JURAGAN PESUGIHAN (Part 6)

Perjalanan ke Desa Pesugihan.
JEJAKMISTERI - Minggu pagi pada tanggal yang sudah ditentukan, kami berangkat dari rumah Ricky ke daerah **** dengan motor andalannya. Gue sangat berharap motor butut itu bisa sampai kesana dengan selamat, karena kami harus melalui tanjakan serem yang penuh dengan cerita magis. Tetapi, Ricky sangat percaya diri bahwa tidak akan ada apa-apa yang bisa merintangi perjalanan kami berdua kali ini atas izin Allah dan dia juga seorang mekanik, meskipun amatiran.
Perjalanan kami cukup Panjang, karena harus melewati gunung dan lembah (kayak ninja hatori). Motor kami harus menerobos hutan yang sangat sepi, sesekali terdengar suara binatang dari dalam hutan. Motor gue terus berjalan stabil, tidak ngebut dan juga tidak terlalu pelan. Sesekali kami berhenti ditengah hutan sambil menikmati sejuknya udara hutan dan menengguk air minum yang sudah kami siapkan. Bawa bekal biar tidak terlantar, hitung-hitung meniru anak-anak PAUD. Ketika kami berhenti sebentar dijalan yang membelah hutan untuk menghilangkan penat dan beranjak mau berangkat kembali, tiba-tiba motor kami nggak mau dinyalakan...
“waaaah.... kita sudah disambut nich!” gerutu gue.
“Santuy Fan.... gue tak ijin dulu kalo cuman mau berkunjung” jelas Ricky.
Ricky terdiam sejenak sambil komat-kamit, gue tidak tahu lagi baca apaan yang dirapalkannya. Tapi tak lama kemudia Ricky menyuruh gue untuk menyalakan kembali motornya. Brrrrrrr.... alhamdulillah motornya hidup kembali. Kita lanjutkan perjalanan kembali. Gue dan Ricky beberapa kali juga harus istirahat di SPBU dan masjid, sekedar meluruskan punggung (jawa : ngengkok geger). Yang lebih penting lagi biar si motor butut bisa istirahat mendinginkan mesinnya.
Perjalanan masih belum selesai. Setelah sampai di kota T****, kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam lagi ke desa si Tuyul tersebut. Ternyata memang bener mulai dari kec. ***** menuju ke desa tersebut jalannya yang ada nanjak terus, seketika masuk desanya pun kami harus lewat jalan setapak. Untungnya kami masih bisa bawa motor, dengan medan jalan setapak. Minggu Jam 15.30 Wib Setelah menempuh jalan setapak yang hanya bisa dilewati motor, gua dan Ricky berhenti diwarung tengah perkampungan. Suasana desanya sangat asri masih hijau dan nampak belum terjadi polusi pabrik, beda dengan keadaan yang ada di kota. Kamipun singgah diwarung tersebut dengan niatan istirahat, Ngopi dan mencari informasi tentang Mbah Parmin.
“Pak kopi hitam dua” pesan gue.
“Oh ya mas” jawabnya.
Kami duduk didalam warung dan mulai membakar rokok GG kami. Beberapa menit kemudian kopi pun tiba dimeja kami. Sambil menyeruput kopi hitam yang kelihatannya nikmat dan mantap, kami mulai tanya-tanya tentang Mbah Parmin.
Pemilik warung sempat menanyakan tujuan kami berdua mencari Mbah Parmin. Menurut dia banyak orang yang mencari Mbah Parmin dengan berbagai macam keperluan. Gue pun bercerita kalau kami berdua pingin ketemu beliau hanya untuk main saja dan tidak ada maksud apa-apa. Namu pemilik warung sedikit curiga dengan kami berdua.
“Kamu mau beli apa disitu?” tanya pemilik warung.
Dengan polos gue tanya balik “lho memang jualan apaan Mbah Parmin, pak?”
Kemudian pemilik warung dengan suara pelan menjelaskan sedikit tentang Mbah Parmin yang jualan tuyul, babi ngepet dan masih banyak lagi. Intinya adalah pesugihan. Di kampung itu Mbah Parmin sudah terkenal dengan sesuatu yang berbau pesugihan. Masih menurut pemilik warung yang dari tadi duduk di kursi sebelah gue, mengisahkan bahwa Mbah Parmin mempunyai akses langsung dengan para pemilik makhluk ghaib tersebut dan menjadi orang kepercayaannya. Selain itu, Mbah Parmin juga sangat terkenal sebagai dukun sakti yang sering dimintai bantuan. Beliau juga tinggal jauh dari keramaian, menyendiri di hutan.
