Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Danan & Cahyo (Part 5 END) - Penunggu Malam Pabrik Gula

Sosok roh anak kecil muncul di pabrik gula, sepertinya tubuhnya telah menyatu dengan bangunan pabrik gula ini.

Anehnya, kemunculanya memancing air mata paklek..


JEJAKMISTERI - Kisah mengenai keberadaan sebuah kelompok yang memberontak pada kerajaan semakin terdengar luas. Terlebih dengan hilangnya beberapa anak di desa secara misterius yang dingarai sebagai korban tumbal sesembahan kelompok tersebut.

“Trah Biryasono harus membantu kerajaan meredam kelompok pemberontak itu” ucap salah seseorang yang memimpi di keluarga tersebut, Darjo Biryasono.

“Tapi kita bukan siapa-siapa, bahkan prajurit kerajaanpun tidak mampu mengalahkan ingon yang mereka panggil!”

“Bukan, itu bukan ingon.. mereka tidak patuh terhadap manusia, sebaliknya kelompok itu malah menyembah setan-setan itu” Jelas Darjo.

Penjelasan itu sudah menunjukkan betapa gawatnya situasi kerajaan sebentar lagi.

“Mas, memangnya apa yang bisa kita perbuat?” tanya salah seorang yang paling muda diantara mereka.
“Setan-setan itu bukan makhluk biasa, mereka datang dari tempat yang sangat terkutuk.

Sebuah alam yang tidak terbatas ruang dan waktu, sebuah alam yang memiliki kesadaranya sendiri, sebuah alam yang merupakan asal-usul dari seluruh dedemit yang ada di jagat ini” Jelas Darjo.

Darjo tahu, ucapanya akan membuat seluruh anggota keluarganya semakin ragu akan keputusanya.

“Ada mantra yang diturunkan pada Trah Biryasono, mantra yang dibawa dari tempat itu yang mampu mengembalikan setan-setan itu ke alam tersebut” Tambah Darjo.

Ada seseorang yang lebih tua dari Darjo. Seorang pria yang pernah menjadi prajurit kerajaan, Puguh. mendengar hal itu ia berdiri seolah mencoba menentang.

“Rencana goblok! Mantra itu tidak hanya mengembalikan setan-setan itu. Tapi juga membawa pembaca mantranya! Lagipula itu adalah urusan kerajaan, kita Trah Biryasono bukanlah siapa-siapa di kerajaan ini” ucap Puguh.

Beberapa anggota keluarga setuju dengan Sarwito, tapi Darjo tidak menyerah.

“Kalau begitu saya titipkan Trah Biryasono padamu Mas Puguh, saya punya hutang dengan kerajaan ini. Saya akan menggunakan mantra itu dan setidaknya membawa pergi salah satu dari makhluk itu.”

Darjo menutup pertemuan itu, dan segera pergi dari tempatnya.

“Ojo edan kowe Jo!” (Jangan gila kamu Jo) teriak Puguh, namun sepertinya Darjo tidak peduli.

Tepat setelah meninggalkan rumah pertemuan, tak berapa lama menyusul beberapa orang yang menghadang Darjo.

“Aku ikut Lek Darjo! Sepeninggal ibu, saya tinggal sendiri, dengan ini saya bisa berguna untuk Prabu” ucap Karsini salah satu keponakan Darjo.

“Akhirnya darah saya bisa berguna, pastikan saya bisa menggunakan mantra itu dengan benar ya mas. Semoga saja kebutaan saya tidak menghalangin sampeyan” Kali ini salah satu adik Darjo, Sarmin dengan semangat mendampinginya.

Kesiapan Karsini dan Sarmin juga membangkitkan saudara kembar Wiyantra dan Waryitno untuk berkorban.

Sebenarnya Darjo merasa tidak tega, tapi ia tahu bila ingin seluruh keluarga dan keturunanya hidup dengan tenang, Harus ada pengorbanan yang dilakukan.

Walau tidak setuju, Trah Biryasono tetap menemani Darjo melakukan perang bunuh diri itu. setidaknya mereka tidak ingin membiarkan pemimpin mereka mati dengan sia-sia.

Seluruh prajurit kerajaan berhasil memancing kelima makhluk mengerikan itu keluar.

Medan pertempuran itu benar-benar seperti neraka dimana bisa saja salah seorang prajurit mati tanpa tersentuh, atau bahkan tubuh manusia yang segera berubah menjadi tulang belulang oleh terkaman salah satu setan itu.

Darjo memastikan Karsini mengikat setan berwujud sinden dengan darahnya. Sarmin sudah membiarkan darahnya mengikat sosok kakek tua.

Wiyantra dan Waryitno juga sudah berada ditempatnya membacakan mantra yang diturunkan oleh leluhur mereka.

Tepat saat ingin mengikat raksasa besar yang sudah melumat ratusan prajurit, tiba-tiba Darjo terpental oleh sebuah serangan.

Puguh.. ia menyingkirkan Darjo dari tubuh setan itu dan mengambil peranya.

“Mas Puguh! Apa maksudnya ini!” Teriak Darjo yang kebingungan.

“Setelah ini, semua menjadi tanggung jawabmu! Pastikan Trah Biryasono tetap hidup, dan cari cara untuk memulangkan kami ke alam ini..
Walaupun itu hanya jasad kami..” ucap Puguh.

Belum sempat menjawab ucapan Puguh tiba-tiba kelima sosok makhluk itu seperti tertelan tanah tempat dimana darah kelima Trah Biryasono menetes. Makhluk itu memberontak, tapi mantra itu pekat. Tidak ada satupun dari makhluk itu yang lolos.

