Padahal aku tahu persis, rata-rata mereka menggunakan tenaga dalam. Kampuan yang sempurna menyadari kalau mereka kupermainkan kakek putih menghentikan pertarungan.

“Sabar…sabar. Sebentar Dimas dan Kangmas. Tahan sebentar nafsu kalian. Izinkan aku bertanya sejenak dengan ulat nangka ini. Jika pertanyaan saya sudah terjawab, terserah kalian. Ulat nangka, tolong dijawab dengan jujur. Saya mengakui kehebatanmu. Kamu tak saja kecil dan cantik. Tapi juga berilmu tinggi. Sekarang tolong jawab, darimana kamu dapat ilmu badai, dan apa hubunganmu dengan Pekik Nyaring. Pekik Nyaring adalah kakak seperguruanku. Dia penguasa angin sedangkan aku laut. Kami diwarisi oleh guru kami ilmu yang berbeda.” Ujar kakek Putih dengan ekspresi agak sentimentil. Kubaca jiwanya. Oh! Kakek Putih masa mudanya selalu ingin mencoba yang baru. Suka membantah guru dan kakaknya. Sedikit serakah. Beberapa kali memaksa gurunya agar dia pun diberi ilmu angin. Hingga akhirnya dia diusir gurunya karena kelancangannya itu. Dia sangat bernafsu! Sejak itu kakek putih bersumpah tidak akan kembali dan tidak mengakui gurunya lagi. Selanjutnya dia bertapa di bawah laut untuk memperdalam ilmunya, dengan harapan dapat pula ilmu badai itu.

Mendengar penjelasannya aku tertawa. “Kakek diusir karena serakah, lalu berharap dapat ilmu badai setelah puluhan tahun bertapa di bawah laut. Tidak mengakui guru dan berjanji tidak akan pulang. Dasar murid durhaka! Sekarang bertanya apa hubunganya aku dengan Pekik Nyaring. Itu juga tidak penting dijawab. Sebab aku tahu siapa kakek. Nama kakek Rangas Debu yang telah memutuskan hubungan dan tidak mengakui guru sendiri. Sementara ilmu yang diberikan pada kakek sampai sekarang tetap kakek pakai. Kan lucu!!!” Jawabku yang membuat wajahnya merah padam.

“Hiaaaaat!!!” Aku gempur dia dengan jurus-jurus mematikan. Ada perintah untuk melumpuhkannya. Bila perlu membunuhnya. Pada masa pertapaanya Kakek putih ini terus menyerang gurunya agar mati. Akhirnya karena sudah sangat sepuh sang guru tidak kuat lagi menangkis serangan gaibnya. Dan yang diserangnya adalah leluhurku. Sekarang manusia berwajah resi ini ada di hadapanku. Si kakek mengelak setiap seranganku dan balik menyerang. Aku tidak memberikan sela untuknya berkata-kata lagi. Aku merasa puas dapat mewakili sakit hati Puyang Buyutku. Dia harus mati!! Beberapa gerakan saja sang kakek putih mampu kudesak. Dia pun meningkatkan jurus dan mantranya. Meski belum keluar semua ilmu andalannya, kuakui beliau sangat hebat.

Melihat kakek putih terdesak kawan-kawannya mulai ikut mengeroyokku. Aku ubah strategi. Sebelum mendapatkan serangan dari sesepuh yang berilmu tinggi ini aku menyiapkan ilmu pamungkasku. Aku mengaum hingga beberapa pohon tumbang. Termasuk tanah yang diijak para sesepuh ini. Beberapa orang kulihat sempoyongan ketika tenaga dalam mereka berbenturan dengan aumanku. Aku telah berubah menjadi harimau putih yang gagah. Siap menerkam mereka dengan mulut mengaga. Melihat perubahanku, para sesepuh segera mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Aku membaca ada hawa kematian di sini. Tekadku sudah pasti. Mereka memang patut untuk mati. Merekalah salah satu pengagacau kehidupan manusia. Banyak sekali manusia tersesat dan mimpi gara-gara para betapa jahat ini. Aku mulai menyapu wajah mereka. Para sesepuh mulai membuat formasi. Sepertinya mereka serentak akan menyerangku.

Aku kembali mengaum mengambil energi dari langit. Lalu kakiku mencakar ke tanah mengambil energi dari bumi. Dua kekuatan ini kujadikan satu. Tubuhku segera melesat menempur para sesepuh. Energi kami berbenturan keras. Bumi, angkasa, seperti akan runtuh. Pohon-pohon bertumbangan. Dalam waktu singkat hutan lebat ini seperti lapangan. Rata. Aku berusaha menggulung serangan mereka. Namun karena rata-rata mereka berilmu tinggi, cukup membuatku kerepotan. Aku terus melompat terkadang salto melakukan penyerangan dan mengelak. Saat-saat tertentu aku terdesak nyaris terkena senjata andalan mereka. Hap! Hap!! Aku berhasil menggigit salah satu senjata berupa pedang berwarna biru terang. Kukumpulkan dengan cepat energi untuk menarik sekaligus mencakar lawan. Berhasil! Pedang pusaka itu terlepas dari pegangan masih digigit.

