Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUNTILANAK DESA SUKA MAKMUR


JEJAKMISTERI - Santi selalu saja menyuruhku pergi bekerja. Apa ia tak tahu betapa khawatirnya suaminya ini? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya, tapi aku tak sedang ada di rumah.

"Mas, cari uang, sana. Dari pada di rumah terus."

"Kau sedang hamil besar, Santi. Gimana kalau aku lagi bekerja, terus tiba-tiba si dede keluar? Aku enggak mau terjadi hal buruk padamu."

"Umur kehamilanku baru enam bulan, Mas. Lahirannya masih lama."

"Kita enggak akan tahu hal apa saja yang terjadi ke depannya, Santi."

Jujur, aku bukan pria pemalas. Bahkan, aku termasuk orang paling kuat dan rajin, di Desa Suka Makmur ini. Namun, melihat keadaan Santi yang untuk bergerak saja susah, aku khawatir kalau meninggalkannya sendirian di rumah.

"Tapi, Mas. Ini sudah seminggu, lo, kamu tidak bekerja. Mas tau sendiri, 'kan, keuangan kita sudah menipis."

Aku berdiam sejenak memikirkan perkataan Santi barusan.

"Kau benar, Santi. Yasudah, hari ini aku akan bekerja."

Kalau dipikir-pikir, keuangan kami saat ini memang sedang tak baik. Banyaknya permintaan istriku itu, menjadi faktor utamanya. Namun, aku tetap senang menuruti segala keinginannya.

Pernikahan kami masih terbilang baru. Bisa kalian bayangkan, pria dengan kulit hitam sepertiku, bisa mendapatkan wanita paling cantik di desa ini. Banyak lelaki lain yang ingin meminangnya, tapi malah aku yang jadi tujuan akhirnya.

Tahun lalu, aku melamarnya dengan mahar yang tak seberapa. Walaupun begitu, keluarganya tetap menyambutku dengan tangan terbuka. Pernikahan kami pun berlangsung sederhana, tapi sangat membekas untukku. Sekarang, kebahagiaanku semakin bertambah, dengan Santi yang sedang mengandung anak pertama kami. Aku bahkan telah menyiapkan nama yang sangat bagus, kalau ia sudah hadir di dunia ini. Surti kalau cewek dan Tejo kalau cowok.

"Aku berangkat dulu, ya, Santi."

"Iya, Mas. Hati-hati."

Dengan membawa cangkul dan topi caping usangku, aku pergi menuju ladangnya Pak Basro. Jaraknya dari rumahku terbilang cukup jauh. Ini juga yang menjadi alasan, kenapa aku takut meninggalkan Santi sendirian di rumah.

Di ujung jalan, aku melihat tiga pria berpakaian sangat nyentrik. Salah satu dari mereka membawa senapan panjang. Tampaknya, mereka ingin berburu di hutan.

"Hei, Bayu. Mau kemana kau?"

Aku tak sadar kalau pria dengan baju merah ini ternyata Bima. Ia merupakan anak dari Pak Sukem, rentenir paling tamak dan disegani di desa ini.

"Ini, mau pergi kerja."

Ia mulai memandang ke sekeliling tempat aku berdiri.

"Kau tak membawa istri cantikmu itu?"

Aku tahu Santi memang cantik. Namun, aku tak senang kalau kata itu keluar dari mulutnya.

"Dia kutinggal sendirian di rumah."

Ekspresi senyum mengerikan, tiba-tiba terbentuk di wajahnya.

"Yasudah, pergi kerja kau, sana."

Ada apa dengan pria aneh ini? Perasaanku jadi tak enak.

"Iya, aku pergi."

Entah kenapa, muncul rasa tak nyaman di dadaku. Semoga, ini hanya perasaanku saja.

***

Baru dua jam bekerja, aku sudah kembali ke rumah. Rasa khawatir ini terus saja mengganggu. Setiap kali waktu berjalan, maka semakin tak nyaman pula perasaanku ini.

"Santiii, aku pulang."

Tak ada jawabannya dari dalam, yang semakin menambah kekhawatiranku. Jarang sekali dia tak menyambut kepulanganku. Aku pun mencoba memeriksanya di kamar. Mungkin, dia tengah tidur di sana. Namun, seseorang yang tengah menggantung di atas tempat tidur itu, benar-benar membuatku syok.

"Santi?"

Apa aku harus mempercayai yang tengah kulihat ini? Matanya melotot menatapku dengan lidah yang menjulur keluar. Daster yang ia kenakan juga robek hampir di setiap bagian. Kejadian apa yang baru saja terjadi?