Tanpa adanya bantuan dari kelima setan itu, seluruh pemberontakpun kalah dengan mudah oleh prajurit kerajaan. Patih dan prajurit yang melihat kejadian tadi segera melaporkan kepada Prabu.
Wilayah pemberontak diserahkan kepada Trah Biryasono. Bukan tanpa alasan.

Setidaknya Darjo dan keluarganya mungkin bisa mendapat petunjuk untuk mengembalikan ketiga keluarganya yang terbawa ke alam itu.

Sayangnya beratus-ratus tahun sudah berlalu dan tidak ada satupun dari Trah Biryasono yang bisa menemukan cara untuk mengembalikan Puguh, Karsini, Sarmin, dan yang lainya bahkan hingga keturunanya mulai habis.

***

(Pabrik gula..)

Suara sumbang setan yang tengah menyayi menggema ke seluruh bangunan ini. Suara itu berasal dari sosok setan perempuan berkebaya hitam tanpa wajah dan telinga. Hanya mulutnya yang panjang hingga ke leher yang terus mengutuk dengan tembangnya.

Danan terlihat mengejar sosok itu yang terus saja menjauhkan diri darinya. Ia tahu, suara sumbang makhluk itu lambat laun akan mempengaruhi kami bila kami lengah.

“Khikhkhi... Ojo kesusu le” (Jangan terburu-buru nak) Ledek makhluk itu.

Berkali kali Danan mencoba menyerang sosoknya, tapi ia selalu berubah menjadi asap hitam dan muncul di sisi lain Danan.

“Aku iki ora seneng yen ono sing sworone luwih apik seko aku, koyo sworone ibumu”

(Aku ini tidak suka kalau ada yang suaranya lebih bagus dari aku, seperti suara ibumu)
Mendengar ucapan setan itu, seketika wajah Danan berubah semakin serius.

“Jangan berani-berani kamu menyentuh ibu!” Ancam Danan.

“Khikhihihie... Jenenge Kirana to? Aku Nyai Wasihan bakal mastekke sworone ora kerungu meneh ning alam iki” (Namanya Kirana kan? Aku Nyai Wasihan akan memastikan suaranya tidak akan terdengar lagi di alam ini)

Danan tidak lagi menahan kesabaranya. Ia menghunuskan kerisnya ke makhluk yang mengaku bernama Nyai Wasihan itu berkali-kali. Namun tetap saja tidak ada satupun seranganya yang mengenainya.

“Danan, Jangan terpancing.. pasti ada cara untuk menyerangnya” peringat Paklek yang mengetahui maksud sebenarnya dari setan itu.

Baru saja berpaling mengkhawatirkan Danan, tiba-tiba darah menetes dari hidung Paklek. Namun ia tak henti-hentinya membacakan doa dari mulutnya.

Puluhan roh manusia berada dalam kendali kakek tua yang berada di hadapan Paklek, mereka menari-nari mengikuti tembang Nyai Wasihan sembari menyerang Paklek.

Sesosok makhluk besar berkepala raksasa mencoba melompat menerjang pintu besi seolah berniat untuk keluar.

Aku tahu dengan sangat bila makhluk itu berhasil lolos banyak nyawa yang akan dalam bahaya.
Sekuat tenaga aku melompat dan menyerangnya dengan kekuatan Wanasura hingga kami berdua terpental.

Aku terjatuh dengan keras oleh seranganya, hingga terdengar suara retakan dari salah satu tulangku.

“Brengsek! Dukun itu benar-benar memanggil setan-setan yang ngerepotin” Keluhku sembari memaksakan diri untuk berdiri.

Nenek dukun itu tersenyum percaya diri mengetahui kami hampir tidak berdaya menangani makhluk-makhluk itu.

“Khekehkeh... Ada desa yang tidak jauh dari tempat ini. Mungkin mereka cocok menjadi santapan kami” ucapnya.

Nenek itu memberi isyarat kepada ketiga makhluk itu untuk meninggalkan bangunan. Tanpa adanya pagar ghaib, dinding bangunan ini dapat dengan mudah ditembus oleh mereka.

“Paklek! Mereka ingin menyerang desa!” Teriakku memperingatkan Paklek, namun ia hanya terdiam terpaku seolah tidak mengerti harus berbuat apa.

“Paklek!” Dananpun juga berharap petunjuk dari Paklek untuk menghalangi rencana dukun itu.

“Bulek dan warga lain dalam bahaya!” Aku bersiap mendatangi Paklek mencoba menyadarkanya.
Tapi... sosok putih menghadangku. Sri yang berwajah pucat seolah menghalangiku mengganggu Paklek.
“Sri! Kenapa?”
Bukanya menjawab, Sri malah memasang muka sedih.

Tak lama setelahnya terdengar suara benturan keras diantara dinding-dinding bangunan pabrik ini. Seluruh sosok yang mencoba meninggalkan bangunan tertahan dengan sesuatu yang tak kasat mata.

“Dia tidak mengijinkan kalian keluar..” ucap Paklek sembari menggumam.

“Brengsek! Apa yang kalian lakukan!!!” Dukun itu benar-benar tidak dapat berbuat apapun walau dengan berbagai cara.

“Paklek?! Apa ini?” Tanyaku yang merasa sedikit lega.

“Bukan Jul.. bukan Paklek” balas Danan sembari menunjukkan bayangan yang perlahan muncul di hadapan Paklek.

“Kowe isih ning kene to le?” (Kamu masih di sini ya nak?)

