HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 25)
Angin dingin pebukitan sangat terasa menyisip di sela-sela dinding pondok yang berlubang. Suara tikus yang entah sedang mengerat apa, mengusik tidurku yang baru beberapa saat. Meski aku sudah membalut tubuh dengan selimut tebal, berkaos kaki dan baju hangat namun udara yang dingin masih saja menembus hingga ke tulang. Sementara nek Kam, udara dingin tidak berpengaruh sama sekali padanya. Aku masih mendengar dekurnya yang halus. Di luar gelap. Suara satwa malam masih ramai, sesekali suara burung hantu seakan sangat dekat. Bahkan seperti di atas bubungan.
Ayam berkokok baru sekali. Pertanda tengah malam. Tiba-tiba aku mendengar suara ranting kopi diijak dan patah. Jadi ingat ketika aku dan kakek Haji Yasir waktu berkebun di kaki gunung Dempu beberapa tahun lalu. Bagaimana kakek merasa terusik karena banyak nenek gunung berkeliaran di dekat pondok. Lalu kakek membuat api sebesar mungkin dengan maksud agar nenek gunung pergi.
Malam ini aku tidak hanya mendengar suara ranting yang diinjak saja tapi suara orang yang bercakap-cakap tidak jelas apa yang dibicarakan. Aku menajamkan pendengaranku. Kakiku masih kumasukan ke dalam kaki nenek Kam agar hangat tubuh nenek Kam bisa mengalir padaku. Nenek Kam masih tidur nyenyak, kutatap wajahnya yang remang-remang. Dalam hati aku bertanya, semoga yang tidur di sebelahku ini benar-benar nenek Kam? Bukan nenek Ceriwis. Ah, tiba-tiba muncul juga rasa rindu pada nenek satu itu. Suara di luar pondok makin ramai. Aku mencoba membangunkan nek Kam.
“Nek, banyak yang datang tuh di luar “Aku menggoyang-goyangkan tubuh nenek Kam. Tapi nenek Kam masih juga lelap. Sekali lagi kutepuk-tepuk wajahnya. Di cahaya remang lampu cubok aku melihat mata cipitnya terbuka.
“Eeughraa..hmmm sudah subuhkah?” Ujarnya.
“Ayam baru berkokok sekali, Nek” Ujarku.
“Oouu pantas masih ngantuk. Alangkah cepatnya mereka menjemput Nenek” Ujar nenek Kam mengusap matanya.
“Memang Nenek mau kemana?” Tanyaku. Aku langsung terjaga. Mataku langsung terbuka lebar. Aku tidak mau ketinggalan. Kalau nenek Kam pergi aku harus ikut. Aku tidak mau tinggal di pondoknya sendiri. Nenek Kam tidak menjawab. Malah dibalasnya dengan menguap besar sekali. Aku duduk sambil tetap berbalut selimut.
Di tengah remang cahaya lampu nenek Kam membetulkan sanggulnya yang kecil. Lalu bangkit menyarung celana belacu yang panjangnya hanya sebetis. Mengencangkan tali pengikatnya. Tak lama mengambil tengkuluk lalu diikatkannya erat ke kepalanya. Dalam hati aku bertanya, mengapa nek Kam seperti akan pergi jauh? Melihat penampilannya nampaknya nenek Kam akan melakukan petualang malam ini. Tapi mencari apa?
Suara gemeretak di luar makin ramai. Aku sedikit merinding. Bukan saja karena hawa dusun seberang Endikat ini dingin, namun gemeretak di luar juga membuatku bertanya-tanya, siapa dan ada apa. Muncul perasaan apakah nenek Kam akan berkelahi? Langkah ringannya menandakan beliau tengah meningkatkan ilmu meringankan tubuhnya.
“Nek, aku ikut!” Ujarku setelah melihat nenek Kam seperti tidak terlalu peduli denganku. Sekilas beliau memandang padaku lalu kulihat bayangannya mengangguk tanda mengiyakan.
Aku ke luar dari dalam selimut. Mengambil sepatu dan hendak memakainya.
