Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 9) - Legenda Tentang Masa Depan

Karena part ini panjang banget, jadi mohon maaf akan saya bagi jadi dua part ya, hari ini dan minggu depan.


LEGENDA DARI MASA DEPAN Tanah itu menyaksikan semua. Ia merekam setiap hal yang terjadi di sebuah perang yang mengorbankan ratusan nyawa, menjatuhkan raja dari kekuasaanya, menggetarkan dunia para batara. Tanah itu menerima semuanya. Darah yang menjadi kubangan dan menyatu dengannya, daging dan tulang yang merasuk menjadi bagian darinya, hingga kutukan-kutukan maha dashyat yang membinasakan banyak makhluk. Manusia, Roh, Dedemit, Raksasa, Wanara, dan berbagai ras di alam ini mengambil perannya sendiri di peperangan itu. Sebagian berjaya dengan kemenangannya, sebagian mati dan menyatu dengan kutuk yang mengendap di tanah itu. Satu dari makhluk terkutuk menjadi bagian dalam peperangan. Bukan untuk menaklukkan, namun untuk membuat tanah itu semakin terkutuk dan membangkitkan untuk menjadi bagian dari dirinya. Dialah Prabu Jagarekso… Di tengah gemuruh peperangan, Prabu Jagarekso melangkah dengan langkah yang menggetarkan tanah tempat ia berpijak. Darah musuh dan sekutu menyembur ke langit, menciptakan lukisan merah yang kontras dengan hijau tanah. Prabu Jagarekso, makhluk terkutuk yang mengisap kekuatan dari setiap nyawa yang tercabik di medan perang, memiliki tujuan gelap yang melekat padanya. Setiap serangannya membawa malapetaka. Sentuhan dadanya menyebabkan tanah memuntahkan kutukan-kutukan lama yang terpendam. Dedemit muncul dari bawah tanah, roh-roh kelam berkeliaran, dan raksasa-raksasa purba bangkit dari kubur mereka yang terlupakan. Tanah itu, yang semula menjadi saksi, kini menjadi panggung kehancuran. ***

GUA PENGHUBUNG “Perang itu harus terjadi pada tempat yang seharusnya, atau semua makhluk yang berada di atasnya akan musnah. Perang terkutuk yang kembali bangkit, harus terjadi di padang Kurusetra..” Di dalam sebuah gua, Paklek menyalakan api dari Geni Baralokanya untuk membaca setiap ukiran-ukiran dalam aksara jawa yang terukir di dinding-dinding gua itu. Gua itu tidak seterpencil yang ia kira, namun siapapun yang pernah memasukinya tidak akan bisa melihat ukiran yang hanya mampu terlihat dengan api-api gaib seperti Geni Baraloka miliknya. “Padang Kurusetra? Tempat yang diceritakan dalam kisah pewayangan itu apa benar-benar ada?” Paklek menggumam membayangkan bagaimana mungkin tempat dalam kisah sakral itu bisa benar-benar ada di alam ini. Paklek memikirkan kemungkinan tentang Jagad Segoro Demit sebagai tujuan mengakhiri peperangan ini, namun lawan mereka kali ini bukan makhluk biasa. Mereka adalah makhluk-makhluk yang bertahan dari hukuman waktu, menaklukan berbagai makhluk penguasa, hingga menjinakkan kutukan. Keberadaan mereka di Jagad Segoro Demit bahkan mungkin bisa semakin memperburuk bencana. Tapi, Paklek tidak ingin membiarkan peperangan ini menjadi bencana untuk setiap makhluk yang berdiri di Tanah Jawa ini. Di tengah kebingungannya, Paklek menyadari kemunculan sosok yang membuat tubuhnya bergetar mendekat ke arahnya. Kereta kencana… Paklek melihat ada sosok yang sangat jelas ia kenali hanya dengan selendang hijau yang ia bawa dan kekuatan spiritualnya yang memancar dengan penuh pesona. Mereka tidak saling bertatapan, namun Paklek sadar bahwa bila sosok itu sampai memunculkan wujudnya di hadapannya maka bencana ini juga berdampak untuk mereka. “Kami tidak bisa terlibat, namun kami juga tidak bisa membiarkan manusia menerima bencana dari sosok yang dikutuk itu…” Ucapnya. Paklek mendengarkan baik-baik sosok yang sangat dihormati oleh beberapa orang berpengaruh di tanah Jawa ini. “Padang Kurusetra tidak pernah berpindah sejengkalpun, yang harus kalian cari bukanlah tempatnya, tapi cara untuk ke sana dan menyelesaikan semua di sana…” Sosok itu hanya menyampaikan kata-kata, namun saat itu Paklek sadar bahwa ucapan itu berhubungan dengan maksud beliau mengirim mereka ke zaman kerajaan Indrajaya. ***