Seorang anak kecil pucat muncul di hadapan Paklek.
“I..itu siapa?” Tanyaku.
Danan menggeleng, sepertinya ia merasa ada ikatan khusus diantara anak itu dan Paklek.

***

(Beberapa puluh tahun yang lalu)

“Danu Pak! Tolong Danu belum pulang sampai sekarang” terlihat seorang ibu yang cemas dengan keadaan anaknya itu.

Beberapa warga meminta ibu itu untuk tenang, sebagian dari mereka membantu ibu itu mencari ke seluruh desa, sayangnya tidak ada tanda-tanda ditemukanya anak bernama Danu itu.

Ibu itu tidak menyerah, ia terus berkeliling dari desa ke desa hingga menyisir hutan dengan membawa satu-satunya foto anaknya yang ia punya.

“Le.. kowe ning ngendi to le? Mbok khawatir” (Le kamu dimana to le? Ibu khawatir) ucapnya yang baru saja mengijinkan kakinya untuk beristirahat sejenak sembari memandangi foto anaknya itu.

Berhari-hari Ia dan warga mencari keberadaan Danu, namun sama sekali tidak ada petunjuk. Hanya ada satu tempat yang belum mereka cari. Sebuah pabrik gula yang terletak di sebrang kebun tebu di sisi utara desanya.

“Mbok, kalau memang Danu hilang di pabrik gula kami juga pasti tidak bisa menolong bu..” ucap pak kades.

“Setidaknya warga desa ada yang jadi karyawan di sana kan? Mungkin saja ada yang melihat Danu” Ibu itu memohon.

“Sudah saya tanyakan dan mereka tidak melihat anak kecil di sana. Kalau ada anak kecil nyasar mereka pasti memberi tahu. Kecuali...”

“Kecuali apa pak?”

“Halah sudah... kalaupun terjadi kita bisa apa, yang penting sekarang kita terus cari informasi”

“Dijadikan tumbal maksud bapak? Itu kan yang mau dikatakan Pak Kades?” Ibu itu masih memaksa.

“Walau banyak desas-desus, tapi kita tidak bisa menuduh.. Tenang ya Mbok, saya dan warga desa akan mencoba membantu sebisa kami”

Ibu itu menitikkan air mata, ia sama sekali tidak terima seandainya desas-desus itu benar.

Ada seorang pria yang sempat tinggal di desa itu selama beberapa minggu. Bimo namanya. Dia juga membantu mencari keberadaan Danu, namun sama sepeti lainya. Tidak ada hasil.

Tanpa sengaja, ia mendengar perbincangan antara kepala desa dan Ibu tadi. Rasa kasihan akan kesedihan ibu itu membuatnya penasaran dan ingin menyusup ke pabrik mencari tahu tentang hal itu.

Sebelumnya, desas desus tentang pabrik ini juga sudah banyak disebarkan oleh warga. Mulai tentang keberadaan tumbal manusia saat membangun, hingga tumbal anak-anak yang konon membuat hasil gula menjadi lebih manis.

Apalagi, baru-baru ini ada kabar bahwa pabrik sedang merenovasi bangunan di sisi belakang.
Bimo mencoba menyelinap malam hari ke dalam pabrik itu melalui sisi hutan yang dibatasi dengan kebun pisang.

Ia mengitari beberapa kali pabrik itu sembari mencari kemungkinan tentang keberadaan Danu.

Terlihat di matanya ada bangunan belakang yang sudah dirobohkan sebagian dan akan dibangun kembali.

Tak jauh dari tempat itu samar-samar terdengar suara anak kecil yang menangis. Seketika Bimo segera berlari mengejar ke arah suara itu hingga terlihat sosok anak yang tengah bersembunyi di tembok pinggir bangunan itu.

“Danu, kamu Danu kan? Ayo pulang.. ibumu sudah nyariin” ucap Bimo berusaha mendekat ke anak itu.
Suara isak tangis semakin terdengar saat Bimo semakin mendekat.
“Me..mereka mau masukin aku ke mesin itu” ucapnya sembari menangis dan menunjuk ke mesin pengaduk semen.

Bimo mendengar hal itu begitu kesal, seandainya bisa ia ingin sekali menendang mesin itu dan menghancurkan bangunan ini. Sayangnya ia hanya pemuda biasa yang bahkan belum menetap di desa.
“Nggak, nggak bakal mas biarin.. sudah ayo pulang, mas jagain” ucap Bimo.

“Mereka mau nuangin aku ke tanah yang di gali itu dengan pasir dan semen dari mesin itu” lanjut anak itu lagi.
Saat itu seketika Bimo merasa merinding. Ia mulai curiga dengan keberadaan anak kecil yang menangis sendirian di malam hari.

Anak ini tahu dengan jelas niat buruk yang akan dilakukan padanya.
Bimo menoleh ke arah anak itu dan mencoba menyentuhnya. Bersamaan dengan itu airmata Bimopun menetes.
“Kok iso-isone le...” (Kok bisa-bisanya Le) ucap Bimo semakin menangis.

Ia pergi ke tengah bangunan yang akan dibangun itu dan menatap sayu ke arah bekas cor-coran bangunan.

“Jangan kasi tau Mbok..” ucap anak itu.

“Tapi kamu nggak bisa tenang” Balas Bimo.

“Aku lebih nggak tenang kalau Mbok tau aku mati dengan cara ini” balasnya lagi.

Bimo terlihat bimbang namun ia sama sekali tidak dapat memutuskan apa yang harus ia lakukan dengan pengetahuanya sekarang.

