JURAGAN PESUGIHAN (Part 2)

Pasar Krempyeng
JEJAKMISTERI - Sesampainya di pasar krempyeng, pasar sudah mulai ramai. Meskipun dinginnya malam masih sangat terasa menusuk tulang. Para pedagang (bakul) mulai menyiapkan daganganya, ada yang menurunkan dagangan dari becak motor. Ada juga yang masih tawar menawar disebelah mobil pickup, mobil itu masih penuh sayuran. Bahkan ada yang tertidur lelap diantara tumpukan dagangannya. Pemandangan yang cukup menakjubkan, perjuangan seorang hamba demi menafkahi keluarganya.
Sejenak Ricky menghentikan motor bututnya di depan pasar tradisional sambil kepalanya tengak-tengok kanan kiri melihat situasi. Tampak agak jauh dari kami berhenti, terlihat pedagang dan bakul sayur sedang bercengkrama...
“Teronge iki perkilo piro, kang?”(teronge ini per kilo berapa kang) tanya pembeli.
“Haalaah yu... koyok biasane ae” (Haalaah yu... seperti biasanya saja) jawab bakul sayur.
“Yo wes... 20 kilo, diangkatno sekalian ya” (Ya Sudah diangkatkan sekalian ya) pinta ibu pembeli.
“Siap mbak nyu...” timpal pak bakul sambil menimbang dagangannya.
Percakapan tersebut sayup-sayup terdengar dari kejauhan.
Akhirnya, pandangan kami tertuju pada dua warung yang berada di pojok pasar. Ada perbedaan yang agak menonjol diantara dua warung tersebut. Warung yang berada di sebelah tempat parkir bercat kuning dengan penerangan yang cukup “byarr” atau terang dengan dilengkapi free wifi, khas Warung G**** yang digandrungi anak-anak muda saat itu. Sedangkan satunya warung kopi biasa, dengan penerangan agak redup dan kelihatan pengunjungnya orang-orang yang cukup berumur. Kami putuskan memilih warung G**** untuk berngopi ria disamping harganya murah ada wifinya juga. Warung ini menyediakan kursi kayu bebentuk L memutari meja utama, sedangkan kursi dan meja kayu terpampang rapi didepannya berjumlah empat set. Kami pun berjalan sambil mendorong motor butut Ricky ke arah warkop tersebut, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami berhenti.
Pengunjung saat itu sudah sepi, karena waktu sudah larut malam menjelang subuh. Hanya terlihat tiga orang pengunjung yang kulihat duduk dikursi utama. Sambil menghisap rokok dalam-dalam dan ngobrol satu sama lain, suasana di malam itu sungguh tentram dan santuy. Meski tampak sepi warkop itu bersih, dihiasi cahaya yang terang menambah kenyamanan para pengunjung. Tujuan utama kami mampir di warung kopi tersebut tak lain hanya untuk menghilangkan penat, karena dari siang hingga dini hari kami berkutat dengan tugas kuliah, sungguh melelahkan dan ingin sejenak refresing, ngegame dan ngopi. Gue ingat waktu itu kita tiba di warkop sekitar jam dua kurang seperempat dini hari. Kamipun pun memesan kopi susu berdua, meski sambil menahan lapar kita tetep ngopi saja!
“Kopi susu dua?” pesan gue pada penjaga warkop.
“Iya mas, tungu sebentar” jawabnya.
Hanya itu yang bisa kami pesan, dua cangkir kopi. Masalahnya uang kami hanya cukup untuk beli 2 cangkir kopi saja, rokokpun tinggal 6 biji lusut dan tak enak dipandang. Nasib boy.....!!!
Semakin pagi pasar semakin ramai, para pengunjung mulai berdesakan dan terlihat terburu-buru. Mereka adalah bakul-bakul yang membawa motor dan sepeda pancal, mereka lagi kulakan untuk diecer kembali ke kampung sekitar. Sungguh riuh suasana pasar krempyeng dipagi itu.
Di warkop, suasana semakin asyik dan gayeng. Kami seruput kopi susu masing-masing diiringi kepulan asap dari rokok faforit kami yaitu rokok GG, yang sedang kami hisap dalam-dalam sambil menikmati suasana pasar disaat malam menjelang pagi. Hening tanpa ada satu katapun keluar dari bibir kami berdua, hanya kepulan asap yang menyebar disudut tempat kami duduk. Saat minum kopi gue merasakan pahitnya kopi diselingi manisnya susu yang sedikit demi sedikit kami sruput seperti suasana hati yang sedang gue rasakan saat ini.
“Gimana Rick?” tanya gue.
“Gimana apanya?” timpal Ricky.
“Yo uripe awak dewe (ya hidup kita berdua)... kuliah jalan, kerja juga sudah, tapi aku merasa masih kurang?” tanya gue.
Ricky hanya menatap kosong ke arahku dengan jawaban pendek yang terlempar dari mulutnya. “Ooohh...”
“aaaah-oooooh... Cuuuuk” ucap gue kesal.
Tapi Ricky tidak merespon sama sekali. Kemudian...
“Rick... kok suasananya agak aneh ya?” tanya gue.
“Aneh apanya... biasa” jawab Ricky.
“Rasakan hembusan angin malam ini.... ada yang aneh. Kelihatannya bakal terjadi sesuatu” jelas gue pelan.
Angin berhembus pelan, namun tidak seperti biasanya. Perasaan Ricky juga demikian, memang ada yang aneh dengan malam ini. Meskipun demikian Ricky pun tidak menanggapi serius perkataan gue, karena lagi sibuk merasakan nikmatnya hisapan rokok penghabisan. Gue tetap memperhatikan suasana pasar dengan serius, seperti detektif yang tidak mau kehilangan buruannya. Ricky sebenarnya juga merasakan suasana yang aneh malam itu, suasana “samun” bikin orang merinding. Biasanya ada makhluk ghaib yang sedang jalan-jalan. Bulu kudukpun terasa berdiri sendiri, meskipun Ricky tidak merasa takut sama sekali.
Sesaat gue tertegun dan pandangannya fokus ke arah kanan kepada sesosok pria dewasa memakai baju dan celana warna hitam, umur sekitar 40-an. Dia berjalan dari arah parkiran pasar dengan tenang namun bertingkah agak aneh. Tangan pria itu berada dibelakang pinggul dengan jari-jemari saling berpegangan satu sama lain, nampak seperti posisi menggendong. Ternyata, pria itu menggendong seorang anak kecil dengan ciri tinggi 40 cm, berkepala botak, memakai kancut wana putih, berkulit kuning pucat. Anak kecil itu menengok kearah kami berdua sambil tersenyum.
Riky mengira itu adalah anak pria tersebut jadi Ricky sendiri tak begitu perduli dengan anak itu, tapi tidak dengan gue yang terus memantau gerak gerik pria berpakaian hitam itu. Tiba-tiba pria yang baru tiba itu berhenti di depan warkop dimana kami sedang ngopi dan menurunkan anak yang ada di gendongannya.
“Ayo nak, waktunya bekerja!” perintah pria itu dengan sura pelan.
“Inggih bos...” jawab anak kecil itu sambil turun dari gedongannya.
Percakapan mereka berdua terdengar sama-samar karena riuh para pedangang di pasar tersebut. Anak kecil itu pun turun dari gendongan tuannya dan diam terpaku.
Gue terus memperhatikan mereka berdua dengan sedikit takut. Gue menggeser posisi duduk mendekati Ricky. Ricky juga terheran-heran melihat pemandangan tersebut, seorang anak kecil yang dipaksa bapaknya bekerja. Padahal kami berdua tidak pernah diperintah orang tua bekerja, namun kami sendiri yang ingin bekerja untuk membantu beban orang tua. Kami menyadari, kalo kami hanya berasal dari keluarga sangat sederhana yang ingin merubah nasib.
Apa yang ada dibenak bapak itu. Tragis sekali...
“Ayo jalan, waktunya cari uang!” perintah pria itu. Kemudian anak kecil itu pun mulai berjalan pelan ke arah para bakul yang sedang sibuk menjajakan dagangannya. Gue merasa aneh dengan kejadian itu dan tidak habis pikir dengan kelakuan pria tersebut. Tapi ricky dengan sikap cuek tingkat dewanya tidak memperdulikan kejadian tersebut. Ricky merasa itu urusan orang lain bukan urusan kita dan kita tidak boleh ikut campur urusan orang lain. Dosa! Urus diri kita sendiri agar jadi manusia yang baik untuk dunia dan akhirat.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya