Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 10 END) - Legenda tentang masa depan


Aku cukup bingung, namun Nyi Sendang Rangu melesat ke arahku. “Ada sebuah gua yang dindingnya terukir ramalan tentang bencana ini. Sepertinya Paklek sudah mendapatkan petunjuk untuk menuntaskan pertarungan ini..” Jelas Nyi Sendang Rangu. Ramalan? Itu bukan sebuah hal yang akan dipercaya olehku atau Paklek. Tapi aku yakin Paklek bisa menyaring sesuatu yang benar dari petunjuk itu. “Apa yang kau lakukan?” Teriak Ratu Tanusedo yang menyadari api-api kecil menyala di bagian tubuhnya tanpa bisa dipadamkan. “KKKKAAAAUU!!!!” Prabu Jagarekso terlihat geram. Ia menyadari bahwa sebuah portal dimensi terbuka dari ledakan Badalungan. Sepertinya Paklek memanfaatkan itu untuk memindahkan kami semua ke sebuah tempat. Prabu Jagarekso berusaha memadamkan api kecil di tubuhnya yang tak bisa dipadamkan. Api itu juga ada di tubuh kami seolah menyambungkan kami semua dengan mantra Paklek. “Sekarang, Jagad!” Perintah Paklek. Jagad menyentuh tubuh Paklek dan Mbah Jiwo dan menggunakan ajian lintas Jagat miliknya. Kabut putih menyelimuti kami semua. “Mas Jagad!!” Dirga khawatir melihat Jagad yang mulai memuntahkan darah. Sepertinya tempat kami berpindah bukanlah tempat biasa. Nyi Sendang Rangu menyelimuti mereka bertiga dengan selendangnya dan menggabungkan kekuatannya dalam ritual itu. “Sial.. masih belum cukup..!” keluh Mbah Jiwo. Sosok Rangda melayang di atas mereka bertiga, Bli Waja ikut memberikan kekuatannya tapi sia-sia. Membawa begitu banyak makhluk ke dalam gelombang itu bukan hal yang masuk akal. Prabu Jagarekso tersenyum melihatnya. Ia yakin bahwa yang Paklek lakukan hanya menghancurkan dirinya sendiri. Namun kali ini ia tidak ingin meremehkan kami lagi. Ia pun menghardik anak buahnya dan mengincar Paklek. Tapi sebelum itu terjadi tiba-tiba terdengar suara dentuman dari jauh. Tak lama kemudian terdengar juga suara kereta kencana dari arah yang berbeda. Kami merasakan keberadaan sosok besar mendekat ke arah kami. Hal itu seketika membuat Prabu Jagarekso cemas. “KALIAN? Kalian tidak diizinkan untuk mencampuri urusan manusia dan kami!” Tahan Prabu Jagarekso. … “Tenang saja.. aku tidak akan mencampuri pertarungan kalian..” Terdengar suara perempuan yang anggun dari kereta kencana yang tertutup kabut laut itu. “Tidak mencampuri bukan berarti membiarkan tanah ini hancur oleh pertarungan kalian..” Kali ini suara itu terdengar sosok raksasa yang mendekat dari arah gunung Merapi. Tak ada yang melihat wujudnya dengan jelas, namun sebuah kekuatan mengalir ke formasi ritual Paklek dan membuat gelombang energi itu menyedot kami semua. “Waktu kalian hanya satu malam. Gunakan sebaik-baiknya,” ucap sosok di dalam kereta kencana itu. Saat itu pertama kalinya aku melihat Nyi Sendang Rangu begitu hormat pada satu sosok. Ia hanya menunduk saat menghadap ke sosok itu. “Kutitipkan mereka, Rahayu…” Ucap sosok itu dan dibalas dengan anggukan hormat oleh Nyi Sendang Rangu.

Seketika kami semua kehilangan keseimbangan. Sebuah pusaran besar mengangkat kami ke medan energi yang kuat. Api Paklek menjaga keberadaan kami, dan kabut Mas Jagad membuat kami melintas dengan getaran yang masih mampu kami hadapi. Sialnya itu saja tidak cukup… Setan-setan yang memiliki kemampuan untuk melayang mencari kesempatan untuk menghabisi kami di tengah gelombang ini. Aku pun memisahkan rohku dan menghadapi mereka bersama Nyi Sendang Rangu dan Bli Waja. “Jangan lengah! Jaga kesadaran kalian!” Teriak Paklek. Sementara itu Prabu Jagarekso yang kesal melayang sambil menyemburkan bola api hitam yang begitu panas dari mulutnya kepada kami. “Sial! Banyak yang tidak bisa menghindar!” Keluh Cahyo. Nyi Sendang Rangu mencoba menahannya, namun kekuatannya terlalu kuat. Tapi sebelum ia terpental sesuatu menangkapnya. Seketika itu juga semua berubah menjadi gelap tanpa kami mengerti apa yang terjadi. … “Ghighighi…”Suara itu terdengar. Aku menyadari bahwa bahwa Cahyo dan yang lain berada di tempat yang sama denganku. Dan suara itu.. “Ini perbuatan Buto Kendil?” Tanya Guntur. “Benar, tertawanya itu nggak ada yang bisa ngegantiin,” Jawab Dirga. Benar ucapan mereka. Saat ini di luar sana Buto Kendil pasti sedan berjuang menghadapi gelombang ini dan serangan setan-setan itu. Bahkan dari dalam guci ini pun terdengar suara-suara serangan-serangan yang menghujam ke tubuh Buto Kendil.


PADANG KURUSETRA Guncangan yang besar terjadi berkali-kali hingga akhirnya terhenti. Buto Kendil mengeluarkan kami di sebuah tempat yang penuh dengan teriakan dan suara senjata yang beradu. Ajian, kutuk, darah, dan makhluk-makhluk yang tak masuk akal terpampang tak jauh dari hadapan kami. Aku menyingkirkan rasa penasaranku sejenak dan khawatir dengan keadaan Buto Kendil. Ia tak hanya melindungi kami. Ia pun berhasil membawa kami ke tempat yang aman. “Buto Kendil! Bagaimana keadaanmu?” Tanyaku menaiki tubuh yang terbaring jatuh dan setengah tenggelam di dalam pasir itu. Tubuhnya begitu lemah, luka-luka pun terlihat di bagian-bagian tubuhnya. Ada luka bakar besar di bahunya yang aku yakin membuatnya tersiksa. “Ghi…ghi… ghi….”


Suara itu terdengar dari tubuh yang terbaring itu. Dalam keadaan seperti ini Buto Kendil masih berusaha untuk membalas ucapanku. “Buto Kendil sudah melakukan tugasnya, biarkan dia memulihkan dirinya dulu..” Ucap Nyi Sendang Rangu. Paklek menghampiri Buto Kendil dan berusaha memberikan apinya untuk memulihkan luka-luka itu. “Apiku akan memulihkannya, tapi Buto Kendil bangsa raksasa. Butuh waktu yang lama sampai ia bisa bergerak lagi..” Ucap Paklek. Aku dan Nyi Sendang Rangu mengangguk mengerti, namun yang lebih penting kami semua menghampiri Paklek mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. “Tempat ini terlalu mengerikan…” Mbok Sar membawa mangkuk berisi air di tangannya dan melihat berbagai kejadian di pantulan air itu. “Benar, Mbok. Kita sedang berada di tempat dimana seharusnya perang ini terjadi. Maaf aku tidak sempat menceritakan semuanya,” Balas Paklek. Paklek menceritakan bahwa ia mendapat petunjuk tentang sebuah gua yang menuliskan berbagai kisah setelah perang Baratayudha. Ujung dari tulisan itu adalah kejadian tentang bangkitnya bencana dari sisa-sisa peperangan itu. Kisah itu memiliki dua cabang. Yang pertama tentang berjayanya trah pakujagar yang akhirnya membangkitkan bangsa terkutuk dari padang Kurusetra. Mereka berhasil menaklukkan para penjaga tanah jawa hingga menggeser kedudukan sosok-sosok besar yang menyeimbangkan alam ini. Kala itu setan-setan Pakujagar mempengaruhi manusia hingga manusia sulit membedakan mana yang baik dan buruk. Zinah menjadi hal yang lumrah, nyawa seolah tak berharga dibandingkan dengan harta dan kekuasaan, dan kejadian yang menumbalkan ratusan nyawa terjadi dengan kedok bencana. Agama dan kepercayaan hanya menjadi cemoohan. Namun Paklek melihat kemungkinan yang kedua. Itu adalah kemungkinan yang terjadi ketika orang-orang yang memiliki karomah dan menggunakanya di jalan yang benar berkumpul menghadapi Trah Pakujagar namun kekuatan dari satu zaman saja tidak cukup. Kami membutuhkan keberadaan pendekar-pendekar dari berbagai zaman dan semesta. Dan semua itu hanya bisa kita dapatkan di tempat ini. “Aku tidak pernah menyangka bahwa perang Baratayuda benar-benar pernah terjadi,” ucap Cahyo takjub. “Mungkin tidak di semesta kita, tapi kita tidak pernah tahu apa yang ada di semesta lain,” Balas Paklek. Paklek melanjutkan ceritanya, sama seperti Cahyo bahwa sulit baginya untuk mempercayai bahwa perang Baratayuda benar pernah terjadi, terlebih orang-orang dari zaman dan semesta yang berbeda. “tulisan itu juga mengatakan bahwa wajar bila siapapun yang membaca tulisan itu akan ragu, tapi saat manusia dari masa lalu dan dari semesta yang berbeda muncul maka seharusnya tidak ada keraguan lagi…” Mendengar itu aku dan Cahyo secara bersamaan menoleh ke dua roan. “Panglima Brasma…” Gumamku. “Dan Bara.. Aku dari semesta yang berbeda.” Tambah Cahyo. Aku mulai mengerti arti perjalananku ke masa lalu bersama Paklek dan Cahyo. Semua ini bukan tentang hanya menolong Panglima Brasma dan Raja Indrajaya. Seandainya kami tidak mengalami itu, mungkin kami tidak akan percaya bahwa Panglima Brasma adalah manusia dari masa lalu.


“Paklek masih tidak mudah percaya walaupun membaca tulisan itu, mungkin saja tulisan itu adalah tipu daya. Tapi tulisan terakhir tentang siapa yang mengukir itu membuat Paklek memilih untuk percaya,” “Hah? Siapa Paklek? Leluhur kita?” Tanyaku. Paklek menggeleng. “Seseorang yang telah berkali-kali membantu kita tanpa menampakkan wujudnya..” Aku dan Cahyo bingung, namun Paklek sedikit tersenyum. “Kalau kalian masih ingat.. Namanya adalah Candramukti..” Aku terdiam sejenak… Mendengar nama itu seketika pikiranku bergejolak. Berbagai ingatan tentang nama itu seolah mengalir di pikiran kami. “Khekehekhe…seseorang yang pusakanya sempat merepotkanku,” Tawa Nyai Jambrong. Benar, dia adalah sosok yang mengalahkan Brakaraswana di zamannya, konon tubuhnya dikuburkan di bawah pohon beringin besar, dan pusaka berbentuk mata tombaknya sudah banyak sekali membantu kami melalui tangan Pak Kuswara dan Mbah Wira. “Hahahaha…”Aku dan Cahyo tertawa menertawakan takdir yang seolah bercanda ini. Guntur dan Dirga bingung melihat tingkah kami yang masih bisa tertawa di situasi ini. “Mas Cahyo, gilanya ntar aja kalau udah balik ke rumah,” Ucap Guntur. “Tar Dirga kenalin guru BK di sekolah Dirga. Kata temen-temen dia bisa ngobatin orang sakit jiwa,” tambah Dirga. Plakk!! Plak!!! “Ngawur kalian!” Ucap Cahyo sambil memukul kepala kedua bocah itu. Namun bagaimana kami tidak tertawa? Bahkan semua yang terjadi saat ini pun sudah berhubungan sejak di imah leuweung. “Kalau kalian sudah siap, akan kubuka tabir ini. Kalian akan melihat pemandangan yang mengerikan jauh di hadapan kita..” ucap Mbok Sar. Rupanya sedari tadi Mbok Sar sudah memasang tabir gaibnya untuk menutupi keberadaan kami. Saat itu kami semua bersiap dengan apapun yang akan ada di hadapan kami. Namun setidaknya aku ingin mengucapkan sesuatu. … “Apa yang terjadi di depan kita nanti mungkin berada di luar nalar… Tapi satu hal yang ingin kutekankan. Setiap orang di tempat ini memiliki takdir untuk berada di sini. Karena saat sudah berada di tempat ini, maka itu berarti kita pantas untuk menjadi bagian dari perang ini.. Jangan pernah merasa tidak berguna. karena, seorang Dananjaya Sambara mempercayai kalian tanpa keraguan sedikitpun…” Saat itu Cahyo menepuk punggung Bara, Guntur dan Dirga menepuk bahu Arsa, dan Mbah Widjan menyemangati Panji dan murid-muridnya. Mendengar kata-kataku, Bli Waja berjalan mendahuluiku dengan tubuh yang mulai membara. “Kekuatanku sudah pulih. Kita tuntaskan urusan kita dengan fosil-fosil hidup itu!” Dengan penuh keyakinan, kami pun berlari menembus tabir gaib yang mulai terbuka itu. Tak begitu jauh di hadapan kami terlihat peperangan mengerikan antara berbagai berbagai macam makhluk dengan kesaktian yang luar biasa.


Setan, bangsa kera, roh halus, prajurit, dan semua yang tidak bisa kukenali. Bahkan sosok para Batara pun menyaksikan pertarungan ini. “Muncul juga kalian…” Terdengar suara Prabu Jagarekso yang segera menyadari kemunculan kami. Ia bersama Ratu Tanusedo tak lagi menahan diri dan menerjang ke arah kami bersama pasukannya. Saat itu aku menyadari sesuatu, sebagian pasukan mayat hidupnya mulai berkurang menjadi korban dalam peperangan itu. Blarrrr!!! Wujud Rangda Bli Waja menghantam langsung tubuh Prabu Jagarekso, namun itu tidak cukup untuk menumbangkannya. Tapi keris Dasasukma Dirga sudah siap menyusul serangan itu bersama dua pukulan mengerikan dari Nyai Jambrong dan Guntur. Suara gemuruh petir dan auman harimau terdengar dari benturan pukulan mereka berdua. Kesal dengan serangan itu, Prabu Jagarekso menjatuhkan dirinya ke tanah hingga seluruh tanah bergetar menghilangkan keseimbangan kami. “Jangan berhenti! Jangan beri dia kesempatan!” ucap Mbok Sar menyambungkan kami dengan kesaktiannya. Desingan suara lemparan tombak Lembu Warok pun menjawab perintah Mbok Sar menyerang Prabu Jagarekso. Saat itu Nyai Dursada, Buto Geni, dan sosok raksasa yang dua kali lebih besar dari mereka mulai bergerak mengincar kami. “Kita selesaikan urusan kita di pulau itu!” Ucap Bli Waja berganti menahan raksasa terbesar itu dengan ilmunya. Sepertinya terjadi sesuatu diantara mereka di pulau itu sebelumnya. Aku bersiap mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan serangan kepada Prabu Jagarekso, namun tiba-tiba terdengar suara di kepalaku. “Belum saatnya, Danan..” Aku mencari asal suara itu ke segala arah dan menemukan seorang pendekar berpakaian zaman kerajaan dulu yang berjalan mendekat ke arahku dengan menutup sebagian lukanya.. Aku tidak mengenal wajahnya, namun entah mengapa aku merasa kami terikat akan sesuatu. “Si—siapa kau?” Tanyaku. Paklek menyadari sosok itu dan menyambutnya. Ia mendekatinya dan menyiapkan api Keris Sukmageni untuk memulihkannya. “Itu kau kan? Candramukti?” Ucap Paklek. Candramukti? Kalau itu dia maka tidak aneh aku merasa tidak asing dengan keberadaanya. Sosok itu menjawab pertanyaan Paklek dengan anggukan dan senyuman yang ramah. Dari rambut dan cara berpakaianya aku segera tahu bahwa ia bukan dari zaman yang sama denganku. Tapi bagaimana ia bisa mengenalku?


“Kalian butuh lebih dari ini untuk mengalahkan mereka,” ucap Candramukti. “Kami juga memikirkan hal itu, tapi apa lagi yang bisa kami lakukan Sekarang?” Tanya Paklek. “Benar? Ada ada diantara mereka yang bisa menjadi sekutu kami?” Tambah Cahyo. Saat itu ia menoleh ke arah Mas Brasma yang ikut bertarung bersama dengan panji. “Panggil mereka.. kalian berdua sudah mengikatkan jiwa kalian dengan Keris Ragasukma dan Keris Sukmageni di zaman itu…” Ucap Candramukti. Aku mencoba menelaah ucapan Candramukti. Siapa yang ia maksud? Apa itu artinya Sekarang mantra leluhur kami bisa menghubungkanku dengan teman-teman kami di zaman Panglima Brasma? “Percayalah... Aku adalah Candramukti, sang penjelajah ruang, waktu, dan semesta. Keris Ragasukma itu tercipta dari kekuatan leluhurku sampai akhirnya jatuh di tangan Prabu Arya Darmawijaya dan diwariskan ke leluhurmu..” Ucapnya. Aku menatap Keris Ragasukma, jika Candramukti adalah penjelajah ruang, waktu, dan dimensi, tidak mengherankan Keris Ragasukma memiliki kekuatan untuk memanggil Eyang Widarpa, Eyang Daryana, dan Nyi Sendang Rangu. “Dan untuk pertanyaanmu,” Candramukti menoleh ke arah Cahyo. “Sebaiknya tanyakan sendiri pada kawanmu.” Cahyo menggaruk kepalanya tak mengerti maksud Candramukti. “Gimana, Nan?” Tanya Cahyo padaku. “Lah, kok takok aku?” “Lah, katanya suruh nanya ke temen?” “Gimana caranya aku bisa tau to, Jul?” Balasku dengan senyum kesal sementara Cahyo masih menggaruk kepalanya. Saat itu aku mengambil ruang dan meletakkan Keris Ragasukma di hadapan dadaku. Sebuah mantra yang diturunkan oleh leluhurku pun terucap dari bibirku.. … Jagad lelembut boten nduwe wujud Kulo nimbali Surga loka surga khayangan Ketuh mulih sampun nampani Tekan Asa Tekan Sedanten … Hening.. Seketika angin enggan bertiup. Aku merasakan kejanggalan pada saat ini. Apakah ini benar-benar akan berhasil. DHUAAARRR!!!! Seketika suara petir menyambar bersama turunnya hujan badai yang begitu deras. Aku menoleh ke arah Nyi Sendang Rangu sebagai sosok yang menjadi sumber dari hujan di mantra ini. Ia terlihat berbeda. Matanya menyala dengan raut wajah yang penuh amarah. “Tenang saja, Danan. Hujanku menyerap kekuatan dari alam ini. Alam dimana kekuatan gaib masih melimpah,” Suara Nyi Sendang Rangu menggema di pikiranku. Terlihat ia masih berusaha mengimbangi kekuatan kutukan Ratu Tanusedo yang berada di hadapannya. Petir terus menyambar memanggil awan hitam bersama suara yang bergemuruh. Aku menatap memutar ke segala arah menerka apa yang sebenarnya terjadi. Samar-samar terdengar suara dari salah satu sisi.. “Mpu! Dipanggil ibu! disuruh ikutan makan!” “Hah? Ibumu di sini?” “Sudah lama ibu tidak masak untuk orang sebanyak ini, Putra,” “Ibu kangen masak di Istana lagi?” “Nggak putra, hidup ibu sudah cukup bahagia. Akan lebih bahagia kalau kamu sering pulang ke rumah,” “Daryana memang begitu, Nyai. Kalau kenal perempuan cantik di desa lain jadi lupa pulang!” Suara itu menggema seolah ada sekelompok orang yang tengah berkumpul untuk suatu hal. Beberapa lama setelahnya tiba-tiba kabut putih muncul bersama pusaran gelombang hitam tak jauh dari tempat kami berada. “Ayo, Putra! Sekarang saatnya kita jemput dia kembali!” Suara itu terdengar lagi, kali ini Panglima Brasma yang baru saja menghabisi lawannya berlari ke arah suara itu. “Ti—tidak mungkin!” Ucap Panglima Brasma.