Sekuat tenaga aku mencoba menyedot energi dan hendak meremuknya. Sambil terus menghindar dan balik melakukan balasan. Belum sempurna mengambil energi pedang itu, tiba-tiba pedang berubah menjadi ular dan melilit tubuhku. Seketika aku merasakan sesak nafas. Lilitan ular ini sangat kencang. Kepalanya berusaha mengigit apa saja sepanjang bisa digigitnya. Aku segera mengeluarkan ajian penghimpun racun. Tiap kali si ular mengigit maka dia akan menghisap racun. Sambil terus menghindar dari serangan para sepuh, aku terus berusaha melakukan serangan balasan. Lama kelamaan lilitan ular makin kendur. Hal ini kesempatan aku menarik energinya. Usai kusedot, ular kembali menjadi pedang. Aku menginjaknya hingga remuk berkeping-keping, lalu patahannya kuhantam serentak, akibatnya meluncur cepat satu-satu ke arah lawan.

Aggkh!! Kakek Mata Elang menjerit. Patahan pedang ada yang menancap di lehernya. Aku kembali mengaum lalu melompat tinggi. Tubuh kakek Mata Elang kuterkam. Sekali cabik wajahnya terbelah dua. Seketika beliau terkapar penuh darah. Amu segera bergerak ke kiri dan ke kanan beberapa orang teman kakek Putih ikut menyusul kakek bermata elang. Aku seperti harimau mabuk mengaum, melompat, dan mecakar. Dengan cepat satu -satu sesepuh itu kudesak dan terluka. Aku merasakan dadaku nyeri. Tapi demi melihat lawan tangguh-tangguh rasa nyeri itu kubuang jauh-jauh.

Aku berjalan mendekati kakek putih. Melihat wajahku menyeringai, beliau mundur lalu mengubah dirinya menjadi harimau belang. Sekarang wujud kami sama. Sesepuh yang lain melihat dua perubahan kami seperti dikomando menghentikan pengeroyokan. Nampaknya mereka tertarik melihat pertarungan dua wujud raja rimba. Aku tidak heran jika kakek putih berubah menjadi harimau. Karena gurunya adalah puyangku. Aku membaca ilmu apa yang akan digunakan oleh adik seperguruan puyangku ini. Apakah dia akan gunakan kembali ilmu andalan yang pernah diajarkan oleh puyangku? Oh, rupanya dia siap menyerangku dengan kekuatan samudera yang dikombinasikannya dengan jurus harimau mudik. Sebuah gerakan lembut untuk mengelabui lawan seakan tidak tertarik untuk bertarung. Padahal sekali bergerak, maka gerakannya akan mematikan karena kaki depan akan merangkul leher lalu tubuh berputar sekaligus memutarnya hingga patah. Kuakui ilmu samuderannya dasyat sekali. Kakek putih tidak tahu jika aku adalah salah satu keturunan Pekik Nyaring. Ilmu dasar harimau mudik yang beliau punya adalah ilmu warisan leluhurku. Aku telah mewarisi ilmu dasar dan dimodivikasi dengan ilmu lainnya. Tiap gerakan barunya tidak akan terbaca oleh lawan.

Aku kembali membaca gerakan kalem kakek putih. Segera kucakar tanah, lalu berguling, secepat kilat kusambar kaki belakangnya sebelum beliau salto lalu menarik leherku. Kami bergulat dengan mengerahkan kemampuan masing-masing. Pergulatan berlangsung cukup lama. Kakek putih sepertinya tahu jika aku akan menyerangnya dari bagian bawah. Namun tak urung cakaranku cukup banyak melukai beliau. Sementara beliau terus bertahan dengan benteng badainya untuk menepis angin seranganku. Kalau bukan kakek putih memiliki ilmu menghadang badai mustahil beliau bisa bertahan sampai sekarang melawan serangan-seranganku.

