Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA SUMUR KERAMAT


JEJAKMISTERI - Tuk! Tuk! Tuk! 
Suara kentungan terdengar bertalu-talu menggema di telinga.
Sontak semua orang berhamburan keluar rumah dan berbondong-bondong mengerumuni Parjo yang masih memegang erat sebuah kentungan bambu.

"Ada apa, Kang?"
"Iya, ada apa?"

Semua orang saling berbisik dan melontarkan pertanyaan yang sama kepada Parjo yang kian ketakutan.

"Sebenarnya ada apa to, Kang?" 
Pak Bayan tiba-tiba menyela di tengah kerumunan.

"A-anu Pak. Saya menemukan mayat," sahut Parjo gemetaran.

"Mayat? Mayat siapa, Jo?" 
Pak Bayan seketika menatap Parjo dengan raut menajam.

"Saya tidak tahu itu mayat siapa, Pak. Tapi, sepertinya dia bukan warga dusun ini?"

"Di mana kamu menemukannya?"

"Di sumur tua di tengah alas itu, Pak."

"Apa?!"

Sontak semua orang begitu kebingungan dengan kabar mengejutkan itu.
Terlebih, mayat tersebut ditemukan tengah terapung di sumur tua yang dikeramatkan oleh seluruh warga kampung Jati Wengi.

"Bagaimana ini, Pak? Siapa yang akan mengangkat jasad wanita itu?" 
Parjo kian lekat menatap Pak Bayan yang juga tengah dilanda kepanikan.

Tak satupun warga yang turut memberikan usulan, sebab mereka tahu bahwa akan berakibat fatal jika mereka berani mengambil apapun yang berada di dalam sumur keramat, tak terkecuali jasad wanita misterius itu.

"Kalaupun tidak di angkat, semakin lama jasad itu pasti membusuk, dan tentu akan mengotori sumur. Apakah itu juga tidak apa-apa, Pak?" sambung Parjo.

Pak Bayan terdiam sejenak, sebelum akhirnya membuat satu keputusan yang membuat warga semakin tercengang.

"Biarkan saja mayat itu membusuk di sana," ujarnya dengan raut menajam.

Tak ada satu pun warga yang berani menentang keputusan Pak Bayan, meski sejujurnya di dalam hati mereka, mereka juga tengah di landa kecemasan, takut kalau-kalau malapetaka akan datang menimpa mereka.

Malam kian mencekam, seusai ditemukan korban baru di tepian alas, tak jauh dari sumur keramat.
Terhitung sudah lima orang yang meninggal secara misterius, dan ke semua jasadnya ditemukan di tepian alas.
Aneh, kesan yang terpatri dalam benak semua warga.

"Saya tidak mau mati, Pak." Samini menatap lekat mata Parjo, suaminya.

"Tenang, Bu, tidak akan terjadi apa-apa dengan kita. Kita harus tenang." Parjo mencoba menenangkan hati istrinya yang kalut.

Tiba-tiba saja, pintu terbuka lebar, sebab dobrakan angin yang menghantam kencang.
Samini menjerit ketakutan, ia segera merengkuh tubuh Parjo yang tengah terperangah.

"P--paaak." Samini mulai gemetaran.

Parjo terdiam, tak ubahnya dengan Samini, rasa takut juga tengah menyergap dirinya.

Matanya terfokus ke rongga pintu yang terbuka lebar sembari menanti pemandangan yang mungkin akan segera menciutkan nyalinya.
Tak berselang lama, sosok wanita dengan wajah membusuk, melata menuju ke arah keduanya.
Aroma busuk menguar seketika.
Samini kian memekik, menyaksikan makhluk menjijikan itu semakin dekat kepadanya.

Cairan hitam kental menetes dari rongga mulut yang menganga lebar. 
Pergerakan tubuh makhluk itu kian cepat dan segera meraih tubuh Samini dan melepasnya dari rengkuhan suaminya. 
Samini semakin gemetaran, tak ada yang bisa dilakukan selain hanya diam mematung, menyaksikan makhluk itu memandangnya dengan tatapan yang mengerikan.
Sementara Parjo yang terduduk di sudut ruang segera melarikan diri dan meninggalkan Samini yang tengah tercekat ketakutan.
Entah apa yang telah dipikirkannya, sampai begitu tega meninggalkan istrinya terjebak bersama makhluk mengerikan itu.

Tubuh Samini kian membeku, napasnya tercekat begitu saja, betapa wanita berwajah busuk yang tengah mencengkram tubuhnya, membuatnya semakin tak berdaya.