“Biar saja aku di sini, menjadi satu dengan bangunan ini. Setidaknya aku bisa memastikan orang-orang bodoh itu tidak melakukan perbuatan keji ini pada anak-anak lain di tempat ini”

Sosok roh anak kecil itupun perlahan menghilang ke tempat dimana jasadnya berada. Bimopun hanya bisa memanjatkan doa untuk anak itu.

Dalam hatinya ia berjanji, suatu saat akan kembali ke tempat ini untuk membebaskan roh Danu.

Tidak mungkin Bimo menceritakan tentang apa yang terjadi semalam pada warga desa, namun ia terus mencari tahu tentang ritual penumbalan di pabrik itu.
Menurut kepala desa, ritual itu seharusnya tidak ada. Pimpinan pabrik juga menentang keras hal seperti itu.

Tetapi ada orang-orang bodoh yang terjebak dengan permainan dukun.
Dukun itu menakut-nakuti dan mencelakai para pekerja dengan ilmunya. Dengan bodohnya dukun itu pula yang dipanggil untuk menangani masalah tersebut.

Karyawan yang bodoh mempercayai dukun itu untuk memberikan tumbal anak kecil agar tidak ada lagi kecelakaan kerja baik saat pembangunan dan produksi.
Bimo yang mendengar kisah itu begitu geram. Sesuai janjinya Bimo tidak menceritakan kondisi Danu pada ibunya.

Iapun hanya bisa menelan sendiri rasa emosi yang ia rasakan atas apa yang terjadi pada Danu.

***

“Kowe Danu to?” (Kamu Danu kan?)

Tanya Paklek pada sosok anak kecil yang ada di hadapanya itu.

Roh anak kecil itu mengangguk, aku dapat melihatnya dengan jelas bahwa sosok itu sudah berada di tempat ini selama puluhan tahun.

“Setan-setan itu tidak bisa keluar? Ini perbuatanmu?” tanya Paklek lagi.

Sekali lagi roh anak kecil itu mengangguk.

“Aku sudah menjadi satu dengan bangunan ini. Sampai semua urusan ini selesai, tidak ada yang akan keluar dari bangunan ini” ucap roh anak kecil itu.

Paklek menarik nafas mendengar niat dari roh anak bernama Danu dulu.

“Terima kasih, setelah ini mungkin sudah waktunya untukmu. Ada sebuah tempat yang harus kamu datangi” balas Paklek.

Anak kecil itu kembali menghilang ke sebuah tempat di bawah bangunan ini.

Di hadapanku Sri terlihat menangis. Sepertinya jiwa keibuanya juga tergerak dengan keberadaan sosok Danu.

Hebat... setan-setan itu benar-benar tidak bisa meninggalkan bangunan ini. Sepertinya itu juga berlaku untuk kami dan para penunggu bangunan ini lainya.

“Khekehkeh... Goblok! Iki artine aku musti mateni kowe kabeh to?” (Khekhkehe... Goblok! Ini artinya aku harus membunuh kalian dulu kan?) ucap sosok nenek dukun yang melayang layang mendekat ke arah kami.

Dengan percaya diri nenek itu memerintahkan ketiga setan itu untuk menghabisi kami. Terlihat amukan di wajah ketiga makhluk itu yang sudah siap melumat kami habis-habisan.
Aku, Paklek, dan Danan bersiap dengan apapun yang akan terjadi pada kami.

Ketiga makhluk itu menerjang dengan sangat cepat seolah tanpa berfikir.

Tapi aneh.. arah serangan ketiga makhluk itu bukan ke arah kami.

Sosok raksasa itu malah menggigit sukma dukun nenek tua itu dan mencabik-cabiknya.

“A..apa ini!!! Setan-setan brengsek!!” Teriak nenek itu yang segera sadar dan ingin kembali ke tubuhnya yang entah berada di mana.

Namun naas, sukmanya tidak dapat meninggalkan bangunan ini dengan kekuatan Danu yang menyelimutinya.

“Pergi!! Jangan mendekat! Aku yang memanggil kalian!!” Teriaknya.

Nyai Wasihan mendekat ke arah dukun itu dan menempelkan wajahnya.

“Khikhikhi... ora ono sing iso mrentah awake dewe, kowe musti mati sak durung nyeluk demit liyane sing lewih sakti” (Tidak ada yang bisa memerintah kami, kamu harus mati sebelum sempat memanggil setan lain yang lebih sakti) Ucap Nyai Wasihan.

Saat itu juga Nenek itu merasa kesakitan. Seperti ada darah keluar dari hidung dan telinganya menggambarkan apa yang terjadi pada tubuh aslinya.

“Ra..raden! Tolong saya Raden!!” nenek itu berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan pada seseorang yang ia sebut dengan nama.. Raden.
Seketika aku bertatapan dengan Danan.

Teriakan sebutan itu mengingatkan kami akan kejadian saat kami sekolah tentang keberadaan sosok orang dibalik Omah Kandang Mayit.

“Jul.. Raden? Apa ada hubunganya dengan tempat itu?” tanya Danan.

“Ora ngerti Nan.. pikir keri” (Nggak ngerti nan, pikirin nanti)

Teriakan nenek dukun itu menggema keseluruh bangunan besama dengan rohnya yang terbelah jadi dua. Sepertinya itu juga yang terjadi dengan tubuh aslinya.

Aku menelan ludah melihat kejadian itu. Hal itu memastikan makhluk yang kami lawan benar-benar tidak memiliki hati dan tidak segan-segan menghabisi kami.

“Jangan lengah! Mereka akan menyerang kita lagi!” Teriak Paklek.

Kali ini serangan itu benar-benar mengarah ke arah kami.

“Dadung gumotro, entekno..” (Dadung Gumotro, Habisi!) perintah Nyai Wasihan pada raksasa berkepala besar itu.

Makhluk itu sekuat tenaga menyerang kami, aku menahanya namun terus terpental. Danan yang tahu aku tak bisa menahanya menyusulkan sebuah serangan ke tubuh makhluk itu.

Keris Danan menancap di tubuh raksasa itu, tapi itu tidak berdampak banyak padanya.

Paklek telah mempersiapkan mantranya, seketika ada api yang membakar seluruh sosok makhluk yang menyerang kami.

Roh-roh pengikut ketiga makhluk itu terbakar dan menghilang satu persatu, namun serangan Paklek hampir tidak berdampak pada ketiga setan itu.
Setan yang dipanggil dengan nama Dadung Gumotro itu benar-benar mengerikan.

Tak satupun serangan dari kami bertiga bisa melukainya.

Tapi Danan tidak menyerah..

Ia membacakan sebuah ajian pada kepalan tanganya dan melemparkan sebuah pukulan jarak jauh untuk mementalkan makhluk itu.

“Hebat nan! Sekali lagi!” Perintahku pada Danan.
Tepat saat pukulan keduanya mengenai raksasa itu aku menghantamkan pukulan bertubi-tubi dengan kekuatan wanasura yang merasukiku hingga makhluk itu terbaring tak berdaya.

Seolah merasa panik, Hantu berwujud kakek tua itu membacakan sebuah mantra untuk mengendalikan tubuhku. Tapi aku tak ingin ilmu yang sama sampai mencelakaiku hingga dua kali.

“Wanasura!!”

Aku berteriak sekuat tenaga memanggil sosok roh kera raksasa yang mendiami tubuhku.

Sebuah raungan keras menggema ke seluruh bangunan dan mematahkan mantra setan itu. Seketika juga aku melompat menuju kakek itu dan menyerangnya dengan sebuah pukulan. Danan menyusulku sembari menebaskan kerisnya.

Tepat sebelum serangan kami mengenainya kakek itu tersenyum.

Sama seperti Nyai Wasihan serangan kami tidak bisa menyentuh sosok setan kakek itu.

“Nan.. nggak kena nan!” ucapku.

Gila semua pukulanku hanya menembus tubuh kakek itu tanpa membuatnya terluka. Begitu juga dengan keris milik Danan, tak ada satupun serangan kami yang melukainya.

“Khekhekeh... sekarang kalian sudah paham kan?” Kakek itu tertawa puas melihat ekspresi kami.

Nyai Wasihan mendekati kakek itu sementara Dadung Gumotro kembali berdiri dengan luka-luka yang telah menghilang dari tubuhnya.

“Panjul! Danan! Mundur!!” Perintah Paklek.

Kami menurutinya dan meminta penjelasan dari Paklek.

“Percuma saja... mau sesakti apapun kalian, kami tidak bisa mati! tidak ada satupun ilmu yang bisa melukai kami..” jelas Nyai Wasihan.

Seketika aku dan Danan Gentar, rupanya sedari tadi Paklek belum menyerang setan kakek tua itu karena mengetahui hal ini.

Paklek membacakan sebuah mantra dan menghangatkan tubuh kami dengan ajian tersakti yang ia miliki..

Geni Baraloka. Perlahan kutukan Nyai Wasihan dan setan kakek itu menghilang dari tubuh kami.

“Kita cari cara untuk mengalahkan mereka. Jangan menyerah” perintah Paklek.

Sayangnya belum sempat melancarkan serangan, tiba-tiba tubuh Paklek terangkat tinggi dan jatuh menuju lantai. Aku melompat mencoba menangkapnya namun sebuah pukulan mendarat di tubuhku yang membuatku terpental.

Aku mencoba berdiri namun suara melengking Nyai Wasihan seolah bersiap memecahkan gendang telinga kami.
Sekali lagi darah mengalir dari telinga kami. Danan tak mau menyerah, ia membacakan ajian gambuh rumekso dan menciptakan angin yang menyayat-nyayat Nyai Wasihan.

Walaupun serangan itu tidak melukainya, angin itu bisa membawa pergi suara sumbang setan itu.

Saat kami mencoba menyerang kembali, tiba-tiba tubuh kami mulai bergerak dengan sendirinya. Tubuhku, Danan, dan Paklek tak mampu menahan pengaruh kutukan setan kakek tua itu.

Tubuh kami melayang setinggi-tingginya.

“Danan! Paklek!” Teriakku mengkhawatirkan mereka.

Mungkin aku bisa bertahan dengan kekuatan wanasura, tapi bagaimana dengan mereka.

Paklek mencoba menyelimuti kami dengan geni baraloka berharap luka kami bisa pulih saat terjatuh, tapi itu kalau kami tidak langsung mati saat menyentuh tanah.

Danan...

Di tengah pengaruh setan kakek itu, ia menggenggam keris di dadanya sembari membacakan sebuah mantra yang sepertinya belum pernah kudengar.

“Danan! Jangan!” Paklek mencoba menahan mantra yang dibacakan oleh Danan.

***
Jagad lelembut boten duwe wujud
Kulo Nimbali...
***

Aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Danan. Saat itu tubuh kami terjatuh ke tanah tanpa ada penahan sedikitpun.
Kekuatan Wanasura membuatku mampu bertahan walau dengan luka yang fatal.

Tapi.. aku melihat dengan jelas tubuh Paklek dan Danan dengan darah yang berserakan.

“Da..Danan! Paklek!“ aku mencoba menghampiri mereka, tapi ternyata kakiku tak mampu digerakkan.

Rasa sakit yang menjalar ini seolah memastikan salah satu kakiku patah.

Terdengar suara berbisik dari mulut Danan yang tubuhnya hampir tidak bergerak dengan genangan darah di sekitarnya.

***
Tekan asa tekan sedanten...
***

Tepat setelahnya Danan kehilangan kesadaranya.

Aku menoleh ke arah Paklek, ia menggenggam sebuah keris di tanganya, namun sama seperti Danan ia segera kehilangan kesadaranya.
Suara hujan terdengar semakin deras mengelilingi bangunan ini.

Seolah mengetahui aku yang masih tersadar, sebuah injakan mendarat ditubuhku dan mengaburkan kesadaranku.

Tapi tepat sebelum aku bernasib sama dengan Danan. Aku mendengar suara tertawa sosok kakek tua yang memenuhi ruangan ini.

Suara langkah kaki mendekati kami dari sosok yang melompat dari satu tempat ke tempat lain sambil tertawa seperti orang gila.

Setan...

Satu lagi setan datang dengan wujud kakek tua dan rambut yang berantakan. Berbeda dengan sosok kakek yang dipanggil dukun tadi. Setan ini benar-benar terlihat lebih liar.
Tak lama setelahnya mataku berkabut dan penglihatanku menghilang secara perlahan.

“Cuh.. Bocah-bocah asu! Nduwe nyowo disiak-siake ngono wae! Goblok!” (Bocah-bocah Sial! Punya nyawa disia-siakan begitu saja! Goblok!)
Entah siapa yang mengucapkan kata-kata itu, suara itu terdengar tepat sebelum semua menjadi gelap.

***

“Bangunn... ! Sadar Mas Cahyo... Khikhikhi..”

Terdengar suara Sri yang terus memanggilku.
Hangat.. perlahan rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Sedikit demi sedikit rasa sakitku kembali pulih.

Akupun membuka mata dan menyaksikan tubuhku, Danan, dan Paklek telah dikelilingi api putih.

“Ini api dari keris sukmageni Paklek kan?” Tanya Danan yang sepertinya juga baru saja tersadar.

“Syukurlah, rupanya masih sempat..” ucap Paklek dengan tubuh yang masih perlahan mencoba memulihkan luka.

Aku melihat keadaan sekitar, Sri melayang-layang ke beberapa sisi bangunan. Pemandangan yang terlihat benar-benar tidak kusangka.

“Paklek! Danan! Lihat itu!” Ucapku.

Aku menunjuk ke arah Nyai Wasihan yang kepalanya telah terpisah dari badanya. Setan kakek yang tubuhnya terbaring dengan darah hitam mengalir di bawahnya dan Dadung gumotro yang tubunya telah terpisah-pisah dibantai sosok yang jauh lebih mengerikan.

“Ba..bagaimana bisa? Ini perbuatan siapa?” Tanya Danan.

Aku menggeleng, Paklek juga menunjukkan raut wajah bingung.

“Kh..kh.. Setan Brengsek! Kubalas perbuatanmu”

Terdengar suara yang berasal dari kepala Nyai Wasihan. Ia masih berusaha memulihkan dirinya dan menyambungkan kepalanya.
“Paklek! Dia masih hidup!” Ucapku.
Kami segera berdiri dan Paklek mencoba membakar tubuh Nyai Wasihan, tapi sama seperti tadi. Serangan kami tidak berguna.

“Sial!! Kalau mereka pulih akan sama saja!” Teriakku.

“Khikhikhi... tunggu bocah! Setelah ini kuhabisi kalian” Ancam Nyai Wasihan.

Kami hampir putus asa mencari cara menghabisi ketiga makhluk ini, namun tak berapa lama terdengar suara seseorang yang memaksa masuk ke dalam bangunan ini.

“Mbah!! Jangan mbah! Bahaya!”

Aku tahu suara itu, itu suara pak kosidi. Tapi ia ke sini bersama orang lain.

“Pak Kosidi! Apa maksudnya ini!” teriakku.

Mereka mencoba masuk, tapi Paklek menahanya karena kekuatan Danu pasti akan menghadang mereka untuk keluar.

Tapi seorang nenek yang bersama Pak Kosidi tetap memaksa dan masuk ke dalam tempat ini.

“Mbah itu... bukanya mbah yang kita temukan bersama tubuh Citra?” Tanya Danan.
Aku memperhatikan sosok nenek itu dan benar kata Danan, dia adalah sosok tubuh yang kuselamatkan dari dalam mesin.
“Tolong Le... Cuma saya...” Ucap nenek itu.

“Cuma saya yang bisa memulangkan setan-setan itu”
Kami bertiga saling bertatapan mempertanyakan maksud nenek itu.

“Maksud Mbah gimana?” tanya Paklek.

“Saya keturunan terakhir Trah Biryasono, kelima saudara saya yang lain sudah mati dan jasadnya digunakan untuk memanggil setan-setan itu” jelasnya.
Seketika aku dan Danan teringat akan kelima pocong yang digantung terbalik dan meneteskan darah di tanah.

“Jangan-jangan yang dimaksud adalah kelima pocong yang digantung di langit-langit bangunan ini?” Tanyaku.
Nenek itu mengiyakan, ia menjelaskan bahwa leluhurnya menurunkan mantra yang mampu mengembalikan setan-setan itu ke tempat asalnya.

“Tapi... tapi nenek juga akan mati kan bila menggunakan mantra itu?” tanya Danan khawatir.
“Umur saya sudah di penghujung, setidaknya biarkan saya berguna sedikit lagi” Jawab nenek itu memaksa.

Jelas kami bertiga tidak bersedia melakukan hal itu, namun menurut Paklek ada satu kemungkinan dimana nenek itu tidak akan terbawa ke alam di mana setan itu berasal.

“Tepat setelah mantra itu aktif, api dari keris sukmageni akan mempertahankan sukma mbah di sini.. tapi bukanya itu artinya mbah hanya bisa mengembalikan satu diantara mereka bertiga?” ucap Paklek.

Aku setuju dengan pertanyaan Paklek. masih ada dua lagi yang akan kembali pulih dan haru kami hadapi.
“Darah kedua jasad saudaraku yang gagal dalam ritual kemarin.. semoga saja darah itu masih bisa membawa kedua setan lainya” Balas Nenek itu.

Seketika aku segera melompat ke arah tempat aku dan Danan menggagalkan ritual itu. dan memang masih ada sisa genangan darah yang mulai mengering di sana.
“Mbah.. apa benar-benar bisa” Tanyaku memastikan.
“Sudah bantu saja saya...” ucapnya.

Nenek itu memerintahkan ketiga setan itu diletakkan di atas genangan darah tadi. Satu lagi ia meneteskan darahnya di tubuh Nyai Wasihan.

“Brengsekk!!! Kowe meneh!! Tak Pateni kowe!” (Brengsek!! Kamu lagi!! Aku bunuh kamu!) Nyai Wasihan terlihat emosi saat melihat sosok nenek itu.
Sepertinya aku mengerti mengapa nenek dukun itu tidak membunuh nenek ini.

Dia bisa menjadi senjata untuk mengembalikan setan-setan ini bila mereka memberontak.
Nenek itu bersiap membacakan mantra, namun sebelumnya Danan menghentikan nenek itu.
“Mbah.. sebelumnya, kami boleh kan mengetahui nama mbah?” Tanya Danan.

Nanek itu menoleh sebentar ke arah Danan dan kembali melakukan ritualnya.
“Raras.. Nyai Raras..”
Ucapnya sembari membacakan mantra dalam bahasa jawa kuno.
Perlahan samar-samar aku melihat seolah darah itu membentuk aksara dan mengikat ketiga setan itu.

“Nenek sial! Kuhabisi kau di alam sana!” ancam Nyai Wasihan.
Tepat setelah ucapan itu api putih membakar tubuh Nyai Raras dan menahan tubuhnya agar tidak ikut terbawa ke alam itu. Namun mantra yang ia gunakan benar-benar menghabiskan tenaganya yang sudah renta.

Sedikit-demi sedikit darah dari Trah Biryasono menggerogoti tubuh setan itu dan membawa sedikit-sedikit tubuh mereka ke tempat asalnya sampai benar-benar menghilang.

***

“Paklek.. apa sudah selesai?” Tanyaku tidak percaya.

Paklek mengangguk, sepertinya ia juga tidak menyangka akan akhir seperti ini. Danan terlihat cemas sepertinya ia memikirkan hal yang sama dengan yang kupikirkan.

Kami beruntung...

Tak satupun dari kami yang bisa mengalahkan setan itu, namun ada sosok yang tidak kami ketahui melumpukan setan-setan itu dan kedatangan Nyai Raras yang mengembalikan mereka ke tempat asalanya.
Seandainya tidak ada mereka...

Aku yakin kami sudah tak benyawa, dan entah apa yang terjadi dengan warga desa dan karyawan pabrik lainya.
Kamipun berusaha memulihkan diri dulu sebelum meninggalkan pabrik.

Tepat saat matahari terbit dan cahayanya masuk lewat kaca-kaca bangunan, Sri dan yang lainpun menghampiri kami sebentar sebelum pergi kembali ke sudut-sudut tempat dimana biasanya mereka berada.
“Kita harus lebih kuat Nan..” Ucapku sembari menahan lelahku.

“Harus.. aku ngerasa ada hal besar dibalik semua bencana ini” Balas Danan.
Paklekpun berdiri setelah cukup beristirahat. Ia hanya menghampiri kami dan mengelus kepala kami sembari berjalan mencari udara segar di luar bangunan.

***

Sebuah rumah kayu tua terlihat tidak terawat di salah satu desa yang tidak jauh dari pabrik. Seorang nenek tua terlihat tengah menyalakan lampu minyak dan menggantungnya di depan rumahnya.

Langkahnya terlihat sudah sangat renta. Beberapa kali ia mencari pegangan untuk menahan tubuhnya saat berjalan.

Kami mendekati rumah itu dan mencoba menyapa nenek itu. Iapun menajamkan matanya dan berusaha mengenali kami dengan penglihatanya yang sudah lemah.

“Panjenengan niki sinten nggih?” (Mas-masnya ini siapa ya?) Tanya nenek itu yang tidak berhasil mengenali kami.

Aku menoleh ke arah Paklek yang sepertinya berusaha menahan air matanya.

“Mboten mbah, kami dari desa sebelah.. kebetulan habis panen. Ini mau nganter sayur, singkong, sama pisang” ucap Danan sembari meletakkan bawaan kami di hadapan nenek itu.

“Owalah, matur nuwun yo le.. monggo saya buatin kopi dulu” ucap nenek itu.

Tepat ketika nenek itu masuk ke dalam, terdengar suara tangisan seorang anak kecil yang kugendong di bahuku.
“Mas.. Mbok kasihan, dia hidup sendirian di hari tuanya” ucap Danu yang seolah merasa menyesal dengan keputusanya.