Aku melompat ke belakang membuat jarak dengan kakek Putih. Kaki depanku terasa nyilu akibat benturan dan hantaman dasyatnya. Kakek Putih meyeringai dengan luka di wajah. Aku telah menyiapkan serangan selanjutnya. Kami melompat serentak. Kali ini pertarungan kami lebih banyak ke atas. Tubuh kakek Putih melompat tinggi, segera kulakukan penyerangan berusaha meraih tubuhnya dari bawah. Udara tiba-tiba berubah menjadi kabut tebal. Kakek putih mengeluarkan ajian halimun untuk menutupi pandanganku. Dengan demikian dia mudah menyerangku. Beliau tidak tahu kalau aku pun memiliki ajian halimun dan dapat menembus halimun setebal apapun. Aku sempoyongan ketika halimun kakek putih bisa berubah menjadi gulungan ombak dan berusaha menggulungku. Aku seperti berada dalam dasar laut. Kubaca mantra yang pernah diberikan kakek Andun. Kupecahkan ombaknya dengan pukulan badai. Air memencar kemana-mana. Suara menderu seakan meruntuhkan langit. Aku keluar dari gulungan ombak sembari melemparkan hantaman api. Air laut buatan kakek Putih seketika kering. Alam hening kembali. Aku hanya mendengar decak kagum para sesepuh, dan nafas kakek putih yang agak berat. Beliau juga luka dalam. Huuauack!!! Darah segar menyembur dari mulutku.

Aku segera mengobati diri sendiri. Berulang kali aku mencoba memulihkan diri. Meski belum begitu sempurna karena terdesak dengan waktu, paling tidak darah berhenti ke luar. Kulihat kakek putih juga terluka. Beberapa kali beliau muntah darah. Namun mata beliau masih menyalah. Kami masih bertahan dengan tubuh harimau. Kali ini kembali aku berhadapan. Tatapan kami beradu saling mengancam. Aku segera memegang kakek putih. Jika sebelumnya aku gunakan kekuatan angin dan cakaran, kali ini aku berusaha membanting tubuh kakek dengan badai api yang kukolaborasikan harimau menengkuk mangsa. Hasilnya, tengkuk kakek putih mampu kuraih selanjutnya badai apiku menyerangnya cepat. Namun kakek putih tak kalah gesitnya beberapa kali apiku mampu ditepisnya. Bahkan dikembalikannya padaku. Aku cukup kewalahan juga melawan orang tua ini. Aku ingin segera mengakhiri pertarungan secepatnya.

Kembali badai apiku menghantam tubuhnya. Luar biasa! Kakek putih masih bisa bertahan. Kulihat bulunya ada yang terbakar sehingga memunculkan bau hangus. Bukit batu saja akan remuk dengan hantaman badai apiku. Tapi kakek putih hanya gosong bulunya saja. Tetap bisa berdiri gagah. Aku kaget ketika tiba-tiba tubuh harimau kakek putih bergulung sambil berputar seperti bor mengarah padaku. Belum selesai kekagetanku dan menghindar sepenuhnya dia sudah sampai. Kaki depan sebelah kiri mampu disambarnya. Aku merasakan sakitnya luar biasa. Aku terhuyung ke belakang. Kaki depanku seakan lumpuh. Aku tidak sempat menatap apakah kakiku masih ada atau tidak. Rasa sakitnya sampai ke ubun-ubun. Aku tertunduk tak berdaya. Tatapanku mulai mengabur. Aku ambruk di tanah. Melihat aku tak berdaya, kakek putih kembali menyiapkan ajian barunya. Aku pasrah. Aku tak mampu lagi menghimpun tenaga dalam apalagi untuk mengobati diri sendiri. Ajian meremuk tulang kakek putih mulai meyusup ke seluruh tubuhku. Aku akan lumpuh atau mati.

***
Ah! Mataku terpejam. Tubuhku masih utuh berbentuk harimau. Aku tak mampu membaca mantra untuk kembali mejadi manusia. Aku pasrah. Aku jadi ingat Bapak, Ibu, kakek Haji Majani, kakek Haji Yasir, Nek Kam, Kumbang, kakek Andun. Kakek Njajau, Nenek Ceiriwis, puyang-puyangku, Puyang Pekik Nyaring. Mualim guru ngajiku, kawan-kawanku, guruku, dan lain-lain. Wajah-wajah orang yang kukenal ramai melintas di hadapanku. Tiba-tiba aku sangat merindukan mereka. Aku ingin mereka semua hadir di sini. Aku merasakan sangat jauh dari mereka. Aku seperti hidup di alam yang bukan dunia. Atau aku sudah mati? Tapi aku masih mendengar detak jantungku meski pelan.

Tawa kakek putih menggelegar menambah sakit dan sesak dadaku. Tenaga dalamnya tak mampu kutolak. Aku tak berdaya! Makin lama pandanganku makin gelap. Tubuhku terkulai seperti tangkai bunga layu. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali membaca akhir nasib yang sudah digariskan. Tuhan hanya memberikan batas usiaku di sini. Tiba-tiba aku merasa hidup sendiri. Dan terasa sangat sepi. Sepi dan gelap! Oh.

