Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS SEWU LELEMBUT (Part 4) - Nyawa di Tengah Hutan

Suara dari gelang gengge milik Gama merupakan tanda perintah untuk kedatangan sosok yang selama ini mengikuti bayang-bayangnya.

Suara itu bersahutan dengan mantra yang dibacakan oleh Danan..


Part 4 - Nyawa di Tengah Hutan

Suara dari gelang gengge milik Gama merupakan tanda perintah untuk kedatangan sosok yang selama ini mengikuti bayang-bayangnya. Seekor kucing hitam yang berjalan dengan kaki pincangnya…

Tapi kali ini aku tahu sosok semengerikan apa makhluk yang terlihat lemah dan tak berdaya itu. Sangat beruntung saat ini mereka ada di posisi sebagai kawan.

Sudah ada korban jiwa di tempat ini. Dirga juga sudah terluka parah.

Dan sosok yang Mbah Sugik panggil juga bukan sosok sembarangan. Aku tidak bisa menahan diri.

Jagad lelembut boten nduwe wujud Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten

Menyambut suara raungan makhluk besar yang datang ke sisi gama, hujan gerimis mulai membasahi hutan dan mendatangkan sosok yang muncul dari gelapnya malam.

“Si...siapa itu? Cantik sekali,” ucap gama yang kaget melihat sosok Nyi sendang rangu yang terhiaskan butiran air gerimis.

“Kawan,” balasku.

Aku sedikit lega begitu Gama melihat Nyi Sendang Rangu dengan wajah yang cantik. Itu artinya ia memiliki hati yang bersih.

“Jadi sudah waktunya ya?” ucap Nyi Sendang Rangu.

“Jika bencana yang Nyi Sendang Rangu maksud adalah perbuatan orang-orang bodoh ini. Berarti memang sudah waktunya,” ucapku.

Nyi Sendang Rangu berdiri di sebelahku sembari melihat sosok pasukan lelembut yang dipimpin oleh Genderuwo raksasa.

“Mereka memang terlibat, tapi sayang sekali mereka tidak lebih dari alat sang Iblis itu,” ucap Nyi Sendang Rangu.

Aku menghela nafas. Sudah kuduga, Mbah Sugik memang tidak lebih dari dukun yang mengumpulkan tumbal untuk Gandara Baruwa atau mungkin makhluk yang lebih dari itu.

Sialnya, keberadaan Mbah Sugik saja sudah cukup merepotkan kami. Bahkan Dirga dan Guntur saja tidak mampu menahan mereka.

“Ayo kita selesaikan,” ucap nyi sendang rangu.

“Baik Nyi..” balasku.

“Bukan kamu…” tolak nyi sendang rangu tiba-tiba.
Akupun bingung, siapa yang ia ajak untuk menyelesaikan musuh kami.

Saat menoleh, tangan Nyi Sendang Rangu tengah mengelus dagu besar macan Raksasa hitam yang sudah berpindah dari sisi Gama ke sisi Nyi Sendang Rangu.

Makhluk mengerikan itu terlihat sangat bersahabat dengan Nyi Sendang Rangu layaknya sudah kenal cukup lama. Ia bahkan menurunkan tubuhnya seolah mempersilahkan Nyi Sendang Rangu untuk menaikinya.

“Kalian menonton saja…” ucap Nyi Sendang Rangu yang sudah menduduki punggung Meong Hideung dengan anggun.

Aku dan Gama Pun saling bertatapan tidak menyangka akan melihat hal seperti ini.

“Gggrrrraaaooorr!!”

Kedua roh yang kami panggil itupun menerjang sekumpulan pasukan dedemit yang dipanggil oleh Mbak Sugik.

“Hanya dua roh cecunguk! habisi saja mereka!” Perintah Mbah Sugik pada pengikutnya yang sedang kerasukan.

Gerak-gerik mereka benar-benar tidak seperti manusia. Mereka menyerbu Nyi Sendang rangu dengan berlari seperti binatang. di tangan mereka sudah tergenggam pusaka yang siap melukai Nyi Sendang Rangu dan roh Macan hitam itu.

“Roh binatang liar mau menghadapi Khodam Ki Langsamana? Jangan bermimpi,” ucap Nyi Sendang Rangu sembari memperhatikan kuku-kuku lentiknya tanpa menoleh sedikitpun pada orang-orang itu.

Benar saja, tak satupun dari mereka dapat melukai roh Macan hitam itu.

Sebaliknya, satu persatu tubuh mereka tertembus oleh kuku besar Sang Meong hideung.

Darah pun bermuncratan dimana-mana. Tak kusangka makhluk yang dipanggil oleh Gama ini jauh lebih kejam dari Wanasura..

Mbah Sugik Pun gentar melihat apa yang terjadi dengan para pengikutnya. Saat meong hideung bersiap menyergapnya Nyi Sendang Rangu menahanya.

“Aku masih ada urusan dengannya,” ucap Nyi Sendang Rangu yang melayang turun menghadapi Mbah Sugik.

Mengetahui hal itu, Mbah Sugik memerintahkan sosok-sosok yang ia panggil untuk menyerang nyi sendang rangu.

Sepasang bola api yang menyala-nyala melayang ke hadapan Mbah Sugik. Kedua makhluk itu mengincar Nyi Sendang Rangu untuk menghabisinya.

Tapi belum sempat menyentuh Nyi Sendang Rangu, bola api itu padam dengan sendirinya dan terjatuh menjadi bongkahan tengkorak berwarna hitam.

Nyi Sendang Rangu Pun menginjaknya seolah menunjukkan penghinaan kepada sosok-sosok itu.

Terutama kepada pemimpin mereka, sang genderuwo raksasa bermata merah yang dari tadi masih menonton dari belakang.

“Jangan diam saja! Habisi mereka! Aku memberi kalian tumbal bukan hanya untuk menonton!” Perintah Mbah Sugik.

Tepat ketika Genderuwo itu bergerak, Meong hideung meninggalkan Nyi Sendang Rangu. Ia menghadapi sendiri roh-roh gentayangan yang mengeroyoknya.

Sementara itu tiba-tiba wajah Nyi Sendang Rangu menjadi semakin menyeramkan ketika ia mendekat ke arah Mbah Sugik.