Aku mencoba menghampirinya, untuk memastikan bahwa dia hanyalah mirip dengan Santi. Paling tidak, buatlah aku tersedot pada sebuah dimensi, yang saat itu juga aku terbangun di tempat tidur. Namun, tak ada reaksi apapun ketika aku di depan mayat yang ternyata memang istriku ini.

"Santii? Heiii? Kau kenapa? Ada apaaa?"

Aku menarik-narik, memeluk, dan mencium tubuhnya yang sudah membiru. Tangis ini pun tak dapat lagi kubendung.

Setelah beberapa saat, aku melepaskan tali yang mengikat lehernya dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Namun, suara gesekan kertas tiba-tiba terdengar olehku, ketika punggung Santi menyentuh kasur.

"Kertas?"

Aku mengangkat kembali tubuhnya dan menemukan secarik kertas di sana. Saat kuperhatikan, ini tulisan tangan Santi.

"Bayu, Maafin aku. Ketika tiga orang itu masuk ke rumah ini dan mengancamku, aku benar-benar tak bisa melawan. Bahkan, aku hanya bisa pasrah ketika mereka mulai memperkosaku. Dalam keadaan hina ini, aku malu untuk berhadapan langsung denganmu. Semoga kau memaafkanku, Bayu."

"Tiga orang? Sudah kuduga pasti mereka. Kalau saja, kalau saja tadi aku pulang lebih cepat. Tidak, tidak. Kalau saja aku tadi tidak bekerja, semua hal ini pasti takkan terjadi."

Pikiranku mulai liar. Aku langsung mengambil parang yang menggantung di sebelah pintu, lalu pergi menuju hutan.

"Tunggu aku, Sialan!"

***

Duarr!

Suara tembakan itu semakin jelas terdengar. Sepertinya, mereka berada di sekitaran sini. Kemudian, aku memanjat ke sebuah pohon besar, agar dapat mengamati ketiga calon mayat itu dari jauh.

"Hei, Bagong. Sudah berapa rusa yang kau tembak?"

"Baru juga lima."

Hampir di setiap sisi hutan, terdapat mayat kera dan rusa, tergeletak bersimbah darah di tanah. Mereka sepertinya bukan pergi untuk berburu, melainkan membunuh hewan-hewan di sini secara acak, lalu meninggalkannya begitu saja.

Mereka begitu bersenang-senang dan menikmati momen mengerikan itu. Sepertinya, ketiga monster ini memang pantas kubunuh.

Aku akan menunggu di atas pohon ini, hingga mereka lewat di bawahku. Tak butuh waktu lama, ketiga orang itu pun berjalan tepat di depanku. Sebentar lagi, aku akan melompat dan membunuh pria yang membawa senapan terlebih dahulu.

"Seru juga hari ini."

"Bener, Sep. Kapan-kapan ayo ke hutan lagi."

"Boleh banget tu. Apalagi kalau bisa main dengan wanita itu lag.."

Crack!

Sial! Parangku malah nyangkut di tengkoraknya.

"Bayu? Kenapa kau.."

Mata Bima melotot begitu melihat kepala temannya hampir terbelah menjadi dua. Sekarang giliranmu, Sialan.

Aku mencabut parang yang masih menempel di kepala pria dengan baju hitam ini. Kemudian, dengan cepat aku melayangkan tebasan ke arah leher Bima.

Glundung! Glundung!

Kepala Bima putus dan terlempar ke arah pria satunya. Dia nampak syok sampai terduduk menggigil di tanah. Wajahnya begitu pucat dengan beberapa bercak darah Bima menempel di pipinya.

"HUAAA! Maaf! Maafin aku! aku tak melakukan apa-apa saat itu. Aku cuma memegangi tangannya. Ampuni akuuu!"

Ia merangkak mundur mejauhiku. Apa si bejat ini tak tahu malu meminta ampunan padaku? Kalau takut mati, seharusnya kau tak macam-macam denganku.

"Bacot!"

Aku kemudian berlari ke arahnya dan menghujani tebasan demi tebasan ke sembarang arah tubuhnya. Sekarang, aku bahkan tak tahu mana bagian kaki dan tangannya, karena memang badannya sudah tak berbentuk.

"Sial! Sudah balas dendam pun, rasa sedih ini belum juga hilang."

Aku kembali menangis sejadi-jadinya. Namun, aku tiba-tiba terdiam begitu mengingat Mbah Sujiman. Kalau tak salah, pria tua itu tinggal di sekitaran hutan ini.

Aku meninggalkan mayat mereka begitu saja, seperti halnya hewan-hewan lainnya. Aku mencoba menelusuri ke bagian dalam hutan, mencari gubuk bambu tempat tinggal dukun itu.

Di ujung paling jauh hutan ini, terdapat sebuah gubuk yang bangunannya hampir roboh. Terlihat sebuah gantungan tulang di atas pintunya, yang membuatku yakin bahwa ini rumahnya.

"Permisi."

Aku pun masuk ke dalam dan melihat seseorang dengan rambut panjang berantakan, duduk di ruang tamu. Sebenarnya aku kaget, tapi aku menahannya agar memberikan kesan yang baik pada pria aneh ini.

"Ada keperluan apa kau?"

Tak seperti penampilannya, suara orang tua ini terdengar cukup lembut.

"Saya ingin meminta tolong, Mbah."

Dia kemudian menyipitkan matanya, dan melihat tubuhku dari ujung kepala sampai ke kaki.

"Permintaan apa itu?"

Aku mendekati pria tua itu dan duduk di depannya.

"Saya ingin, Mbah, menghidupkan istri saya lagi."

Matanya sontak melotot mendengar perkataanku barusan.

"Apa kau tahu, tumbal yang harus disiapkan?"

"Apapun itu, kalau memungkinkan istri saya hidup kembali, akan saya sanggupi, Mbah."

"Aku suka semangatmu. Kalau begitu, siapkan sepuluh mayat dan beberapa bahan lainnya dalam seminggu ke depan."

Sepuluh? Apa aku tidak terlalu kejam mengorban tujuh nyawa orang tak berdosa, untuk menghidupkan kembali Santi? Namun, aku masih sangat merindukan istriku.

*Note : tiga orang lainnya udah tahu siapa 'kan?

"Baik, Mbah, akan saya siapkan."

***

Malam yang dingin, di hutan yang sama tempat aku membunuh ketiga orang itu. Saat ini, aku berdiri di sebelah pohon jati, dengan sebelas mayat tergeletak di depanku. Tentunya, Mbah Sujiman juga ada di antara kami.

"Wanita hamil cantik ini istrimu?"

Aku benci kalau pria lain menyebut istriku cantik.

"Benar, Mbah."

"Baiklah, kau pinggirkan dia dan bariskan kesepuluh mayat ini di depanku."

Aku membariskan mereka dan pria ini kemudian duduk di tanah tanpa alas sama sekali. Ia lalu komat-kamit yang aku sendiri tak tahu makna perkataannya.

"Kau sudah bawa daster putih bersih, yang sudah kita janjikan?

"Sudah, Mbah."

Seminggu yang lalu, Mbah Sujiman menyuruhku untuk menyiapkan beberapa barang aneh, selain kesepuluh mayat itu. Di antaranya adalah daster putih bersih ini.

"Sekarang kau pakaikan daster itu pada istrimu."

"Baik, Mbah."

Sejak hari itu, aku rajin membersihkan tubuh istriku ini. Bahkan, aku juga mengganti pakaiannya setiap hari. Maka dari itu, tubuh Santi masih sangat baik dan awet.

"Sebelum kita lanjutkan ritual ini, aku ingin menyampaikan sesuatu yang penting padamu."

Dari nada bicaranya, Mbah Sujiman tampak sangat serius. Aku kemudian duduk di sebelahnya, mencoba mendengarkan hal yang ingin ia sampaikan.

"Apa itu, Mbah?"

"Kau tahu, 'kan, manusia yang telah mati itu, tak akan pernah bisa hidup kembali?"

"Saya tahu, Mbah."

Karena aku tahu makanya datang padamu, Orang Tua.

"Oleh sebab itu, aku hanya bisa menghidupkan rohnya, tetapi tidak untuk tubuhnya."

*Note : Jangan percaya kalimat di atas, ya, Guys. Itu cuma karanganku. Mati ya mati. Roh enggak bakalan bisa hidup kembali.

"Tak masalah, Mbah. Asalkan aku bisa bertemu istriku lagi, itu sudah lebih dari cukup."

Mbah Sujiman kemudian tersenyum mendengar perkataanku itu.

"Baiklah, akan kuteruskan ritual ini."

Beberapa saat setelah dia kembali komat-kamit, tubuh kesepuluh mayat ini tiba-tiba saja menyusut. Mereka seperti sebuah tulang, yang hanya ditutupi kulit.

"Bersiaplah, kau akan bertemu istrimu lagi."

Baru selesai kata itu diucapkan Mbah Sujiman, tubuh Santi tiba-tiba saja terbakar. Aku sontak merasa sangat khawatir. Namun, sebuah sentuhan dingin yang sangat familiar, terasa di punggungku.

"Mas."
close