“Istighfar Cucuku…istighfar…” Antara terdengar dan tidak ada suara lembut membimbingku. Kuikuti dalam hati. Antara sadar dan tidak kucoba terus istighfar. Aku tidak bisa membuka mata. Yang terbayang beberapa detik lagi serangan kakek putih pasti akan sampai menghantamku. Lalu akan sampai pada Ibu dan Bapak, Dede gadis kecilnya meninggal di dalam rimba. Jenazahnya hancur! Selamat tinggal semuanya. Maafkan salahku. Aku terus bertakbir dalam hati. Aku siap mati. Jiwaku bahagia karena meski tidak berhasil sepenuhnya menghalagi para dukun jahat itu namun aku telah berusaha membela kebenaran. Membela saudara-saudaraku yang terancam punah.

“Huf…huf..huf!! Hiiiiaaat” Tiba-tiba aku merasakan pukulan keras tepat di dadaku. Dadaku terasa remuk. Aku pasrah sembari tetap takbir sebisanya menahan rasa sakit yang sangat. Aku merasakan sepasang telapak tangan menepel di dadaku. Ada energi yang disalurkan terasa hangat menjalar cepat ke seluruh tubuh. Aku merasa semakin lama semakin hangat dan seperti mendapatkan kehidupan baru. Pelan-pelan tenagaku kembali pulih. Aku sudah bisa mengerakan kaki, tangan, membuka mata. Oh! Aku masih hidup. Aku masih bisa melihat bintang. Masih bisa melihat pohon yang tinggi. Masih bisa mencium lembab hutan. Kuangkat tangan. Benar, ini tanganku!! Tangan Putri Selasih dalam bentuk harimau putih.

Merasa sudah pulih aku mencoba baca mantra agar kembali menjadi manusia. Mantra kurapal. Seketika aku berubah wujud. Aku mencoba bangkit dan duduk. Ketika duduk, oh! Betapa terkejutnya aku. Rupanya kakek Andun ada di hadapanku diikuti orang-orang-orang yang kucintai. Ada Kumbang, Nek Kam, nenek Ceriwis, kakek Bujang Kuning, kakek Njajau, dan masih bayak lagi. Ada yang kukenal ada juga yang tidak. Mereka berdiri semuanya seperti pagar. Aku berpelukan erat dengan kakek Andun. Sungguh tidak menyangka, dalam keadaan genting beliau datang.

Aku disuruhnya duduk sambil memejamkan mata. Lalu lewat punggungku ditranfernya kembali energi. Kali ini aku merasakan tulang-tulangku seperti mendapatkan asupan makanan yang segar. Aku merasakan jauh lebih baik. Bahkan seperti tidak terjadi apa-apa. Kakek Andunlah rupanya yang mengobati aku. Aku tersentak ketika mendengar benturan keras seperti ratusan geledek beradu. Rupanya Kakek putih masih bertarung. Kali ini lawannya adalah puyang Pekik Nyaring. Melihat sosok puyang Pekik Nyaring, serasa ingin melompat saking bahagianya. Aku berdoa agar puyang Pekik Nyaring tidak cidera. Tapi aku yakin, beliau pasti bisa menaklukan adik durhakanya itu. Kadang aku melihat mereka seperti titik putih yang berkelebat cepat sekali.

Pertempuran dua saudara seperguruan itu sementara waktu masih tampak seimbang. Ilmu-ilmu andalan mereka satu persatu ke luar. Mereka para sepuh yang hebat. Bedanya, Puyang Pekik Nyaring bawaannya tenang, berwibawa. Sementara kakek putih emosional dan bernafsu. Meski sudah sepuh, gerakan-gerakan mereka cepat dan dasyat. Mereka terus bertempur. Kadang di darat, kadang di udara. Di seberang kakek Adil juga tengah bertarung melawan petapa-petapa kawan kakek putih. Ada beberapa orang berjubah membantu kakek Adil. Hanya beberapa menit saja aku tidak berdaya, ternyata telah terjadi perubahan luar biasa.

Di dimensi para dukun, segerombolan pemburu tengah dihantam oleh sekawanan nenek gunung. Dalam waktu singkat mereka tewas seketika. Senjata-senjata mereka sudah kubengkokan tidak berfungsi sama sekali. Mereka nyaris tidak ada yang melindungi. Aku terkesima melihat nenek gunung dengan mudahnya menangkapi rombongan pemburu dan dukun. Mereka patahkan lehernya dengan cara menekuk leher belakang. Setelah itu, mereka cakar wajah dan tubuh manusia itu sehingga tak satupun mereka memiliki wajah yang utuh. Tubuh mereka pun dicabik-cabik. Hebatnya tidak satupun di antara nenek gunung yang mencabik lawannya dengan menggigit. Semua tewas karena cakarannya. Dalam waktu singkat, aku melihat tiga dukun dan pemburu persis kain buruk yang tertumpuk di semak-semak. Kaki, tangan, kepala, dan anggota tubuh lainnya lepas semua. Usus mereka terburai. Hanya pakaian mereka yang cabik dan menempel sedikit di sisa tubuh saja sebagai penanda identitas. Selebihnya tidak ada yang bisa dikenali. Meski ada rasa ngeri melihatnya, tapi kala ingat kekejaman mereka memperlakukan saudara-saudaraku para nenek gunung, aku bersyukur. Hukuman seperti ini patut mereka terima.

Di ujung hutan, aku melihat bala tentara jin datang seperti gelombang. Mereka berada di dimensi para dukun. Bukan di dimensi para petapa. Sepertinya mereka sengaja didatangkan untuk membantu para dukun yang sudah keburu mati. Sementara bangsa jin yang kukurung masih asyik makan dan tertidur.

“Paman raksasa, keluarlah. Kini saatnya Paman menghadang pasukan jin yang baru datang itu” Ujarku.

“Baik anakku. Paman akan hadang mereka” Ujar paman raksasa. Tanpa menunggu lagi beliau segera pergi melesat melebihi kecepatan busur panah. Kakek Andun tertegun sejenak. Matanya menatapku tidak percaya.

“Persahabatan yang indah dengan raksasa, Selasih? Dia raksasa sakti yang disyahadatkan itu bukan?” Tanya kakek Andun sambil memegang lenganku. Aku mengangguk segera. Kuceritakan sekilas bagaimana paman Raksasa bisa kutakhlukan bahkan disyahadatkan. Kakek Andun mengeleng-geleng kagum. Mulutnya berdecak-decak.

“Kamu hebat sekali, Cung! Wajar kalau kamu dilepas sendiri oleh Puyang Pekik Nyaring.” ujar Kakek Andun.

“Mengapa Kekek dan rombongan datang kemari? Apakah karena mendengar aumanku?” ujarku.

“Sejak awal kamu selalu dalam pengawasan kami dari jauh. Beberapa kali nenek kakek dan puyangmu membantu memberikan energi dari jauh. Melihat kamu tidak berdaya kena ajian peremuk tulang, rupanya tanpa dikomando, kami semua serentak hadir di sini. Nyaris tiba di sini bersamaan.” Lanjut kakek Andun.

Aku bangga bukan main. Sungguh perhatian dan kasih sayang kakek dan nenekku yang ikhlas kurasakan sangat murni. Aku bahagia memiliki mereka.

“Bagaimana sudah pulih kan semuanya? Kamu tidak merasakan terluka lagi bukan? Sekarang mari kita perhatikan pertarungan puyangmu” Ujarnya memutar badan. Tiba-tiba aku melihat macan Kumbang melompat ke arena pertempuran melawan para petapa. Di antara mereka ada yang berkali-kali kena tebas oleh senjata kakek Adil. Namun tiga kali pula tubuhnya menyatu. Aku sempat terbengong-bengong melihat keajaiban itu. Ilmu apa pula ini? Macan kumbang berbisik dengan kakek Adil agar kembali menebasnya. Kakek Adil siap-siap menyerangnya kembali. Merasa tidak ada yang mampu membunuhnya, petapa itu berjalan santai memberikan tubuhnya untuk dicacah oleh kakek adil. Kali ini kakek Adil menyambar tubuh petapa. Diangkatnya tinggi ke angkasa, lalu Crass! Crass! Crass!! Tebasan pedang kakek Adil memotong kembali tubuh petapa menjadi tiga bagian. Bagian leher yang terpisah dengan kepala, lalu bagian pinggang, terakhir kedua pahanya. Potongan-potongan tubuh itu siap meluncur jatuh ke tanah. Rupanya Macan Kumbang langsung menyambar potongan tubuh itu sebelum sampai ke tanah dengan jaring, mengikatnya, lalu digantungkannya di atas pohon yang tinggi. Sejenak potongan tubuh itu selonjotan. Tak lama kemudian diam. Tak setetes darah pun yang jatuh menyentuh tanah. Macan kumbang membungkus jaring dengan ajian gaibnya. Akhirnya petapa itu tewas.

Tubuhnya tidak bisa menyatu kembali. Sekarang tinggal beberapa petapa lagi yang masih bertahan. Pertempuran makin seru saat mereka mengeluarkan ilmu-ilmu andalan mereka. Petapa-petapa ini nampak sekali licik. Ada satu orang bekali-kali mengeluarkan halimun racun dengan maksud hendak melarikan diri. Kakek Adil dan teman-temannya sudah memahami ini. Mereka tidak memberi ruang kosong pada mereka. Di ujung, paman Raksasa bertempur dengan pasukan jin. Meski paman Raksasa berilmu tinggi namun mendapatkan lawan ratusan jumlahnya cukup membuat paman Raksasa kewalahan. Melihat itu kupanggil belahan wujudku. Seketika enam wujudku bertempur membantu paman Raksasa. Para jin mereka hancurkan setelah energi mereka disedot terlebih dahulu. Jin-jin itu bingung melihat ada enam wujud yang sama. Mirip dan gerakannya lincah. Dalam sekejap, pasukan jin tinggal beberapa. Paman Raksasa ternyata sangat ganas. Sekali pukul, puluhan jin dia hancurkan. Senjatanya berupa tongkat akar bahar berkelebat ke sana ke mari. Meski para jin itu banyak yang sakti, namun tetap tak bisa mengelak melawan raksasa yang marah.