Wajahnya menghitam dengan bulu yang tumbuh di wajahnya. Matanya seolah mau keluar dari lubangnya dengan tubuh yang menumbuhkan duri..

“Mas Danan, baru pertama kali aku melihat Nyi Sendang Rangu semengerikan ini,” ucap Guntur yang datang menghampiriku bersama Dirga yang sudah tidak sadarkan diri.

“Roh wanita itu? sebenarnya dia siapa? kenapa sekarang dia terlihat mengerikan?” Gama terlihat bingung.

“Nyi Sendang Rangu, terlalu panjang bila aku harus menceritakan tentangnya. Wujudnya akan berubah sesuai hati manusia yang berhadapan dengannya..” Balasku.

Mbah Sugik mencabut keris yang ada di pinggangnya dan menusuk tubuh Nyi Sendang Rangu.

Nyi Sendang Rangu tidak menghindar, ia menerima serangan itu dan membiarkan keris itu melubangi tubuhnya.

Aku khawatir, namun Nyi Sendang Rangu tidak terlihat kesakitan dan malah semakin mendekat kepada Mbah Sugik dengan wajahnya yang menyeramkan.

Kali ini Mbah Sugik terlihat ketakutan. Ia menarik keris itu lagi dan berkali-kali menusukkan keris itu pada tubuh Nyi Sendang Rangu.
“Mati! Mati!! Mati kau setan busuk!” Teriak Mbah Sugik.
Nyi Sendang Rangu mengangkat tanganya yang telah ditumbuhi kuku-kuku yang panjang.

“Busuk? Wujudku adalah cerminan dosamu!” ucapnya sambil mengelus pipi Mbah Sugik.
“Tidak! Kau bahkan lebih menjijikkan dari semua setan yang pernah ada!” Tolak mbah sugik yang menusukkan kerisnya di wajah Nyi Sendang Rangu.

Darah hitam pun mengalir dari bekas luka yang disebabkan dari keris itu. Tapi Nyi Sendang Rangu tetap tidak bereaksi. Sebaliknya, wajah Mbah Sugik semakin pucat. Sepertinya Nyi Sendang Rangu menunjukkan penglihatan yang membuatnya trauma.

“Hentikan! Pergi!! Pergi!!” Mbah Sugik menoleh memerintahkan sosok genderuwo itu untuk membantunya, Tapi Meong Hideung menghadang makhluk itu.

“Mungkin aku akan berbelas kasihan bila kau membebaskan sukma anak-anak dan orang yang kau tawan,” ucap Nyi Sendang Rangu.

Ti..tidak! Tidak bisa, mereka sudah milik Gandara Baruwa..” Balasnya.

“Dimana mereka?” Tanya Nyi Sendang Rangu sembari mencekik leher Mbah Sugik dengan kuku-kukunya yang tajam.

“Desa.. mereka di desa mati di Leuweung Sasar,” ucap Mbah Sugik ketakutan.

Nyi Sendang Rangupun melempar Mbah Sugik ke tanah dan berpaling menghadapi sosok genderuwo bermata merah itu.

Walau sudah dilepaskan, Mbah sugik masih dengan akal bulusnya. Ia membacakan mantra pada kerisnya dan menusuk punggung nyi sendang rangu dari belakang.

“Mati kau! Setan manapun akan terbakar dengan mantra ini,” ucap Mbah Sugik. 

“Aaarrrrghhhh!!”

Teriakan itu? Mbah Sugik! Dia yang berteriak!
Tiba-tiba dari tubuhnya muncul luka yang memuncratkan darah. luka itu muncul dari perut, tubuhnya, hingga wajahnya.

“Mas?” Guntur mencoba menebak.
Akupun mengangguk. Kami sadar, itu adalah luka yang ia buat di tubuh Nyi Sendang Rangu.

Setelahnya iapun kesakitan dengan luka bakar di punggungnya. Itulah serangan terakhir yang ia hujamkan di punggung Nyi Sendang Rangu.

“To..tolong! Sakit! Sakitt!!” Teriaknya.
Nyi sendang Rangu tidak peduli. Ia terus menyusul Meong Hideung itu dan meninggalkan Mbah Sugik kesakitan sendirian.

Genderuwo itu menggeram menghadapi Nyi Sendang Rangu dan Meong Hideung.

Ia mengayunkan lengannya menyapu tubuh Meong Hideung hingga terseret. Bola api mulai berdatangan menyerang sosok Macan hitam yang masih berdiri dengan tegap itu.

Tapi nyi sendang rangu menghadangnya dan memadamkannya lagi.

Genderuwo itu mengalihkan serangannya pada nyi sendang rangu, tapi meong hideung menahan dengan tubuhnya.

Genderuwo itu mengira mereka berdua sedang terdesak dan meminta semua siluman segera menyerbu Nyi Sendang Rangu.

Tapi mereka hanya menyerang tanah kosong belaka, sementara Nyi Sendang Rangu sudah berada di hadapan wajah Genderuwo itu.

Genderuwo itu tidak sempat bereaksi sementara tangan Nyi Sendang Rangu sudah mencengkeram salah satu mata genderuwo itu dan mencabutnya dari tempatnya.

Mata merah itu ia lempar ke tanah dan diinjak oleh meong hideung.
Suara teriakan genderuwo itu pun berteriak kesakitan. suaranya menggelegar mungkin sampai ke desa.

“Pergi! Kita pergi dari sini! Selamatkan aku!”
Mbah Sugik tiba-tiba sudah merangkak di bawah genderuwo itu dan memerintahkannya untuk membawanya pergi.
Genderuwo yang sudah kesakitan itupun tidak menolak dan segera mengambil tubuh Mbah Sugik.

Mereka tiba-tiba menghilang bersama kabut hitam yang menyelimuti genderuwo itu.
“Nyi! Mereka?” Tanyaku.
“Biarkan, dukun itu belum boleh mati sebelum kita menemukan roh anak-anak itu,” balas Nyi sendang Rangu.

Dengan hilangnya genderuwo itu seluruh siluman dan setan yang menyerang kami pun pergi dan menghilang.
Macan hitam itupun kembali ke wujud kucingnya dan bermanja-manja di kaki Gama.

