Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JRANGKONG


JEJAKMISTERI - Hantu-hantu masa kecil menyelinap dalam malam. Kota-kota menggapai langit. Tapi, jalanan rusak oleh beban yang berat. Dunia menghampar tanpa sekat.

Malam yang basah, hantu-hantu masa kecil mengendap di balik tikungan gelap pinggiran kota. Wyakjon, manusia wajahnya berbulu, memulai cerita. Berbisik.

"Maaf saja, ini bukan cerita sembarangan," ujarnya.

Kata Wyakjon, ada orang tua bernama Kik Saliyan, penjaga tanah desa. Kik Penthong julukannya, lantaran matanya melihat sebelah. Secara gaib, Kik Penthong bisa berubah wujud menjadi macan Jawa yang kini sudah punah.

Dulu, ketika lahan-lahan kebun dan hutan belum ditanami beton dan supermarket, Wyakjon kecil sering pulang mengaji larut malam. Di tikungan yang gelap, ia melewati orang tua bertubuh jangkung, matanya melihat sebelah, wajahnya gelap.

"Amit, Kik," ujar anak kecil. Anak kecil itu tak tahu, ia baru saja menyapa sang penjaga kampung, manusia macan Jawa.

"Karena waktu kecil, saya tidak berpikir akan diterkam Kik Penthong," ujar Wyakjon.

Penduduk kadang mengundang Kik Penthong dengan tembakau, kopi pahit, dan ketan pada acara mantenan. Kik Penthong hadir. Tapi, kehadirannya hanya auman macan yang menggema secara gaib. Untung saja, Wyakjon hingga dewasa tidak jadi macan, padahal wajah dan dadanya penuh bulu.

Dulu, ada orang tua dari desa Kemiren. Tiap pagi ia turun ke pasar tradisional Banyuwangi. Pulang ketika larut malam. Orang tua itu pandai memainkan tabuhan pada sepotong batang bambu. Ia menabuh bambu dengan sejengkal tongkat. Ketak-ketok. Ketok-ketok. Ketak. Tak-Tak. Tratak-tak. Tak.

Nada ketukan itu dimainkan larut malam saat dia berjalan pulang menuju Kemiren. Itulah Wyak Ujir. Bunyi kotekan Wyak Ujir selalu bermain-main di telinga. Hingga pada suatu malam, anak kecil itu terlena nada bambu ketukan Wyak Ujir. Anak kecil terbangun, ia mencukit dinding gedeg rumahnya, melompat di gelap malam mengikuti bunyi kotekan Wyak Ujir. Terus ke sana. Tapi, ternyata itu bunyi gaib. Hingga bunyi kotekan itu lenyap, ia tersesat di kuburan belakang rumah sakit. Ia sadar, berlari pulang.

Ia juga menyebut-nyebut nama misterius bernama Wyak Suri.

Di Kampung Welaran Kulon, belakang rumah Pak Joyo, terdapatlah sebuah jembatan bambu tua yang menghelai di atas sungai. Katanya, itulah tempat yang bernama Kedung. Airnya dalam dan biru pada sebuah cekungan. Dulu tempat itu curam dan gelap. Tuk Arik, orang ganjil di kampung itu. Ada keganjilan yang membuat bergidik ketika menatap wajah Tuk Arik, mulutnya bagai hendak menelan anak-anak kecil, atau mengunyahnya sampai lembut.

Pada sebuah jembatan yang berjuluk Sasak Bagong itulah, seekor uling raksasa keluar dari rongga sungai. Suara gemuruh. Tanah bergetar bagai gempa.

Di barat, perkebunan dan sungai-sungai. Pohon Bendo raksasa menjatuhkan biji-bijinya.

Di situ dulu, terdapat sebuah warung di bawah sebuah pohon randu seberang jembatan bambu. Mbok Eluh menjual kopi dan nangka.
Saat malam larut, suara panggilan yang gaib terdengar di depan pintu. Ia tak menyahuti panggilan itu. Ia takut. Orang tuanya mengingatkan supaya tak menyahuti panggilan ganjil tengah malam dan tidak membukakan pintu.

"Itulah panggilan umur. Siapa yang menyahuti panggilan usia, akan menemui ajalnya!" bisik Wyakjon.

"Itu tidak masuk akal, Wyak," kataku.

"Tidak perlu masuk akal. Sesuatu yang nyata sebagai cerita, kadang tidak perlu dimasukkan akal. Sebab, akalmu tidak akan muat!" jawab Wyakjon menyorotkan kedua matanya dengan tajam kepadaku. Bulu-bulu lebat di wajahnya terkena angin. Tapi, Wyakjon tidak menjelma macan.

Di belakang rumah Dugel, sungai dangkal mengalir. Tiap senja, ada hantu melompati kepala. Jrangkong sungai, kata orang. Makhluk halus yang hanya terlihat bayangannya.

Seorang anak kecil main ban-banan, menggelindingkan ban sepeda pakai tongkat. Ia terjatuh ke sungai penuh beling dan potongan seng. Ia berpikir akan celaka. Tapi, masih selamat.

Sepanjang sungai itu gelap, Jajang Tulup atau pohon bambu merimbun memayungi aliran sungai.

"Di situ terdapat ular piton raksasa. Nguntal orang kayak kamu!" bentak Wyakjon. Kedua biji matanya seperti akan melompat dari tempatnya. Kumis dan jenggotnya menutupi mulut dan lobang hidung.

"Mohon maaf ya, di sini ini, di wilayah rumahmu ini. Ini wilayah Mbah Kopek, wanita tua yang payudaranya panjang," bisik Wyakjon. Giginya gemeretak.

Sekarang tanah-tanah dihuni jrangkong-jrangkong entah dari mana. Ada kekuatan yang tak berjuluk dan tak tampak, mencengkeram desa-desa yang telah menjelma kota. Jrangkong-jrangkong masa kecil lenyap di balik lampu mall. Sesekali kulihat orang jangkung, matanya melihat sebelah, menyeret sebelah kaki di jalanan kota, di antara lampu-lampu terang yang menggoda mata. Jangan-jangan dialah Kik Penthong yang wibawa.

"Selamat malam, kakek tua. Apakah kakek tua akan menjelma macan Jawa untuk menjaga desa?" tanya saya.

Orang itu tak menjawab, berlalu menyeret sebelah kakinya.


close