“Eiiit!” nenek Kam menggoyang-goyangkan telunjuknya pertanda melarang aku menggunakan sepatu. Aku batal memakainya. Dalam hati aku bertanya, mengapa dilarang? Bukankah akan pergi jauh? Mengapa tidak pakai alas kaki? Akhirnya aku diam berdiri menunggu perintah nenek Kam. Aku memerhatikan gerak-geriknya. Terakhir beliau mengambil kampek (tas dari purun) tergangung di balik pintu.
Kukepit tangan ke dada. Rasa dingin yang menggigit sedikit terusir. Aku menahan gigi yang beradu. Rambutku yang pendek kututup dengan topi baju hangat. Lumayan sedikit membantu membuang rasa dingin. Tapi tak urung telapak tangan dan kakiku terasa beku.
“Ayo!” Ajak nenek Kam membuka pintu pondok. Aku ke luar lebih dulu.
Oh! Masya Allah, di halaman depan pondok ada lima nenek gunung sedang duduk. Tubuh mereka besar-besar. Yang paling ujung Macan Kumbang menjilat-jilat kakinya. Meski di luar sangat gelap namun aku dapat melihat Macan Kumbang dan nenek gunung lainnya dengan jelas.
“Assalamualaikum Nek!” Sapaku pada mereka. Mereka menjawab salamku nyaris serentak. Aku mengikuti nenek Kam menuruni anak tangga sembari berpegangan pada kayu bulat sisi tangga. Aku tidak tahu akan kemana malam ini.
Satu perempuan, selebihnya laki-laki. Aku mencium tangan nenek gunung satu persatu. Wajah mereka semuanya ramah. Hanya Macan Kumbang sambil bersalaman lalu mengelus kepalaku.
“Malam ini akan banyak yang mengajarimu.” Ujar Macan Kumbang. Mengajariku? Mengajari apa. Nenek Kam tidak pernah berbicara soal akan ada yang akan mengajariku segala. Bahkan beliau tidak pernah mengajarkan hal khusus padaku sejak dulu. Paling ketika aku diajak melihat peradaban mereka di hulu, aku anggap itu adalah pelajaran. Lalu nasehat-nasehat dan ceritanya kuambil juga sebagai pelajaran. Apa yang akan terjadi malam ini? Jantungku sedikit berdegup.
“Selasih, kamu mau menungang dengan siapa? Tinggal pilih.” Kata nenek Kam. Aku terkesima. Menunggang dengan siapa? Aku tidak tahu siapa mereka. Wajah-wajah mereka sangat asing bagiku.
“Ayo tidak usah ragu. Kamu mau naik dengan siapa. Kita akan pergi ke rimbe Bukit Patah.” Lanjut nenek Kam. Aku menatap nenek gunung satu-satu. Bagaimanapun aku tidak berani asal naik.
“Untuk perginya, kamu naik ke punggung saya saja, Selasih. Nanti pulangnya kamu naik ke punggung nenek Ghabuk” Ujar salah satu nenek gunung yang berwarna belang cokelat. Aku menatapnya sejenak. Tubuhnya yang kekar dan berisi pasti tak akan berat membawa diriku. Tiba-tiba aku ingat, bukankah aku bisa berlari saja?
“Nek, bagaimanan kalau aku lari saja Tidak usah naik punggung nenek gunung?” Ujarku pada nenek Kam.
“Halah perjalanan kita jauh ke atas bukit itu lalu di belakangnya lagi. Kelamaan kalau menunggumu lari meski bisa dibantu angin.” Ujar nenek Kam sambil membimbing tanganku agar aku naik ke punggung nenek gunung yang berwarna loreng coklat.
“Nah, naiklah di punggung Ali Kusen. Pulangnya kamu bisa bersama Ghabuk” Ujar nenek Kam sambil mengangkat tubuhku. Oh namanya Ali Kusen. Aku langsung memeluk leher Ali Kusen. Yang lain juga sudah berdiri.
“Dimana bukit Patah itu, Kek? Ada apa di sana?” Tanyaku pelan. “Bukit Patah itu lurus dari balik bukit dusun Tebat Langsat. Mengapa kita ke sana, nantilah Selasih, kamu bisa melihat sendiri” kata Kakek Ali Kusen. Akhirnya aku memilih diam. Semula kakek Ali Kusen pelan berjalan diikuti yang lain. Rasa dingin yang menggigit tiba-tiba hilang. Aku tidak merasakan apa-apa. Aku tahu lembab kabut mulai membasahi telapak tangan, kaki dan wajahku.
Tiba-tiba aku merasa sedikit terlonjak. Kakek Ali Kusen sudah mulai berlari. Makin lama makin kencang. Persis seperti naik mobil dalam kecepatan tinggi. Kiri kanan pepohonan seperti bayangan saling kejar. Tiba-tiba aku merasakan seperti tidak berlari di dalam hutan, tapi di atas pepohonan. Aku mencoba melihat ke bawah, tapi tidak berhasil, tubuh kakek Ali Kusen seperti busur panah melesat. cepat sekali. Begitu juga yang lainnya. Tiba-tiba kami sudah berada di dalam rimba yang lebat, penuh dengan pohon rotan melintang.
Kami berjalan pelan. Hutan ini masih sangat alami. Daun kering terasa seperti gambut saking tebalnya. Aroma lembab hutan begitu menyengat. Batang rotan seperti ular berbelok ke sana kemari, aur duri, pohon tembesu, getapan, tumbuh subur. Beberapa kali terasa kibasan sayap kalong asyik memakan buah. Aku melihat beberapa sosok aneh namun tidak berani menyapa apalagi mendekat. Mereka adalah penghuni hutan belantara ini hanya berani melihat dari jauh, dari balik daun dan pohon.
Kulihat nek Kam sudah turun dari punggung Macan Kumbang. Melihat beliau turun aku pun berniat ikut turun. Tapi ketika ingat kakiku tidak beralas, bagaimana aku menapakkan kaki? Sementara di sana-sini onak dan duri.
Rupanya kakek Ali Kusen tahu apa yang aku pikirkan.
“Injaklah duri itu, tidak akan melukai kakimu” Ujarnya. Akhirnya pelan-pelan aku tapakkan kakiku. Benar aku tidak merasa menginjak semak belukar dan duri. Hutan rotan dan semakin belukar ini tidak menyeramkan sama sekali. Biasa saja. Apakah ini dikatakan Bukit Patah Yang jelas aku ikut mengiring di belakang nenek gunung yang berjalan pelan.
Setelah berjalan kurang lebih tiga puluh meter, kami semua berhenti. Aku ikut membuat formasi melingkar ikut berdiri bersama empat nenek gunung lainnya. Macan Kumbang ada di hadapanku. Aku melihat nenek Kam mengangkat daun-daun bengkuang kering satu-satu. Sebenarnya aku ingin ikut membersihkan ranting dan daun yang disusun sedemikian rupa. Tapi dilarang Macan Kumbang. Akhirnya aku hanya melihat nenek Kam bekerja sendiri.
Lama kelamaan bagian yang dibersihan nek Kam yaitu daun dan tanding yang disusun sama rata dengan tanah bahkan mirip seperti semak belukar itu makin bersih. Betapa aku terkejut ternyata daun dan ranting yang disingkirkan nenek Kam adalah penutup lubang yang dalam. Yang lebih membuat aku lebih terkejut adalah aku melihat nenek gunung terikat lemas di dalam lubang. Barulah aku paham, lubang yang ditutup ini adalah jebakan yang sengaja dibuat oleh manusia untuk menangkap binatang buas, terutama nenek gunung. Aku melihat kaki belakang nenek gunung itu terikat jebakan yang dipasang. Posisinya setengah tergantung. Jadi memang tidak bisa bergerak sama sekali.
Melihat itu, darahku langsung naik. Aku ingin membantu membebaskannya. Tapi lagi-lagi dilarang. Aku jadi bingung. Sementara melihat kondisi nenek gunung yang kakinya terikat membuat perasaanku jadi miris. Aku menghawatirkan kakinya patah. Oh! Ingin rasanya aku menangis. Rasa sakit dan penderitaannya terasa sangat olehku. Dalam hati aku menyumpah siapapun yang telah membuat jebakan ini. Dia harus mati!!
Nenek Kam bekerja cekatan sekali. Satu persatu rangkaian jebakan dilepasnya. Meski sudah sepuh nenek Kam gesit luar biasa. Aku kagum dengan cara kerjanya. Ternyata setelah dicermati, di dekat kaki nenek gunung yang tergantung ada benda tajam yang siap menggunting kakinya apabila bergerak otomatis nenek gunung itu akan terluka bahkan mungkin kakinya akan putus. Lagi-lagi aku menyumpah kelicikan manusia.
“Jangan bergerak, tahanlah sedikit lagi. Tumpukan kaki depanmu ke bawah apabila kuberi aba-aba nanti. Aku akan memutuskan jebakan ini dengan lebih dulu melepas pisau pengapitnya.” Ujar nenek Kam.
“Aku sudah tidak kuat sanak.” Ujarnya pelan. Nenek Kam langsung melonggarkan bagian penggerak seperti pisau penjempit yang siap memotong kaki nenek gunung.
“Alhamdulillah” Suara nenek Kam ikut melegakan aku. Aku terus mengawasi nenek gunung yang sudah tidak punya tenaga itu. Untuk bisa kaki depannya menumpu ke bawah atau dinding lubang kalau lubang ini besar. Lubang jebakan ini sempit. Aku menoleh ke kiri dan kanan. Aku tidak bisa tinggal diam. Aku melihat ada beberapa kayu bulat dan balok yang sengaja disimpan pemburu di balik semak. Ada talinya juga. Dalam hati aku menduga ini sengaja disimpan mereka. Dengan harapan kalau jebakan mereka dapat maka ini dijadikan alat untuk menandu hewan hasil jebakan.
Aku langsung menarik beberapa balok sekuat tenaga lalu menyorongkannya ke bawah tubuh nenek gunung yang terjebak. Kupasang dengan cara menyilang agar tubuh nenek gunung tidak jatuh atau terjepit. Usahaku berhasil. Aku beruntung mendapatkan pendidikan dan latihan berbagai macam hal di pramuka. Sehingga hal kecil dan berbagai kemungkinan dapat kuperkirakan dengan cermat. Nenek Kam mulai memutuskan tali pengikat kaki nenek gunung. Dan Braakk! Benar tubuhnya jatuh di balok yang kubuat silang. Jadi tidak sampai ke dasar lubang. Sehingga sedikit banyak tubuh nenek gunung itu masih bisa bergerak.
Aku bersyukur, tiga kakinya masih bisa menekan untuk berdiri. Sementara kaki belakangnya nampaknya patah dipersendian paha. Meski masih bisa menumpu untuk berdiri, namun nenek gunung satu ini tidak punya kekuatan untuk melompat ke darat. Aku kembali berpikir bagaimana menaikkan tubuh besarnya. Sementara nenek Kam masih terus menghancurkan kayu, besi, kawat, tali, pisau jebakan agar tidak bisa digunakan kembali.
“Mengapa kalian tidak ikut membantu mengangkat tubuhnya, Macan Kumbang”. Tanyaku pelan. Sebab menurut perkiraanku, mereka bisa mengubah dirinya menjadi manusia untuk mengangkat tubuh saudaranya ini.
“Ada waktu-waktu tertentu kami tidak bisa mengubah diri di alam manusia, Selasih. Selanjutnya, kami akan mendapat hukuman jika kami yang berusaha membuka pekerjaan manusia yang membuat jebakan ini. Sebab ketika kami pulang, maka tubuh kami akan berbau manusia. Dan itu pantangan” Ujar kakek Ghabuk menjelaskan.