API DI DESA KANDIMAYA (Sudut pandang Danan…) Panglima dari masa lalu… Dia melangkah dengan tertatih sambil menghalau setiap serangan dari setan-setan yang menyerangnya. Kakinya sudah lemah, namun setiap serangannya menunjukkan niatnya untuk tetap bertahan hidup dari antara kumpulan setan-setan sekitarnya. “Panji! Lindungi aku!” Teriakku yang bergegas berlari menuju sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui lagi. Panji yang semakin mahir menguasai tombak Lembu Warok menyapu berbagai macam sosok mayat hidup yang mengamuk di sekitarku dan membuka jalan untukku. Trang!! Trang!! Kerisku beradu dengan senjata-senjata berkarat dari prajurit-prajurit yang dibangkitkan dari kematian sebelum mereka mendekat ke panglima itu. “Panglima Brasma! Ikuti aku!” Ucapku yang berusaha melindungi dirinya dengan mengusir setiap makhluk yang mendekatinya. Alunan ayat-ayat suci mengalun bagaikan puisi yang menyatu dengan angin. Aku melantunkannya dalam pelarian hingga angin-angin yang menyayat sosok-sosok lelembut itu berhembus di sekitar kami. “Ka—kau?” Sepertinya Panglima Brasma tidak mengenaliku, namun sepertinya aku harus menunda penjelasan ini sampai kami berada di wilayah aman. “Aku jelaskan nanti! Menjauh dulu dari mereka!” Perintahku. Panglima Brasma menurut padaku. Dengan langkah yang tertatih iah menghindar dari lautan lelembut yang menghancurkan desa Kandimaya itu. Sayangnya setan-setan itu semakin kuat dengan kehadiran Prabu Jagarekso yang masih membiasakan diri dengan tubuh barunya. Kekuatan hitam bergejolak dari tubuh mereka sehingga tak mudah untuk menghentikan mereka. “Cepat, Danan!” Teriak Mbah Widjan yang sudah bersiap dengan murid-muridnya untuk menghalau setan-setan yang mengejar kami. Mendengar ucapan Mbah Widjan, Panglima Brasma pun menoleh ke arahku dengan wajah yang kaget. “Danan?” “Iya, panglima.. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa kita akan bertemu lagi di sini,” Balasku. Formasi tarian cambuk api yang begitu menawan dilakukan oleh para murid Mbah Widjan, sebuah mantra terus dibacakan oleh Mbah Widjan yang kuduga adalah sumber kekuatan dari formasi itu. Itu formasi yang hebat dan mampu menghabisi beberapa setan yang memasuki zona aman kami, namun sayangnya jurus itu masih terlalu jauh untuk mengimbangi setan-setan kuno di hadapan kami. Panglima Brasma melihat Keris Ragasukma yang berada di genggamanku, saat itu ia terlihat semakin yakin tentang diriku. “Bencana apa ini? Bahkan perang gaib saat kami menyelamatkan Raja Indrajaya tak seberapa dibanding ini semua…” Tanya Panglima Brasma yang tak percaya melihat semua yang ada dihadapannya. “Mereka makhluk-makhluk terkutuk yang dibangkitkan oleh Trah Pakujagar. Sosok makhluk-makhluk yang seharusnya telah musnah di pertempuran di Padang Kurusetra,” Jelasku. “Pakujagar? Keturunan dari Prabu Jagarekso?” Ucap Panglima Brasma.

Aku penasaran dengan ucapan Panglima Brasma mengenai Prabu Jagarekso itu. Ia pun menjelaskan bahwa Prabu Jagarekso adalah sosok manusia yang telah menguasai ilmu keabadian. Walau abadi, tubuhnya akan tetap termakan oleh zaman sehingga ia akan harus mengambil tubuh keturunannya untuk terus hidup. Panglima Brasma bersama Daryana, Raja Indrajaya dan orang-orangnya sempat mengalahkan Prabu Jagarekso, namun ternyata Prabu Jagarekso masih mampu bertahan. Dengan bantuan suatu sosok yang berhubungan dengan Eyang Widarpa, gerbang antar dimensi pun kembali terbuka. Panglima Brasma mengorbankan dirinya untuk membawa Prabu Jagarekso kembali ke alam terkutuk. Ia menyangka akan kembali ke alam yang sempat dimana Raja Indrajaya terjebak sebelumnya, namun dugaannya salah. Ia justru terlempar ke alam ini. “Mungkin ada hubungannya dengan Prabu Junoyo yang membuka gerbang dimensi untuk menarik kekuatan. Salah satunya menghubungkan ke masa kalian,” Tebak Danan. Perbincangan itu membuat Panji dan Mbah Widjan bingung. Di mata mereka keberadaan Panglima Brasma benar-benar tidak masuk akal. “Danan jangan biarkan Prabu Jagarekso menguasai tubuh itu sepenuhnya. Bantu aku!” Ucap Panglima Brasma. Ia mencoba memperkuat pijakannya dan mengarahkan Tombaknya ke sosok yang masih menikmati keberhasilannya mendapatkan tubuh Prabu Junoyo itu. Aku mengerti maksudnya dan mengalirkan kekuatan batinku ke tombak Panglima Brasma. Kekuatan besar terhimpun bersama ajian yang dibacakan oleh Panglima Brasma. Tombak yang terlihat usang itu bersinar dan menyiratkan kekuatan biru yang menyala. “Biar kami membantumu..” Ucap Mbah Widjan. Saat itu Panji dan Mbah Widjan mengambil jarak dan membentuk kuda-kuda. Mereka mengambil ancang-ancang untuk memukul ujung belakang dari tombak milik Panglima Brasma itu. “Makhluk yang membawa kejahatan tak berhak mendapat tempat di alam manusia! Matilah!!” Teriak Panglima Brasma sembari melemparkan tombakknya itu. Bersamaan dengan itu, Mbah Widjan dan panji menambah dorongan tombak pusaka itu dengan memukul ujung belakang tombak itu dengan kekuatan mereka. Srasssh!! Sebuah tombak pusaka melesat membelah langit. Sosok mayat hidup bersayap api berusaha menghadang tombak itu, namun mereka semua musnah seketika dengan besarnya tenaga yang melesat bersama tombak itu. Tak sedikitpun tombak itu memalingkan arahnya. Ia meluncur tajam menuju sosok Prabu Jagarekso tanpa gentar. Trakkk!!!! Patah! Tombak pusaka yang diselimuti kekuatan itu patah begitu saja dan remuk sebelum sempat menyentuh Prabu Jagarekso. “Tidak mungkin…” Mbah Widjan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. “Tombakku salah satu pusaka kerajaan, tak mungkin hancur begitu saja…” Wajah Panglima Brasma terlihat pucat menyadari kenyataan itu. Tak berbeda jauh denganku, aku ingat bagaimana kekuatan tombak itu melawan sosok Buto Geni yang perkasa itu. Dan di hadapan mataku Sekarang, pusaka itu dipecundangi begitu saja. “Ia tidak menganggap kita sebagai ancaman,” ucap Panji.

“Benar, tapi meremehkan lawan adalah hal terbodoh di dalam perang,” Balas Panglima Brasma. Di tengah perbincangan kami tiba-tiba kekuatan besar dari arah Prabu Jagarekso memancar. Kekuatan itu benar-benar menekan kami hingga tak mampu untuk berdiri. “Kau tidak usah memperdulikan mereka, Jagarekso. Biar pengikut kita saja yang membereskan mereka,” Ucap Ratu Ranusedo. “Tidak! Aku sedang kesal. Aku harus membalas sendiri apa yang panglima sialan itu lakukan kepadaku sebelum sampai ke zaman ini!” Balas Prabu Jagarekso. Makhluk itu pun mulai menatap ke arah kami, tepatnya ke arah Mas Brasma. Aku pun berusaha berdiri di hadapannya dan mengambil posisi untuk melindunginya. Dharrrr!!! Kekuatan hitam dari Prabu Jagarekso kembali memancar, namun aku tetap tak ingin takluk pada setan terkutuk sepertinya. Aku membacakan ajian pada Keris Ragasukma hingga bilahnya menyala, Nyi Sendang Rangu mengalirkan kekuatannya padaku hingga aku bisa mengimbangi kekuatan yang menekanku, namun aku sadar bahwa Nyi Sendang Rangu tidak dalam kondisi prima. Sepertinya ia mengalami pertempuran yang sengit selama kepergianku. Dalam sekejap Prabu Jagarekso sudah berada di hadapan kami. Ia melangkahkan kakinya ke arah Panglima Brasma dengan kekuatan yang begitu mengancam. “Kau harus membayar atas penghinaan yang kau lakukan kepadaku!” Ucap Prabu Jagarekso. Aku pun tak membiarkan Prabu Jagarekso mendekat. Dengan segera aku menghujamkan Keris Ragasukma ke tubuh makhluk itu. “Takkan kubiarkan!” “Hati-hati, Danan!” Ucap Nyi Sendang Rangu. Trang!! Trangg!! Serangan kerisku berhasil mengenai tubuh Prabu Jagarekso. Berbagai serangan kudaratakan bertubi-tubi ke tubuhnya. Tapi, semua sia-sia… Kesaktian Keris Ragasukma yang dulu mampu menghabisi Ludruk topeng ireng dan dedemit mengerikan yang pernah kami hadapi kini tak ada apa-apanya di hadapan Prabu Jagarekso. Mbah Widjan, Panji, dan murit-murid mereka pun tidak tinggal diam. Mereka menyusul dengan mengerahkan berbagai serangan dengan pusaka mereka masing-masing. Namun hasilnya tetap sama, bahkan pusaka tombak Lembu Warok pun tak berkutik. Tanpa ada yang bisa menghalanginya, Prabu Jagarekso pun mencengkeram leher Panglima Brasma seolah sudah siap untuk meremukkan tulang-tulangnya. “Arrrgggh!!!” “Setelah kuhabisi kau, akan kuhabisi keturunan teman-temanmu yang berada di alam ini!” Ucap Prabu Jagarekso. Namun belum sempat menghabisi Panglima Brasma, Prabu Jagarekso terhenti. Ia merasakan kekuatan besar yang berada di belakangnya. Itu aku… Permata biru dari Keris Ragasukma menyala setelah kubacakan mantra. Tubuhku terbaring, namun rohku melayang dengan kekuatan yang membuat wujudku berubah. Rambutku memutih dan memanjang, kukuku meruncing, kekuatan hitam mengalir ke seluruh tubuhku. Sepertinya keberadaan wujudku ini mampu mengusik Prabu Jagarekso. “Aku mengingat kekuatan itu…” ucapnya.