“Mereka datang..” Ucap Candramukti. Saat itu suara orang yang berlari terdengar keluar dari kabut putih. Panglima Brasma tak mampu menahan air matanya menyambut kedatangan orang-orang yang ia kira tidak akan ia jumpai lagi. “Itu benar mereka..” Ucap Paklek. Terlihat sosok yang tidak asing untukku. Raja Indrajaya dan beberapa nama besar yang sempat mereka ceritakan saat berada di zaman itu. Mpu Randu, Panglima Sadewo, Panglima Mardaya, Panglima Girwana, Pangeran Baswara, dan seorang lagi yang tidak asing. Daryana Putra Sambara.. Berbeda dengan Eyang Daryana yang ku kenal, kini yang kutemui adalah Eyang Daryana di masa emasnya. Kali ini aku merasa semakin memiliki harapan untuk menyelesaikan ini semua. “Jadi kalian Danan, Cahyo, dan Paklek Bimo? Pakde Indra bercerita banyak tentang kalian barusan,” ucap Daryana. “Eh, i—iya eyang,” Jawabku canggung. “Jangan manggil eyang, mungkin kita akan bertemu lagi di umur yang lebih matang, tapi saat ini panggil Daryana saja atau Putra juga boleh,” Ucapnya. Kali ini aku yang menggaruk kepalaku. Daryana saat muda jauh berbeda dengan Eyang Daryana yang melatihku dulu. “Bocah-Bocah Asu! dhemit-dhemit kuwi isih sliwar sliwer, kowe padha guyon wae!” (Bocah-bocah sial! Setan-setan itu masih berkeliran, kalian pada bercanda saja?!) Tiba-tiba satu lagi suara yang tidak asing terdengar datang dari gerbang yang hampir tertutup itu. “Nek kuwi sing muncul, aku mlayu disik!” Ucap Cahyo yang berusaha menghindari sosok yang sering bersitegang dengannya itu. “Eyang?!” Ucap ku senang menyambut kedatangannya. Raja Indrajaya menghampiri Eyang Widarpa yang kemunculannya tidak bisa ditebak. “Aku, dan para Panglima akan mencoba melawan Prabu Jagarekso. Kami pernah mengalahkannya sekali,” ucap Raja Indrajaya. “Sepertinya Trah Sambara harus berurusan dengan Ratu bodoh itu,” Balas Eyang Widarpa. Saat itu mereka berdua saling mengangguk dan berpencar. Seolah memberi isyarat saat itu kami terbagi begitu saja. “Gunakan ini! Mungkin ini pusaka terbaik yang pernah kubuat saat ini,” ucap Mpu Randu melemparkan sebuah tombak pada Panglima Brasma. Ia memperhatikan tombak itu, namun aku merasa ada kemiripan antara tombak itu dengan tombak lembu Warok milik Panji. Raja Indrajaya pun memerintahkan panglima dan pasukannya menuju pertarungan Prabu Jagarekso. Dengan sebuah ajian, pedang Raja Indrajaya terbagi dan melayang menyerang Prabu Jagarekso yang tengah bertarung dengan Guntur dan Dirga. Dirga menghindar dari pedang yang menyerang Prabu Jagarekso dan menyambut kedatangan pasukan Raja Indrajaya. “Keris Dasasukma? Sepertinya saya bertemu dengan orang dekat lagi,” Senyum Raja Indrajaya pada Dirga dan yang lain. “Khekhekhe… pasukan dari masa lalu?” Segila apa sebenarnya ini semua.” Sambut Nyai Jambrong. Awalnya aku merasa tidak yakin dua orang anak kecil dan seorang nenek bisa menahan kekuatan digdaya Prabu Jagarekso. Namun aku lupa, Nyai Jambrong dan guntur adalah orang yang mampu lolos dari serangan Batara Naga tanpa luka. “Kau lagi???! Rupanya kalian tidak sayang nyawa,” Teriak Prabu Jagarekso. “Kami pernah mengalahkanmu, dan keberadaan kami untuk memastikan kau benar-benar musnah,” ucap Raja Indrajaya. Saat itu Nyai Jambrong menoleh dan berlari ke arahku. “Bocah, selesaikan semua secepatnya! Dia hanya bisa dikalahkan dengan semua kekuatan yang ada,” Peringat nyai Jambrong. Aku mengangguk dan melewati mereka. Ucapan itu juga pertanda bahwa Nyai Jambrong merasakan kekuatan lain yang berbahaya dari Prabu Jagarekso. Membiarkan Guntur dan Dirga melawan Prabu Jagarekso adalah strategi dari Mbok Sar agar Prabu Jagarekso meremehkan mereka dan tidak menggunakan kekuatan penuhnya.

MONYET KEMBAR Cahyo berlari melaju ke pertempuran. Bli Waja berdiri dalam perlindungan Mbok Sar mengendalikan sosok raksasa yang muncul dari dalam dirinya. Gila.. kekuatannya terlalu gila. Ia mampu menandingi raksasa kuno itu dan menahan Nyai Dursada dan Buto Geni. Namun itu tidak lama. Buto Geni membakar dirinya dan melemparkan koBaran api besar ke sosok raksasa putih Bli Waja. Bli Waja menahannya, namun muntah darah dari tubuh aslinya menandakan bahwa ia tidak dalam kondisi baik. Sialnya Nyi Dursada saat itu tak memberikan celah dan melontarkan sebuah tendangan. “Bli!!” Teriakku khawatir. Namun belum sempat tendangan itu menyentuh raksasa Bli Waja, tiba-tiba sebuah batu besar terbang menahan tendangan itu. Nyi Dursada terhenti, namun seseorang menendang bongkahan batu besar lagi untuk menahan serangan lainnya. Kesal serangannya tidak ada yang mengenai Raksasa Bli Waja, Nyi Dursada menghantamkan kedua tangannya dengan kekuatan hitam yang memancar begitu besar. Tak ada lagi batu besar yang menghalanginya, namun seorang yang dengan terengah-engah berlari melompat ke tubuh Raksasa Bli Waja dan menahan serangan itu dengan sebuah tendangan yang diselimuti cahaya hijau. Dhuakkk!! Serangan Nyi Dursada tertahan, namun pria itu juga terbanting ke tanah tak mampu menahan serangan tak masuk diakal itu. Cahyo melihat seorang yang menghantam tanah dengan begitu keras itu. “Bara?” Seru Cahyo sambil membantu Bara Berdiri. “Kau nekad! Jurus apa itu?” “Aku berguru dengan ratusan guru, ternyata tidak semuanya merupakan ilmu hitam. Seperti kata temanmu Danan, sepertinya aku juga memiliki peran dalam pertarungan ini,” Jawab Bara. “Ya, Ampun. Temenku yang satu itu ngomongnya kadang-kadang suka ngawur! Jangan aneh-aneh, lawan mereka yang bisa kau lawan! Jangan membahayakan nyawamu..” Ucap Cahyo. Ia pun meminta Bara kembali dan menyerahkan raksasa itu padanya, tapi Bara menolak. “Kalau begitu, apa yang kau lakukan? Kekuatanmu dan wanasura belum tentu bisa mengalahkan salah satu dari mereka?” Balas Bara. Cahyo terdiam sejenak, ia tidak bisa membantah ucapan Bara. Bahkan walau ia saat ini berkali-kali lipat lebih kuat dari Bara, ia belum tentu bisa mengalahkan Nyi Dursada. “Pasti karena ucapan itu kan?” Sambung Bara. “Bahkan jika harus babak belur atau merangkak, jangan pernah tinggalkan temanmu..” Bara mengulang sebuah ucapan yang membuat Cahyo terhenti. “Jangan lupa, kita punya ayah yang sama..” Ucap Bara yang menyusul Cahyo di sampingnya. Cahyo mengangkat sarungnya sebentar dan melemparkannya pada Bara. “Kalau begitu kau pasti kenal sarung itu?” Ucap Cahyo sambil berlari menerjang Nyi Dursada. “Nggak mungkin lupa! Ini dikasih pas kita sunat kan? Kata bapak ini sarung sakti pusaka leluhur bisa bikin bekas sunat nggak sakit?!” Balas Bara. Dhuaaggg!! Kali ini pukulan Nyi Dursada terpental dengan kekuatan Wanasura di tubuh Cahyo, setelahnya Bara Menyusul dengan menghantamkan pukulan ke siku Nyi Dursada. Sayangnya itu semua masih belum cukup. “Berarti harusnya kau juga ingat bekas luka di leher bapak?” Tanya Cahyo. “Yang ngakunya berantem sama preman tapi ternyata di cakar monyet kan?” Cahyo tersenyum di tengah perbincangan yang berada di waktu tak tepat itu. “Kalau begitu masih ingat cara bapak ngasi perintah ke kuda buat jalan?” Tanya Cahyo. Bara mengangguk. Mereka berdua pun berlari ke atas reruntuhan candi dan menendang bersamaan ke arah perut Nyi Dursada. “Tendang perutnya kan?” Cahyo terlihat begitu menikmati pertempuran itu. Tanpa sadar ia mengacungkan kepalanya ke arah Bara dan Bara membalasnya sebagai sebuah Tos atas kekompakan mereka. Samar-samar terlihat kekuatan mengalir dari tubuh Cahyo ke tubuh Bara. “A—apa ini?” Bara bingung. “Wanasudra, kalau aku manggilnya kliwon. Sepertinya dia mau main sebentar denganmu,” Balas Cahyo. “Kera kecil itu rupanya…” ucap Bara. Saat itu seketika kekuatan Bara meluap, roh wanasudra merasuk ke dirinya dan memberikan kekuatan pada tubuhnya. Dari jauh Guntur melongo melihat Cahyo dan Bara. “Kenapa, Tur? Jangan bengong,” Tanya Dirga. “Raksasa itu sial. Satu orang Cahyo aja udah bahaya. Dia malah melawan dua…” Jawab Guntur. Benar saja, dengan kekuatan Wanasura dan Wanasudra di tubuh Cahyo dan Bara pertarungan mulai berbalik. “Serang persendiannya!” Teriak Bara. “Hati-hati, mulutnya beracun!” Tambah Cahyo. Serangan mereka berdua begitu kompak seolah jalan pikiran mereka benar-benar sama. Setiap Nyi Dursada ingin menyerang, persendiannya tertahan. “Kepalanya!!” Teriak mereka bersamaan. Bruakkk!!!