Gue merasa senang sudah mendapat sedikit info dan gambaran tentang Mbah Parmin, setelah itu gua membayar kopi lalu kita melanjutkan perjalanan ke arah rumah Mbah Parmin yang sudah ditunjukan oleh pemilik warung, ke arah ujung selatan dusun. Motor kami terhenti ketika sampai dirumah terakhir ujung dusun, karena hanya terlihat jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Kami memperhatikan sekeliling sebalah kanan-kiri sudah tidak ada rumah lagi, suasana semakin mencekam bikin bulu kuduk berdiri.
“Rick, kita ndak salah jalan ini. Koq ndak ada rumah sama sekali” tanya gue ke Ricky. Tapi Ricky bersih kukuh kalau jalan yang diambilnya benar dan meneruskan perjalanan kami. Disekeliling jalan hanya terlihat tumbuh-tumbuhan kebun yang besar dan rumpuk tumbuh liar disekitar jalan tersebut. Setelah hampir 15 menit perjalanan dari warung tadi kamipun berhenti dan menghampiri seseorang yang lagi mancari rumput.
“Maaf pak... apa bener ini jalan menuju ke rumahnya Mbah Parmin” tanya gue dengan sopan.
“Looooh.... bukan nak. Pertigaan yang tadi seharusnya kalian belok kiri tidak kekanan” jawab bapak pencari rumput tadi.
“Matur suwun pak” sahut gue.
“Sami-sami nak... hati-hati ya!” jawab bapak tadi.
“Jiianncoook... iyo kan Rick” gerutu gue. Akhirnya Ricky memutar motor bututnya dan kembali menuju ke pertigaan tadi. Haaaduch.... Sudah susah payah kok ternyata salah. Waah bensin tekor nih. Sambutan yang cukup baik... harus tersesat dulu sebelum meraih kemenangan. Perjuangan!. Kamipun sampai ke pertigaan dan mengambil belokan ke kiri seperti petunjuk bapak pencari rumput tadi. Semoga ini jalan yang benar.
Akhirnya di rumah ujung yang terakhir, gue dan Ricky memutuskan turun dari motor, dan bertanya kepada sosok lelaki paruh baya yang sedang menurunkan pakan sapi di depan rumahnya.
“Nuwun sewu, pak bade nderek tanglet? griyane Mbah Parmin ten pundi nggih, terose ten pojok dusun mriki?” (permisi, pak mau tanya? pak rumahnya Mbah Parmin dimana ya,katanya di pojok dusun ini?) Tanya gue.
“Injih mas leres ten dusun mriki, griyane ten atas lereng gunung niku mas, mboten saget nek sampean beto kendaraan” ( iya mas benar didusun ini, rumahnya di atas lereng gunung itu mas, tidak bisa kalau kamu bawa kendaraan)” jawabnya sambil menunjuk ke arah lereng gunung tersebut.
“Lha pripun pak kulo badene sowan ten griyane Mbah Parmin” (lha gimana pak saya mau bertamu kerumah Mbah Parmin) sahut ricky sambil memgangi motor gue didepan.
“Sampean titipno ae sepeda motore ten mriki mas gak popo, terus sampean mlampah lintang saben niku lurus mawon, terus sampean melok dalan cilik iku sampe kepanggih griyo gedek ngadep ngidul ten tengah alas” (kamu titipkan saja motor kamu disini mas tidak apa-apa, terus kamu jalan lewat sawah itu lurus saja, terus kamu ikut jalan kecil itusamapi ketemu rumah bambu menghadap keselatan di tengah hutan) jawab bapak tadi dengan nada meyakinkan.
Kami berdua memutuskan untuk menitipkan motor butut di rumah bapak tadi. Karena menurut dia orang-orang yang bermaksud mengunjugi Mbah Parmin biasanya menitipkan kendaraan di rumahnya. Masih cerita bapak yang berumur 40 tahunan ini bahwa mereka biasanya melanjutkan perjalanan ke lereng gunung untuk menemui Mbah Parmin dengan jalan kaki. Karena memang kondisi jalan setapak dan hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Perjalanan menuju ke Mbah Parmin memang sebuah perjuangan, meskipun dengan niat yang berbeda-beda.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya