Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 62) - Angkringan


Setelah keluar dari kamar hotel, Jaka Indi kemudian turun ke lobby hotel, dan menyapa petugas hotel, lalu bertanya dimana dirinya bisa menemukan Angkringan yang menjual s**u jahe
dan beberapa kudapan.

Petugas hotel sempat terperangah heran, mengetahui seorang tamu yang tadi memesan kamar presiden suite, di hotel berbintang lima, justru mencari makanan kaki lima.

Melihat ekspresi kejut dan heran petugas hotel Jaka Indi hanya menjelaskan sambil lalu kalau ia kangen makan nasi kucing yang pernah ia rasakan dimasa kuliah dahulu.

Petugas hotel hanya menunjuk kearah halaman hotel dan berkata, "Tuan bisa tanyakan sama pengemudi taxi umum atau taxi online yang parkir berjajar dihalaman dekat taman hotel.

Jaka Indi melangkah keluar dari hotel dengan langkah riang, hatinya sungguh merasa gembira setelah apa yang dilakukannya atas Gendis, dengan langkah lebar ia menuju salah satu pengemudi taxi blue bird dan minta diantarkan ke Angkringan yang menjual s**u jahe dan nasi kucing yang berada dekat kampus.

Dari yang diketahuinya umumnya jajanan dekat kampus harganya relatif murah dan yang terpenting rasanya enak-enak, hanya dalam waktu kisaran 20 menit, Jaka Indi telah sampai di tempat Angkringan, Jaka Indi sengaja memilih duduk lesehan di atas tikar yang berada di atas trotoar jalan, dan memesan nasi kucing isi sambal teri, serta beberapa kudapan, disertai minuman s**u jahe panas.

Pengunjung Angkringan saat itu tidak terhitung ramai, umumnya hanya terdiri dari mahasiswa dan pasangan muda-mudi warga.

Sesaat Jaka Indi meminum dua-tiga teguk air s**u Jahe, muncullah tiga remaja putri mengendarai dua buah motor matic, dari tampilannya seperti mahasiswi.

Setelah mereka duduk dan memesan makanan, nampak salah seorang gadis yang paling tinggi posturnya dan paling cantik wajahnya, dengan dibalut celana jeans hitam dan baju kuning yang sedikit terbuka bagian punggungnya, terkejut ketika menatap Jaka Indi.

"Sediluk yo... aku ning koncoku sik." (sebentar ya.. aku temui temanku dulu). Ucapnya pada teman temannya, seraya kakinya melangkah menghampiri Jaka Indi.

"Mas Raden apa kabar!? Mengapa mas Raden bisa ada disini!? Apa aku boleh duduk disini!? Apa mas Raden masih mengingatku!?" Ujar gadis cantik tersebut dengan pertanyaan beruntun sekaligus.

Kemudian Jaka Indi menatap gadis itu lekat-lekat, seorang gadis manis berpostur tinggi, berkulit eksotis kecoklatan dengan tubuh sintal, dan lekuk tubuh sempurna. Yang menariknya gadis tersebut mengenakan sepasang sarung tangan warna hitam. Serasa seperti pernah melihatnya, tapi Jaka Indi tidak mengingatnya.

"Silahkan nona, bila nona ingin ikut duduk lesehan disini, ini tempat umum kok." Jawab Jaka Indi dengan senyum bersahaja.

Kemudian gadis itu langsung duduk lesehan tepat dihadapan Jaka Indi.

"Apakah mas Raden Jaka Indi tidak mengenaliku. "Belum mengingatku!?" Kali ini gadis itu menyebut nama Jaka Indi dengan lengkap, tapi Jaka Indi tetap belum mengingatnya, sebenarnya tatkala si nona memanggilnya dengan sebutan mas Raden, sempat terlintas di pikiran-nya kalau gadis manis ini adalah kenalannya dari negeri astral seperti nona Gendis.

Tapi ketika gadis manis itu memanggil kembali dengan nama lengkapnya, membuat Jaka Indi ragu.

Melihat Jaka Indi masih diam termanggu tanpa berucap apapun, Gadis manis tersebut lalu melepas sarung tangan dari tangannya, hingga nampaklah kelima jari tangannya yang lentik, hanya ada yang berbeda pada bagian ibu jarinya, nampak memiliki kuku yang panjang lagi runcing, dengan warna kuku seperti pelangi yang terang mencorong laksana pospor.

"AIih..ini pasti kuku yang mengandung racun, siapa yang melihat kuku seperti ini, akan mengingatkan pada kuku pancanaka yang dimiliki Bima (Werkudara) tokoh perwayangan dalam kisah Baratayudha." Renung Jaka lndi.

Jaka Indi selang sesaat mulai teringat dengan gadis manis bertubuh molek yang datang bersama Anindya sebagai utusan Kraton Kasepuhan Haryodiningrat yaitu Aninditha.

"Apakah kamu Aninditha yang datang bersama Anindya!?"

"Benar sekali mas Raden, aku memang Aninditha, tepatnya lda Ayu Putu Aninditha, seraya memakai sarung tangannya kembali lalu meraih tangan Jaka Indi dan menggenggam tangan Jaka Indi dengan kedua tangannya, layaknya sahabat akrab.

Setelah itu si nona melepaskan genggamannya sambil berkata lirih, sebentar ya...mas Raden Jaka, aku pamit dulu, sama teman-temanku.

Aninditha membalikkan badannya dan berjalan kearah teman-temanya, mengatakan beberapa patah kata, lalu menuju pedagang angkringan untuk memesan kudapan dan wedang jahe, lantas melangkah kembali berbalik ke tempat Jaka Indi.

"Ehmmm.... Ternyata Aninditha gadis Bali, bukan gadis Jawa." Gumam Jaka Indi.

Jaka Indi langsung mengetahui kalau Aninditha orang Bali saat ia menyebut namanya Ida Ayu Putu Aninditha.

Nama orang Bali kasta brahmana merupakan golongan para ahli agama dan ilmu pengetahuan, golongan ini paling dihormati dan biasanya (dahulu kala) menjadi penasehat raja.

Kasta brahmana dan keturunannya mendapat gelar lda Bagus (untuk laki-laki) dan lda Ayu (untuk perempuan). Tapi yang menjadi pemikiran Jaka Indi adalah soal kuku Aninditha yang seperti kuku Pancanaka yang dimiliki Arya Bima (Werkudara).

Kuku Pancanaka pusaka Werkudara berupa kuku panjang runcing seperti pisau kecil di jempol kedua tangan Bima.

Alkisah putra Dewi Kunti yang berasal dari hasil puja cipta Bathara Bhayu itu lahir dalam wujud bungkusan sangat liat.

Bayi itu sejak usia delapan tahun diletakkan di hutan "Mandalasara". Tak ada satu orangpun yang mampu membuka bungkus itu. Bungkus itu tumbuh dan membesar meski tanpa makan dan minum, hanya menghirup udara.

Dikisahkan kalau di kahyangan ada Gajah Setu Sena yang giat bertapa dengan maksud meminta anugerah kelak dapat masuk ke surga manusia. la adalah anak dari Gajah Setu Bandha hewan klangenan Bathara Indra.

Permohonannya akan dikabulkan jika ia dapat menolong anak Dewi Kunti lepas dari bungkusnya.

Saat bungkus berusia 12 tahun, Gajah Setu Sena datang dan merobek bungkusnya dengan kedua gadingnya yang sangat kuat dan sakti. Di dalam bungkus itu ternyata ada seorang bocah besar yang lalu menangkap kedua gading itu dan dengan sekuat tenaga mematahkannya.

Ajaib, kedua gading itu lalu menyatu di jempol tangan bocah itu membentuk kuku yang panjang dan runcing, sementara sukma Gajah Setu Sena menyatu dalam diri bocah itu.

Kuku itu diberi nama Kuku pancanaka.

Entah bagaimana Aninditha bisa memiliki kuku seperti Pancanaka yang dimiliki oleh Arya Bima, renung Jaka Indi.

"Mas Jaka...! Mas Jaka...!" Terdengar nada panggilan dari Aninditha, yang seketika menyadarkan Jaka Indi dari lamunannya.

Jaka Indi baru menyadari kalau Aninditha sudah duduk kembali dalam posisi bersila tepat di hadapannya.

"Ada apa...? Sahut Jaka Indi.
"Melamun apa toh mas!? Kalau boleh tahu ada keperluan apakah mas Jaka ada di Yogyakarta!?"

"Aku rencananya besok pagi-pagi sekali ingin ziarah kubur, ke-kerabatku yang belum lama meninggal."

"Sini... beritahu alamatnya ke-aku, aku kan gadis Yogya, bahkan lahir dan besar di Yogyakarta, aku sangat hafal dan faham daerah sini mas," ucapnya sambil tersenyum manis, hingga tampak dekik lesung pipinya yang menggiurkan.

"Ouuuh.. kamu bukan gadis asal bali toh!?"

"Ayahku asli orang bali, dan ibuku asli jawa, tepatnya dari yogyakarta," Jelasnya teriring senyum.

Lalu Jaka Indi menyerahkan secarik kertas bertuliskan alamat pemakaman Achitya.

Pemakaman Umum Seyegan Kabupaten Sleman Yogyakarta.

"Lho Sleman ini tempatku, bagaimana kalau besok mas Jaka saya hantar ke pemakaman, sekalian kita sama-sama kesana." Ujar Aninditha.

"Baik...terima kasih, tapi kita besok janji ketemuan dimana?"

"Begini saja kalau Mas Jaka belum ada tempat menginap, bagaimana kalau mas Jaka menginap di rumahku, di Sleman.!?"

Jaka Indi terdiam dan merenung sesaat, mengingat pengalamannya dengan Gendis, yang membuat Jaka Indi sempat terancam nyawanya, tentu ia harus hati-hati atas ajakan Aninditha yang juga merupakan anggota perkumpulan pembunuh rahasia bunga teratai.

Melihat ekspresi keragu-raguan di wajah Jaka Indi, Aninditha segera mengambil sesuatu dari saku celana jeans hutamnya, sebuah plakat dari platinum seukuran kartu kredit berwarna hitam dengan logo garuda hitam, lalu menyerahkan ke Jaka Indi, sambil berbisik ke sisi telinga Jaka Indi.

"Mas Jaka.. aku sebenarnya anggota satria bayangan atau pasukan hitam, sama dengan mas Indrajit. Mas Indrajit itu adalah pembinaku juga seniorku dan atasanku, aku dapat instruksi dari mas Indrajit, bila bertemu mas Jaka agar membantu apapun keperluan mas Jaka Indi." Bisiknya lirih.

Jaka Indi menerima pemberian kartu platinum berlogo garuda hitam dan mengamati sesaat, ini memang kartu dan logo garuda hitam yang sama seperti yang pernah dilihatnya saat Indrajit memperkenalkan dirinya sebagai anggota Satria Bayangan.

Lalu Jaka Indi melihat dibalik kartu ada tertulis angka 39.

"Hmmm.. berarti Aninditha adalah anggota ke 39 dari 40 anggota satria bayangan." Batin Jaka Indi.

BERSAMBUNG
close