Ia pun melempar Panglima Brasma dan berpaling ke arahku. “I—itu? Seperti Patih Widarpa?” seru Panglima Brasma. Sepertinya Panglima Brasma benar-benar mengenali kekuatan Eyang Widarpa. Entah berapa lama aku bisa mempertahankan kesadaranku dalam wujud ini. Ajian segoro demit milik eyang yang dapat kupinjam dengan permata biru itu bisa merenggut kesadaranku kapan saja. “Danan! Jangan gegabah!” Nyi Sendang Rangu mengingatkan. Tapi aku tak punya pilihan, Prabu Jagarekso bisa membunuh kami kapan saja. “Jauhkan yang lain dariku, Nyi..” Pintaku pada Nyi Sendang Rangu. Ia mengangguk merasa tak ada pilihan lain. Ia pun melebarkan selendangnya dan mengarahkan Mbah Widjan, Panglima Brasma, dan yang lain menjauh dariku. Tepat saat aku menutup mata, tubuhku memaksaku untuk bergerak melesat menyerang segala makhluk yang ada di sekitarku. Dalam sekejap darah dari setan-setan yang dibangkitkan oleh Trah pakujagar itu telah membasahi bilah kerisku. Tiba saat amukan ini melesat ke tubuh Prabu Jagarekso. Kali ini ia tidak meremehkan seranganku. Ia menghindar dengan cepat dan menangkis bilah kerisku dengan telapak-telapak tangannya yang begitu keras. “Lebih dalam…” ucapku sambil terus menyelam merasuk mengorbankan kesadaran ku untuk serangan ini. Sengit! Begitu sengit pertarungan yang terjadi diantara kami. “Bagaimana kau bisa mendapatkan kekuatan seperti ini?!” Teriak Prabu Jagarekso. Aku tak menjawab, tepatnya aku tak bisa menjawab. Sebaliknya, seranganku semakin tajam dan menembus pertahanan Prabu Jagarekso. Bilah kerisku pun menyentuh tubuhnya, namun tetap saja Keris Ragasukma tak mampu menembusnya. Namun ajian ini terus memaksaku menyerangnya bertubi-tubi ke titik yang sama hingga sebuah luka terbentuk di dadanya. Bruakkk!!! Sebuah pukulan mementalkan ku. “Aku? Terluka?” Prabu Jagarekso tidak percaya dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Aku yang sudah termakan emosi dari Ajian Segoro Demit pun melesat kembali membalas pukulan itu, namun kali ini Prabu Jagarekso mulai terlihat serius. “Kau berbahaya jika dibiarkan hidup!” Bruakkk!!! Trang!!! Kali ini Prabu Jagarekso menyerangku bertubi-tubi. Tubuhku yang dikuasai kekuatan ajian segoro demit pun menahan setiap serangannya dengan refleks. Sayangnya walau aku bisa menebak serangannya, tenaganya terlalu kuat hingga membuat tubuhku menjadi bulan-bulanannya. “Sudah Danan! Sudah!!” Teriak Panglima Brasma. Ada alasanku tidak bisa berhenti. Yang pertama karena ajian segoro demit ini mulai mengambil alih kesadaranku, dan yang terpenting jika pun aku bisa berhenti, Panglima Brasma dan yang lain akan menjadi sasaran Prabu Jagarekso. Bruaaagh!! Sekali lagi tubuhku terpental, namun walaupun dengan banyaknya tulang yang retak di tubuhku, aku tetap berdiri dengan aliran kekuatan yang meluap menyangga tubuhku.

“Arrgggh!!! Pergi Danan!” Teriak Mbah Widjan yang meninggalkan posisinya bersama Panji untuk menolongku. “Ja—jangan…” aku mencoba menahan mereka untuk mendekat. Biar bagaimanapun tidak ada satupun dari mereka yang bisa menahan serangan Prabu Jagarekso, namun mereka tidak menggubrisnya. “Sudah Mas Danan! sudah!” Teriak Panji. Sraatttt! Selendang Nyi Sendang Rangu melebar dan menghalangi mereka semua. “Lepaskan Nyi! Danan bisa mati!” Teriak Panji yang menyaksikan tubuhku semakin hancur dengan setiap serangan yang menghantamku. Di sisi lain, Arsa sudah menggenggam wayangnya dengan wajah penuh amarah, namun genggaman tangannya pun tertahan oleh selendang Nyi Sendang Rangu. “Nyi!!” Teriak Arsa. Ia tidak mengerti mengapa Nyi Sendang Rangu bersikeras menahan mereka. Namun aku memuji keteguhan Nyi Sendang Rangu. Entah berapa kali lagi tubuh ini bisa menerima serangan makhluk itu, namun kami sama-sama tahu dengan jelas bahwa mereka akan mati begitu sekali saja terkena hantaman Prabu Jagarekso. Ternyata memang tak lama… Bruggh!! Aku terjatuh, tubuhku terkulai di tanah dengan luka yang tak terhitung. Wajah Nyi Sendang Rangu menitikkan air mata dan menahan emosinya. “Jika kau habisi anak itu, maka aku akan melakukan apapun untuk membunuhmu..” Ancam Nyi Sendang Rangu dengan tubuh yang bergetar dan kekuatan yang meluap-luap. “Kau tidak mengira aku akan takut kan?” Ucap Prabu Jagarekso tanpa menoleh pada Nyi Sendang Rangu sedikitpun. ***