“Akan berbeda jika bersentuhan dengan kalian. Baunya berbeda. Kalian adalah manusia damai yang memang ditakdirkan untuk dekat dengan kami. Hanya orang-orang yang seperti kalian yang dapat membantu kami dalam urusan-urusan tertentu seperti saat ini” Lanjut kakek Ghabuk kembali. Aku berusaha memahami penjelasan Kakek Ghabuk. Prasangka buruk yang sempat melintas dibenakku terjawab sudah.
Mereka bukan enggan membantu. Namun ada batasan-batasan tertentu yang harus mereka patuhi. Bahkan untuk menyelamatkan saudara mereka sendiri jika berkaitan dengan manusia ada etikanya. Dan mereka tidak mau melanggarnya.
“Selasih, gunakan ilmu peringan tubuhmu. Manfaatkan kepandaianmu untuk mengangkat tubuh saudara kakek ini” Ujar kakek Ghabuk lagi. Sejenak aku memandang nenek Kam. Beliau sepertinya sengaja atau pura-pura tidak tahu tentang obrolan kami. Beliau juga tidak bergesah untuk memberikan saran bagaimana cara menaikan saudaranya yang terjebak. Akhirnya aku bingung. Aku tidak paham bagaimana memanfaatkan ilmu peringan tubuh untuk mengangkat tubuh nenek gunung ini. Dalam keadaan kalut aku pusatkan pikiranku, aku hentakan kakiku ke bumi tiga kali. Aku panggil kakek Andun. Aku butuh bantuannya.
Dalam waktu sekejap, bayangan kakek Andun sudah berdiri di hadapanku. Aku terus komunikasi batin bersamanya. Kakek Andun menyuruhku masuk ke dalam lubang jebakan. Aku segera melompat turun berusaha tidak menimpa nenek gunung. Selanjutnya tanganku kiriku diperintahkan kakek Andun melingkar di bagian perutnya. Selanjutnya tangan kanan diletakkan ke bagian bawah ketiak depan hingga ke dada dekat leher. Aku segera melakukannya.
“Sudah, Kek” kataku.
“Baik, fokuskan pikiranmu seolah-olah kamu menggendong nenek gunung. Lalu melompat dari dalam lubang. Kakek akan bantu kamu” Ujar kakek Andun membimbingku. Aku segera melakukannya. Nafas hangat nenek gunung terasa sekali. Dia sakit. Tubuhnya demam.
“Huf!” Aku melompat dari dalam lubang. Nenek gunung masih berada dalam gendonganku. Aku heran mengapa tidak terasa berat sama sekali? Padahal tubuhnya lebih besar dari tubuhku. Pelan-pelan kuturunkan. Setelah di tanah malah nenek gunung terkapar. Aku kaget. Apa yang harus aku lakukan? Aku hampir menangis melihat ekspresi lemahnya. Yang lain hanya mengamati aku sambil duduk diam. Aku panik. Bagaimana kalau dia mati? Ah! Tidak dia tidak boleh mati.
“Obati Selasih. Sembuhkan kakinya yang patah” Lanjut kakek Andun. Nenek Kam membawa air entah dari mana dan seekor ayam hutan. Diminumkannya lalu disuruhnya makan ayam hutan itu mentah-mentah. Aku langsung memusatkan tenaga ke tangan kananku. Lalu kugosokkan pada paha belakang nenek gunung beberapa kali hingga ke betisnya. Selanjutnya kuelus dari pundak sampai ke pinggang. Aku merasakan ada energi yang bergerak memperbaiki syaraf paha dan pinggang belakangnya yang rusak dan putus. Sebagian besar sel-sel bagian belakangnya kering. Kugiring air yang baru diminumkan nenek Kam agar segera menyebar ke bagian-bagian yang sudah kering tersebut.
Tak lama berselang, nenek gunung berdiri kembali. Kaki belakangnya yang sakit digerak-gerakkanya. Ucapan terimakasih berulang-ulang ke luar dari mulutnya. Selanjutnya kakek Andun menyuruhku memandikan nenek gunung tersebut lalu menggosok badannya dengan tiga lembar daun unji merah. Aku bingung kemana aku harus mencari daun unji merah tersebut? Dalam sekejab, macan Kumbang menyodorkan tiga lembar daun unji merah. Akhirnya kami berjalan beberapa menit menuju mata air. Nenek Kam membimbing kami menuju mata air yang keluar dari bawah pohon gayam yang sudah tua.
Aku dan nenek gunung langsung masuk ke dalam sendang yang bening. Sebelumnya aku minta izin pada seorang peri pemilik mata air. Beliau mengizinkan, bahkan memberikan beberapa lembar daun yang tidak kupahami daun apa, untuk dikunyah oleh nenek gunung agar luka dalamnya cepat sembuh. Selanjutnya aku menggosok tubuh nenek gunung pelan-pelan setelah meremas terlebih dahulu daun unji merah. Aroma segar ini membuat seputar sendang seperti diseprot dengan pengharum ruangan. Segar sekali.
“Nah, Selasih semuanya sudah selesai, Cung. Kakek pamit ya. Jaga dirimu baik-baik Cung” kata kakek Andun sembari bersalaman dengan nenek gunung lainnya. Aku melihat mereka semua menaruh hormat dengan kakek Andun. Kecuali Macan Kumbang yang berpelukan erat padanya. Nenek Kam pun sujud penuh hormat. Aku mencium tangan kakek Andun sembari mengucapkan terimakasih karena sudah membimbingku. Kakek Andun mencium ubun-ubunku lalu menghilang.
“Mari semua sudah selesai. Kita pulang. Lubang perangkap sudah kuhancurkan. Bahkan tidak akan ada yang akan lewat kemari. Jadi meski tidak ditutup tidak akan ada yang terjebak.” Kata nenek Kam. Akhirnya kami bersiap-siap pulang. Kelima nenek gunung mengantarkan aku dan nenek Kam ke pondoknya. Seperti kesepakatan awal, aku naik ke pundak Kakek Ghabuk. Nenek Kam tetap dengan Macan Kumbang. Dalam waktu sekejab, aku sudah di atas garang. Empat nenek gunung pamit akan kembali ke gunung Dempu setelah berkali-kali mengucapkan terimakasih. Setelah keempatnya pergi aku baru menyadari jika bajuku basah kuyup. Aku langsung menggigil kedinginan. Bahkan terasa hendak pipis.
“Nek cepat buka pintu pondok, aku kebelet mau pipis” Ujarku sembari mengepit paha hingga tertunduk-tunduk. Desakkan hendak pipis tak mampu kutahan. Rasa dingin yang luar biasa membuat dorongan dari kantung kemih seperti hendak pecah.
Melihat aku tertunduk-tunduk sembari memegang perut bagian bawah dan mengepit paha membuat Macan Kumbang terpingkal-pingkal.
“Jangan tertawaaaa!” Ujarku terus berjuang menahan agar tidak ngompol di celana. Nenek Kam yang sedang membuka pintu terasa pelan dan lama sekali.
“Aduh Nek…aku tidak tahan” Aku kembali menggoyang-goyangan pinggulku. Macan Kumbang bukan tambah reda tertawa. Bahkan dia tertawa lebih kencang dari tadi sampai terbatuk-batuk.
“Lihat nek Kam, cucu kesayangan nenek Kam masih ngompol di celana..tuu…kan ngompol…” Goda Macan Kumbang. Akhirnya tawaku pun ikut meledak. Dan “Cuuuuuurrr” air mengalir hangat dari selangkangku, menyisir paha, betis, hingga tergenang di ujung kaki.
Aku sudah tidak bisa lagi menahan desakan hendak pipis. Demi menyadari ini, ingin rasanya menangis karena malu tapi melihat Macan Kumbang tertawa sambil berguling-guling akhirnya aku ikut tertawa sambil terus melanjutkan pipis hingga perutku terasa kempis. Nenek Kam juga ikut menertawakan aku.
“Sudah, pipiskanlah di sana sampai selesai” Ujarnya di sela-sela tawanya.
“Lega!!” Aku mengembangkan kedua belah tangan sambil tetap terpingkal. Aku tidak berani pindah dari posisi semula takut air kencingku meleber kemana-mana.
Bersambung…