Ia semakin menangis ketika melihat nenek itu tertatih-tatih membawa beberapa gelas kopi untuk kami. Danan segera membantunya membawa gelas itu dan mengambil kursi untuk nenek itu duduk.

Belum sempat duduk lama, tiba-tiba terlihat sekelompok anak kecil yang baru pulang dari masjid berlarian menghampiri kami.
“Nenek!!” anak-anak itu menyapa nenek dengan semangat.
Melihat kedatangan anak-anak itu nenek tersenyum dan kembali berdiri menyambut mereka.

“Ealah le, jangan lari-lari.. nanti jatuh” ucap Nenek itu.
“Iya Nek, nenek sehat kan?” ucap mereka sembari salim dengan nenek itu.
Anak-anak itu seolah sudah sangat terbiasa bermain di rumah nenek. Mereka membawa mainanya sendiri-sendiri dan bermain di lahan di depan rumah.

Nenek sesekali tertawa melihat tingkah laku anak-anak itu yang tengah bermain. Iapun bercerita, selama ini ia sudah menganggap anak-anak di desa ini sebagai anaknya sendiri, begitu juga sebaliknya anak-anak di desa ini sudah menganggap dirinya sebagai neneknya.

***

“Wis to le, ndang mudun… mesakne mase kuwi” (Sudah nak, turun.. kasian masnya)
Tiba-tiba nenek itu berbicara sembari menoleh ke arahku.
“Mbok... Mbok iso ndelok aku?” (Ibu, ibu bisa melihat aku?) Roh Danu kaget mendengar ucapan ibunya itu, tapi ibunya tidak menjawab.

“Mbah bisa melihat Danu?” Tanyaku memperjelas.
“Ndak mungkin aku ndak tahu kalau anakku satu-satunya ada di sini to?” jawab nenek.
Saat itu Danu turun dan memeluk ibunya walau ia tahu dirinya tidak bisa menyentuh ibunya itu.

“Kowe sing tenang yo le... Mbok wis ikhlas” (Kamu yang tenang ya le.. ibu sudah ikhlas) ucap Nenek.
Sepertinya walaupun tidak bisa melihat dan mendengar Danu, ia dapat merasakan dengan jelas keberadaan anaknya itu.

“Banyak yang nemenin Mbok, Mbok nggak kesepian lagi.. ada si Tukul, Landing, Risma yang sering main ke sini nemenin Mbok.” Ucapnya sembari menitikkan air mata.

Tidak ada lagi kata-kata yang terucap dari Danu malam itu. Ia hanya duduk dipangkuan ibunya yang sudah menua sembari menyaksikan anak-anak yang bermain di halaman rumah Mbah.

Kami berpamitan membiarkan mereka menghabiskan sisa waktunya berdua. Danu terlihat senang, sepertinya sebentar lagi ia akan pergi dengan tenang.

Namun masih ada satu hal yang harus kami lakukan agar Danu bisa benar-benar pergi. Setidaknya kami harus menguburkan jasadnya dengan layak.
Kamipun kembali menuju bangunan belakang, namun kali ini ditemani Pak Kosidi dan beberapa kawanya.

Cukup lama, namun kami akhirnya berhasil menemukan Jasad Danu dan menguburkanya dengan layak.

“Kabar anak laki-laki yang kemarin gimana pak kosidi?“ tanya Danan yang penasaran dengan sosok anak dari dukun itu.

“Ohh.. dia sudah dijemput sama saudaranya.
Tenang, sudah saya pastikan kok” jawab pak kosidi.

“Ya sudah kalau begitu, semoga saja saudaranya iklhas menjaga anak itu” ucap Danan yang khawatir dengan anak itu, terlebih ia tahu bagaimana orang tuanya memperlakukanya.

“Tenang mas, sepertinya saudara-saudara yang menjemputnya itu juga orang berpunya. Sepertinya ada keturunan ningrat juga.. soalnya salah satu bapak yang menjemput dipanggil ‘Raden’” jelas Pak Kosidi.

Seketika aku menoleh mendengar ucapan itu. Aku tahu Raden adalah panggilan untuk seseorang yang diberi gelar kehormatan dan banyak yang sering di panggil dengan ucapan itu. Setidaknya aku berharap bahwa orang yang menjemputnya bukanlah sosok Raden yang pernah kami temui.

“Jul.. coba ke sini.” Danan memanggilku menuju sebuah tempat bekas tempat setan-setan itu di kembalikan ke alamnya.

“Ono opo Nan?” (Ada apa Nan?) Tanyaku.

Danan menunjukkan sisa-sisa ritual yang dilakukan nenek dari Trah Biryasono itu.

Ada sebuah lambang yang sepertinya tidak asing. Sebuah lambang yang pernah kami lihat di lembaran kertas tua yang kami temukan di Omah kandang mayit.

“Ini sama dengan yang itu nan?”

Danan mengangguk.

“Apa nenek itu ada hubunganya dengan Raden? Sepertinya kita harus mencari tahu arti lambang ini” Ujar Danan.

Kami tidak bisa mengambil kesimpulan hanya dengan petunjuk seperti ini. Tapi sepertinya dari dalam hati kami tahu bahwa kami akan berurusan dengan sesuatu yang berhubungan dengan lambang ini.

-SEKIAN-

Selanjutnya
Dongeng Dari Alam Lain

Kita akan kembali ke masa dimana Danan dan yang lain terjebak di Jagad Segoro Demit.
Semua dimulai dari sebuah gulungan serat lontar yang didapatkan Pak Waja..
close