“Sepertinya kita harus ke Leuweung Sasar untuk mencari sukma mereka,” ucapku pada Nyi Sendang Rangu.

“Kalau memang perlu ke hutan itu aku bisa membawa seorang temanku yang paham mengenai hutan itu,” Sahut Gama.

“Dia hafal tentang hutan itu?” Tanyaku.
Gama menggeleng.

“Tidak, tapi setidaknya ia lebih mengerti hutan itu dibanding kita,” jawabnya.

Aku setuju dengan Gama agar mengajak seseorang yang lebih mengerti. Gunturpun mengingatkanku tentang keadaan Dirga, Nyi Sendang Rangu mencoba sedikit memulihkan luka Dirga yang cukup dalam. Tapi sepertinya ia membutuhkan waktu untuk pulih.

“Aku ikut ke hutan itu mas! Biar kubalas perbuatan mereka ke Dirga,” Ucap Guntur.
Akupun mengelus kepala Guntur dan menjelaskan padanya.

“Untuk kali ini jangan dulu. Harus ada yang bisa menjaga Dirga dan desanya.. percayakan ini pada kami,” balasku.

Wajah Guntur terlihat tidak setuju, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menolak. Ia dibutuhkan di desa ini.

Hujan Nyi Sendang Rangu mengguyur seluruh desa hingga memadamkan rumah-rumah yang terbakar. setelahnya ia menghilang saat subuh mulai datang.

Gama Pun meninggalkan desa sebelum matahari terbit.

Aku mencoba mencari kucing yang sebelumnya bersamanya, tapi ia sudah menghilang begitu saja. Abah panik saat mengetahui keadaan Dirga.

Namun ia menjadi tenang setelah guntur menceritakan bahwa Nyi Sendang Rangu sudah mengobatinya. Mereka Pun segera membawa Dirga kembali ke rumah untuk memberi perawatan.

***

Pagi itu aku menjelaskan situasi yang terjadi semalam pada Paklek dan Abah. Sosok dibalik Mbah Sugik bukan sosok yang biasa. Bahkan Dirga dan Gunturpun sampai tidak berkutik melawan mereka.

“Jadi benar, mereka adalah pengikut Gandara Baruwa?” Tanya Paklek.

“Benar Paklek, yang lebih darurat saat ini sukma ibu Linggar dan anak-anak yang akan mereka tumbalkan disekap di sebuah desa mati di Leuweung Sasar,” Jawabku.

Abah keluar dari kamar Dirga dan ikut bergabung dalam pembicaraan kami.

“Gimana keadaan Dirga Bah?” Tanyaku.

“Terima kasih pada Nyi Sendang Rangu sudah menutup lukanya. Semoga demamnya cepat turun,” Balas Abah.

Abah meletakkan beberapa benda di meja. Sesuatu yang ia tarik dari tubuh Dirga.

“Serangan yang Dirga terima bukan serangan biasa. Ada kuku, taring, dan duri dari Gandara Baruwa yang mereka gunakan untuk melumpuhkan Dirga,” cerita abah.

“Ini semua masih ada di tubuh Dirga?” Tanyaku.

Abah mengangguk, ia meletakkan benda-benda mengerikan itu pada sebuah toples kaca yang di dalamnya sudah diberikan kertas bertuliskan ayat-ayat suci.

“Benda ini ada di tubuh Dirga, tapi sudah tidak melukai. Mungkin Nyi Sendang Rangu sengaja meninggalkanya untuk memberi kita petunjuk,” balas Abah.

Cukup masuk akal. Abah Pun memberikan benda-benda itu kepadaku dan aku masih bingung apa maksudnya.

“Untuk apa ini Bah?” Tanyaku.

“Ada alasan mengapa Leuweung Sasar menjadi hutan terlarang. Bukan hanya karena keberadaan makhluk gaib yang mengerikan saja, tapi hutan itu dapat dengan mudahnya menyesatkan kalian. Mungkin benda ini bisa menuntun kalian menemukan Makhluk terkutuk itu,” Jelas Abah.

Aku mengambil benda itu dan masih merasakan warna dari empu tubuh aslinya. Benar ucapan Abah, benda ini bisa menjadi petunjuk untukku.

“Paklek, sebaiknya paklek tetap di desa. Bantu rawat Dirga hingga sembuh,” ucapku.

“Gandara Baruwa itu bukan setan penunggu biasa lho, Nan. Nggak mungkin kamu menghadapi mereka sendirian,” tolak paklek.

“Nggak sendirian Paklek, Cahyo masih ada di sana dan Gama juga akan membantu kami.. dia kuat,” balasku.

Paklek menoleh kepada Abah sebentar. Aku yakin ia sebenarnya juga khawatir dengan Abah dan Dirga bila meninggalkan desa ini lagi.

“Ya sudah, kalau ada apa-apa beri pertanda ke Paklek ya,” Ucap Paklek.

“Iya Paklek.. Pasti,” balasku.

Abah terlihat cukup lega setelah itu. Apalagi saat ini Mas Jagad juga belum kembali bersama Cahyo.

“Istirahat dulu saja Nak Danan, kabari Gama untuk bertemu di mulut Leuweung Sasar saat perbatasan maghrib,” ucap Abah.

“Bukankah semakin cepat kita ke sana semakin baik , Bah?” Tanyaku.

Abah menggeleng, “Percuma.. Pintu masuk Leuweung Sasar hanya terbuka saat Langit sudah mulai memerah. itu adalah saat paling baik untuk menghindari pengaruh ghaib hutan itu,” Jawab Abah.

Aku mengerti, saat itu aku pun menghubungi gama untuk bertemu di mulut Leuweung Sasar menjelang maghrib. Aku mendapat kabar baik saat itu, ternyata teman Gama juga baru kembali dari hutan itu, dan ia sempat bertemu dengan Cahyo.

Mengetahui kabar Cahyo baik-baik saja. Akupun bisa beristirahat dengan tenang untuk mengembalikan semua energi yang terkuras semalaman.

***

(Sudut pandang Cahyo…)

Suara teriakan makhluk wanita terdengar hingga ke tempat ini. Suaranya yang keras dan mengancam menandakan betapa mengerikanya makhluk itu.

“Leuweung ini terlarang! Tidak ada alasan apapun untuk masuk ke hutan ini!” Teriak Pria Gondrong yang membawa sarungku itu.

Tatapan itu menjadi semakin tajam, jelas pria gondrong ini serius dengan ucapanya.

“Arrggh! Jangan bikin tambah pusing! Aturan apapun itu kalau demi nyawa temanku, aku tidak peduli!” Balasku sembari menoleh ke arah terakhir aku melihat Mas Jagad.

Aku cemas kalau mereka semakin jauh dan tidak terkejar.

“Aku harus mengejar mereka,” Ucapku lagi. Orang itu terlihat kesal dengan ucapanku, walau aku merasa ia sedikit mau mendengarkan alasanku.

Mungkin aku harus mencoba mendekat dan menjelaskan keadaanya tapi…

“Awass!!” Orang itu berteriak bersamaan dengan perasaan bahaya yang kurasakan.

“Mundur!” Tambahku.

Sebuah cakaran dari makhluk perempuan tanpa busana tiba-tiba muncul begitu saja, perawakannya jauh lebih menjijikan dengan hanya mengenakan selendang yang berusaha menutupi bagian payudaranya yang menjulang panjang.

Aku berhasil menghindar dari sapuan lengan besar itu dan mendekat ke arah Pria gondrong itu.

Ia menyadari keberadaanku di dekatnya dan melempar sarung itu padaku.

“Ini tangkap!” ucap Pria Gondrong itu.

Aku tersenyum kecil dengan kembalinya sarungku. Selain itu mungkin mamang gondrong yang satu ini sudah menyadari bahwa aku bukanlah musuhnya.

Aku tahu Wewe Gombel itu menyadari kami berdua sebagai ancaman. Ia Pun terlihat sangat berambisi untuk menghabisi kami.

Makhluk itu menatap kami berdua sambil memainkan rambutnya dengan wajah pucat yang menyeramkan, apalagi mulutnya mulai meneteskan lendir yang berwarna hitam.

“Ini wilayahku! Mengganggu wilayahku, akan kuhabisi kalian!” ancam makhluk itu.
Kami berdua memperhatikan sosok itu dan langsung mengenalinya.

“Wewe gombel?” Ucap Mamang Gondrong itu.

Aku mengangguk, ”Nggak salah lagi..”

Mamang Gondrong itu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Sepertinya ia menyesali posisinya yang berada di situasi ini.
Aku menoleh ternyata makhluk itu tengah menerjang pepohonan dan bersiap menyerang Mamang Gondrong.

Akupun Refleks menendang Mamang Gondrong agar terhindar cari cakaranya.

“Maaf Mamang Gondrong! Nggak sakit kan? Kalau kena Cakaran itu pasti bahaya,” Ucapku sembari memperhatikan Wewe Gombel yang menoleh ke arah kami lagi.

Mamang Gondrong itupun meraih tanganku dan kembali berdiri.

“Aku Cahyo..” Tambahku lagi. Mungkin aku harus memperkenalkan diri sekarang agar kami tidak canggung.

“Terima kasih.. Saya Budi, Jauh lebih baik kau panggil saja Budi dibanding sebutan Mamang Gondrong itu!” Balasnya.

Budi? Nama itu lebih cocok buat anak ibu yang pergi ke pasar, bukan pria gondrong berantakan seperti dia.

“Hah-ha, Mamang Gondrong lebih cocok! Dia mengincarmu lagi Mamang Gondrong, salah-salah kau bisa mati! Minggir!” Teriakku sembari memanggil kekuatan Wanasura di lenganku.

Aku berhasil menahan serangan sesaat dan segera menarik Budi menjauh.

“Heh! Mau kemana?” Teriak Mamang Gondrong yang bingung dengan perbuatanku.

“Makhluk itu terlalu kuat untuk kita lawan berdua, sepertinya ada hal yang lebih penting yang harus kita urus, tahan dulu dirimu, Mamang Gondrong” ucapku tergesa-gesa.

“Jangan kabur! Mati kalian!!” Suara teriakan itu terdengar sampai ke telinga kami yang sudah menjauh.

Kamipun sampai ke sebuah tempat yang sepertinya dekat dengan jalan keluar. Aku mulai merasakan perbedaan energi di tempat ini. Sayangnya aku tidak mungkin keluar tanpa Mas Jagad dan yang lain.

“Cahyo? Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini? Dari mana kau berasal?” Tanya Mamang Gondrong.

“Panjang ceritanya kalau diceritakan sekarang. Sebaiknya kita berpencar dulu. Saat sudah ada kesempatan dan bantuan, kita habisi makhluk itu bersama-sama,” ucapku.

“Benar.. aku tidak menyangka makhluk itu bisa berada di hutan ini,” balas Mamang Gondrong. Sebenarnya aku berpikir kalau Mamang Gondrong. Jelas dia bukan orang jahat dan mungkin suatu saat aku akan membutuhkan bantuanya. Akan berbahaya bila pergi sendirian.

Mungkin setidaknya harus ada yang melindunginya.
“Kliwon!” Teriakku pada sosok yang tengah memperhatikan hutan ini sedari tadi. Ia Pun berlari dari pohon ke pohon dan mendekat ke arah kami.
“Jangan diem aja, sini bantuin,” panggilku pada Kliwon yang sudah tiba di dekat kami.

Ia segera menaiki pundakku seolah siap menerima perintah dariku.
“I..itu kera dari mana?” Tanya Mamang Gondrong.
“Dia temanku, biar dia nemenin Mamang Gondrong. Percaya deh, mamang gondrong lebih tahu tentang hutan ini.

Kliwon bisa jadi pelindung yang handal,” Jelasku berharap agar Mamang Gondrong mau menerima bantuanku.

Mamang gondrong terlihat ragu. Ia menatapku dengan tatapan yang tajam lagi dan kembali berhati-hati. Mungkin dia mulai tahu tentang kelebihanku.

“Jangan menatapku seolah ingin memakanku hidup-hidup begitu Mang. Ada waktunya kita akan berbincang banyak. Lagipula dagingku pahit” Ucapku membalas tatapannya.

“Aku tunggu! Ingat! Akan aku habisi siapapun yang mengacau di tanah kelahiranku!” ucap Mamang Gondrong mengeluarkan sifat aslinya.

Jadi hutan ini adalah tempat kelahiranya. Pantas saja ia begitu kesal dengan orang luar yang memasuki hutan terlarang ini.

“Aku pasti bantu melawannya... Kliwon akan bersama kamu Mamang Gondrong, Sugik menunggu hari sialnya tiba, tenang saja...” ucapku yang segera berbalik meninggalkanku dan mencari jejak Mas Jagad dan yang lain.

***

Sekilas aku melihat hutan ini tidak sebesar Alas Wetan. Tapi hutan ini begitu menyesatkan. Aku tidak bisa menggunakan insting manusia di hutan ini.
Akupun mencoba memikirkan bahwa diriku adalah Kliwon.

Kemana arus hutan ini akan bergerak dan dimana arah yang paling memungkinkan untuk keberadaan mereka bertiga.

Aku berlari menembus pepohonan dengan tenang. Bukan karena aku telah mengetahui keberadaan mereka, melainkan karena sarungku sudah terikat di pundakku.

Dengan adanya sarung ini aku tidak lagi takut dengan hawa dingin, aroma busuk, ataupun gangguan dari makhluk-makhluk di hutan ini. Dalam pengejaranku sekali lagi aku mendengar teriakan Wewe gombel yang berhadapan denganku dan Mamang Gondrong tadi.

Namun aku bergegas menjauh ketika sudah melihat wujudnya dari jauh. Semakin gelap aku berlari semakin dalam aku memasuki hutan. samar-samar aku melihat api menyala dari kejauhan, akupun bergegas ke arah cahaya itu.

Tapi sebelum aku menambah kecepatanku, tiba-tiba seseorang menangkapku dari depan.
“Akhirnya ketemu juga!”
Itu Mas Jagad. Ia Pun segera menarikku dan membawaku ke dalam semak yang cukup lebat.

“Cahyo! Syukurlah kamu selamat,” Ucap Mas Linus.

“Jelas mas, aku lebih aman dilepas di hutan daripada dilepas di kota,” candaku.

Sayangnya aku bercanda di saat yang tidak tepat. Aku baru melihat Mas Linggar terbaring di dekat Mas Linus.

Ada handuk kecil yang terpasang di dahinya untuk meredakan demamnya.

“Mas Linggar..” Tanyaku bingung.

“Ini efek samping setelah ia dirasuki Nyai Kunti, tubuhnya masih jauh dari siap untuk itu,” Jelas Mas Linus.

Mengetahui hal itu akupun memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari membaca situasi. Terlebih dari balik dedaunan aku mulai melihat cahaya matahari mulai terbit. Sayangnya hutan ini terlalu lebat untuk ditembusnya.

“Kita harus memanggil bantuan,” ucap Mas Jagad.
“Apa tidak bisa kita hadapi makhluk itu dan anak buah mbah sugik sendiri?” Tanyaku.

Mas Jagad menceritakan bahwa pengejaran mereka membawanya ke sebuah desa mati di tengah hutan.

Iapun mengajakku sedikit mendekat ke arah cahaya api yang kulihat itu.
“Ada lebih dari sukma anak-anak itu yang disekap disana. Kalau kita mau menolong mereka, kita butuh bantuan Paklek, Danan dan yang lain,” Cerita Mas Jagad.

Setelah melihat ini semua aku setuju dengan itu. Terlebih saat aku melihat sosok yang paling mengerikan di sana. Besarnya saat tertidur mungkin bisa setengah dari desa itu sendiri.

“I..itu?” Tanyaku yang ingin mencoba menebak.

“Dia makhluk yang diceritakan Linggar.. Gandara Baruwa,” Jelas Mas Jagad.
Kamipun memanfaatkan waktu ini untuk berisitirahat sampai sebelum matahari tenggelam kembali.

Aku meminta wanasura untuk menyampaikan pada kliwon agar ia menuntun yang lain untuk menemuinya.
Semoga saja, kami semua cukup untuk menghadapi makhluk mengerikan itu.

***

(Sudut pandang Danan….)

Aku tiba di sebuah hutan yang menyimpan banyak misteri, Leuweung Sasar.
Namanya mengingatkanku pada sebuah rumah di hutan karet yang dikenal oleh warganya dengan sebutan Imah Leuweung.

Hanya saja hutan yang ada di sekitar rumah itu tidak sebelantara hutan ini.
Langit mulai memerah bersama munculnya burung-burung aneh yang berwarna hitam beterbangan dari dalam hutan. Mungkin ini yang diceritakan oleh Cahyo, Jelas burung-burung ini bukanlah burung biasa.

Terdengar beberapa langkah kaki mendekat dari kejauhan, tapi ada salah satu langkah kecil yang lebih cepat dari mereka dan segera melompat ke arahku.
“Kliwon! Kenapa kamu bisa ada di sini?” Tanyaku pada sosok kera kecil sahabat Cahyo ini.

Ia Pun menoleh kepada dua orang yang berada di belakangnya.
“Gama? Kok bisa?” Tanyaku.
“Haha, aku juga kaget. Sepertinya temanku juga bertemu dengan temanmu,” balasnya.

Aku menoleh ke arah teman Gama itu. Terlihat seorang pria berambut panjang dengan pakaian lusuh seadanya. Tubuhnya jauh lebih kekar dan aura buas terlihat dari tatapan matanya.
“Apa urusanmu di Leuweung Sasar?” Tanya orang itu dengan tegas.

Aku kaget dengan ucapanya, jelas dia jauh berbeda dengan Gama.

“Yang sopan, kita membutuhkan bantuan mereka untuk masalah Rara dan yang ada di dalam hutan ini,” Tahan Gama.
Sontak orang itu berhenti dan menurut.

Aku sama sekali tidak menyangka orang sebuas itu bisa patuh dengan Gama.

“Saya Danan, saya hanya seperlunya saja di hutan ini. Ada sukma anak-anak desa yang tertahan di desa mati di dalam. Setelah menyelamatkan mereka, kami akan segera pergi,” balasku yang yakin bahwa orang ini tidak suka kami memasuki hutan itu.

“Sepertinya yang satu ini lebih pintar bicara daripada teman monyet itu,” balasnya.

“Haha.. maaf Danan, namanya Budi. Hutan ini adalah tempat kelahiranya. Ia tidak mau ada yang celaka lagi bila ada yang memasuki hutan ini,” ucap Gama.

Aku mengerti, walau ia selalu memasang muka mengancam rupanya ia juga orang baik.

Aku jadi teringat sosok juga terlahir di hutan dan juga berambut gondrong sepertinya.

Tepat saat matahari tenggelam, Kliwon memandu kami masuk ke dalam hutan. di sana ada seekor monyet putih yang sudah menantinya.

“Ikuti kera itu!” Perintah Budi.

Kliwon memang memberi isyarat agar kami mengikutinya. Sepertinya ia sudah mendapat teman di hutan ini dan sedikit mengenal seluk beluknya.

“Khi..khi..khi…khrrrrraaa….”

Terdengar suara teriakan wanita dari salah satu sisi hutan. suaranya menggema dengan serak dari jauh.

Kliwon yang menyadari keberadaan makhluk itu merubah jalurnya dan memutar.

“Itu makhluk yang kuceritakan,” ucap Budi. “Wewe Gombel?” Tanya Gama.

“Benar…”

“Tapi aku belum pernah melihat Wewe Gombel sebesar dan sebuas itu,” balasku.
“Coba saja datangi,” Balas Budi.

Err… aku merasa sepertinya harus mencari cara komunikasi yang lebih cocok dengan seseorang bernama budi ini.
Memasuki tengah hutan, kami memilih untuk berjalan mengatur nafas kami. Setidaknya bila kami berpapasan dengan makhluk seperti tadi kami memiliki tenaga untuk berlari.

Tapi baru beberapa langkah berjalan aku mulai merasakan keanehan.
“Gama..” Aku menghentikan langkahnya. Aku merasa ada sesuatu di belakang kami dan memberi Isyarat pada Gama. Budi mendahului Gama ke arah yang kuisyaratkan sekolah berusaha melindunginya.

“Ada sesuatu di sana,” ucap Budi.
Bersama dengan ucapanya tiba-tiba sepasang mata merah muncul dari dalam kegelapan. Aku menduga ia adalah genderuwo yang sejenis dengan khodam Mbah Sugik.

“Lari! Kita temukan yang lain dulu!” Ucapku.

Kami bertigapun menjauh dari makhluk itu dan berlari. Namun saat makhluk itu sudah mengetahui bahwa kami menyadari kehadiranya, iapun mengejar kami.
Suara desikan pohon dan patahan ranting terdengar bersama langkah besar yang mengejar kami.

Kliwon sudah berusaha mencari jalur untuk menghalangi makhluk itu, namun sepertinya tidak berpengaruh begitu banyak.
Aku sempat berpikir untuk melawannya, tapi aku harus menyimpan kekuatanku untuk menghadapi Gandara Baruwa apabila ia benar ada di hutan ini.

Di tengah pelarian kami tiba-tiba terlihat sosok seseorang yang tengah berdiri di tengah hutan. Dengan cepat aku bisa mengenali sosok itu dari sarungnya.
“Panjul!” Teriakku.
Cahyopun menoleh kearahku dan segera menyambut kami.
“Danan? Kliwon? Mamang Gondrong?” Teriak Cahyo.

“Syukurlah, Kami butuh bantuanmu!” Ucapku yang sekarang merasa bisa menghadapi makhluk itu dengan keberadaan Cahyo.
“Bantuan? Kebalik! Aku yang butuh bantuan kalian!” Teriak Cahyo.
Dari arah kedatangan Cahyo tiba-tiba muncul makhluk dengan suara yang tidak asing.

Makhluk Wanita bertubuh besar dengan kuku yang panjang dan tajam. Aku mengenali makhluk itu dengan mudah saat melihat payu dara yang menggelambir dan hanya tertutup sehelai kain lusuh.
“Itu Wewe Gombel yang tadi?” teriakku panik.

“Oo.. jadi sudah tahu? Bagus deh nggak usah aku kenalin” Balas Cahyo.
“Sialan kamu Jul!” teriakku.

Seketika kami terkepung dengan keberadaan dua makhluk besar di hutan ini. Sang Wewe Gombel dan Genderuwo anak buah Gandara Baruwa.

“Mamang Gondrong! Kita lanjutin pertarungan kemarin!” Teriak Cahyo.
Mamang Gondrong? Aku sedikit tertawa mendengar panggilan itu. Entah mengapa Cahyo bisa akrab dengan orang sebuas budi.

“Sekali lagi memanggilku dengan nama itu, Kulumat kepalamu!” Balas Budi.

“Danan itu!” Gama menunjuk ke arah beberapa orang yang muncul bersama genderuwo itu.
Sepertinya mereka juga anak buah Mbah Sugik yang sudah dirasuki.

“Wanasuraa!!!!” Cahyo berteriak sekuat tenaga memanggil sahabat di dalam dirinya itu.

Seketika kekuatan melimpah mengalir di kedua tangan dan kakinya. Dengan kekuatan itu, ia melompat sekuat tenaga dan menghantam tubuh Wewe Gombel itu.

Budi merespon serangan Cahyo dengan menangkap kepala Wewe gombel yang terjatuh itu dan membantingnya ke tanah.

Iapun menaiki wajahnya dan mencengkeramkan tanganya di bola mata Wewe Gombel itu.

“Aarrrragghh… Manusia berengsek!” Umpat Wewe Gombel itu.

Aku sudah menarik keris ragasukma di dalam tubuhku dan membacakan sebuah ajian yang membuat keris itu menyala.

Tepat saat genderuwo itu mendekat, aku menghindari seranganya dan menghujamkan keris itu tepat di jantung genderuwo itu.

Sayangnya.. sepertinya seranganku tidak berdampak banyak.

Aku melihat gelang gengge sudah ada di tangan Gama, namun ia masih menahan ritualnya dan terus membacakan doa berusaha agar sosok yang merasuki orang-orang itu bisa pergi.

Sayangnya orang-orang itu masih bersikeras menyerang Gama.

Krakkk!!!

Terdengar suara tulang seseorang yang patah tepat saat Budi menyusul Gama dan menghabisi salah seorang yang ingin menyerang gama. Tak hanya mematahkan lehernya, Budi juga menghabisi orang-orang itu dengan sadis hingga darah bermuncratan di tubuhnya.

“Gila! Dia masih manusia!” Teriakku memperingatkan Budi.

“Tidak lagi!” Balasnya dingin.

“Lah Mamang Gondrong?? ini Wewe Gombelnya gimana?” Protes Cahyo.

Sementara itu, Wewe Gombel itu kembali berdiri dengan penuh amarah.

“Anak perempuan itu harus selesai ditumbalkan, dan akan kuhabisi kalian!” Teriak wewe gombel itu yang ingin meninggalkan kami.

“Anak perempuan? Budi! Itu pasti Rara!” Teriak Gama.

Dengan Sigap Gama dan Budi meninggalkan tempatnya untuk mengikuti Genderuwo itu.

“Danan kita berpisah di sini! Anak yang kucari pasti ada di sarang makhluk itu!” Teriak Gama.

“Jangan nekad! Makhluk itu terlalu berbahaya!” Teriakku.

Cahyo menyadari maksud mereka dan memanggil kliwon.

“Kliwon tolong mereka! Jangan sampai mereka mati!” Perintah Cahyo.

Kliwonpun mengikuti Gama dan Budi seolah sudah akrab dengan mereka.

Mengetahui maksud kami untuk menolong mereka, Gama Pun berhenti sebentar dan mencari sesuatu dari kantongnya.

“Danan! Tangkap!” Teriak Gama.

Ada sebuah benda berbentuk botol kecil yang di lemparkan ke arahku. Botol itu berisi cairan dengan rempah yang aneh di dalamnya.

“Apa ini?” tanyaku.

“Itu wewangian peninggalan Ki Langsamana, Aku merasa itu akan membantumu!” Teriak Gama.

Tanpa menjelaskan apapun, Gama tiba-tiba sudah pergi menjauh mengejar Wewe Gombel itu. Aku yakin, urusanya tidak kalah penting dengan kami.

“Mamang Gondrong sudah membantu mengurus orang-orang itu, berarti tinggal setan genderuwo itu,” ucap Cahyo.

“Benar.. selesaikan dengan cepat!” Balasku. Dengan kekuatan Wanasura Cahyo melemparkanku jauh ke atas genderuwo itu. Tentu saja sebuah sapuan tangan besar sudah menanti untuk menghabisiku, tapi cahyo sudah bersiap menghalaunya.
Kilatan putih menyala dari Keris Ragasukmaku.

Ada sebuah titik yang kuincar dari atas sini. “Cahyo!!” teriakku.

Ia mengambil sarungnya dan menutupi mata genderuwo itu. Dengan bantuan itu aku bisa mendaratkan keris ragasukmaku tepat di ubun-ubun genderuwo yang lengah karena sarung cahyo.

Ggrrraaaarrrr!!!

Genderuwo itu teriak kesakitan. Tapi aku tidak yakin ia akan kalah walau terluka seperti itu. Akupun melepaskan sukmaku dan menusuknya lebih kedalam dengan wujud sukma dari Keris Ragasukma yang kutembus dari ubun-ubun hingga ke bawah badanya.

Teriakan genderuwo itu berhenti bersama asap hitam yang menguap dari tubuh genderuwo yang mulai menghilang itu.

“Selesai?” Tanya Cahyo.

Aku mengangguk. Sepertinya Genderuwo ini tidak sekuat yang dipanggil oleh mbah Sugik. Mungkin Mbah Sugik sudah memberinya lebih banyak tumbal.

“Kalau ketemu makhluk serupa yang bermata satu, hati-hati Jul,” Ucapku.

“Maksudnya?”

“Genderuwo bermata satu itu sama-sama anak buah Gandara Baruwa, hanya saja dia sudah memakan tumbal yang lebih banyak hingga jauh lebih kuat,” Peringatku.

Setelah yakin tidak ada Gangguan Cahyo Pun membawa kami menemui Mas Jagad dan yang lain. Aku melihat Mas linggar yang pucat namun sepertinya sudah bisa bergerak dengan baik.

Cahyo menjelaskan tentang keberadaan sebuah desa yang dipenuhi roh manusia yang disiksa.

Menurut Mas Linggar, tempat itulah yang ada di dalam penglihatanya.

“Paklek dan Dirga nggak ikut Nan?” tanya Cahyo. Aku menggeleng sembari menjelaskan kejadian semalam. Jagad cukup khawatir saat mendengar Dirga terluka, tapi ia lega saat mengetahui Paklek di sana merawatnya.

“Dapet salam dari Guntur. Sekarang dia yang bertugas menjaga desa,” ucapku pada Cahyo.

“Sepertinya tanggung jawab murid Nyai Jambrong itu tidak bisa diremehkan,” balas Cahyo.

Kamipun menghitung kekuatan kami untuk menyelinap ke desa itu.

Apabila sampai harus berhadapan dengan Gandara Baruwa, kekuatan apa saja yang kami punya.

“Kekuatan Nyai Kunti sangat mengerikan, hanya saja tubuh Linggar mungkin tidak kuat lagi untuk menahanya,” jelas Linus.

“Tidak Danan, selama bisa menyelamatkan sukma ibuku aku tidak keberatan,” Balas Mas Linggar.

Aku tidak ingin berdebat di tempat ini. Sebisa mungkin yang terbaik adalah kita menyelamatkan sukma-sukma itu tanpa bertarung.

“Jangan salah sangka.. Jangan pernah bergantung pada makhluk seperti itu. Entah Nyai Kunti, Wanasura, ataupun Nyi Sendang Rangu.. Hanya kepada Yang Maha Kuasalah tempat kita berharap untuk menyelamatkan mereka,” Jawabku.

Mas Linggar Pun menghela nafas, sepertinya ia lupa akan hal itu. Kami pun mulai mempersiapkan diri dan berjalan memasuki desa mengerikan itu.
Desa? bukan…
ini hanya setumpukan pondasi rumah yang telah hancur. Hampir tidak ada satupun rumah yang utuh di desa ini.

Sebaliknya, ratusan makam tersebar di seluruh desa tanpa diatur.
Desa ini terlihat ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan wajah yang pucat berputar-putar tanpa arah.

Beberapa dari mereka sudah kehilangan bola matanya atau bahkan tubuhnya tinggal setengah dan berjalan sembari merayap.
Ya.. mereka adalah roh-roh yang akan dijadikan tumbal.
Keramaian roh-roh ini membuat kami tidak terlihat mencolok.

Aku menemukan beberapa sosok roh anak-anak dari desa sedang termenung. Tak jauh dari tempatnya termenung ada sebuah bekas rumah tanpa atap dan terdengar suara dari dalam.

“Mbah Sugik, apa tumbal sebanyak ini tidak cukup untuk memberi kesaktian pada kita,” tanya seseorang dari sana.

“Uhukkkk… Aku ingin lebih banyak, tapi sepertinya waktu kita tidak cukup!
Kita akan membangunkan Gandara Baruwa dan meminta kekuatanya dengan bayaran semua tumbal yang ada di sini,” ucap suara mbah sugik yang tidak mungkin kulupakan.

Dari suaranya, sepertinya lukanya cukup parah.
“Di Sana!” Teriak Mas Linggar.

Ada satu buah pohon yang paling besar di desa ini. Kepala Gandara Baruwa terbaring di bawahnya. Sialnya Linggar menunjukkan bahwa sukma Ibunya dan pakdenya tergantung disana dengan mengenaskan.
Raut wajah Mas Linggar berubah penuh amarah.

Aku merasakan ada kekuatan besar yang akan muncul dari dalam dirinya.
“Tahan Linggar! Tahan!” Mas Linus mencoba menenangkan temanya itu.
Sementara kami menenangkan Mas Linggar, tiba-tiba dari arah suara mbah sugik tadi tercium aroma kemenyan bersama teriakan seseorang.

“Jangan! Jangan saya!”
“Sayangnya tidak ada orang lain di tempat ini yang lebih tidak berguna selain kamu,” ucap Mbah Sugik.
Kamipun berlari menuju tempat itu.
“Hentikan! Jangan bangunkan makhluk terkutuk itu!” Teriakku.

Mbah Sugik seketika panik melihat kedatangan kami. ternyata di ruangan itu ada lima orang anak buahnya, dan salah seorang dari mereka sudah terikat dengan parang di lehernya.
“Kau lagi! kali ini aku pasti membunuhmu!” Teriak mbah Sugik Kesal.

“Bangkit Gandara Baruwa! Ini tumbal dan makanan-makananmu sudah menanti!” Teriak Mbah Sugik.
Dengan isyarat dari Mbah Sugik, keempat pengikutnya menyembelih seseorang yang juga bagian dari mereka. Aku tidak bisa menatap saat darah bermuncratan dari leher orang itu.

Ada kepala kerbau, kemenyan, dan kembang yang dilumuri dengan darah dari kepala manusia yang ia sembelih.
Setelahnya aku merasakan kekuatan yang sangat besar yang menekan kami. Itu berasal dari luar.
Aku yakin, itu berasal dari makhluk yang tertidur itu.

Kamipun segera keluar dari persembunyian Mbah Sugik dan melihat sosok mengerikan itu tengah berdiri memantau desa itu.
“Berengsek!!! Bisa-bisanya kau membangkitkan Makhluk terkutuk ini!” Teriak Mas Jagad.

“Hahaha… sudah sepantasnya kalian takut dan takluk padaku!” ucap Mbah Sugik.
Ia mendekat ke arah sosok Gandara Baruwa untuk melaksanakan perjanjianya.
“Siapa yang sudah membangunkanku??” Teriak Gandara Baruwa.

“Aku! Semua sukma ini adalah tumbal untukmu dan jadilah abdiku!” Ucapnya.
Wajah Gandara Baruwa terlihat senang dengan semua roh yang ada di tempat ini. Liurnya menetes membasahi tanah di bawahnya.
“Bagus!” ucapnya.
“Tapi aku butuh makanan pembuka!”

Sontak ia mendekatkan wajahnya pada Mbah Sugik dan menggigit tubuhnya hingga terputus. Hanya tersisa pinggang dan kakinya yang masih berdiri tidak merespon kejadian yang hanya terjadi beberapa detik itu.
“Mbah!!” Anak Buah Mbah Sugik terlihat panik dengan kejadian itu.

“Gila, dia memakan dukun yang memberinya tumbal,” ucap Linus.
“Dia bukan setan biasa, dia bisa berpikir layaknya iblis,” Balasku.
Anak buah mbah sugik ingin menghampiri gurunya itu. Tapi ia merasa tidak ada gunanya.

Bagaimana mungkin tubuh yang hanya tinggal setengah bisa selamat.
Merekapun memilih untuk melarikan diri, namun tangan Gandara Baruwa menahan mereka layaknya tembok yang setinggi tiga kali tubuh mereka.
“Ja..jangan!!” Teriak mereka.

Tapi setan itu tidak peduli. Ia meremas keempat itu hingga darah bermuncratan dari genggamanya dan memakan mereka semua tanpa ampun. Gandara Baruwa mengendus sembari menunjukkan mata merahnya.

“Masih ada manusia hidup di sini,” ucapnya mencari keberadaan kami di antara sukma-sukma ini.
Akupun menggenggam keris ragasukma dan meletakkanya di depan dadaku.
“Maafkan aku Nyi, sepertinya aku membutuhkan kekuatan Nyi Sendang Rangu lagi,” gumamku.

“Wanasura, untuk kali ini jangan tahan kekuatanmu,” ucap Cahyo.

“Semoga Ajian Watugeni bisa berguna melawan Makhluk itu,” ucap Jagad.

Mata Mas Linggar menghitam, sepertinya sosok Nyai Kunti di dalam dirinya merasakan bahaya yang memaksanya untuk muncul.

“Hei pusaka, kalau ada yang bisa kau lakukan lebih baik kau lakukan sekarang,” Ucap Mas Linus sembari menggenggam pusaka miliknya.

Perasaan gentar ini jauh lebih mengerikan daripada saat melawan Ki Luwang kemarin. Yang kami lawan saat ini bukan lagi roh manusia. Tapi Roh dedemit yang mungkin sudah ada bahkan saat manusia belum mengenal peradaban.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close