Kreeeetek!
Suara gemeretak terdengar berkali-kali saat wanita itu mematahkan lehernya ke kanan dan ke kiri, membuat Samini kian bergidik ngeri.
Sementara, tubuhnya semakin tak kuasa menahan rasa perih sebab kuku-kuku hitam panjang itu kian erat mencengkram dirinya. Menyaksikan Samini yang dilanda ketakutan, wanita itu menyeringai, sebelum akhirnya ia mematahkan leher Samini dan menyeret tubuh layu itu dengan kasar.

"Maafkan Kakang, Sam. Kakang tidak berdaya. Kakang pengecut. Maafkan Kakang, Sam. Maafkan!" 
Parjo meraung-raung di depan pusara istrinya.
Semua orang tampak iba melihat Parjo yang begitu kehilangan Samini, istrinya.
Seusai tragedi malam itu, keesokan harinya warga menemukan jasad Samini telah tergeletak di tepi alas Mangkujiwa.

Melihat semakin banyaknya korban berjatuhan, membuat Pak Bayan kian geram dan bertindak tegas. Ia menggerakan seluruh warganya untuk mendatangi sumur keramat itu dan saling bahu membahu mengeluarkan jasad wanita yang dulu pernah menggemparkan seisi kampung.
Ternyata tak semudah yang dibayangkan, selama hampir seharian jasad yang sudah membusuk itu belum juga berhasil diangkat ke permukaan.

Hingga, malam tiba dan jasad itu masih berada pada tempatnya.
Bermodalkan cahaya obor bambu, sebagai satu-satunya penerangan, warga kembali berupaya untuk mengeluarkan jasad yang diduga telah menimbulkan malapetaka itu.

"Hah, kenapa susah sekali ya, Pak? Sepertinya jasad itu memang tidak boleh diangkat dari sumur ini." 
Celetuk seorang warga seraya menyeka peluh di wajahnya.

Semua orang bergeming, menantikan keputusan lelaki paruh baya sebagai panutan seisi kampung itu.

"Kita harus mengorbankan seseorang."
Sontak semua orang terperangah dengan ucapan Pak Bayan yang terkesan ngawur itu.

"Apa? Korban? Lagipula siapa yang mau dijadikan korban, Pak? Kami semua ingin selamat dan terbebas dari malapetaka ini!" 
Tukas Parjo bersungut-sungut.

"Semua orang diam, dan hanya kamu yang berani menyanggah keputusan saya. Jadi, bagaimana kalau kamu saja yang jadi korbannya? Lagipula untuk apa kamu hidup, Jo? Istrimu sudah mati, tak ada alasan lagi untukmu bertahan hidup," seloroh pak Bayan.

Parjo terdiam, wajahnya memerah bak terbakar api. Ia tak habis pikir dengan perkataan Pak Bayan yang begitu menghinanya dan sama sekali tak menaruh empati padanya yang masih berduka.

"Bagaimana Bapak-bapak, Ibu-ibu? Apakah semua setuju?" lontar Pak Bayan.

Tak ada satupun warga yang menyahut pertanyaan itu. Sebab, mereka iba dengan Parjo yang tengah berduka, namun, di sisi lain mereka juga berpikir untuk menyiakan tawaran pak Bayan, sebab tak dapat mereka pungkiri mereka juga ingin semua malapetaka itu segera berakhir.

"Saya setuju, Pak. Jujur saja, saya sudah tidak sanggup menghadapi teror ini."
Sontak semua mata tertuju pada Karmin yang sedikit gemetaran.

"Bagaimana dengan yang lain? Setuju?" imbuh Pak Bayan.

"Setuju."
"Iya, Setuju."
"Setuju."

Semua warga saling bersahut-sahutan menyuarakan kesediaannya menjadikan Parjo sebagai korban untuk sumur keramat itu.
Melihat warga menyetujui keputusan Pak Bayan, Parjo segera melarikan diri menjauhi mereka, namun sayangnya, seorang warga menyadari pergerakannya dan dengan sigap mereka menangkap Parjo yang memberontak.

Sudah hampir tiga hari Parjo dipasung di depan rumah Pak Bayan. Ia dibiarkan tersengat panasnya matahari sepanjang hari dan dibiarkan diterpa hujan saat badai mulai datang.
Tak ada yang bisa ia lakukan, selain hanya berdoa atas nasib malangnya itu, dan tiada henti ia mengutuk perbuatan Pak Bayan yang tak manusiawi. Parjo memohon dan mengiba kepada setiap warga yang melewati dirinya untuk dibebaskan, namun kepatuhan warga kepada Pak Bayan nyatanya membuat mereka tak berani berbuat apa-apa, meski sejujurnya mereka iba melihat nasib Parjo yang kian memilukan.

Malam ini bertepatan dengan malam Jumat Kliwon, malam yang telah dinantikan oleh semua warga. Di mana malam ini menjadi malam yang sakral, sebab ritual penumbalan Parjo akan segera dilangsungkan.
Semua warga berbondong-bondong datang ke sumur tua itu sembari mengarak tubuh Parjo yang kian melemah.
Tak ada kata belas kasihan untuknya, semua warga telah terpengaruh oleh ucapan dan perbuatan Pak Bayan yang semakin tak manusiawi.
Entah setan apa yang telah merasukinya sampai-sampai membuatnya seakan hilang akal.

"Ikat dia kuat-kuat, Kang," titah Pak Bayan kepada beberapa warga yang menahan pergerakan Parjo.

Parjo hanya berpasrah, sebab tubuhnya yang kian melemah, tak memiliki sedikitpun tenaga untuk sekadar memberontak.
Kini, tali tambang telah melilit kuat tubuhnya, sesekali bibirnya merintih mengeluarkan segala sakit yang mendera.
Mata sayunya bergantian menatap semua warga yang mulai menyerukan kata "Mati".
Sungguh memilukan nasib Parjo yang harus menemui ajalnya secara mengenaskan.
Sedang, selama hidupnya ia sudah sangat berjasa kepada kampung Jati Wengi itu.

Pak Bayan mendekati tubuh Parjo yang telah terikat dengan bambu yang tertancap kuat di atas tanah.
Bibirnya lirih merapalkan mantra yang membuat setiap warga bergidik ngeri.
Pak Bayan menatap tajam Parjo yang menundukan pandangannya dalam-dalam.
Ia sudah tak kuasa menahan lelah dan sakit yang mendera sebab, cambukan Pak Bayan beberapa waktu lalu.
Tangan Pak Bayan mengangkat dengan kasar dagu Parjo dan mengarahkan sebuah pisau kecil ke lehernya.

"Bersiaplah, Jo. Sebentar lagi kau akan berkumpul bersama istrimu."

Belum sempat pisau itu menyayat leher Parjo, dari dalam sumur keluar seorang wanita berlumuran darah. 
Sontak semua warga menjerit, namun tak berani meninggalkan tempat itu. Sesuai dengan perintah pak Bayan, yang tak mengizinkan siapapun beranjak ketika makhluk mengerikan itu keluar dari sumur.

Makhluk itu melata, menatap tajam ke arah Pak Bayan yang mengelus rambut gimbalnya.

"Licik! Aku sudah menyimpan kebusukanmu, tapi ternyata begini balasanmu? Asal kalian tahu, lelaki biadab ini yang telah membunuh dan memasukan jasad wanita itu ke dalam sumur, dan sekarang dia menyembahnya. Kematian warga di kampung ini, sebab ia telah terikat janji dengan iblis itu. Tunggulah, satu per satu dari kalian pasti akan mendapatkan giliran," ujar Parjo.

Secepat kilat Pak Bayan mengarahkan pisaunya ke leher Parjo dan dengan tegas menyayatnya hingga berhasil membuat nyawa Parjo melayang begitu saja.
Semua orang bergidik ngeri, ada yang menyaksikan perbuatan kejam itu berlangsung, namun adapula yang memilih untuk menutup rapat-rapat kedua matanya sebab tak kuasa menahan diri.

"Makanlah, aku sudah membawakanmu banyak makanan. Maka, maafkan aku yang sudah membunuhmu, dan sebagai gantinya, makanlah mereka semua."
Pak Bayan menyeringai kepada wanita di depannya.

"Biadab kamu, Karto! Ternyata, selama ini kaulah pembunuh wanita misterius itu! Kau tak pantas menjadi panutan di kampung ini!"
celetuk seorang warga berapi-api.

Pak Bayan hanya menyeringai sembari berkata, "Makanlah."

Seketika wanita berwajah busuk itu mengarahkan pandangannya ke puluhan warga yang berkerumun dengan ketakutan yang mendera.
SEKIAN

BACA JUGA : KUNTILANAK DESA SUKA MAKMUR

close