Aku bingung kemana lagi harus kuarahkan pandangan. Setiap sudut menjadi medan laga. Akhirnya aku menatap kakek putih dan puyang Pekik Nyaring.

“Sudahlah Rangas Debu, sejak dulu memang hatimu jahat. Engkau pengecut! Setiap waktu kamu datangi Puyang Guru untuk meminta ilmu anginnya. Karena tidak dapat kamu tega membunuh Puyang Guru. Hari ini, kau harus dapatkan ganjarannya.” Kata Kakek Pekik Nyaring sambil tetap melakukan peyerangan.

“Ganjaran apa, Pekik Nyaring? Aku tidak percaya dengan hukum karma. Aku tidak ingin kamu menghalang-halangi aku. Urusan dulu biarlah berlalu. Aku bersyukur bertemu denganmu. Bagaimanapun sebagai adik, aku rindu.” Ujar kakek Ranggas Debu yang kusebut-sebut kakek Putih karena perawakannya memang putih.

“Buang saja rindumu. Jangan membual. Pada guru, orang tua kita saja kamu tega menghabisinya. Apalagi pada orang lain!” Ujar Puyang Pekik Nyaring sambil tetap melakukan serangan-serangan maut.

Kakek Putih sudah berubah bentuk menjadi manusia. Kaki dan tanganku gatal ingin terjun ke medan pertempuran. Kubisiki Puyang Pekik Nyaring agar aku diizinkan untuk menggantikannya melawan kakek putih.

“Puyang, izinkan aku bertarung dengan kakek durhaka ini” Ujarku yang dijawab Puyang Pekik Nyaring dengan jawaban setuju.

“Baik Cung, masuklah ke arena!” Ujarnya. Aku minta izin pula dengan kakek Andun yang mengangguk sambil tersenyum.

Hiaaaat!!! Huf! Aku melompat berdiri tepat di hadapan kakek Rengas Debu. “Ulat nangka lagi! Sudah tak sanggup melawan aku dirimu Pekik Nyaring sehingga tega menyuruh bayi ulat nangka ini melawan aku?” Kakek Rengas Debu sesumbar. Pakaian putihnya yang akibat kena racun ujung keris yang kusabetkan tadi tidak lagi berwarna hitam. Tapi ungu. Aku heran mengapa bisa jadi begitu.

“Lawanlah cucuku, Rengas Debu! Dialah yang akan menghabisimu. Siap-siap sajalah.” Ujar Puyang Pekik nyaring.

Aku mundur selangkah, selanjutnya dengan cepat aku berputar seperti gasing sehingga wujudku tidak terlihat lagi. Lalu kukombinasikan dengan lompatan angin, aku berada di beberapa posisi dengan cepat. Sambil terus berputar aku pancing seolah-olah di hadapannya, kadang di sampingnya, di belakangnya, di atasnya. Kakek Rengas Debu alias kakek putih cukup kerepotan melakukan penyerangan balasan. Beberapa kali pukulan mematikan yang dimilikinya menghantam ruang kosong. Dan beberapa kali pula aku berhasil memukulnya. Kakek tua ini cukup alot juga rupanya. Meski mendapatkan pukulan keras dan berisi dariku, namun tetap saja sepertinya tidak berpengaruh sama sekali. Aku lawan ilmu peremuk tulangnya dengan sapuan badai menempur gunung. Aku tidak mau celaka dua kali. Hasilnya sungguh dasyat. Benturannya selalu memercikan api hingga belantara yang gelap terang benderang.

“Pantas kau hebat sekali ulat nangka, ternyata kau murid Pekik Nyaring. Sudah kuduga sejak awal” Ujar kakek putih.