Nyi Dursada terkapar di tanah. Sosok Raksesi itu takluk di hadapan serangan dua orang Cahyo bersama Wanasura dan Wanasudra di tubuh mereka. Sialnya bukan itu kekuatan Nyi Dursada yang sesungguhnya. Di tengah kekesalannya yang tak berkutik di hadapan Cahyo dan Bara, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking yang begitu besar. Saat itu sosok buto raksasa-raksasa di peperangan itu terganggu. Tiba-tiba mereka berlari ke arah Cahyo dan Bara berada saat ini. “Tidak, dia bisa menarik perhatian raksasa lain..” ucap Bara. “Siall..” Saat itu tiba-tiba seorang pendekar berlari mendekati mereka. “Panggil wujud asli kedua kera itu, di bawah badai ini mereka akan bertahan dengan wujud rohnya,” Ucap sosok itu. Cahyo dan Bara menoleh tanpa mengenali sosok itu. “Saya Baswara! Sudah ikuti saja!” Ucapnya. Cahyo heran mengapa sosok itu seolah mengerti tentang wanasura. Namun ia sadar bahwa ucapan Baswara benar. WANASURA!! WANASUDRA!! Cahyo dan Bara mengeluarkan sosok itu dari tubuh mereka, dan kedua sosok panglima kera raksasa muncul di hadapan mereka. “Aku butuh kekuatanmu, Wanadarma!” Di tengah-tengah kedua kera raksasa itu tiba-tiba sosok Wanadarma Muncul dan Baswara pun duduk di bahunya. “Siapa kau sebenarnya?” Tanya Cahyo. “Pangeran kerajaan Indrajaya, ini Wanadarma salah satu roh kera pelindung salah satu hutan di kerajaan Indrajaya,” Jelasnya. Cahyo menyadari bahwa sosok Wanadarma bukanlah sosok semBarangan. Wanadarma tiba-tiba menyentuh Wanasura dan Wanasudra dan seolah-olah mereka berdua mengerti sesuatu. GROAAAARRRRRR!!! Secara tiba-tiba Wanasura dan Wanasudra meraung dengan suara yang begitu keras. Suara itu menggema hingga ke seluruh medan perang. “Bagus Cahyo! Sekarang kita seimbang!” Teriak Bli Waja. Cahyo belum mengerti, tapi ia tersadar setelah beberapa saat. Pasukan bangsa kera… Benturan besar terjadi tiba-tiba antara bangsa Buto yang dipanggil oleh Nyi Dursada dengan Pasukan kera yang dipanggil oleh Wanasura dan Kliwon. “Kita habisi mereka Sekarang!” Perintah Baswara. Tubuh Raksasa Bli Waja tiba-tiba mengeluarkan cahaya putih. Sementara raksasa kuno itu berlari menerjang jelmaan Bli Waja itu. Dengan kekuatan Wanadarma, tiba-tiba bulu Wanasura dan Kliwon berubah menjadi emas. Cahyo dan Bara memimpin mereka menghadapi Nyi Dursada dan Buto Geni. Cahyo menggabungkan ilmu itu dengan ajian penguat raganya, dan Raga melakukannya juga dengan caranya sendiri. “Aji Cakra Bumi.. ajian ini meminjam kekuatan dari bumi untuk memperkuat diri. Akan berguna jika kekuatanmu habis,” Ucap Bara Pada Cahyo. Kali ini Cahyo terkesima dengan ilmu Bara. Ia sungguh menyayangkan ilmu putih yang ia miliki tersembunyi karena kebenciannya. Ketiga kekuatan besar beradu hingga menimbulkan Gempa di tanah itu. KoBaran api Buto Gendi serangan raksasa kuni dan Nyi Dursada bentrok dengan Wujud raksasa Bli Waja beserta wanasura dan wanasudra. “Tuntaskan,” Ucap Baswara. Wanadarma mendengarkan ucapan Baswara. Ia melayang ke atas langit dan membentuk pusaran besar yang saat itu mencabik-cabik Nyi Dursada dan memadamkan Buto Geni hingga musnah. ***

PERMATA MERAH Sementara Cahyo bertarung dengan raksasa itu, aku, Paklek, Daryana, dan Eyang Widarpa menghampiri Nyi Sendang Rangu yang susah payah menahan Ratu Tanusedo. “Kalian tahu, kekuatan manusia tidak akan bisa menahanku,” ucap Ratu Tanusedo bersamaan dengan kekuatan yang mementalkan kami berempat. Tanpa memberi celah, tiba-tiba dari tubuh Ratu Tanusedo mengeluarkan bayangan dirinya yang melanjutkan serangannya. “Apa ini?” Tanya Paklek yang seketika kewalahan dengan sosok-sosok yang menyerang kami itu. “Mereka bayanganku, menyentuhnya sama saja meracuni diri kalian dengan kutukan sendang mayit,” ucapnya. “Kutukan sendang mayit?” Daryana mengguman. “Ternyata kau yang mengikat mayat-mayat itu di Rowodemit??!” Daryana mengetahui sesuatu. “Hahaha! Ternyata kau tahu? Tenang saja, bayanganku akan mengambil alih tubuh kalian dan menjadikan kalian bagian dari mereka,” Balasnya. Blarrr!!! Dalam sekejap senyum Ratu Tanusedo menghiland begitu melihat bayangan itu beradu kekuatan dengan Geni Baraloka yang dinyalakan oleh Paklek. Aarrrggghgh!!! Eyang Widarpa berteriak, ia membiarkan bayangan itu mengambil alih tubuhnya. Tapi alih-alih menguasainya, bayangan itu justru kesakitan dan musnah. “Kutukanmu tidak ada apa-apanya dengan yang sudah ada di tubuhku,” Ucap Eyang Widarpa. Saat itu aku dan Daryana membiarkan tubuh kami dan melesat dalam wujud roh dan menghancurkan bayangan itu dengan wujud roh Keris Ragasukma kami. “Dua Keris Ragasukma, dan dua keris sukma geni ada di satu zaman. Kau benar-benar tidak beruntung,” ucap Nyi Sendang Rangu pada Ratu Tanusedo. “Cih! Jangan besar kepala!” Walau berkata begitu, tiba-tiba Ratu Tanusedo memuntahkan cairan hitam dari tubuhnya. Secara perlahan tubuh muda yang ia dapatkan dengan ratusan tumbal itu tiba-tiba terkoyak. Sosoknya berubah membesar dengan wajah yang benar-benar buruk. Saat itu keadaan tiba-tiba berubah drastis. Aku tidak bisa bernapas, rasa sakit menjalar di sekitar tubuhku. Dan rasa sakit ini juga dirasakan oleh siapapun yang berada di dekat Ratu Tanusedo. “Benar-benar ratu terkutuk,” Ucap Daryana. Saat itu ia mengambil seutas tali yang sebelumnya terikat di pinggangnya. Aku merasakan kekuatan yang meluap darinya berasal dari tali itu. Namun jika dilihat dari caranya memegang, sepertinya ia memiliki sebuah rencana. “Khekhekehe…” Suara tawa itu terdengar lagi. Alih-alih kesakitan, Eyang Widarpa justru kehilangan kesadarannya dan menggila menyerang Ratu Tanusedo. “Bapak?” Daryana cemas, namun aku menahannya. “Tenang, aku bisa menenangkannya saat dibutuhkan.” Jawabku mengingat kekuatan dari permata putih Keris Ragasukma. “Bagaimana caranya? Apa kekuatan itu bisa menyembuhkan bapak?” Tanya Daryana. “Ini kekuatanmu, Ajian Pemutih Raga. kau yang mewariskannya pada kami. Sayangnya kekuatan dari permata ini hanya pecahan kekuatan itu. Hanya bisa menekan kekuatan Ajian Segoro Demit Sesaat..” Daryana terlihat kecewa, tapi setidaknya Sekarang ia tahu bahwa usahanya mencari cara memulihkan Eyang tidak akan sia-sia. Paklek mencoba memulihkan kami dengan Geni Baralokanya, sayangnya untuk kali ini api itu tidak berkutik di hadapan kutukan Ratu Tanusedo dan kutukan yang memancar dari tubuhnya hanyalah permulaan. Di tengah serangan Eyang Widarpa, Ratu Tanusedo menyebarkan kabut hitam dari setiap gerakannya. Kabut itu bahkan tidak terpengaruh dari badai dan hujan yang ada. “Eyang! Hati-hati!” Saat itu aku berniat menggunakan Ajian Segoro Demit dari permata Keris Ragasukma. Tapi jika aku kehilangan kesadaran, bisa saja keadaan semakin tidak terkendali. Di tengah kebingunganku tiba-tiba aku menyadari permata berwarna merah di Keris Ragasukma menyala. “Paklek?” Aku menunjukkannya ke pada Paklek, dan ia hanya mengangguk menyetujuiku menggunakan kekuatan permata merah itu. Brakk!! Eyang Widarpa terkulai di tanah... Kabut hitam dari tubuh Ratu Tanusedo membuatku sulit untuk bergerak. Paklek, Daryana, dan Eyang Widarpa pun tak berkutik menahan rasa sakit di sekujur tubuh kami. Saat itu Nyi Sendang Rangu menyadari apa yang hendak kuperbuat dan melindungiku dengan selendangnya. Itu cukup membuatku mempertahankan kesadaranku.” “Terima kasih, Nyi…” Kesempatan itu aku gunakan untuk meletakkan Keris Ragasukma di hadapan dahiku dan menyambungkan kesadaranku dengan permata merah yang menyala itu. Trakkk!!! Permata merah itu pun pecah dan hancur. Aku sempat bingung, namun keberadaan roh seseorang di hadapan kami menjelaskan kekuatan dari permata berwarna merah itu. Suara ayat-ayat suci mengalun bagaikan puisi diantara kabut hitam yang hampir menelan kami, hembusan angin menyentuh kami dengan lembut diantara badai namun menyayat-nyayat lawan kami. “Gambuh rumekso ini…” gumam Paklek. Angin itu memerah dan menelan kabut hitam Ratu Tanusedo hingga sosok itu terlihat jelas di hadapanku. Saat itu mataku berkaca-kaca.. “Aku sempat menduga ini, tapi aku tidak berani berharap…” Paklek membakar tubuh kami dengan Geni Baraloka yang ia nyalakan dengan api putih dari Keris Sukmageni. Tanpa adanya kabut itu, api Paklek membantu kami untuk menahan kutukan itu.

“Tak kusangka kau bisa membimbing mereka sampai sehebat ini, Bimo..” Ucap sosok roh itu. Rupanya tak hanya aku, Paklek pun menahan rasa harunya melihat sosok itu. Sosok yang tak lelah mendidikku dan membesarkanku dengan segala yang ia miliki, bahkan dengan segala keterbatasan yang harus ia terima. “Bapak…?” Saat itu aku kehilangan diriku sesaat. Semua tak kupedulikan, yang ingin kulakukan saat ini hanya memeluknya. Di bawah rintikan hujan deras aku memeluk sosok pria dengan pakaian sederhana yang membalas tulus pelukanku. Sedikit berbeda. Dulu aku merasa ia lebih tinggi dariku, tapi kali ini aku memeluknya dengan tubuhku yang setinggi dirinya. “Kita masih memiliki sedikit waktu setelah ini, Sekarang kita selesaikan urusan bapak yang belum selesai ini..” Aku mengangguk, namun dari perkataanya aku penasaran dengan sesuatu yang membuat bapak harus meninggalkan kesadarannya di permata merah itu. “Kau masih ingat dia kan, Bimo?” Tanya Bapak. “Apa maksud Mas Bisma?” Bapak melangkah ditemani oleh Paklek menuju ratu terkutuk itu. “Ratu Tanusedo itu menitis pada tubuh Nuri. Perempuan yang gagal kuselamatkan saat ini. Kali ini tolong bantu aku menyelesaikan ini..” Ucap Bapak. “Nuri? Anak yang ditumbalkan untuk menikah dengan iblis itu?” Tanya Paklek. Bapak mengangguk. Diantara perbincangan mereka aku menghampiri Daryana dan Eyang untuk mempersiapkan apa yang direncanakan Bapak. “Hahaha.. bodoh! Bahkan setelah mati pun kau masih mengharap kesadaran Nuri? Aku bukan merasuki tubuh ini! Tubuh ini adalah titisanku!” Tawa Ratu Tanusedo. “Yah.. aku hanya tidak akan membiarkan kesadaran anak perempuan itu ikut denganmu ke neraka,” Balas bapak. Saat itu wajah Ratu Tanusedo semakin geram. Aku tidak percaya bapak menghadapi sosok sang Ratu Trah Pakujagar itu dengan tenang. “Kesadaranku ini sudah melihat kemampuan kalian dari permata merah itu, dengan rencanaku kita bisa menolong Nuri..” Ucap Bapak. “Jangan sombong!” kabut terkutuk Ratu Tanusedo kembali menyebar, namun angin merah dari Gambuh Rumekso kembali menahannya. Kekuatan bapak kali ini tidak main-main. “Ledakkan api sukmageni, Bimo!” Teriak Bapak. Paklek mengerti saat itu Paklek menggoreskan darahnya pada keris sukma geni hingga api putih menyala di bilah kerisnya. Tak berhenti sampai disitu, Paklek mengobarkan api itu dengan tenaga Geni Baraloka. Dengan perlindungan Bapak Paklek membakar Ratu Tanusedo dengan api putih yang menyala begitu besar. “Hahaha! Api ini hanya berguna untuk setan-setan jalanan!” Tawa Ratu Tanusedo. Memang benar, Ratu Tanusedo tidak merasakan apapun dari koBaran api putih itu. “Api itu untuk, Nuri” Balas Bapak. “Murnikan raga Nuri, Danan” Tamhanya lagi. Aku mengerti. Dengan kekuatan ajian pemutih raga dari permata putih, aku pun mencoba memusnahkan kutukan dari tubuh Ratu Tanusedo. Saat itu barulah hal yang aneh mulai terjadi. Tubuh ratu terkutuk itu bergetar dengan aneh. Ada sesuatu yang berusaha keluar dari tubuhnya. “Apa yang kalian lakukan??!!” Teriak Ratu Tanusedo. “Hanya memanggil Nuri kembali” balas bapak. Ratu Tanusedo kesal dan menerjang ke arah kami. Namun Daryana dan Eyang Widarpa bergegas menghadapinya hingga pertarungan terjadi diantara mereka bertiga. Tapi kali ini dengan kondisi aneh Ratu Tanusedio, mereka berdua bisa mengimbangi sosok itu. Samar-samar terlihat sosok seorang anak kecil dan sosok nenek tua mencoba keluar dari tubuh Ratu Tanusedo. Saat itu aku mulai mengerti apa yang dimaksud bapak. “Kuatkan dirimu, Nuri! Kakakmu Dinda masih menantimu!” Ucap Bapak yang juga ikut dalam pertarungan itu semantara Aku dan Paklek mempertahankan ajian kami yang benar-benar menguras tenaga kami. Namun di tengah pertarungan, Daryana menggunakan pusaka tali yang sebelumnya ia kenakan itu untuk menahan gerakan Ratu Tanusedo. Saat itu tali itu menarik roh seorang anak perempuan yang mendapatkan kembali kesadarannya. Pusaka tali itu menguatkan kesadaran manusia dari tubuh Ratu Tanusedo. Saat hal itu terjadi, roh nenek tua muncul dan terpisah dari roh anak itu. “Teruskan Daryana!” Teriak Eyang Widarpa yang juga menyadari hal itu.. “Benar! Pusaka itu menguatkan manusia, itu membantu Nuri menguatkan kesadarannya,” ucap Bapak. Srasshh!!! Seketika tubuh Ratu Tanusedo terkulai di tanah, dan terlihat kedua roh yang melayang. Seorang roh anak kecil dan roh seorang nenek yang begitu tua. Jlebbb!!! Tanpa membuang waktu, Eyang Widarpa menembus tubuh roh nenek tua itu dengan cakarnya yang tajam. “Terkutuk kalian!!!” Teriak Ratu Tanusedo. Tanpa tubuhnya, rohnya tak sekuat sebelumnya. Saat itu Eyang Widarpa menggenggam kepala roh itu dan mengarahkannya pada Nyi Sendang Rangu. Mata Roh Tanusedo pun terbelalak. Nyi Sendang Rangu yang mendekat perlahan berubah menjadi begitu mengerikan. Wajahnya berselimut kabut hitam dengan begitu banyak mata yang mengalirkan darah. Sebagian wajahnya menunjukkan daging yang terkoyak memamerkan tulangnya. “Ti—tidak!! Tidak!!!” Perwujudanku adalah penggamBaran dosa-dosamu. “Arrrgggh!! Sakit!! Sakitt!! Hentikan!!” Roh nenek Ratu Tanusedo saat itu terbakar, tergores, tertusuk oleh sesuatu yang tak terlihat. Di mata kami roh itu seperti dimakan makhluk tak kasat mata dan terbakar hangus. “Tidak!! Aku harus abadi! Aku harus menitis! Aku tidak ingin Neraka!” Berontaknya. “Sayangnya hukumanku tak cukup untuk memurnikan dosamu. Kau akan mendapatkan keabadianmu di neraka…” ucap Nyi Sendang Rangu diikuti dengan musnahnya roh Sang Ratu Trah Pakujagar itu. Setelahnya, Bapak mengembalikan roh anak perempuan bernama nuri itu ke tubuh Ratu Tanusedo dan meletakkannya di tempat yang aman.

***

MALAM DI PADANG TERKUTUK Musnahnya Ratu Tanusedo melepaskan kami dari kutukannya. Kami mendapatkan kembali tenaga kami dengan kekuatan Paklek, walau tidak bisa sepenuhnya. Bapak segera mengajak kami untuk berpaling menuju sosok penyebab semua bencana ini. Guntur, Nyai Jambrong dan pasukan Raja Indrajaya terlihat babak belur dan terbaring di tanah. Di hadapan Prabu Jagarekso terlihat Dirga berusaha berdiri dengan tubuhnya yang terluka. Terlalu berbahaya. Prabu Jagarekso saat itu mengarahkan telapak tangannya ke Dirga seolah siap melancarakan sebuah serangan. “Matilah!” Ucap Prabu Jagarekso. Cahaya hitam memancar dari tangan itu, tapi sebelum serangan itu memancar, keris dasasukma melayang melesat ke punggung Prabu Jagarekso. Jleebbb!! Aku merasakan kesadaran Dirga di keris yang melayang itu. Ia menggabungkan kesadarannya dalam keris itu. Sayangnya luka itu tidak cukup dalam, namun itu cukup untu membuat Prabu Jagarekso mengalihkan serangannya. Prabu Jagarekso pun menyadari kedatangan kami dan menyadari kemenangan kami. “Jadi ratu ku pun berhasil kalian kalahkan?” ucap Prabu Jagarekso. “Benar, dan berikutnya adalah kau,” Balasku. “Jangan sombong!” Prabu Tanusedo berusaha terlihat tenang, namun kami sadar ia dipenuhi amarah yang meluap. “Mundur! Kita bangun serangan!” Perintah Bapak. Kami membantu Nyai Jambrong, Raja Indrajaya, Panglima Brasma dan yang lainnya untuk mundur. Paklek sudah menyiapkan apinya untuk mengembalikan sedikit tenaga mereka, sayangnya yang Prabu Jagarekso punya lebih dari ini. Ia mengamuk dan wujudnya berubah begitu saja dengan begitu mengerikan. Ia melayang dengan sayap yang besar dan kuku-kukunya yang tajam seolah menguasai langit. Kekuatan hitamnya menarik perhatian dari makhluk-makhluk yang berperang di tanah itu dan mengikuti perintahnya. Saat itu ratusan dedemit berdiri di belakangnya, Raksasa kuno yang ditahan oleh Bli Waja pun bergabung dengan pasukan itu. Mereka bersiap membantai kami. “Musnahkan mereka hingga tak bersisa!” Perintah Prabu Jagarekso. Ratusan pasukan dedemit berada di hadapan kami. Tak sedikit dari mereka adalah bangsa buto yang bertubuh besar. Aku masih tidak membayangkan bagaimana cara kami melawan mereka semua. “Kenapa bingung, Nan? Yang perlu kita lakukan Cuma kerahkan semua yang kita miliki,” ucap Cahyo menepuk bahuku dan berjalan melewatiku. Ia mengeluarkan pusaka Linus dan menggenggamnya erat-erat. “Kau yakin dengan hal ini?” Ucap pusaka itu melalui tubuh Cahyo. “Kalau bukan di sini, memangnya untuk apa ilmu itu dipercayakan pada kami? Benar kan Wanasura?” Balas Cahyo. Suara geraman kecil terdengar bersama munculnya sosok panglima kera alas wanamarta itu. Cahyo pun menaiki tubuh Wanasura dan meletakkan pusaka itu di tengkuk wanasura. Sebuah mantra dibacakan, kekuatan pusaka Mas Linus Meluap, dan dalam beberapa saat wujud wanasura berubah menjadi raksasa yang begitu besar yang bahkan melebihi tinggi candi-candi di alam ini.


“Pasukan dedemit itu biar urusan kami. Pastikan kau kalahkan Prabu Jaga rongsok itu,” ucap Cahyo. Aku mengangguk, setelahnya terlihat Bara yang menaiki tubuh Wanasudra dan Baswara bersama kera Wanadarma itu. Pasukan-pasukan kerajaan kera alas wanamarta dari alam ini pun mengikuti perintah perintah mereka. Dhummmm!!! Pertarungan mereka dibuka dengan amukan Wanasura yang memporak porandakan barisan terdepan pasukan dedemit Prabu Jagarekso. “Kamu mendidik makhluk mengerikan, Bimo..” Ucap bapak merujuk pada Cahyo. “Benar, Mas. Yang lebih mengerikan aku sering kehabisan ikan asin gara-gara dia,” Balas Paklek. Aku tersenyum mendengar perbincangan mereka. Memang benar, memiliki Cahyo sebagai bagian dari kami memang hal yang mengerikan. Apalagi saat dia membangunkanku dengan sarungnya yang jarang di cuci itu. Melihat perbuatan Cahyo itu Prabu Jagarekso semakin geram. Ia tak lagi menahan kekuatannya. “Lepaskan!!!” Secara cepat tiba-tiba Prabu Jagarekso menangkap Guntur dan mencekiknya di udara. Ia hendak menghabisinya dalam sekejap, namun Bli Waja melayang dalam wujud rangda dan melepaskan cengkeraman itu. Aku ingin bernafas lega, namun tiba-tiba Bli Waja terjatuh di tanah di susul dengan luka-luka yang menghantam Pasukan Raja Indrajaya secara bertubi-tubi. “Pakde!” Teriak Daryana yang melesat menyusul mereka. “Tak ada waktu lagi. Pecahkan kedua permata itu, gunakan kekuatan penuh dari permata itu,” ucap bapak. “Bapak yakin?” tanyaku memandang kedua permata itu. Ia mengangguk, “Seharusnya permata itu memiliki kekuatan untuk memurnikan raga Prabu Jagarekso dan menghilangkan ilmu abadinya.” Aku mulai mengerti maksud bapak. Namun aku ingat bagaimana cara Daryana menggunakan ilmu itu untuk menghilangkan keabadian Nyai Jambrong. Aku pun menoleh pada Paklek berhubungan dengan kekuatan Keris Sukmageni. “Kekuatan Keris Sukmageni akan hilang lagi, Paklek?” ucapku. “Jangan takut, cucu buyutku memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk memulihkannya,” Ucap Mpu Randu yang datang bersama Mbah Jiwo. Paklek menoleh ke arah mereka berdua dan mempertanyakannya. “Belian Mpu Randu Setro, leluhurku. Di catatan trah tumerahku, ia dikenal sebagai Mpu petarung..” Jelas Mbah Jiwo yang terlihat semangat mendapati leluhurnya itu. Itu wajar, yang kuingat Mbah Jiwo hanya memiliki ingatan buruk tentang leluhurnya yang lain. Saat menemui Mpu Randu yang begitu bijak, hal itu membuat dirinya begitu bersyukur. Namun walaupun ilmu abadinya menghilang, ia masih terlalu kuat. “Ajian segoro demit ku hanya bisa ku gunakan sekali lagi, mungkin itu tidak akan lama..” ucap Eyang Widarpa. “Aku dan Jiwo akan memanggil batu dari langit. Tahan Prabu Jagarekso sampai ritual kami berhasil dan menghantamkan batu itu ke Prabu Jagarekso..” Mendengar ucapan itu aku mulai merasa yakin atas rencana ini. Brugg!! Bruggh!! Tubuh Panglima Brasma, dan Raja Indrajaya jatuh dari kabut putih yang muncul di sekitar kami. “Belum cukup ngobrolnya? mereka bisa mati kalau kalian tidak cepat bertindak!” Tiba-tiba mas Jagad muncul memindahkan mereka yang terluka dengan ilmunya. “Jagad! Kau punya tugas penting!” Ucap Bapak. “Bi—bisma?!!” Rupanya Mas Jagad baru menyadari kehadiran Bapak. Sepertinya ia terlalu sibuk melintasi alam untuk menjebak setan-setan yang menyerang mereka. “Bagaimana bisa?” Tanyanya. “Sudah, jangan ngobrol dulu! mereka bisa mati kalau kalian tidak cepat bertindak!” Balas Bapak. Mas Jagad membalasnya dengan senyum kecut.

“Pusatkan kekuatanmu di langit, pastikan batu langit yang dipanggil Mbah Jiwo dan Mpu Randu jatuh tepat di kepala Prabu Jagarekso!” Jelas Bapak. Mas Jagad mencoba mencernanya sesaat dan mengerti. Ia pun mendekati kedua mpu andalan kami itu. Saat itu aku menghampiri Daryana dan memberikan pusaka putih itu padanya. “Kenakan pada Keris Ragasukma, gunakanlah seluruh kekuatannya..” Ucapku. Daryana mengangguk mengerti. Mungkin saja dari kejadian ini ia bisa mengenali kekuatan yang bisa memulihkan Eyang Widarpa. Mungkin ini seperti paradoks waktu tentang bagaimana ajian pemutih raga itu ditemukan, namun bukan kuasaku untuk memikirkan tentang hal ini. Paklek pun mempersiapkan Keris Sukmageninya dan berdiri di dekat Daryana. Ia tahu, api putih dari keris sumageni harus menyatu dengan darah Prabu Jagarekso. Aku dan Daryana meletakkan Keris Ragasukma kami di depan dahi dan menyatukan jiwa kami. Saat itu secara bersama permata biru dan putih pecah dan mengalirkan kekuatan yang begitu besar di tubuh kami. Sekali lagi tubuhku berubah dengan rambut putih yang memanjang. Kuku-kuku ku menajam persis seperti apa yang terjadi pada Eyang Widarpa saat ini. “Fokus, Putra! Bapak akan mulai..” Ucap Eyang Widarpa pada Daryana. “Kita bukakan jalan untuk mereka, eyang..” Ajakku. Pecahnya permata biru itu memberikan kekuatan yang lebih pada amukanku, yang paling berbeda, kini aku bisa mempertahankan kesadaranku. Dengan kecepatan yang tak pernah aku rasakan, tubuhku melesat begitu cepat berlomba dengan eyang Widarpa menyerang Prabu Jagarekso. Sratt!! Sratt!!! Cakaran-cakaran kami mengincar setiap bagian tubuhnya dan berusaha membuat luka yang bisa menahan gerakannya. Bruakk!! Aku terpental, namun Eyang Widarpa menggantikan posisiku. Dengan cepat aku kembali bangkit mengikuti pergerakan mereka yang begitu cepat. “Kamu bisa ngeliat mereka, Dirga?” Tanya Mas Jagad. Dirga menggeleng melihat pertarungan kami yang tak mampu diikuti dengan mata manusia. Namun tidak dengan Nyai Jambrong dan Guntur, mereka menyaksikan kami dengan seksama seolah bersiap kapan saja saat kami butuhkan. Brakkk!!! Tubuh kami terpental, membentur dinding candi. Prabu Jagarekso menggunakan celah itu untuk mengincar Daryana, namun saat itu wujud bola api Bli Waja muncul bersama serangan Ki Maesa ombo yang dapat dipatahkan dengan mudah. Setidaknya, meladeni serangan itu membuat kami memiliki waktu untuk bangkit dan menyerangnya lagi. “Sedikit lagi!” Teriak Daryana. Cahaya putih semakin besar merasuk ke tubuh Daryana dan Keris Sukmageni Paklek. “Takkan kubiarkan!!” Teriak Prabu Jagarekso yang mulai mengacuhkan kami dan menerjang Daryana. Tapi sekali lagi ia tertahan dan terjatuh menahan sakit. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok makhluk wanita pembawa kutukan di belakangnya. “Khikhikhi… jangan macam-macam,” Ancam Nyai Kunti yang menanamkan kutukkanya pada Prabu Jagarekso. “Setan sialan! Sungguh rendah kau mengabdi pada manusia!” Teriak Prabu Jagarekso. “setidaknya aku punya harapan untuk mendapat pengampunan, Khikhikhi!!” Dhuarrrr!!! Prabu Jagarekso mengobarkan tenaganya dan seketika membuat nyai kunti dan segala yang disekitarnya terpental. “Paklek!” Ucap Daryana memberi isyarat. Saat itu Paklek menyerahkan Keris Sukmageninya dan seketika aliran kekuatan putih itu merasuk dalam Keris Sukmageni. “Sekarang!!!” Teriak Daryana. Dharrr!!! Seketika tubuh Prabu Jagarekso melontarkan api hitam ke sekitar tubuhnya, namun saat itu juga tiba-tiba aku dan yang lainnya berpindah posisi menghindari serangan itu ke berbagai tempat di sekitarnya. “Bagus Mas Jagad,” Puji Dirga. Kami bersamaan menyerang Prabu Jagarekso. Ia mengincar Daryana, namun ia tidak menemukan Keris Sukmageni di tangannya. Keris itu berpindah dengan cepat dari satu tangan ke tangan lain diantara kami. Serangan ini harus mengenainya, kesempatan kami hanya satu kali. Prabu Jagarekso pun tak gegabah, ia memperhatikan perpindahan Keris Sukmageni dan membaca strategi kami. Sraattt!! Serangan kami pun menerjang, Paklek melesat dengan kerisnya. namun Prabu Jagarekso membacanya, ia tersenyum dan menghindari serangan itu dengan mudah. Namun itu bukan serangan tama kami. Itu Bara… Ia melesat di titik buta Prabu Jagarekso dengan keris bercahaya putih itu di tangannya. “Bara!” Teriakku. Sebelum serangan itu sempat menyentuh tubuhnya, tanpa menatap Prabu Jagarekso menusukkan keris dasasukmanya pada Bara. Prabu Jagarekso tak terkecoh, “Harapan kalian sudah pupus,” Ucapnya mengangkat tubuh yang tertembus keris itu tinggi-tinggi. “Hoekkk!!”Bara memuntahkan darahnya. Serangan itu benar-benar melubangi tubuhnya. “Bara!!” Teriakku.

Sosok Bara lemas dan kehilangan kekuatannya. Keris di tangannya pun padam dan jatuh ke tanah. Saat itulah Prabu Jagarekso sadar bahwa keris yang dibawa oleh Bara bukanlah keris sukma geni. Sayangnya ia terlambat.. Dengan bantuan Jagad, Daryana berpindah dan menancapkan keris itu tepat di punggung Prabu Jagarekso. Inilah rencana kami yang sebenarnya. Beruntung, entah bagaimana Bara bisa berinisiatif berpindah ke pertarungan kami. Jika tanpa serangannya mungkin serangan Daryana akan terbaca oleh Prabu Jagarekso. “Perlu kau ketahui, hanya yang berdarah Sambara saja yang bisa menggunakan kesaktian keris ini…” Ucap Daryana. “TERKUTUK KALIAN!!!” Saat itu kekuatan putih merasuk ke dalam tubuh Prabu Jagarekso dan membuat kekuatan di tubuhnya menguap secara perlahan. Sratt!!! Sratt!! Kami menlanjutkan serangan kami, dan setiap serangan Keris Sukmageni mengikis kekuatan yang membuat makhluk itu abadi. “Mas Jagad, Tolong Bara!” teriakku. Paklek mengobarkan api geni Baraloka pada Bara, dan mas Jagad memindahkannya ke tempat Mbok Sar berada. Prabu Jagarekso akhirnya terjatuh. Kekuatan besar telah keluar dari tubuhnya. Sayangnya, kekuatan bertarungnya tidak berkurang sedikit pun. “Mati kalian!!” Teriaknya mengamuk melepaskan semua kekuatannya. “Jagad! Sekarang!” Teriak Mbah Jiwo. Mendengar ucapan itu kami menoleh dan melihat sebuah benda besar yang jatuh dari langit. “Bocah asu! Jangan berhenti!!” Teriak Eyang Widarpa. Benar, kami tidak bisa membiarkan kesempatan ini lewat begitu saja. Sekali lagi dengan kecepatan yang tak terlihat kami menghadang Prabu Jagarekso dan menjaganya tetap di posisi batu itu akan jatuh. “Aku takkan termakan trik busuk kalian,” Umpat Prabu Jagarekso. “Kau sudah termakan satu kali,” Balasku. Prabu Jagarekso semakin terprovokasi. Kali ini ia tubuh aku dan eyang Widarpa terkoyak dengan serangan-serangan Prabu Jagarekso. Kutukan yang keluar dari tubuhnya membuat kami sulit untuk bergerak. Tapi kami tidak bisa berhenti. “Aarrrrrggh!!! Kau tidak punya tempat di alam manapun!” Teriakku. Sraattt!!Srattt!!!! Serangan ku dan eyang menyerang Prabu Jagarekso bertubi-tubi. Kukunya berhasil merobek-robek tubuhku. Tapi saat sedang sengitnya pertarungan tiba-tiba aku dan eyang Widarpa menyerang angin kosong. Kami kehilangan Prabu Jagarekso, namun sebelum kami cemas terdengar suara dentuman dari langit. Dhummmm!!! Meteor itu menghantam sesuatu. Aku pun menoleh ke arah mas Jagad dan melihat Nyi Sendang Rangu sedang menyalurkan kekuatannya. “Lebih mudah memindahkan setan itu ke dekat meteor daripada sebaliknya,” ucap Mas Jagad sambil terengah-engah. “Arrrrggh!!! Brengsek!! Terkutuk! Kalian terkutuk!” Teriak Prabu Jagarekso yang tak mampu menghindar dari terjangan meteor yang membakarnya. Tanpa keabadiannya ia tidak akan selamat dari kekuatan sebesar itu. Aku menoleh ke arah Cahyo dan melihat setan-setan yang mengikuti Prabu Jagarekso lari tunggang langgang melihat kekalahan tuannya. Cahyo mulai khawatir dengan amukan wanasura, namun saat itu kliwon mendekat ke tubuh raksasa itu. dan sang kera hitam yang bersama Baswara mendekatinya. Wanadarma… Setelah mengetahui akhir pertarungan ini ia melayang dan menembus tubuh Wanasura mengambil kembali pusaka pisau Linus di tubuh wanasura. Aku tak menyangka masih da sosok kera sesakti itu, bahkan melebihi bayangan kekuatanku akan wanasura dan wanasudra. Aku berganti menoleh ke arah eyang Widarpa. Aku mengira ia akan semakin tenggelam dalam ajian Jagad segoro demit. Tapi tidak… Ia justru terbaring terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka-luka yang dalam. Bli Waja tak sadarkan diri, Mbah Jiwo menggendongnya dan membawanya mendekat ke Mbok Sar. Perasaan khawatir berkecamuk di pikiranku. Bersamaan dengan itu meteor itu pun jatuh ke tanah dan hancur. Nyi Sendang Rangu melayang di antara puing-puing itu dan memadamkan apinya dengan hujannya. Ia menyingkirkan bebatuan dari Meteor yang dipanggil oleh Mbah Jiwo dan Mpu Randu itu. Terlihat sisa-sisa tubuh yang hitam dan hangus terbakar di tengah-tengah benda itu. “Apa sudah selesai, Nyi?” Tanyaku. Nyi Sendang Rangu menoleh ke arahku dan mengangguk. Saat itu juga wujudku kembali seperti semula dan tubuhku terjatuh diantara tetesan hujan yang mulai mereda. ***
PERPISAHAN Hangat… aku mengenal sekali kehangatan api Paklek ini. Entah sudah berapa kali api ini menyelamatkan nyawaku dari kematian. Aku membuka mata dan suara gemuruh peperangan masih terdengar dari sisi lain alam ini. Kami berada dalam tabir gaib Mbok Sar dan kembali ke tempat dimana Buto Kendil beristirahat. “Bara! Bara!!” Teriak Cahyo berusaha menyadarkan Bara yang dalam keadaan kritis itu. “Paklek, tolong Bara dan yang lain,” ucapku. Paklek hanya menghela nafas, ia menggeleng melihat keadaan Bara. “Sudah Paklek coba. Eyang Widarpa, Bli Waja bisa selamat walau butuh beberapa hari untuk tersadar. Tapi Bara.. organ tubuhnya sudah hancur dan membusuk dengan serangan kutukan Prabu Jagarekso,” Jelas Paklek. Saat itu aku memutuskan untuk memaksa diri untuk berdiri mendekat ke arah Cahyo. Ia menyandarkan Bara di sebuah batu candi yang besar. “Bara?!! Kau menyelamatkan kami sekali lagi!” ucapku menatap wajah yang persis dengan Cahyo itu. Ia menatapku memaksakan senyumnya dengan tubuh yang lemah. “Hahaha, Danan… seandainya aku berhasil kembali ke semestaku, apa sekarang Danan yang ada di sana akan bersedia berteman denganku?” Ucapnya lemah. Mataku berkaca-kaca melihat harapan kecil yang terucap di bibirnya itu. “Pasti! Pasti Bara! Tapi hati-hati, kalau kesal sama kamu dia pasti juga suka ngelempar sandal atau Barang ke kepala kamu,” Balasku sambil mengusap air mataku. “Kenapa kau senekat itu, Bara?” Tanya Cahyo. “Nekat? Bukankah kita semua sama? Semua berjuang dengan resiko nyawa kita,” Balas Bara. Hoekk!! Sekali lagi Bara memuntahkan darah. Wajahnya semakin pucat dan tubuhnya terkulai lemah. “Kau benar, Cahyo. Yang kubutuhkan bukan kesaktian. Tapi seorang teman..” ucap Bara yang hampir kehilangan nafasnya. “Bicara apa kau, Bara? Seorang teman? Kau punya lebih banyak dari itu,” ucap Cahyo berusaha menahan air matanya. Ucapan itu membuat Bara melihat ke sekelilingnya. “Hebat Mas Bara! Bukan Cuma monyet kembar, tapi ada Cahyo kembar juga! Itu keren!!” ucap Guntur. “Bisa mengecoh trah pakujagar dan menyelamatkan mereka bertiga, itu bukan kemampuan biasa..” Ucap Nyai Jambrong. “Dirga pasti akan nyeritain tentang mas Bara ke Abah..” Tambah Dirga. “Kau melakukan hal yang hebat, leluhurmu pasti bangga padamu,” Tambah Baswara. Bara tersenyum mendengar ucapan-ucapan itu yang terdengar semakin kecil di telinganya. Ia pun menutup matanya, dan ucapan dari teman-temannya mengantarkannya ke tidur yang panjang. Saat itu air mata kami menetes, kami tak menyangka akan menangisi sosok yang selama ini menjadi musuh kami. “Danan, sudah saatnya..” Terdengar suara bapak dengan wujud yang semakin pudar. “Ba—bapak? Tunggu pak!” ucapku. Bapak tersenyum melihatku dan mengusap rambutku. “Kamu nangisin apa? bapak sudah tenang, dan kamu hidup dengan teman-teman yang baik,” ucap Bapak. Aku mengangguk, namun air mataku semakin deras. “Danan emang gitu, Pakde! Cengeng! Nanti Cahyo beliin susu segar Boyolali dulu biar diem!” Sahut Cahyo. Saat itu aku memukul kepala Cahyo sambil berusaha mengendalikan air mataku. “Pak, Sekarang Danan sudah punya pekerjaan, Ibu juga senang mendidik di sanggar Desa Kandimaya…” ucapku. “Naya.. Nan, Naya” Bisik Cahyo. Sekali lagi aku menyikut temanku yang kurang ajar itu. “Danan juga sudah punya calon,Pak. Sinden juga kayak ibu,” ucapku. “Bapak sudah tahu kok, Naya kan? Kesadaran bapak ini selalu memperhatikan kamu melalui permata itu,” Aku mengusap mataku dan wujud bapak perlahan semakin pudar. “Apa Danan bisa ketemu bapak lagi?” Tanyaku. Bapak menggeleng, namun ia tersenyum. “Tidak, Nan. Tapi bapak punya peninggalan di beberapa tempat. Mungkin kamu bisa mengingat tentang bapak dari setiap benda-benda itu. Ajaklah Naya, mungkin saja dia tertarik dengan kisah masa muda Bapak…” Mendengar hal itu, hatiku sedikit lega. Itu artinya, aku masih bisa merasa dekat dengan Bapak bila menemukan peninggalan yang ia maksud. “Baik, Pak. Akan Danan Cari semuanya bersama Naya…” balasku yang Sekarang sudah bisa menerima kepergian bapak dengan tersenyum walau air mata ini masih menggenang. “Itu baru Dananjaya Sambara. Cahyo, Pakde titip Danan ya…” “Siap! Tenang Pakde, kalo nakal nanti Cahyo jewer!” Cahyo memperagakan pose hormat pada sosok Bapak yang perlahan menghilang dari hadapan kami. Saat itu matahari sudah mulai terbit, suara peperangan mulai berhenti. Dan tentu saja aku sudah bisa menebak, peperangan di padang kurusetra itu dimenangkan oleh siapa. Suara kereta kencana terdengar bersama gelombang pusaran besar yang muncul tertutup kabut. Candramukti mendekatinya dan membentuk dua lorong yang terpisah. “Saatnya kami kembali, Danan..” ucap Raja Indrajaya. “Kau berkali-kali menyelamatkan kami,” Tambah Mas Brasma. “Aku akan membalas budi ini,” Daryana berkata sambil menggendong Eyang Widarpa yang masih belum tersadar. Ada sedikit pemandangan aneh saat itu. Baswara dan Cahyo saling bertatapan. Tak ada ucapan di antara mereka. Baswara hanya mengacak-ngacak rambut Cahyo dan pergi meninggalkannya. “Pangeran tapi kelakuannya nggak jelas,” ucap Cahyo. Aku tersenyum melihat pemandangan itu. Namun sekilas aku menyadari ada kemiripan diantara mereka berdua. Pasukan dari zaman Indrajaya pun kembali melintasi kabut itu, dan kami pun menyusul memasuki lubang yang satunya. Dengan Bantuan Buto Kendil, kami bisa melewati lubang dimensi itu dengan aman. Tepat saat kabut tersingkap, aku melihat wajah seorang wanita yang benar-benar sangat ingin aku temui saat ini semua berakhir. Dan aku beruntung, kini ia berada dibalik kabut itu menyambut kedatangan kami dengan wajahnya yang penuh rasa cemas. “Naya, mas pulang…” ***

EPILOG (Di desa Dirga..) Suara pintu rumah yang diketuk membuyarkan tidur siang Dirga yang jarang sekali ia nikmati saat berlatih di rumah Nyai Jambrong. “Dirga, bangun! jangan molor terus!” Teriak Mas Jagad dari luar. “Masuk saja, Jagad. Bangunin sendiri Dirganya” teriak Abah mempersilahkan Jagad masuk. “Siap, Bah..” Balas Jagad yang segera memasuki rumah dan menuju kamar Dirga. Ia melihat keadaan kamarnya yang jauh lebih tertata rapi dibanding sebelum kepergiannya berlatih. “Bangun, cepet! Ada yang mau ketemu!” “Ada apa sih, Mas? Jarang-jarang bisa tidur siang begini..” Balas Dirga. “Udah ikut aja!” Jagad menarik Dirga dari kasurnya, ia tidak sempat mengganti celana pendeknya dan hanya memilih mengambil sarung untuk menutupi kakinya itu. “Ya ampun, mas! buru-buru banget,” ucapnya. Saat itu Jagad mengajak Dirga ke sebuah hutan tempat ia sempat bersembunyi dari serangan trah Pakujagar. sudah ada yang menunggu di sana. “Anak perjaka tidur di siang bolong, hati-hati ketularan takdir jomblonya Jagad,” Ucap sosok itu. “Ya ampun, Nyi.. Udah tahap penjajakan nih!” Bantah Jagad. Sosok itu adalah Nyi Sendang Rangu yang sengaja datang menemui Dirga. “Eh, Nyi… “ Wajah Dirga tersipu saat bertemu Nyi Sendang Rangu dengan pakaian seadanya itu. “Sudah nggak usah malu, saya tau kamu gak ganti baju pasti kelakuan Jagad kan?” Ucap Nyi Sendang Rangu yang mengambil posisi duduk di salah satu batu. Ia mengeluarkan sebuah benda yang hitam dan usang. “Saya hanya mau mengantarkan ini..” Nyi Sendang Rangu memberikan benda itu pada Dirga “Apa ini Nyi?” Dirga mengambil benda itu dan mengambil posisi duduk bersama Jagad. “Keris Dasasukma. Hanya itu yang bisa saya ambil dari tubuh Prabu Jagarekso saat itu,” ucap Nyi Sendang Rangu. Dirga menatap bilah besi tua itu sambil menghela nafas. “Ya sudah Nyi, akan lebih baik jika aku tidak perlu menggunakan benda ini lagi,” ucap Dirga. “Aku setuju,” tambah Mas Jagad. Nyi Sendang Rangu mengangguk mengerti maksud Dirga. “Saya mengerti, tapi mungkin saja kamu ingin mengetahui sesuatu dibalik obsesi Prabu Jagarekso terhadap keris itu,” “Nyi tau?” Nyi Sendang Rangu menggeleng, “Tapi kalau seseorang yang mungkin bisa menempa keris itu kembali pasti kamu sudah tahu orangnya kan?” “Iya Nyi, tapi untuk itu sepertinya aku masih harus mengantri,” Balas Dirga. Nyi Sendang Rangu tersenyum dan berdiri dari tempatnya. ia pun berpamitan pada Jagad dan Dirga setelah urusannya selesai. Dirga memandang bilah keris dasasukma itu, mereka berdua merasa bahwa sisa-sisa keris dasasukma itu yang pernah direbut Prabu Jagarekso itu akan membawa mereka ke perjalanan yang lain. ***

(di bawah pohon beringin asrama..) “Sepertinya kita akan berpisah di sini..” Ucap Cahyo di hadapan Danan dan Naya. “Aku tanya sekali ini, Jul. Kamu lagi nggak bercanda kan? Ini bukan soal jarak Klaten ke Magetan lho?” Balas Danan. “Haha.. untuk kali ini nggak, Nan. Kayaknya Sekarang kita punya tujuan perjalanan masing-masing. Anggap saja kita lagi jalanin perintah dari, Paklek..” Danan melihat sosok seseorang yang bersandar di batang pohon beringin itu, Candramukti. “Masalahnya tempat yang kamu datangi itu gak bisa didatengin cuma dengan naikin SiMbahlho Mas Cahyo,” tambah Naya. “Tenang saja, semua akan baik-baik saja. Aku hanya merasa harus membalas perbuatan Bara. Setelah kukalahkan keris terkutuk di alamnya aku akan segera kembali,” Jelas Cahyo. Setelah selesainya pertarungan itu, Cahyo meminta Candramukti untuk membawanya ke alam dimana Bara lahir. Ia berjanji dalam hatinya untuk membuat perjalanan Bara ke alam ini tidak sia-sia. Ia ingin datang ke semesta itu dan memperbaiki semua kesalahan yang pernah Bara perbuat. “Kau jadi melakukan perjalanan dengan Naya, kan?” Tanya Cahyo. Danan mengangguk, sepertinya ia tidak bisa lagi menghalangi Cahyo. “Akan kuceritakan semua tentang Bapak saat kau kembali nanti,” Ucap Danan. “Aku tunggu..” “Mas Cahyo nggak pamit sama Sekar?” Tanya Naya. Seketika wajah Cahyo berubah cemas. “Lha, itu.. aku takut dia kepikiran,” Balas Cahyo. “Ya udah, tar aku pamitin. Aku bilangin Cahyo lagi magang di kebun binatang luar pulau,” Ledek Danan. “Asemmm kamu..” kesal cahyo memukulkan sarungnya. Cahyo ingin melangkah berpaling, tapi ia terhenti sejak. “Tolong sampaikan sama Sekar, Nan… Bilangin, Mas Cahyo cuma pergi sebentar. Mas Cahyo nggak pamit karena nggak mau Sekar khawatir. Mas Cahyo nggak bisa ngeliat wajah cemas Sekar, kepikirannya bisa tiga hari… Bilangin juga, saat kembali nanti pasti aku bakal ngajak Sekar ke jenjang yang lebih serius. Mudah-mudahan Sekar mau nunggu Mas Cahyo Dan misalnya Mas Cahyo nggak kembali…” “Udah, Mas! Sekar cuma mau denger sampe situ aja!” Tiba-tiba seorang perempuan muncul dari balik salah satu pohon di sana. “Se–Sekar?!” Cahyo kaget. Saat itu Danan dan Naya tertawa terbahak-bahak melihat muka merah Cahyo. Bahkan Candramukti yang menunggu dari jauh saja ikut tertawa. “Asem! Kowe ngerjain aku, Nan!” Danan berusaha menghindar dari sabetan sarung Cahyo. Tapi saat Sekar mendekat, seketika Cahyo menjadi jinak. “Sekar nggak cemas, Sekar percaya Mas Cahyo pasti kembali. Sekar cuma mau pesen ke mas Cahyo.. Jangan makan sembarangan, kalau makan pisang atau buah dari pohon dicuci dulu, Kalau tidur jangan malem-malem, dan jangan nekat. Sama satu lagi. biarpun alam ini memiliki banyak semesta. Tuhan itu cuma satu. Jangan lupa kewajibanmu ibadah..” Ucap Sekar. Cahyo menggaruk kepalanya mendengar nasihat dari Sekar. “Ya sudah, mas pamit ya..” Sekar mengangguk. “Mas.... sa--sa-- yang Sekar…” “apa mas?” Tanya Sekar “Eh.. enggak,” “Heh, Apa? Kok bisik-bisik..!” “Nggak, Udah.. mas pamit ya!!!” Saat itu Cahyo berlari dan seekor kera kecil melompat dari atas pohon ke bahunya. Wajahnya begitu merah, tapi ia aku cukup senang melihat Cahyo pergi dengan semangat. Terlebih aku dan Naya benar benar terhibur melihat wajah Sekar yang sumringah mendengar bisikan Cahyo yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. - TAMAT -

Terima kasih sudah membaca kisah ini hingga akhir mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close