PENDEKAR JAGAD SEGORO DEMIT Suara teriakan setan-setan di sekitarku memekakan telingaku. Mereka bersorak melihat Prabu Jagarekso mengangkat tangannya yang dihiasi dengan kuku-kuku yang tajam. Kekuatan hitam mengalir di cengkeramannya. Tak ada kesempatan untukku menahan serangan itu, bahkan ajian segoro demit pun meninggalkan tubuhku bersama wujud yang selama ini menjadi perisaiku. Sepertinya aku harus menerima saat ini sebagai akhir hidupku. Bhuaagghh!!! Sebuah pukulan pun menghantam.. Aneh, tak terjadi apapun padaku. Sebaliknya terdengar suara nafas yang berat dan suara menggeram. “Tangan terkutukmu tak pantas menyentuh Danan!” Di tengah hidup dan matiku tiba-tiba kabut putih menyelimuti desa kandimaya. Bayangan seekor kera raksasa terpantul di kabut itu. Bersama seorang pemuda yang menahan pukulan Prabu Jagarekso dengan satu tangannya. Itu Cahyo.. ia menyatu dengan Wanasura. Bukan seperti biasanya, kekuatannya meluap-luap penuh dengan amarah. “Kamu terlalu nekad, Nan! tubuhmu hancur. Dengan luka seperti ini Keris Sukmageni pun tak bisa memulihkanmu sepenuhnya..” Terdengar suara pakle bersama tetesan api yang merasuk ke tubuhku. Perlahan tapi pasti, kekuatan api putih dari Keris Sukmageni memulihkan tubuhku secara perlahan. Tapi benar ucapan Paklek, rasa sakit masih tersisa. Walau begitu setidaknya aku masih bersyukur diberi kesempatan untuk hidup. “Kurang ajar!!” Prabu Jagarekso Geram. Ia menarik tangannya dan bersiap menghantam Cahyo dengan kekuatan yang mematikan. Cahyo tahu bahwa ia tidak bisa menahan serangan itu begitu saja dan memilih untuk melompat dan membantuku untuk berdiri dan mundur. “Hahaha! Terlambat sedikit kamu harus cariin kain kafan, Jul!” Ucapku pada Cahyo. “Nggak lucu! Kalau mau bercanda cari guyonan lain!” Balas Cahyo. Kami pun berlari menghampiri Nyi Sendang Rangu dan yang lain. Paklek dan Cahyo kaget melihat keberadaan Panglima Brasma. “Kalian pasti Paklek dan Cahyo?” Tanya Panglima Brasma.

“Kok bisa?” Tanya Cahyo yang terlihat bingung. “Panglima Brasma mengorbankan dirinya untuk membawa Prabu Jagarekso ke dimensi terkutuk bersama dirinya, tapi ilmu Prabu Junoyo justru membuat leluhur Pakujagar itu terbawa ke alam ini bersama Panglima Brasma,” Jelasku. Menyadari keberadaan Cahyo yang tidak bisa diremehkan, Prabu Jagarekso menoleh ke arah kami dan memutuskan untuk menghabisi kami. “Jangan mengotori tubuhmu dengan darah makhluk rendah seperti mereka…” Ucap Ratu Tanusedo. Ia pun melesat dengan berbagai makhluk yang beterbangan mengikuti sosoknya. Tapi saat itu tiba-tiba Nyi Sendang Rangu juga melesat dan menghadang Ratu Trah Pakujagar itu. “Oh.. kukira kau hanya akan menjadi pengecut di sana,” ucap Ratu Tanusedo. “Aku hanya gentar dengan Jagarekso, bukan kepadamu!” Balas Nyi Sendang Rangu. Mendengar ucapan itu Ratu Tanusedo merasa terhina. Ia memerintahkan raksasa-raksasa di belakangnya untuk menghancurkan tempat ini. “Habisi!” Nyi Dursada dan sosok raksasa yang terselimuti api mulai bergerak dan melangkah menghancurkan rumah rumah kayu di desa Kandimaya ke arah kami. Aku sedikit tidak asing dengan sosok raksasa yang terselimuti api itu. Wujudnya sekilas menyerupai Buto Geni yang sempat kami lawan saat menolong Panglima Brasma di zaman kerajaan Indrajaya. Dan sosok raksesi wanita bernama Nyi Dursada itu, kekuatannya terasa begitu mengerikan. Terlebih pusaka-pusaka ia kenakan bukanlah benda yang biasa. Mereka berdua tidak seperti raksasa-raksasa yang pernah kami lawan.


“Nan, masih kuat kan?” Tanya Cahyo. “Mau bilang nggak kuat juga kamu nggak bakal terima kan?” Balasku. “Jelas..” Tapi belum sempat mereka mencapai kami, tiba-tiba sebuah benda yang begitu besar jatuh menghadang mereka dari arah bukit batu. Benda itu bergerak dan suara tawa yang cukup berat dan aneh terdengar dari arahnya. “Ghighighighig… ghi..” suara itu terdengar dari sosok yang menggendong sebuah kendi dan berusaha untuk berdiri itu. “Buto Kendil!” Aku cukup senang melihat sosok sang penjaga bukit batu, penerus Buto Lireng itu. Ia menoleh padaku sambil tertawa tanpa peduli kedua raksasa yang mendekat ke arahnya. Yah.. dia memang bukan raksasa petarung seperti Buto Lireng. Namun aku mulai takjub ketika ia memutar mutar kendilnya dan mengeluarkan batu-batu yang membesar setelah keluar dari kendi di punggungnya itu. Kedua batu itu menimpa Buto Geni dan Nyi Dursada hingga mereka kesulitan untuk berdiri. “Buto Kendil! Kemari!!” Teriakku yang membuatnya segera berlari menjauh dari kedua raksasa itu. Tanah bergetar dengan gerakannya, namun kami pun takkan membiarkannya bertarung sendiri. Ratu Tanusedo semakin geram, ia memerintahkan pasukan-pasukan demitnya untuk menyerang kami. Saat itu seketika bola api besar terbang di langit menghantam setan berwujud gumpalan tubuh manusia pengikut Ratu Tanusedo. Tak hanya itu, sosok Ki Maesa Ombo, Mbah Jiwo, Guntur, Dirga, dan Nyai Jambrong muncul dari kabut itu secara serentak. Tubuh mereka penuh dengan bekas luka. “Maaf kami terlambat..” Mbok Sar tiba-tiba muncul dari balik kabut di dekatku. Disusul Mas Jagad yang juga terlihat kelelahan membawa mereka semua ke desa ini. Tak hanya mereka bahkan tawa nyai kunti dan, aura keberadaan pusaka Linus juga terasa di dekat kami. “Berapa banyak yang kau bawa?” Tanyaku pada mas Jagad. “Sebanyak yang kubisa..” ucapnya sambil terengah-engah. Kini aku melihat sedikit harapan… Ratu Tanusedo menghampiri Prabu Jagarekso tak menyangka dengan apa yang mereka lihat. Namun mereka tidak gentar. Ia mengumpulkan raksasa, siluman, dan seluruh pasukan setan di belakangnya seolah menunjukkan seberapa mengerikannya kekuatan mereka. Namun kami pun tak gentar. Pendekar Jagad Segoro Demit sudah berkumpul di Desa Kandimaya. Kami pernah mengalahkan setan-setan dari kerajaan demit di Setra Gandamayit. Maka seharusnya tidak ada yang mustahil di pertarungan kali ini. “Mas Linus, sepertinya aku membutuhkan pusakamu,” ucap Cahyo. “Kau yakin akan menggunakan ‘itu’ lagi?” Tanya Linus yang tiba-tiba tubuhnya diambil alih oleh kesadaran itu. “Mungkin akan kulakukan jika terdesak. Aku memilih bertaruh menenangkan Wanasura dibanding harus mati di tangan setan itu,” Balas Cahyo. Mas Linus pun menyerahkan pusakanya pada Cahyo. Ia bersama Mas Linggar mengambil posisi yang aman sambil memantau pergerakan Nyai Kunti yang sepertinya sudah tidak sabar untuk mengamuk. “Hahahaha! Ternyata alam ini tidak membosankan! Habisi mereka, Ratuku!”

“Baik Prabu! Kau hanya perlu menyaksikan kematian mereka!” Balas Ratu Tanusedo. Bahkan walau dengan semua dari kami pun Prabu Jagarekso masih meremehkan kami? Ia melayang meninggalkan medan perang dan menonton kami dari kejauhan. Ia benar-benar tidak menganggap kekuatan kami sebagai ancaman untuknya. Sialnya, mungkin saja perkiraanya benar. “Jangan biarkan seorangpun hidup!” Perintah Ratu Tanusedo. Gumpalan bagian tubuh manusia melayang dengan koBaran api melesat mengikuti perintah Ratu Tanusedo ke arah kami. “Mayat-mayat mereka harus menjadi milikku!” Teriak salah satu wajah di gumpalan itu. “Itu, Badalungan! Aku dan Daryana pernah mengalahkannya. Tapi ia tidak sebesar itu!” Ucap Panglima Brasma. “Makhluk seperti itu akan terus ada selama masih banyak korban perang yang mati dengan tidak tenang,” Jelas Arsa. Saat itu Arsa mengibaskan wayangnya hingga bayangan seekor garuda besar menerjang makhluk bernama Badalungan itu. Kekuatan kedua makhluk itu pun beradu, namun Arsa sendiri tahu bahwa sosok garuda yang melawan Badalungan itu tidak cukup untuk mengalahkannya. Ia pun bersiap mengibaskan sebuah wayang lagi, namun sebelum sempat melakukannya, tiba-tiba seseorang tiba dan mengibaskan wayang hingga memunculkan wujud kera raksasa berwarna hitam. “Jogorawu?” Aku menoleh dan mendapati pemuda bertopeng hitam yang tiba dan bertarung di sisi kami. “Jadi kau sudah memutuskan dimana kau berpihak, Bara?” Tanya Cahyo menyambut sosok itu. Aku tidak begitu mengerti dengan apa yang terjadi diantara mereka, namun pemuda bertopeng yang dipanggil dengan nama Bara itu tak menjawab dan menaiki Jogorawu. “Kita selesaikan dulu pertarungan ini!” Ucapnya sambil menerjang sosok Badalungan itu bersama Jogorawu yang ia naiki. Sosok Jogorawu dan Garuda itu menghantam Badalungan dan menahannya untuk mendekat ke arah kami. Tapi saat itu anehnya Ratu Tanusedo justru tersenyum melihat Bara. “Kau sudah mengambil keputusan bodoh!” ucap Ratu Tanusedo. Saat itu matanya menoleh ke arah Jogorawu dan seketika juga kera hitam raksasa itu mengambil tubuh Bara dari punggungnya dan membantingnya ke tanah. “Ohhooek!!!” Bara terbanting dengan darah bermuncratan dari mulutnya. Topengnya pecah dan terlepas begitu saja. “Bara!” Cahyo berlari menghampirinya dan aku melesatkan ajian lebur saketi yang segera menghantam Jogorawu menjauh. Di tengah keributan itu Nyai Jambrong bersama Guntur dan Dirga melesat menghindari setan-setan itu menuju ke Prabu Jagarekso. “Jangan! Dia terlalu kuat! Pusaka Panglima Brasma pun tak mampu menyentuhnya!” Aku memperingatkan mereka. “Tenang, kami tidak gegabah. Bocah ini masih memiliki urusan dengan setan itu!” Ucap Nyai Jambrong yang mengarahkan Dirga. Entah apa rencana mereka, tapi mengetahui Nyai Jambrong bersama Dirga dan Guntur, mungkin aku bisa mempercayakan keputusan mereka.

Benar saja, dengan dorongan tenaga dari Nyai Jambrong, jurus guntur mengalirkan kilat pada pukulan yang ia lancarkan pada Prabu Jagarekso, dan pecahan keris dasasukma Dirga melesat menggores wajah makhluk yang mengaku abadi itu. Sepertinya mereka bertiga memiliki rencana. “Keris Dasasukma…” Prabu Jagarekso mengambil keris serupa dari pinggangnya dan mencabutnya. “Sepertinya kalian bisa menjadi korbanku mencoba keris yang direbut oleh keturunanku ini..” Hal yang mengagetkan justru terjadi saat aku berbalik. Trakkk!! Topeng, Bara pecah. Cahyo membantu Bara untuk berdiri, dan aku melihat jelas siapa wajah dibalik topeng hitam yang pecah itu selama ini. “Cahyo? Itu wajah Cahyo! Kenapa kalian begitu mirip?” Tanyaku. Berbeda dengan Paklek, ia tidak menyangkanya namun ia seolah merasakan mengenai hal ini. “Pengkhianat!!” Teriak Bara kepada Jogorawu dan kembali mengibaskan wayangnya. Saat itu Jogorawu mengaum seolah tidak peduli dengan Bara yang selama ini bersama dengannya. “Jogorawu terlahir dari kekuatan hitam, tentu saja ia menyadari siapa sekutu sebenarnya,” Ucap Ratu Tanusedo tersenyum begitu mendapatkan kesetiaan Jogorawu. Seolah ingin membuktikan kesetiaannya, Jogorawu pun menghantamkan pukulan nya sekuat tenaga ke arah Bara. Namun Cahyo berdiri dan berlari ke arah Jogorawu. “Tanpa Bara kau sudah musnah sejak dulul!” Ucap Cahyo yang meminjam kekuatan Wanasura dengan melompat melalui atap rumah dan menghantamkan pukulan tepat di dahi Jogorawu. Bruakk!!! “Wanasura! Sekali lagi!” Teriak Cahyo. Kali ini Cahyo menggabungkan kedua tangannya dan membanting kepalannya ke tubuh Jogorawu. Dhummm!!! Kera raksasa hitam itu terjatuh terbanting dengan serangan Cahyo hingga tanah di desa Kandimaya bergetar. Jogorawu mencoba untuk berdiri, namun serangan Cahyo membuatnya tak berkutik. “Kau bukan bagian dari peperangan ini!” Cahyo berpaling meninggalkan sosok kera hitam yang perlahan kehilangan daya hidupnya itu. Ia ingin kembali berdiri dengan menyerap kekuatan dari Ratu Tanusedo, namun ia gagal. Tanpa pondasi jiwa dari inangnya, Bara. Ia tak bisa bertahan di alam ini. “Semudah itu?” Bara heran melihat kejadian di hadapannya. “Kenapa tidak kau lakukan saat melawanku?” “Wanasura kutemukan saat kondisi mengamuk dan dikuasai amarah, aku sempat berharap Jogorawu mungkin bisa berubah seperti Wanasura saat memiliki kawan,” Balas Cahyo sambil mengulurkan tangannya pada Bara, namun Bara menampik tangan Cahyo dan berusaha berdiri dengan usahanya sendiri. “Lalu apa? Sekarang tanpa Jogorawu kalian pasti menganggapku sebagai pecundang kan?!” Seru Bara. “Pecundang?” Aku melangkah dan mengambil posisi bertarung menggantikan Bara. “Tidak mungkin kami mengeluarkan kata itu pada seseorang yang membuang segalanya demi mencari kebenaran,” Kali ini Cahyo mengikat sarungnya erat-erat. Pertarungan sebenarnya baru akan dimulai. “Sepertinya tidak ada gunanya lagi aku di tempat ini,” ucap Bara. “Ingatlah lagi perjalanan yang telah kau lakukan. Pasti ada rencana Tuhan yang bisa kau pegang saat kau kembali ke jalan-Nya. Lagipula biar bagaimanapun, kau tetaplah Cahyo,” Ucapku. Aku menoleh pada Cahyo sejenak, ia mengangguk sebagai pertanda untuk kami melesat lagi ke medan perang. …
“Wanasura!!” Teriakan Cahyo beradu dengan raungan kera raksasa yang bersemayam pada diri nya. Pukulan yang memusnahkan Jogorawu itu menghantam Badalungan hingga sebagian tubuhnya tercerai berai. Sayangnya itu bukan masalah besar untuk makhluk itu, justru sebaliknya anggota tubuh korban-korban yang menggumpal itu menarik lengan Cahyo seolah memaksanya menjadi bagian dari dirinya. “Jangan bercanda!” Cahyo meronta dan melepaskan cengkeraman-cengkeraman itu. Dari beberapa sisi aku melemparkan kilatan-kilatan Keris Ragasukma menembus wujud itu. Aku yakin pasti sosok itu menyembunyikan kelemahannya di balik gumpalan daging manusia itu. “Tak ada ceritanya seorang manusia bisa mengalahkan dewa seperti kami!” teriak wajah wanita di antara tubuh Badalungan itu. “Dewa? Kasihan mereka kalau disamakan dengan gumpalan bangkai sepertimu!” Balas Cahyo. Sayangnya serangan kami berikutnya tertahan dengan wujud badalungan yang semakin memanas. “Awas! Menjauh!” Panglima Brasma berteriak dari jauh seolah mengetahui pola serangan ini. Dharrr!! Sebagian tubuh Badalungan meledak dan menyebabkan hujan daging dan anggota tubuh di tempat ini. kami sempat menghindar setelah peringatan Panglima Brasma. “Menjauh dari bagian tubuh itu!!” Teriak Panglima Brasma. Benar saja.. bagian tubuh yang menghujani Desa Kandimaya tiba-tiba bergerak dan merayap mengikuti kami. “Sial! Ini menjijikan,” Ucapku. Aku menoleh kembali ke makhluk itu dan melihat ia kembali mengumpulkan bagian tubuh dari mayat-mayat hidup yang sudah dikalahkan oleh Panji dan yang lain. “Gila! Dia mau sebesar apa?!” Cahyo takjub. “Nggak peduli sebesar apa, kita cari dan serang tubuh utamanya! Posisnya Pasti terlindungi daging-daging itu!” Balasku. “Lha itu bagianmu, Nan! Pokoknya kuhajar terus sampai kamu bisa nemuin titik lemahnya!” “Asem kowe, Jul!” Cahyo kembali melompat dan menyerang Badalungan yang semakin membesar itu. Berbagai bagian dirinya terpencar-pencar oleh serangan Cahyo. Kali ini aku memilih untuk diam dan memperhatikan dengan seksama. “Tubuh utama badalungan adalah api, seharusnya bagian terpanasnya adalah titik lemahnya,” Ucap Panglima Brasma mencoba memberi petunjuk. “Panas?” Petunjuk Panglima Brasma membuat ini menjadi semakin mudah. “Jul! Cari bagian api yang paling panas!” Teriakku. “Heh! Arep gawe aku kobong?! Balas Cahyo. “Mau makan sate nggak habis ini?”