“Aku bukan muridnya, kakek jahat. Tapi aku cucunya. Ingat! Puyang guru yang telah kau bunuh, adalah kakek buyutku. Terimalah ini!! Hiaaaat!!!!!” Aku hantam kakek Putih dengan selendang pemberian Puyang Bukit Selepah. Ujung selendang menyambar-nyambar ke arah kakek Putih. Beberapa kali percikan apinya mengenai kakek Putih. Berulang kali pula kakek putih berusaha menyambar selendangku. Saat tertentu, kakinya mampu kuikat. Tapi entah ilmu apa yang dipakainya, ikatan ujung selendangku bisa di lepasnya. Aku memutar selendang diiringi dengan kekuatan badai. Tapi sekali lagi kakek putih mampu menangkisnya. Aku nyaris kehilangan akal. Semua seranganku mampu dielakannya. Selendang kutarik kembali. Aku hantam kakek putih dengan pukulan badai dan halilintar sekaligus. Seketika bumi berguncang seperti gempa. Bunyi berderak-derak seakan membuat semua tumbang. Aku arahkan tanganku ke bumi, lalu membelah dan mengirimkan halilintar kembali. Tubuh kakek putih melesat jatuh ke tanah yang menganga. Kudorong tubuhnya dengan badai, kuputar dan kugulung dengan kedua tanganku. Kekuatan yang berlapis tak mampu beliau lawan. Belum sempat ilmu samuderanya mendorong kekuatanku, badai panasku menggulungnya kembali. Kutambahkan pukulan halilintar. Hasilnya api membumbung dan mengeluarkan hawa panas luar biasa. Aku melihat kakek putih dibungkus air laut. Air laut berusaha membantu melindunginya dari api yang berkobar. Kembali aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, lalu kulemparkan bola api warisan Kakek Pekik Nyaring. Dalam sekejap lautan Kakek Putih mendidih. Kakek Putih selonjotan seperti telur rebus dalam panci yang mendidih. Selanjutnya kuhantamkan kembali pukulan panasku untuk menutup tanah yang mengaga. Secepat kilat tanah kembali rapat. Namun api masih berkobar di atasnya. Kugerakan kembali tanganku ke atas, aku menarik nafas panjang. Kali ini aku keluarkan bola esku untuk memadamkan api yang berkobar. Aku kasihan melihat beberapa nenek gunung tunggang langgang menghindari hawa panas. Bussssss!!!! Seketika api berubah beku. Lingkungan belantara berubah menjadi sangat dingin. Beberapa nenek gunung menggigil. Hanya nenek Kam, Kakek Andun, kakek Njajau dan beberapa nenek gunung saja yang tetap tenang berdiri. Semua tengah mengerahkan tenaga dalam untuk menghindari benturan api dan dingin silih berganti. Nyaris tanpa jeda.

Tiba-tiba, tanah yang semula kututup menyemburkan sesuatu yang sulit dilihat oleh mata biasa. Petir berulang kali menyambar bumi. Langit yang semua gelap tiba-tiba menjadi terang benderang. Aku ikut terlempar ke sana ke mari. Demikian juga kakek dan nenekku. Meski berusaha bertahan namun tetap saja mereka terbanting-banting. Aku berusaha bangkit dan siap-siap dengan pukulan baru jika kakek putih itu ke luar dam hidup lagi. Tapi sejenak kutunggu aku hanya melihat beberapa gumpalan asap gelap meluncur ke langit seperti busur panah yang lepas. Ketika hening bumi seperti tidak terjadi apa-apa. Angin berhenti pelan. Hanya suara satwa malam saja terdengar dari jauh. Aku saling pandang dengan kakek dan nenekku. Aku tidak tahu apakah pertempuran malam ini sudah selesai apa belum.

“Apa itu Puyang?” Tanyaku pada Puyang Pekik Nyaring.

“Itu ilmu-ilmu hitam Randu Debu yang ke luar dari jasadnya. Ilmu itu kembali ke alam sesuai dengan asalnya. Kita doakan semoga tidak lahir lagi randu debu-randu debu yang lain. Semoga kehidupan nenek gunung kembali aman.” sambung Puyang Pekik Nyaring yang disambut dengan ucapan “Aamiin” bersama-sama. Peran para petapa inilah yang telah membuat para nenek gunung tunduk. Tanah yang menyembur menyisakan lubang besar. Tanah perbukitan semula datar dan sebagian berguduk berubah mejadi jurang-jurang kecil. Aku langsung duduk bersedekap dengan kekuatan batin kurapatkan kembali tanah yang menganga. Aku takut jurang yang tiba-tiba muncul ini justru mencelakakan para nenek gunung.

Bum! Bum!!! Langkah raksasa mendekat padaku. “Selasih! Tugas sudah selesai. Para jin jahat sudah binasa. Sebagian ada yang menyerah dan ingin ikut denganku. Bolehkah, anakku?” Suara paman Raksasa berat. Aku tersenyum menatap paman Raksasa. Belahan diriku semuanya digendong paman Raksasa. Lalu setelah dekat pelan-pelan diturunkannya satu-satu. Aku kembali membaca mantera. Satu-satu belahanku menyatu kembali padaku.

“Terimakasih Paman. Paman hebat sekali. Silakan jadikanlah para jin itu pengikut paman. Ajaklah mereka bersyahadat seperti paman” Ujarku penuh hormat. Paman Raksasa mengangguk-angguk setuju.