“Hah?!” Cahyo melihat daging-daging manusia yang terbakar di hadapannya itu. “Ngawur kamu! Nggak waras kamu, Nan!” “Hahaha!! Yang nyuruh makan daging itu siapa?!” Cahyo menggeleng namun ia tetap mengikuti petunjukku melompat dari atap ke atap mencari sisi terpanas dari makhluk itu. Tak membutuhkan waktu lama sampai Cahyo menghantamkan seranganya dan mencerai beraikan daging yang menggumpal di sisi Badalungan itu. Aku yang menyadari pertanda itu segera mengambil posisi dengan Keris Ragasukmaku. “Titip tubuhku sebentar, Panglima!” ucapku. Rohku melesat secepat mungkin dengan kekuatan putih yang menyala-nyala. Aliran kilatan Keris Ragasukma menyelimuti rohku hingga berubah menjadi kilatan putih yang menembus bagian sisi gumpalan daging raksasa itu. Panas.. memang panas. Api yang membara tetap menyelimuti bagian dalam dari tubuh badalungan itu. namun Cahyo benar, ada bagian seukuran manusia yang berwujud api, dan jalur yang kulewati adalah jalur terdekat menuju inti itu. Srasssshhh!!!!! Aku mengoyak perwujudan roh api itu hingga menembus keluar dari tubuh menjijikkan itu. “Berhasil?” Tanya Cahyo dari atas atap sementara aku masih melayang memastikan apa yang terjadi. Deg… deg… Suara degupan keras terdengar dari dalam tubuh Badalungan itu. Firasatku benar-benar tidak baik saat itu. Entah mengapa Prabu Jagarekso yang tengah meladeni Nyai Jambrong, Guntur, dan Dirga melemparkan perhatiannya pada kejadian ini. “Danan, Cahyo! Lari!!” Perintah Paklek yang tengah sibuk mengobarkan geni Baralokanya di antara mayat-mayat hidup itu. Entah apa yang ia lakukan, terlihat kobaran api itu seolah membentuk formasi. Ia seperti sudah bersiap untuk saat ini.

Aku menyingkirkan rasa penasaranku dulu dan memutuskan mengikuti perintah Paklek dan mengajak Cahyo dan Panglima Brasma menjauh dari gumpalan itu. “Tidak!! Tidak mungkin! Tubuhku!!” Puluhan wajah di tubuh Badalungan itu berteriak kesakitan dengan suara yang mengerikan. Suara degupan keras itu semakin cepat terdengar. “Arrrggg sial!!! Sembunyi!!” Tepat setelah melewati beberapa tikungan, kami bersembunyi di belakang rumah-rumah kayu dan suara ledakkan terdengar bersama hawa panas yang mengalir. Dharrrrr!!! Ini menjijikkan! Ledakan badalungan itu menghujani desa Kandimaya dengan jasad-jasad bagian tubuh manusia yang telah hangus. Semua bersembunyi, bahkan setan-setan dan Ratu Tanusedo juga menutupi tubuhnya dari ledakkan itu. Kecuali Paklek dan Mbah Jiwo. Jagad pun memaksakan diri berlari ke arah mereka. Mereka berada diantara formasi api yang Paklek buat dan saat itu Keris Sukmageni bersinar dengan warna yang aneh. … Jagad lelembut boten nduwe wujud Kulo nimbali Surga loka surga khayangan Ketuh mulih sampun nampani Tekan Asa Tekan Sedanten… Paklek? Paklek membacakan mantra Jagad lelembut? Bahkan Keris Sukmageni bereaksi dan bergetar hebat di tangannya. Tapi Paklek tidak selesai disitu… ...Sambungke rong alam kasebut jatining manusa sejatining urip pungkur lan mengso iso nyawiji... Tak disangka ledakan tubuh Badalungan membentuk sebuah pusaran hitam besar di langit yang mengeluarkan berbagai macam suara riuh. Api di sekitar Paklek menyala dan mati membentuk sebuah putaran bagai jam yang menunjukkan perpindahan waktu. Api itu melayang mengitari gelombang hitam dari ledakkan badalungan seolah mengendalikannya. “Paklek! Paklek ngapain?” Tanya Cahyo heran. “Bersiap! Kita akan ke medan perang yang sesungguhnya!” ucap Paklek. BERSAMBUNG

Terima kasih sudah membaca part 9 hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung dan atas keterlambatan updatenya.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close