“Paman, tugas dan misi kita di perbatasan ini sudah selesai. Para pemburu sudah tewas. Sesepuh yang membantu mereka selama ini pun sudah tewas semua. Sekarang, Paman mau tinggal dimana dan ikut siapa?” Tanyaku.

Tiba-tiba Paman Raksasa menjatuhkan diri dan sujud padaku. “Paman tidak mau kemana-mana. Paman mau ikut denganmu Selasih. Paman tidak mau pulang ke lereng Lawu. Paman sudah bulatkan hati, ingin berubah, ingin mengabdi padamu.” Ujarnya setengah menangis.

“Paman, bangun paman. Bangun! Jangan sujud padaku. Aku bahagia paman mau berubah. Tapi tidak selamanya paman bisa ikut denganku. Maafkan paman. Aku tidak mau menganggap Paman anak buahku atau apa pun sebutannya.” Ujarku sedikit bertenaga agar di dengarnya.

“Tapi izinkan aku ikut denganmu, Selasih. Aku seperti mendapatkan kehidupan baru, karenamu, Nak.” Ujar paman Raksasa kembali. Mendengar itu aku jadi terharu. Ingin sekali memeluk makhluk yang berbadan besar ini. Tapi apa daya, aku hanya sebesar lengannya. Akhirnya aku hanya duduk di hadapannya sembari menunduk dan menitikan air mata. Paman raksasa pun menundukan kepala.

“Izinkan paman kembali ke betismu, Selasih. Paman akan mejagamu.” Ujarnya lagi. Aku tidak bisa berkata-kata. Semua terasa tercekat di tenggorokan.

“Raksasa, jika Putri Selasih membutuhkanmu, ingin bertemu denganmu, kapan saja bisa. Kamu tidak usah takut Selasih tidak akan menjauh atau membiarkanmu. Kamu ikut saya ke lereng gunung Dempu. Memperdalam agamamu. Belajar bersama saudara-saudaramu di sana.” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Paman Raksasa memandang padaku. Tatapannya seperti menunggu jawabanku. Puyang Pekik Nyaring langsung mendekatiku. Mencium kepalaku sembari berkata.

“Raksasa tengah menunggu jawabanmu, Cung” ujarnya. Aku menarik nafas lega. Bagaimana pun aku sangat menghargai kesetiaan makhluk gaib satu ini. Aku tidak ingin hidupnya sia-sia.

“Paman, aku menyayangi paman. Aku bahagia jika paman dekat denganku. Tapi, aku tidak bisa memberikan pengetahuan yang lebih seperti yang disampaikan Puyang. Paman ikutlah Puyang ke lereng Dempu. Kapan dan dimana saja, kita bisa berjumpa. Jika ada sesuatu aku akan panggil paman” ujarku.

Mendengar perkataanku, paman Raksasa kembali sujud. Aku tak mampu menghalangi sikap berlebihannya.

“Terimakasih..Puyang, terimakasih Selasih. Aku bahagia sekali. Izinkan aku membawa kawan-kawanku Puyang.” Ujarnya kembali.

“Tentu saja, engkau dan kawan-kawanmu boleh ikut aku” kembali Puyang Pekik Nyaring membantuku memberikan solusi.

“Selasih…Putri Selasih…tolong aku…” Aku mendengar suara sangat halus. Kembali kutajamkan pancainderaku. Benar suara itu memanggilku. Aku menatap nek Kam yang dari tadi hanya diam. Begitu juga Macan Kumbang sepertinya ikut mendengar suara lirih tersebut.

“Siapa kamu, dimana kamu?” Batinku berusaha berinteraksi pada pemilik suara itu.

“Aku Gundak, aku ada sisi jurang Selatan. Aku terjebak perangkap ketika sedang mengintai pertempuran tadi. Padahal aku ingin membantumu. Maafkan aku merepotkan, Selasih” ujarnya. Aku kaget bukan main. Ternyata nenek gunung dari Bukit Patah ini benar datang di perbatasan. Kasihan sekali dia terjebak. Aku memandang kakek, puyang, nenek satu-satu. Sebenarnya aku ingin minta pendapat, apa yang harus aku lakukan demi menolong Gundak. Wajah Puyang Bukit Patah nampak biasa-biasa saja. Padahal Gundak adalah cicit tunggalnya. Atau beliau marah karena Gundak tidak pernah patuh nasehatnya?

“Paman Raksasa, tolong ambil, bawa kemari kawanku di sisi jurang Selatan itu. Dia terluka, Paman” Ujarku tanpa minta persetujuan para sesepuhku lagi. Paman raksasa langsung bergerak dan menghilang. Beberapa detik kemudian dia sudah dihadapanku kembali membawa Gundak yang terluka.

Bersambung…
close